Showing posts with label Lifestyle. Show all posts
Showing posts with label Lifestyle. Show all posts
05/08/2019
“Hijrah” antara Rahmat untuk Semesta atau Berkah Bisnis Fashion
Syamsu Alam*)
Seberapa ‘kebeletnya’ kita ikutan arus ‘Hijrah Fest’ yang kini ramai dikemas dalam berbagai kegiatan. Mulai dari asosiasi artis ibukota, artis lokal, lembaga-lembaga pemerintahan hingga kelompok ibu-ibu arisan komplek. Apakah ini sebagai sinyal baik kebangkitan Islam atau sinyalemen pasar bahwa umat Islam adalah potensi ekonomi yang luar biasa, sekaligus potensi politik yang bisa membinasakan. Mari kita baca baik-baik sinyal-sinyal ini.
Iqra (Bacalah) adalah pesan pamungkas Quran. Membaca sejarah, kisah dan hikmah dapat mencerahkan kita. Diantaranya tentang hijrah, mengapa Rasul Saw memilih hijrah ke negeri Habasyah yang Kristen sebagai tujuan hijrah pertama? Apa pesan penting hijrah Nabi ke Madinah? Dan apa kaitannya dengan massifnya fenomena hijrah satu dekade tarakhir.
Akhir-akhir ini, kata ‘hijrah' santer terdengar di berbagai kalangan, di media cetak dan elektronik. Berhijrah amat populer di kalangan urban muda-mudi, selebritis, eksekutif muda, hingga orang biasa, bahkan teman dekat dan saudara kita. Fenomena hijrah pun telah merangsek ke pelosok desa.
Fitur-fitur artifisial yang dapat disaksikan dari mereka yang memutuskan berhijrah biasanya ditandai dengan berubahnya penampilan, hijab syar’i. Sedangkan bagi laki-laki, umumnya ada gejala peningkatan ‘kaki celana’ dari di bawah mata kaki menjadi di atas mata kaki (cingkrang/tidak Isbal), atau berjubah. Mereka memelihara jenggot dan utama memanjangkannya. Fitur suara yang sering terdengar, mereka akrab dengan kosakata arab: antum, ana, ukhti, masya Allah, dll.
Tak hanya itu, mereka yang merasa berhijrah lebih rajin mempelajari ilmu agama dari majelis pengajian hingga majelis group virtual (WAG) dan ‘youtube’. Pun, kerap membagikan ceramah dan meme konten islami yang diperolehnya dari jejaring media atau komunitasnya.
Fenomena di atas lumrah dan biasa saja, yang mengherankan, ketika mereka mulai ‘menghakimi’ orang lain dengan keyakinan barunya. Mereka bergairah tinggi mendakwahi orang lain. Bahkan, tak jarang kita menyaksikan, mereka mengisolasi diri dari ibadah dan kebiasaan masyarakat pada umumnya. Ungkapan yang meneguhkan bahwa ‘keyakinan terbarunyalah’ yang terbenar yang lain mengada-ada dan menyimpang (bid'ah) bahkan sesat adalah fitur ‘horor’ yang menyesakkan bagi kaum yang belum berhijrah.
“Jasmerah” Hijrah
Sebelum hijrah, Rasul SAW mengamati kondisi dalam negeri dan negeri-negeri tetangga dengan cermat. Beliau memahami bahwa sumber masalah ada di Jazirah Arabia. Di mana dua kubu saling bertikai antara umat Muslim versus kaum kafir Quraisy yang hatinya sudah terbakar rasa benci, tanpa kompromi.
Sedangkan kondisi negeri-negeri tetangga saat tidak kondusif. Kerajaan Persia masih penyembah api abadi. Romawi yang memperbudak rakyatnya. Tentu kedua negeri tersebut bukan tujuan strategis untuk mempertahankan benih-benih keimanan keluarga dan sahabat.
Kerajaan Habasyah (Ethiopia), yang terletak di seberang lautan. Kondisi geografis ini dipandang begitu menguntungkan bagi umat Muslim yang berhijrah, karena lebih menjamin keselamatan mereka dari kejaran kaum Quraisy yang saat itu belum mahir menghadapi medan laut. Selain itu, Habasyah merupakan kerajaan yang masih menganut ajaran Nabi Isa AS. Raja selalu ditemani oleh para uskup yang tangan mereka tak lepas dari kitab suci Injil. Ia dikenal sebagai raja yang bijaksana, menjunjung tinggi keadilan dalam mengambil keputusan.
Ragib Al-Isfahani (w. 502 H/1108 M), pakar leksikografi Al-Qur’an berpendapat, istilah hijrah mengacu pada tiga pengertian. Pertama, meninggalkan negeri dimana penduduknya sangat tidak bersahabat menuju negeri yang aman dan damai. Kedua, meninggalkan syahwat, akhlak buruk dan dosa-dosa menuju kebaikan dan kemaslahatan (QS. al-Ankabut, 29:26). Ketiga, meninggalkan semua bentuk kemaksiatan, narsisme dan hedonisme menuju kesadaran kemanusiaan dengan cara mujahadah an nafs (mengontrol hawa nafsu) (Musda M, 2017)
Hijrah seutuhnya
Kini, banyak orang yang hijrah, meninggalkan dunianya yang selama ini digelutinya. Banyak artis berhenti jadi artis, musisi, pegawai bank dll, melakukan migrasi profesi, dengan alasan, profesinya mengandung syubhat (bercampurnya yang haq dan bathil).
Atas hal di atas Quran dengan bijak mengingatkan. Janganlah kau berpindah dari alam ke alam karena kau akan seperti keledai pengilingan, di mana tujuan yang sedang ditempuhnya adalah titik mula ia berjalan. Tetapi berpindahlah dari alam kepada Penciptanya. Allah berfirman, ‘Hanya kepada Tuhanmu titik akhir tujuan,’ (Surat An-Najm: 42).”
Hijrah sebagai fenomena massif di negeri ini berdampak pada interaksi sosiobudaya kita. Ada teman sebelum ’Hijrah’ asik ditemani ngobrol, setelah ’Hijrah’ mulai kurang asik, menjaga jarak dan akhirnya mengisolasi diri bersama kaum yang sudah ’Hijrah’ lebih awal.
Dibalik fenomena ’Hijrah’ seolah-olah bangkit kekuatan ekonomi dan politik baru. Jejaring bisnis kaum ’Hijrah’ dengan label-label syar’i dan syariah. Gerakan politiknya pun dapat kita saksikan pada berbagai perhelatan politik di Nusantara ini. Cukup populer di media massa sejumlah tokoh-tokoh yang berfashion ‘Islami’. Orasi-orasi yang dilantunkan pun kearab-araban. Dari sini saya semakin yakin betapa hebatnya sebuah kata-kata bisa menggerakkan seseorang dan solidaritas identitas para kaum ‘hijrah’. Sekali lagi semoga ini pertanda baik, bukannya sinyalemen pasar yang justeru akan memperkokoh rezim eksploitasi pasar kaum ‘hijrah’.
Beberapa hikmah hijrah yang dilakukan Nabi Saw diantaranya, Pertama, fase revolusi diri, membangun pondasi ketauhidan. Fase ini berlangsung pada level individual dan kolektif. Kedua, setelah Hijrah ke Madinah, Nabi saw memperkenalkan ukhuwah Islamiyah (persaudaraan seiman), Ukhuwah Wathaniyah (persaudaraan sebangsa) dan Ukhuwah Basyariyah (persaudaraan sesama manusia). Ketiga, fase perjalanan menuju Ilahi. Fase peleburan nilai-nilai keegoan dengan nilai keilahian. Jangan sekalikali ada perasaan bangga dan merasa diri lebih beriman dari orang lain. Karena penilaian itu hak mutlak sang Khalik.
Kini, pintu hijrah terbuka lebar. Dalam konteks ini hijrah bermakna melakukan upaya-upaya transformasi diri dan masyarakat menuju kualitas yang lebih beradab bukan makin biadab pada sesama makhluk Tuhan yang boleh jadi tidak sepemahaman dengan keyakinan kita.
[][] *) Ketua Masika ICMI Orda Makassar)
[][] *) Ketua Masika ICMI Orda Makassar)
21/07/2019
Kuliah (Sekolah), untuk apa?

Kuliah (Sekolah), untuk apa?[Syamsu Alam]
Sekarang musim pendaftaran kuliah tahun 2019. Hal ini bisa jadi berita gembira ataupun berita yang manyayat hati bagi calon dan keluarga calon mahasiswa. Gembira bagi yang lulus dan mampu membayar biaya kuliah. Derita bagi yang tak lulus SBMPTN atau Bidik Misi, dan jalan satu-satunya untuk kuliah, lewat jalur mandiri atau Perguruan Tinggi swasta. Itupun kalau ada koneksi dan koleksi harta untuk biaya kuliah jalur Mandiri. _Hmmmm, Mandiri.. tapi bukan Bank Mandiri yang hari ini down sistemnya_ 😂. Mandiri adalah salah satu jalur prestise masuk kampus Negeri. Prestise dengan bayar yang lebih aduhai.
Kini, masuk perguruan tinggi ibarat memilih dan memilah menu, sesuaikan dnegan isi otak atau isi kantong. Andiakan saat ini saya baru masuk kuliah, sudah dipastikan tidak akan mampu masuk lewat jalur Mandiri. Maka harus bersaing merebut "Golden Ticket" Bidik Misi agar bisa kuliah. Jalur Bidik Misi adalah harapan bagi kaum yang mumpuni kecerdasan akademik namun kurang beruntung dalam hal finansial. Negara memfasilitasinya lewat jalur ini. Semoga jalur ini tidak dimasuki siluman. Sebagaimana yang terjadi pada jalur Mandiri pada umumnya. 😁
Tahun 2005 silam, saat resmi berstatus Sarjana Sains Matematika. Saya membaca tulisan Bob Black, "Penghapusan Dunia Kerja". Bacaan tersebut yang menyebabkan saya mengurunkan niat ikutan wawancara di salah satu perusahaan raksasa di Makassar. Pada saat kuliah, saya tidak serius-serius amat, kecuali saat menjelang selesai, menjelang persentasi tugas akhir. Saya lulus dengan durasi hampir maksimal 6 tahun 8 bulan. IPK tiga koma sembilan.................
belas. Alhamdulillah. "Baru ka santai-santai kuliah IPKku sudah setinggi itu" Apalagi kalau serius. 😁 Sahutku pada teman2 di bawah beton jamur Matematika UNM. Tempat ngobrol dan bernanung dari penatnya belajar matematika.
Kemarin Lembaga Studi Al Muntazar bekerjasama dengan salah satu Himpunan Mahasiswa di UIN Alauddin Makassar menggelar diskusi tentang Kerja dan Rev. Industri 4.0. Mengingatkanku lagi pada tulisan Bob Black. Pada Diskusi tersebut, saya memulai pembicaraan dengan mengutip sana-sini uraian Bob Black tentang "Penghapusan Dunia Kerja" dan mengaitkannya dengan kondisi kekinian. Awalnya kukira peserta diskusi akan resisten, ternyata sebagai besar mengamini analisa Bob.
Pada diskusi itu, saya mengambil kasus-kasus yang saya dan teman-teman alami di dunia kerja. Apapun profesi pekerjaannya, yang sok santai (pelapak online) atau pun pekerja kantoran yang sebenarnya bekerja bukan 8 jam perhari atau minimal 35 jam perminggu. Tetapi 24 jam perhari selama seminggu. Sesekali menertawai diri sendiri "sebagai pengamen hasil bacaan dan pelajaran" di salah satu kampus negeri di Makassar.
Dalam diskusi tersebut, saya kemukakan bahwa, akhir-akhir ini kerja telah mengalami reduksi yang sangat dalam. Orang tidak akan dikatakan kerja kalau tidak berkantor, dengan jam kerja paten 08.00-17.00. Paling mutakhir tidak dikatakan kerja kalau bukan PNS. Maka wajar antrian pendaftaran CPNS akan melimpah.
Tapi pada prinsipnya kerja yang kita pahami selama ini adalah yang ada kantor (ataupun yang online berkantornya cukup bayar kopi di warkop atau cafe), ada jam kerja, ada bos, ada _jobdesk_, ada target, dst. Prinsip inilah menurut Bob Black yang melanggengkan sistem kerja penindasan kapitalisme a la _fasisme pabrik_. Yang mana setiap orang yang terlibat di dalamnya mengalami dehumanisasi, alieansi diri dan ketertindasan.
Terdehumanisasi karena kita dipaksa diam atau terpaksa diam atas keburukan-keburukan yang terjadi dalam lingkungan kerja. Kita ketahui ada penyelewengan, ada korupsi, ada kebiadaban tetapi apa daya kita memperbaikinya dan mengubahnya. Melawan secara frontal akan memberikan implikasi panjang pada nasib kita.
Nah, kita yang terlanjur larut dan terdehumanisasi dalam dunia kerja. Tanpa berani mempertanyakan apa sebenarnya kerja? Untuk apa dan siapa, tujuannya apa? Akan diam-diam saja dan merasa semua hal berjalan normal-normal saja. Padahal jika dicermati dengan seksama kerja dan institusinya telah banyak merusak relasi-relasi kemanusiaan kita.
Nilai kemanusiaan yang paling mendasar adalah Kebebasan. Dan dalam dunia kerja tiada lagi kebebasan. Catat, tiada lagi kebebasan. Sejak menandatangani kontrak kerja, maka pada saat itu kita menggadaikan kebebasan kita. Hal paling mungkin kita lakukan adalah mencuri kembali sedikit demi sedikit kebebasan itu yang telah dirampas oleh dunia kerja.
Berapa jam kita bekerja /hari? 8 jam, tidak. Sebenarnya 24 jam per hari.
Seorang bapak yang bekerja bukan hanya dia yang akan terlibat dalam dunia kerja. Istrinya akan menyetrika bajunya, memasak masakan bergizi agar berstamina prima. Pun, istirahat kita di siang hari dan malam hari adalah rangkaian dunia kerja. Agar esok hari, bisa fit and fresh lagi masuk kerja. Demikian seterunsya dan seterusnya berputar. Berlibur pun adalah rangkaian dari merefresh ketegangan kerja. Semua adalah rangkaian dunia kerja.
Lalu buat apa kita Sekolah, Kuliah? Apakah hanya sekadar memperpanjang barisan perbudakan dunia kerja? Atau sesekali menginterupsinya. Interupsi dengan event-event budaya, diskusi, meditasi, atau lainnya.
Sekolah sebenarnya adalah bahan kayu bakar dari "fasisme pabrik". Apalagi sekolah atau kampus yang tujuan tunggalnya sekadar untuk menciptakan 'Worker' bukannya 'Human'. Institusi sekolah lah yang mengajarkan disiplin dan kadang menkondisikan ketaatan total tanpa interupsi pada suatu aturan. Jika sekolah atau kampus sudah demikian, maka tak ada bedanya dengan penjara. Dan para pengelola kampus adalah sipir.
Karena untuk merealisasikan tawaran Bob Black yang begitu radikal butuh perjuangan dan nafas yang panjang.
Saya justru melihat tawaran Bob, dapat ditelusuri pada jejak-jejak kehidupan kaum sufi. Dimana bekerja dan pekerjaan adalah aktifitas ibadah, bekerja dilakukan dengan riang gembira, bukan karena paksaan dan intimidasi. Kerja yang bermartabat adakah kerja yang dilakukan dengan riang gembira ibarat dunia permainan yang didalamnya ada konsensus yang sifatnya sukarela. Dimana, apabila ada teman bermain yang "curang" atau menyalahi konsensus bersama bisa kita tegur ramai-ramai dengan santai dan tanpa dendam.
Singkat cerita....
Pada sesi penutup diskusi saya bertanya pada audience. Yang bekerja ataupun yang berniat bekerja, Anda sebenarnya mencari apa dipekerjaan, uang atau rejeki? Kekayaan atau kesejahteraan?
Syamsu Alam, Pegiat di Praxis School
09/10/2017
Panduan Menulis Esai dengan Mudah
Menulis adalah cara untuk mengabadikan diri.Menulis sebagai puncak kecemerlangan pikiran seseorang.
Menulis adalah aktivitas intelektual tertinggi.
Menulis sebagai upaya membangun peradaban. Menulis terasa berat karena melibatkan hampir semua potensi manusia. Potensi pertama yaitu kemampuan melihat, mengamati, dan merasakan fakta-fakta empiris (Indera). Kedua, kamampuan menalar untuk menghubungkan sejumlah fakta-fakta dan ide-ide yang dimiliki penulis. Entah ide tersebut berasal dari hasil bacaan atau diskusi dengan orang lain. dan potensi terakhir adalah hati atau bisikan qalbu.
Penulis handal yang mampu mengalirkan tulisannya hingga menggerakkan para pembacanya adalah kombinasi dari ketiga potensi manusia tersebut.
Berikut adalah peta pikiran (mind map) apa dan bagaimana itu esai. Semoga peta pikiran berikut dapat memotivasi para pembaca untuk lebih giat menulis. Menulis sebagai salah satu tradisi Literasi. Karena Literasi adalah salah satu upaya melawan Hoax.
Inilah esai Mind Map.pdf
Mohon maaf ini bukan panduan teknis tahap demi tahap. Kemudahan menulis karena bahan bakarnya ada pada setiap individu yang mempunyai ketiga potensi di atas. Pada setiap esai selalu memuat pengantar, isi, dan kesimpulan. Keterampilan dan kepiawaian merangkai kata akan lahir dengan sendirinya seiring dengan makin banyaknya 'jam terbang'. Intinya menulislah.....
Chart di atas memang terkesan ribet, beberapa istilah diantaranya butuh penjelasan. Peta pikiran di atas adalah presentase di dua kelas di kampus UNM Makassar. Pertama di kelas Literasi BEM UNM, kedua di Kelompok Studi 'Praxis'. Dari hasil diskusi kedua kelompok ini, ada kesamaan pandangan diantara audiens. Mereka mengatakan lebih termotivasi dan lebih mudah memahami tentang esai dengan peta pikiran di atas.
Pada kedua forum diskusi di atas sebagai upaya berbagi cerita dan pengalaman tentang menulis. Salah satu trik sederhana adalah, IKATLAH IDE KAPAN DAN DIMANAPUN IA MUNCUL. Kadang-kadang saat 'EE' atau mengendarai kendaraan, tiba-tiba muncul ide, maka disarankan untuk segera mengikatnya dengan MENULISKANNYA. Karena ketika saat-saat itu dilewati atau menundanya, maka bisa dipastikan ide itu akan berlalu bak dan sekedar melintasi pikiran kita.
Sekali lagi mohon maaf, ini bukan panduan tahap demi tahap sebagaimana membuat mie instan, ini sekadar motivasi untuk diri sendiri, dan jika ada yang berkenan menginternalisasi ke dalam dirinya silakan. Keep It Simple and Sob (KISS).
Sumber bacaan: Inilah esai, Muhiddin M Dahlan. Radioboekoe
#Mind map #Menulis Esai #Esai
22/07/2016
Sarjana Gelondongan
Pengumuman SBMPTN baru-baru ini, membawa dua cerita.
Bahagia bagi yang lulus dan kecewa bagi yang tidak ada nomor testnya
dalam pengumuman lulus. Dibahagian yang lain tentu ada prosesi 'sakral'
bagi mahasiswa lama. Ingin sarjana. Proses menjadi sarjana adalah jalan
terjal, licin dan penuh intrik. :)
Singkat cerita apa dan bagaimana pun prosesnya. KNOWLEDGE
IS POWER harus jadi tumpuan utamà. Beberapa bulan lalu ramai tentang
bersih-bersih DIKTI atas kampus-kampus yang penuh intrik, dan cara-cara
culas dalam mengelola kampus. Hasilnya ratusan program studi, bahkan
kampus DEXIT (DiktiExit) :)
Kita merindukan kampus-kampus yang tidak hanya melahirkan
Sarjana Gelondongan, sarjana yang karbitan, sarjana roti kata Iwan Fals.
Sarjana yang tidak bisa bersaing dalam kontestasi MEA (yang lagi in
:)) bahkan untuk survive dalam hutan rimba rayuan konsumerisme dan gaya
hidup STEPA (Selera Tinggi Ekonomi Pacce/susah disangsikan.
Lebih intim sebenarnya, saya merindukan sarjana yang
menghargai hidup dan kehidupan. Menikmati perihnya belajar, disiplin,
dan argumentasi yang nakal. Sarjana yang masa mahasiswanya menghargai
proses dialektika kampus. Menjunjung tinggi semangat berpengetahuan,
bahwa dalam proses berpengetahuan pasti ada berkah. Ini aksioma yang
saya yakini.
Kenapa aksioma, karena pesan utama dan paling utama Tuhan
kepada Nabi Muhammad Saw, adalah BACALAH. Sebuah pesan revolusioner, dengan menggelutinya hidup manusia pasti mulia.
Sarjana dalam pandangan masyarakat kebanyakan, adalah
entitas yang dianggap serba bisa dan peluang kemapanan. Sebuah beban
yang begitu berat. Dekade akhir-akhir ini, amat mudah menjadi sarjana,
bahkan master bla....bala.. pun begitu gampang. Bisa berbekal kedekatan
dengan yayasan/kampus, atau pun cukup merogoh kantong lebih dalam,
siap-siaplah jadi sarjana.
Saya kadang heran kenapa, kata2 sarjana begitu digandrungi.
Bahkan dengan cara apapun, ada saja yang rela menempuh segala macam
cara. Huuh. Sekian dulu curhatnya.....
We need a Human not Machine.
15/07/2016
'Kegilaan' Fans Bola
Sepakbola benar-benar sudah menjadi ritual, bahkan menyerupai agama. Ada kiblatnya, ritualnya, penggemar fanatik, tempat ibadahnya sendiri dan seterusnya. Sepakbola bisa disorot dari berbagai sudut pandang, ada yang melihat dari sisi ekonomi, politik, manajemen, humor, dan lain-lain. Bisa juga sekedar sebagai alat satir dan lain-lain, namun yang pasti, ia adalah bisnis dalam bidang olahraga. Berikut hanyalah catatan sekilas, spontanitas, sesaat setelah menyaksikan PIALA EURO, lebih tepatnya kemenangan Jerman, dan memastikan diri lolos ke Semifinal. Kenapa Jerman, saya suka aja, no reason :P
Cerahkanlah pikiran dan matanya bagi fans yang 'Summun'
'Bukmun' 'Umyun' (buta mata, telainga) terhadap pemain klubnya. Tim bola itu kolektif, ada
supporter, pemain, pelatih (fisik dan psikis), tukang masak2, satpam,
sopir, dll, istri dan anaknya, bukan hanya seorang pemain yang
hanya main di Klub kesayanganmu. Atau kekelahan tim yang kalian ngga
suka, entah karena musuh bebuyutannya di liga yang sama. Tim Negara
yang kalah disebabkan oleh pemain di klub liga yang kalian benci.
Contoh, kemenangan Jerman dinilai karena ada pemain madrid (Kross).
Kekalahan Belgia misalnya, kau salahkan karena ada Hazard yang main di
Chelsea. Sy pikir ini ketololan yang luar biasa, yang bisa saja
berdampak pada cara pandangmu terhadap apapun, boleh jadi terhadap
paham, teori, dll. Ini adalah sejenis TERORISME fans bola. Haha
lebay...
Jujur, paling jengkel sama penonton yang beginian,
cerewet, sok ta, dan apapun hasil pertandingannya selalu saja ada
pembenaran atas kehebatan TIM yang didukungnya. Seperti mahasiswa yang
tidak pernah kehabisan alasan, meskipun dia tahu alasannya itu ngawur,
wur. Sadar ko, kau cuma penonton, yang bersorak di depan layar kaca
pula. Kalian hanya bagian dari hiruk pikuk industri bola. Ingat itu,
industri bola.
Tapi, sebagai industri, untung rugi pasti pertimbangan
yang utama. Meski demikian, selaku pemain futsal yang tidak pernah ikut
turnamen bergengsi kecuali porseni jurusan. Pernahlah, mencatatkan
nama sebagai top skorer
"mode sombong". Nah, sebagai penonton keterlibatan emosional perlu,
supaya sorak makin seru, tapi ngga mesti buta mata, hati dan pikiran
keleesss. Apapun adalah pemain tim lo di liga yang selalu handal. Jangan
lupa EVERYTHING IS CONNECTED, ini bukan nokia tapi pesan utama AVATAR
AANG. Yang gundul, segundul harapan saya agar tim-tim yang yang
megandal PARKING BUS digundul pula oleh tim yang bisa menghibur kami
sebagai penonton. Attack, spartan, maskulin meski harus sesekali
feminim di lapangan. Itu, coy.
Intinya, santaimako deeh. Kalah ya terima, seperti
kebesaran hati Buffon menyalami pemain-pemain Jerman. Dan selamat buat
Tim yang senang dengan strategi "MENYERANG" karena MENYERANG ADALAH
STRATEGI BERTAHAN YANG PALING BAGUS (Arsene Wenger).
Selamat Buat all
supporting TIM JERMAN, boleh jadi juga kontribusi hitler di alam
kubur, atau Anda para penonton yang dalam hati kecilnya terbesit
haralan semoga Jerman menang kodong. Nah, itu. Selamat menikmati
tontonan selanjutnya, penonton yang baik adalah yang sorakannya besar,
meriah dan membuat iri penonton lain. Yaa emosi massa yang liar,
binal, dan kadang tak terkontrol. Tapi pembaca yang budiman, tetaplah
terkontrol sejauh yang Anda bisa.
@alamyin. 27 Rumallang 2016. at BoGoR
26/09/2015
Robot, Manusia dan Ekonomi Baru
Syamsu Alam
![]() |
Source: vividscreen. info/pic/chappie.jpg |
Apa jadinya
jika robot mampu mengkudeta peran manusia? Robot bisa saja merupakan The Future of Employment, atau wakil
manusia dimuka bumi. Robot bisa saja menggantikan polisi yang tidak bisa
memberi rasa aman di kota ini, dimana rasa takut kepada jambret dan begal menggantikan
malam-malam kita yang asik ngerumpi di warung kopi.
RoboCop
adalah salah satu robot superhero yang paling populer di hampir semua tingkatan
usia. Robot polisi penumpas kejahatan dan penegak keadilan. Ada banyak film
dengan genre teknologi AI (Artificial
Intelegence) atau populer dengan istilah kecerdasan buatan yang beredar di
pasaran. Dan boleh jadi adalah bidang yang sangat berkembang dengan pesat. Ada
film yang mengeksplorasi bagaimana transformasi peran antara manusia dengan robot, bahkan dalam
film-film AI terbaru seperti Transendence (2014), Lucy (2014), Exmachine
(2015), Chappie (2015) dan lain-lain lebih jauh melampaui versi-versi robot sebelumnya.
Sang sutradara seolah-olah hendak menyampaikan pesan kegagalan manusia
mengelola dan memakmurkan kehidupannya sendiri.
Pergantian
peran antara robot dan manusia bukan sekedar pergantian tenaga kerja tetapi
mereka bisa melakukan transeksual hingga perpindahan atau pertukaran alam sadar
(alam rasional) atau kecerdasan. Apa yang terjadi jika suatu saat manusia bisa
mencipta robot yang bisa belajar sendiri yang memungkinkan kecerdasannya
melampaui penciptanya? Pertanyaan tersebut menyerupai pertanyaan para penggila
pengetahuan yang mempertanyakan bisakah tuhan menciptakan batu, dan batu
tersebut tidak bisa diangkatnya sendiri?
Bagaimana pula jika robot-robot tersebut bisa diinstall semacam stimulus
emosi, simpati dan empati yang memungkinkan si robot lebih berempati dan
mempunyai simpati dibanding penciptanya sendiri. Atau jangan-jangan ini adalah
penanda terjadinya revolusi industri baru atau penanda bahwa siapapun yang
menguasai kecerdasan mengolah besi maka dialah yang akan menguasai dunia,
entahlah !
Dalam
literature ekonomi kecerdasan adalah faktor produksi yang paling utama, tanpa
mengabaikan peran penting faktor tanah, tenaga kerja dan modal. Kecerdasan rasional
(alam sadar) adalah ukuran kemuliaan manusia modern. Rasionalitas adalah kunci
model ekonomi lama, dimana pikiran rasionallah yang membimbing produsen,
konsumen, rumah tangga, pemerintah untuk memenuhi self-interest mereka.
Self-interest bukanlah kosakata baru. Plato memposisikan Self-interest sebagai sesuatu yang negatif. Menurutnya self-interest merupakan biang kejahatan
dan dosa. Baginya hanya akan mendorong individu berlaku tidak adil terhadap
orang lain. Sementara Aristoteles memandang self-interest
secara ambigu. Menurutnya, self-interest
tidak selalu negatif, melainkan juga positif. Menurutnya self-interest pada dasarnya terbagi menjadi dua: bad self-interest dan good self-interest. Bagi Aristoteles good self-interest terjadi ketika
individu mengutamakan pula kepentingan umum (common
interest). Perdebatan tentang self-interest
bukan hanya terjadi dikalangan filosof, bahkan ditingkatan praktis tidak
kalah sengtinya.
Dinamika self-interest
seolah betul- bentul menemukan kediriannya (the
self). Ketika Bentham yang melihat self-
interest sebagai perkara psikologis individual. Menurutnya meskipun selain
self- interest terhubung dengan kepentingan masyarakat, namun self-interest
dianggap lebih utama. Selanjutnya Nietzsche, yang melihat self interest sebagai afirmasi diri dari kehendak will to power. Begitu juga dengan Ayn
Rand, yang melihat self-interest
sebagai tindakan individu rasional yang penuh integritas. Di dalam ekonomi,
pengertian self-interest sudah
dianggap barang jadi yang stabil dan tidak bisa diganggu-gugat, pun kalau ada
yang menyalahi prinsip dasar self-interest,
bisa di atasi dengan berbagai asumsi. Di hal ini, self-interest diyakini sebagai satu-satunya dasar bagi rasionalitas
tindakan manusia, maksimalisasi utility (kepuasan) oleh konsumen, dan
maksimisasi profit bagi produsen. Menurut Hirschman, dalam ilmu ekonomi konsep self-interest begitu cepat berkembang
sehingga menjadi suatu doktrin dan praktik dalam kehidupan sehari-hari. Pada
titik inilah Armatya Sen memandang Ilmu ekonomi sangat egois.
Bagi Sen, sifat egois yang disandarkan pada
mementingkan dan mengutamakan kepentingan diri semata tidak realistik, karena
dalam banyak hal tindakan manusia tidak murni egois, melainkan kombinasi dengan
utilitarian. Artinya pada derajat tertentu manusia akan selalu memikirkan
kepentingan orang banyak. Namun utilitarianisme tidak juga membantu menutupi
pekatnya egoisme. Sebab kepentingan semua orang pada dasarnya adalah
penjumlahan dari kepentingan masing-masing (self-interest)
atas nama keluarga, teman, kelompok, kelas sosial, dst. Hal ini berpotensi
terjadinya diktator mayoritas, ketika individu-individu yang menguasai koin dan
kekuasaan bahu-membahu membangun dinasti untuk memenuhi hasrat self-interest tanpa mempedulikan
keseimbangan semesta.
Armatya Sen mengususlkan pentingnya persentuhan
antara the self dan others
dengan menghadirkan simpati dan komitmen. Sen Mengilustrasikan begini, jika
kita mengetahui orang lain disiksa, lalu kita ikut merasakan sakitnya siksaan
itu, inilah yang disebut simpati. Jika penyiksaan terhadap orang lain, secara
personal tidak memberikan dampak buruk bagi kita, namun kita sadari bahwa
penyiksaan itu salah, lalu kita siap untuk menghentikan tindakan penyiksaan
tersebut, maka ini yang disebut komitmen.
Dengan kata lain, simpati merupakan suatu upaya
menempatkan perasaan dan perhatian (self)
kita kepada situasi apa dan bagaimana yang dirasakan orang lain. Sedangkan
komitmen adalah suatu kehendak yang muncul untuk melibatkan diri guna melakukan
perubahan positif terhadap situasi orang lain. Dari perbedaan pengertian di
atas, nampak bahwa simpati adalah suatu bentuk tindakan yang “minimalis”, pasif
dan masih membawa nuansa egoistiknya. Sedangkan komitmen merupakan tindakan
aktif, antisipatif dan ada keterlibatan aktif dengan yang lain.
Dalam imajinasi saya, jika simpati dan komitmen
hadir dalam interaksi dalam kehidupan (sosioekonomi dan politik) maka mungkin kita
tidak menemukan pasien yang mati di rumah sakit karena tidak ada biaya
pengobatan. Penyerobotan lampu merah di ‘traffict light’, mark-up dan korupsi
anggaran belanja publik, intimidasi mahasiswa yang kadang tidak rasional hanya
karena protes soal keadaan yang dianggapnya timpang. Rasisme dalam berbagai
bentuknya bisa di reduksi, kesalahan sosial yang dipicu oleh ketimpangan
sosioekonomi bisa diminimalisir.
Chappie (plesetan Happy) robot ciptaan Deon (Pemain
Slumdog Milionaire), boleh jadi menjadi representasi imajinasi saya. Chappie
adalah robot cerdas yang memiliki alam sadar, kecerdasannya bisa melampaui
kecerdasan manusia jika dilatih dengan baik dan benar. Chappie bisa menjadi
budak self-interest para gangster,
atau menjadi hero bagi warga yang
tertindas.
Robot boleh jadi adalah representasi manusia super
yang bisa menggantikan peran manusia dalam banyak hal. Pilihannya adalah apakah
robot akan menjadi komplemen (pelengkap) kehidupan manusia atau ia akan
mensubtitusi manusia. Jika robot adalah komplemen untuk kehidupan manusia
berarti kontrol masih ditangan manusia, namun jika sebaliknya yang terjadi maka
sangat mungkin perang dimasa depan adalah perang antara robot versus manusia.
Atau mungkin saja telah terjadi robotisasi (dalam arti mekanisasi) massif disebabkan
karena tiadanya pilihan lain selain menjadi budak koin dan kekuasaan.
Alternatif lainnya robot bisa mensubtitusi peran manusia dengan asumsi bahwa
robot sebagai karya kecerdasan buatan mampu melampaui kecerdasan penciptanya,
dan mempunyai simpati dan komitmen untuk melindungan yang lemah, mendistribusikan
kekayaan, maka mungkin ekonomi baru dan kehidupan baru benar-benar akan lahir, entahlah
Chappie !
@alamyin.
(Edisi lengkap tulisan dimuat di projek ebook "cyber dan tradisi literasi" :)
Readmore: Armatya Zen: Economic Development. Filsafat Moral Adam Smith (LIPI) Movie: Chappie (2015), Transendence (2014), Lucy (2014), Exmachine (2015),
(Edisi lengkap tulisan dimuat di projek ebook "cyber dan tradisi literasi" :)
Readmore: Armatya Zen: Economic Development. Filsafat Moral Adam Smith (LIPI) Movie: Chappie (2015), Transendence (2014), Lucy (2014), Exmachine (2015),
17/10/2012
Sekilas Jejak Boot-Camp Training Program Ethics for Entrepreneur
Boot-Camp Training Program Ethics for Entrepreneur Bank Mandiri & Rumah Perubahan Apa yang kita lakukan semata-mata untuk diri sendiri, akan mati bersama kita. PerUBAHan yang kita lakukan dan bermanfaat bagi orang lain, akan kekal abadi… (Dikutip dari Header Web Rumah Perubahan_ Renald Kasali Training Center)![]() |
From Alamyin |
![]() |
From Alamyin |
![]() |
From Alamyin |
![]() |
From Alamyin |