02/12/2019

MERETAS JALAN MENGHADAPI RESESI EKONOMI 2020


Syamsu Alam 

Dalam kehidupan sehari-hari, setiap individu, organisasi atau negara pernah mengalami pasang surut. Setiap individu pernah bahagia, khawatir, murung, dan sedih. Bahkan orang sukses dan terkaya di dunia pun pernah mangalami keterpurukan, lalu bangkit menuju puncak kejayaan. Organisasi mengalami fluktuatif. Demikianlah hidup, seperti roda kehidupan. Berada di titik terendah atau pun berada di puncak, adalah pertanda bahwa ada gerak, ada kehidupan yang dinamis dan bukti ada perubahan.

Lalu, bagaimana dengan kondisi ekonomi kita, Indonesia? Akhir-akhir ini diprediksi akan terkena imbas pelemahan ekonomi global. Efek perang dagang, Brexit di Eropa, Krisis Timur Tengah hingga Hongkong, yang sudah tentu berdampak secara langsung atau tidak langsung pada perkeonomian kita.  Ada pula yang melihatnya dari sisi domestik, bahwa fundamental ekonomi kita sebenarnya tidak begitu tahan menghadapi guncangan eksternal. Namun kilah pemerintah tetap optimis menghadapi situasi tersebut. Faktor manakah yang dominan dan bagaimana meretas jalan menghadapi resesi?

Data: Fact or Fallacy

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2019 sebesar 5,02% secara tahunan. Angka ini sebenarnya melambat dibanding kuartal sebelumnya sebesar 5,05% maupun periode yang sama tahun lalu sebesar 5,17%. Perlambatan ini relatih lebih baik jika dibandingkan dengan negara se-kawasan. Pada periode Q1-2018  sampai Q2-2019 Indonesia, India, Thailand, Singapura masing-masing mengalami penurunan sebesar (-0,2%), (-3,0%), (-2,4%), (-3,1%). Meski melambat, sejumlah ekonom asing meragukan data yang dilansir BPS. Menurut mereka, perekonomian Indonesia seharusnya tumbuh lebih lambat dari data BPS.

Gareth Leather (Ekonom Capital Economics, London) meragukan data yang dilansir BPS. Ia menyebut, indikator bulanan menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia telah melambat tajam selama setahun terakhir. “Kami tak memiliki kepercayaan pada angka PDB resmi Indonesia, yang telah stabil selama beberapa tahun terakhir,"

Ekonom Natixis Hongkong juga mengemukakan hal serupa, "Saya tidak tahu bagaimana ekonomi dapat tumbuh pada tingkat yang sama untuk waktu yang lama dan ini dimiliki Indonesia. Padahal pengeluaran pemerintah lemah dan investasi melambat, neraca impor juga mengalami tekanan. (Trinh Nguyen, 2019).

Pemerintah mengakui perlambatan ekonomi, Namun, tertolong oleh konsumsi rumah tangga yang masih kuat. Sementara komponen lain, sesuai rilis BPS, sebenarnya mencatatkan perlambatan pertumbuhan yang cukup dalam. Misalnya Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi pada kuartal III 2019 hanya tumbuh 4,21% dibanding periode yang sama tahun lalu. Pertumbuhan tersebut melambat dibandingkan kuartal III 2018 sebesar 6,96%. Pelemahan investasi ini menjadi pertanda nyata bahwa ekonomi memang lesu.
Meskipun kontribusi konsumsi rumah tangga menyumbang 56,52% dari pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional pada periode yang sama, Namun sektor ini diprediksi akan mengalami koreksi. Penurunan konsumsi barang durable (barang tahan lama) memgalami penurunan, meskipun nilainya masih di atas 100. Potensi penurunan konsumsi juga terlihat dari setoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Penerimaan PPN menggambarkan seberapa besar transaksi di perekonomian. Ketika PPN turun, artinya aktivitas jual-beli lesu.  Data menunjukan pada Januari-Agustus 2019, penerimaan PPN dalam negeri tercatat Rp 167,63 trilun. Turun 6,47% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Lalu, bagaimana kondisi konsumen yang dominan namun tak begitu kuasa menghadapi gejolak ekonomi ke depan.
Power of Powerless
Vaclav Havel, sastrawan dan mantan presiden Czech pernah mengemukakan tentang kekuatan (kekuasaan) dari yang tak berkuasa. Havel menawarkan masyarakat yang hidup dalam kebenaran (Living within the truth), kehidupan individu yang bebas. Kehidupan yang menyangkal kedustaan dan kepura-puraan, melainkan hidup yang merdeka dengan tingkat emasipasi diri yang tinggi. Konsep ini sedikit menyerupai prinsip dalam kapitalisme, yaitu Self-regulating.
            Resesi atau krisis adalah kondisi dinamis dimana pasar mencari keseimbangan baru, dan kita tidak perlu panik menghadapinya. Tetap berpikir rasional, menahan diri maka kita bias melewati ‘dengan santai’, demikian kata ekonom pro pasar. Namun tentu tidak sesederhana itu, krisis ekonomi yang disertai krisis politik akan berdampak lebih parah dan masyarakat lemah akan semakin merana.

Kontribusi Konsumsi yang tinggi tadi sesaat bisa amblas, dan ekonomi akan terkoreksi cukup dalam. Perlu menelisik lebih jauh struktur konsumsi tersebut. Jika konsumsi ditopang oleh komoditas impor maka pada saat resesi akan menyulitkan masyarakat dan pengusaha lokal, yang selama ini menikmati barang impor impor Yang pada saat resesi akan mengalami lonjakan harga. Hal ini dikonfirmasi oleh defisit transaksi perdagangan yang masih minus, mendekati batas aman -3%. Belanja pemerintah yang tidak produktif menghasilkan produk berdaya saing.  Penurunan laba BUMN bahkan ada yang rugi. Utang swasta dan pemerintah yang tinggi, dll. Jika variabel ekonomi tersebut bersamaan dengan instabilitas dalam negeri, maka syarat terjadinya resesi menemukan momentum.

            Lalu apa yang dapat diupaya menghadapi momentum di atas. Pengalaman adalah guru terbaik. Sepanjang sejarah manusia krisis sehebat apa pun dapat dilalui. Daya tahan  the power of powerless, berpotensi kuat melawan badai resesi. Masyarakat yang hanya kuasa atas dirinya sendiri membutuhkan sinergi, empati dan trust. Sinergi dapat dirajut antar lembaga atau antar kebijakan (fiskal-moneter). Empati dapat dipupuk dengan tauladan. Sedangkan, Trust harus dijaga dengan kejujuran. Jika "mengetatkan ikat pinggang" adalah cara menghadapi resesi, maka masyarakat sudah terbiasa dengan hal seperti itu, bagaimana dengan para Tuan dan Puan yang selama ini menikmati 'kue ekonomi' bangsa ini lebih benyak, sudikah kiranya mereka mengetatkan ikan pinggang juga atau berbagi sepiring nasi dengan warga yang powerless.[][]

*) Dimuat di harian Tribun Timur, Senin 25 November 2019.

0 comments: