Read, Write, and Do Something

No Teaching without learning

Menulislah agar abadi

---

Listen, free economic make better

20/02/2017

Analisis Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan dan Dampaknya terhadap Kemiskinan di Sulawesi Selatan


Analisis Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan Dan Dampaknya Terhadap Kemiskinan di Sulawesi Selatan

ABSTRAK

Syamsu Alam. Analisis Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan dan Dampaknya terhadap Kemiskinan di Sulawesi Selatan
(dibimbing oleh Madris dan Sultan Suhab)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengeluaran pemerintah pusat dan daerah bidang pendidikan terhadap kemiskinan di Sulawesi Selatan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui mutu SDM dan pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini dilaksanakan di Sulawesi Selatan dengan unit analisis Kab/kota. Pengumpulan data dilakukan melalui survey literature berupa data sekunder (panel data) tentang pengeluaran pemerintah (pusat, provinsi, kab/kota) di sektor pendidikan, Mutu Sumberdaya Manusia (SDM), Pertumbuhan Ekonomi, dan kemiskinan, tahun 2006-2012. Data dianalisis secara deskriptif dan bersifat kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan hubungan fungsional,  mutu SDM berpengaruh lebih besar  daripada  pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan kemiskinan dan pengeluaran pemerintah kab/kota lebih berpengaruh melalui mutu SDM daripada melalui pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan. Dari sisi pengeluaran pemerintah (pusat, provinsi dan kab/kota) bidang pendidikan. Pengeluaran pemerintah kab/kota bidang pendidikan yang lebih besar dan cenderung meningkat lebih memberikan efek terhadap peningkatan mutu SDM dan pertumbuhan ekonomi serta mereduksi kemiskinan daripada pengeluaran pemerintah (pusat dan provinsi) yang fluktuatif.

Kata Kunci: Pengeluaran pemerintah bidang Pendidikan, mutu SDM,  Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan

"Download : Tesis_Alam: Analisis Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan dan Dampaknya Terhadap Kemiskinan di Sulawesi Selatan"

Thanks to:
  1. Dr. Madris, DPS., SE.,M.Si dan Dr. Sultan Suhab, SE.,M.Si. Selaku pembimbing yang senantiasa memberi bimbingan di waktu senggang ataupun sibuk, senantiasa mengoreksi dan mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini.
  2. Bapak Dr. Paulus Uppun, SE.,MA., Dr. Abd. Rahman Razak, SE.,MS dan  Dr. Agussalim, SE.,M.Si selaku penguji yang telah banyak memberikan koreksi dan saran yang konstruktif demi kesempurnaan tesis ini.
  3. Bapak Dr. Agussalim, SE.,M.Si selaku ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan yang senantiasa memberikan motivasi bagi penulis untuk dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
  4. Bapak/Ibu Dosen Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan (EPP) UNHAS yang senantiasa melibatkan kegiatan di P3KM Unhas diantaranya Bapak Abdul Majid Sallatu, Dr. Agussalim, SE.,M.Si., Dr. Sultan Suhab, SE.,M.Si, dan Dr. Nursini, SE.,MA yang senantiasa memberi tauladan disiplin, pelajaran praktis dan teoretis serta pengalaman melalui berbagai kegiatan dan penelitian.
  5. Bapak Prof. Dr. H.M Idris Arif. M.S selaku Ketua Yayasan STIEM Bongaya, senantiasa memberi saran dan nasihat agar tetap fokus pada studi.
  6. LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan)  Kemeterian Kemuangan Republik Indonesia yang telah memberikan biaya penelitian Tesis.
  7. Kepada Bapak Kepala badan Penelitian dan Pengembangan Keuangan Daerah Sulawesi Selatan, Kepala BPKD Sulawesi Selatan, Kepala Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan, dan Kepala BPPS Sulawesi Selatan, yang telah memberikan izin dan akses terhadap data-data penelitian yang penulis butuhkan.
  8. Kapada kedua orang tua, saudara-saudara yang senantiasa mendoakan agar tetap sehat dan dikarunia kekuatan melakukan setiap aktifitas.
  9. Teman-teman seperjuangan di Program  Studi Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan Angkatan 2011, kalian adalah teman diskusi yang baik dan bersahaja.
  10. Rekan-rekan di P3KM Unhas, Afif, Chali, Wahyu, Tami, Indra, dan spesial untuk ka’ Gego yang telah sharing pengetahuan ”Vibrant Presentation”.
  11. Teman-teman Studi Klub, Smart English Camp; Andi Karman, Fandi, dll.
  12. Semua kru di Titik9 Desain Printing, atas doa dan kebersamaannya dalam proses penyelesaian tesis ini.
  13. Akhirnya ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian tesis ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih perlu penyempurnaan. Oleh karena itu, penulis mangharapkan masukan dari seganap pembaca dengan prinsip 3K. Kritis, Konstruktif, dan disampaikan dengan Kasih sayang.  Wallahu A’lam Bissawab.

AROMA EMPIRISME PARA PEMBELA AJARAN (T)UHAN



Berselancar di media sosial, setidaknya memberikan beberapa manfaat. Diantaranya dapat bersilaturrahmi dengan teman lama dan berbagi cerita suka dan derita dengan daftar teman. Selain itu dapat melatih kesabaran menahan diri, tetap hening dan terjaga dalam keriuhan "Bom Informasi". Manfaat lebih jauh dapat menggambarkan REFERENSI, PREFERENSI, dan INTERPRETASI yang diikuti (dipilih) oleh seseorang.

Tulisan ini adalah refleksi diri dan teman-teman yang di ruang-ruang komentarnya dijejali dengan aroma-aroma interogasi. Interogasi atas status dan tweet yang berujung pada pemaksaan kesepahaman serta pilihan keyakinan si interogator. Mereka seperti pasukan pemusnah, yang bisa datang kapan saja di status-status atau postingan kita. Tiba-tiba datang dengan secuil referensi di otak kanan dan kirinya serta  kosakata yang sangat terbatas di tangannya.

Si interogator memburu dengan pertanyaan-ertanyaan yang kadang OUT OF CONTEXT. Kalaupun dalam konteks variasinya tidak banyak, tidak menantang dan prematur. Kesannya pun cenderung memaksakan pemahamannya. Isu minoritas kaum Syiah, pendukung Ahok yang dilabeli kafir, hingga tokoh-tokoh ulama sekaliber Prof. Qurais Shihab pun tak luput dari cercaan "Liberal" dan "Syiah". Saya jadi ingat ungkapan satire. Apakah ketika kita memegang palu semua tampak seperti paku? Si interogator sudah tidak bisa membedakan sekadar "have fun" dengan komentar-komentar, diskusi ringan, bahkan penghormatan pada yang lebih tua: kakak, bapak tidak dibaikan. Upaya untuk saling memahami perbedaan seolah ditutup dengan kebencian. Oleh karena kebenciannya itu saya curiga, jangan-jangan mereka sudah seperti si pemegang palu itu.

Inilah era BANALITAS informasi. Yaa sekadar informasi yang liar hingga tak terkontrol, fasenya seperti fase kapitalisme lanjut, yang bercirikan tua renta tapi liar. Padahal di atas tahap informasi masih ada dua tingkatan, yaitu pengetahuan dan kebijaksanaan. Atas semua data dan  informasi yang diperoleh dari berbagai sumber dan perspektif yang beragam, kemudian diolah menjadi PENGETAHUAN. Artinya dalam pengetahuan, ada proses BERPIKIR. Contoh, dulu ketika masih kuliah S1 dengan doktrin-doktrin gereja ortodoks yang menghambat kemajuan ilmu pengetahuan...OOPS Sorry, salah. Maksud saya, Doktrin-doktrin lembaga dakwah kampus (Sebagai derivasi dari induknya- Wahabisme) dengan ciri khas yang nyentrik: panggilan antum/akhi, celana khas puntung, rutin hafal hadis dst, doyan menyesatkan dan mengkafirkan. Sy meyakini dengan haqqul yaqien, siapapun di luar Islam, Kafir. Hingga pada suatu ketika saya membaca buku, yang membahas tentang Kafir dengan persfektif yang beda dengan definisi kafir di atas. Ringkasnya seperti berikut yang sadur dari tulisan kanda Kama. Kafir dalam terminologi adalah menolak, mengingkari, mengingkari kenyataan, kebenaran, kebaikan dll. Seirama dengan hal tersebut, dari makna terminologi ini para ulama membagi kafir menjadi dua. Kafir hakiki dan kafir fikhih. Kafir hakiki hampir sama (klo tidak persis) dgn makna terminologi: tapi kafir fikhih adalah kafir menurut pandangan kaum Islam yg mengatakan yg tidak mengucapkan syahadatain, dalam artian bahwa siapapun yg tidak mengucapkan syahadatain, maka ia kafir. pertanyaannya: apakah Islam hanya sekedar mengucapkan syahadatain lalu melakukan apa saja yg ia inginkan untuk menolak org yg mungkin dia tdk kafir secara hakiki. Berdasar pada berbagai REFERENSI itu,  saya mendapat tambahan pengetahuan, yang berdampak pada cara pamdang terhadap orang di luar apa yang saya yakini selama ini. 

Tahapan selanjutnya setelah data dan informasi diolah dan menghasilkan pengetahuan baru adalah KEBIJAKSANAAN. Bijak menghadapi orang yang beda keyakinan, beda pacar, beda istri, beda suami, baju, makanan, status sosial, tingkat pendidikan dan masih banyak lagi contoh-contoh nyata yang Tuhan hamparkan di seantero semesta, tentang betapa perbedaan nyata adanya.

Pada dasarnya perbedaan ada karena tiga hal. Yaitu, Referensi, Preferensi, dan Interpretasi (Tafsiran). Prinsip Logika mengajarkan. TIDAK ADA  SESUATU YANG SAMA SELAIN SESUATU ITU SENDIRI. X hanya sama dengan X. Lalu, mengapa kalian (penebar kebencian) harus mengenterogasi siapapun yang berbeda dengan pilihan, dan cenderung memaksakan pemahaman. Dan jika berbeda, atribut 'Sesat" 'Liberal" Syiah" adalah kata kunci penutup diskusi (debat).

Teks pertama Al Quran, IQRA (arti BACALAH),  cara pandang terhadap TEKS 'BACALAH' setiap orang pasti berbeda. Tafsir tergantung Referensi dan Preferensi (Kecenderungan). Kalau kecenderungan kita sekadar membaca dengan indera (mata, telinga, peraba) semata, maka ayat itu ditafsitkan secara inderawi. Tetapi kalau membaca berdasarkan potensi yang dimiliki manusia maka tingkatannya tentu bukan hanya indera, tapi dengan akal, dan hati. 

Membaca dengan  akal, berarti proses berpikir atas tanda-tanda baca yang Tuhan titipkan di alam raya. Ayat tertulis dan tercipta. Perbedaan hadir sudah tentu sebagai pelajaran bagi manusia, bagi yang mau belajar dan mengambil hikmah atas hal tersebut. Penemuan teori gravitasi, penemuan Archimedes, dan sejumlah penemuan-penemuan lainnya yang telah bermanfaat bagai semua umat manusia. Meskipun sejarah mengajarkan, kadang ilmuan berseteru dengan kaum agamawan. Dan, Einstein, memformulasi agama dan sains dengan sangat apik lewat ungkapan. "Agama tanpa ilmu buta, Ilmu tanpa agam lumpu". Sehingga, semestinyalah rasionalitas bersenyawa dengan doktrin agama.

Kekuatan mengolah hati, melakukan perenungan dan kontemplasi atas seluruh gerak sebab akibat alam semesta. Kemampuan mengasah hati dengan praktik-praktik spiritual, telah melahirkan banyak ajaran-ajaran 'kearifan".  Banyak hal yang terjadi di luar jangkauan nalar dan indera, dan hanya penyerahan pada yang Kuasa yang dapat menenangkan diri. Inilah, pertautan potensi manusia yang semestinya sling menguatkan indera-akal-hati, bukan saling mematikan. Sebagaimana para penganut Empirisme yang menolak gagasan-gagasan kaum Rasionalisme, terlebih pada pengetahuan yang bersifat non-inderawi.

Mereka (para interogator) biasanya membenci logika dan filsafat. Meskipun tak sadar mereka menerapkan prinsip-prinsip keduanya. Atas semua hal yang saya lihat, pikir atas perilaku kelompok-kelompok yang sering digelari "Takfiri" ini menyerupai kaum Emipirisme dalam beragama.  Mereka yang tekstual dan abai dengan konteks, mereka sibuk mempercantik fitur-fitur diri yang nampak secara inderawi (materi), pakaian, jidat, hafalan quran dan hadis. Lihai mengenakan aksesoris fikh lainnya dan mengabaikan dimensi ruh (spiritual). Dimensi immateri akan mewujud dalam bentuk perilaku seperti kebijaksanaan, kearifan dan cinta kasih selaku sesama makhluk ciptaan TYME, hatta termasuk yang beda dengan kita.


#Ditulis setelah diinterogasi oleh seorang bocah mahasiswa Al Birr Makassar dan teman FB tentang kekafiran di Indonesia. Maaf pada  'bocah' puber pembela (T)UHAN itu sy block untuk menjaga kewarasan saya.
 

09/02/2017

MODAL SOSIAL DAN POLITIK KEMISKINAN

Syamsu Alam

Pilkada serentak 2017 di sejumlah daerah di Indonesia segera digelar. Sejumlah manuver kandidat dilakukan untuk menarik simpati masyarakat.  Selain modal finansial dan kekuatan politik para kandidat, modal sosial adalah komponen penting dalam meraih kemenangan. Dalam kaitannya dengan kemiskinan, muncul pertanyaan Mampukah modal sosial mereduksi kemiskinan? Terma-terma kemiskinan kerap dijadikan jargon kampanye dan lipsing para kandidat.

Modal sosial dipopulerkan pertama kali oleh Bourdieu sebagai hubungan individu dalam kelompok. Dilengkapi oleh Coleman sebagai struktur sosial, dimana peran individu dalam keluarga dan masyarakat. Sedangkan Putnam lebih luas melihat peran kekerabatan, norma dan kepercayaan dalam ruang lingkup organisasi sosial yang lebih makro.

Modal sosial dapat ditelusuri dalam tiga input (sumber)  yaitu individu, kelompok atau komunitas, dan masyarakat melalui mekanisme komunikasi dan kepercayaan (trust). Outcome dari modal sosial tersebut adalah manfaat langsung dari pada individu atau kelompok yang diperoleh melalui proses komunikasi dan saling percaya. Manfaat bagi produsen adalah membangun kolaborasi dan dapat mengurangi biaya produksi. Karena manfaat inilah modal sosial kerap kali dimanfaatkan dalam politik.

Politik anggaran kemiskinan menunjukkan niat baik pemerintah mengatasi persoalan ini. Postur anggaran menunjukkan peningkatan positif. Pada tahun 2016, anggaran untuk mengentaskan kemiskinan mencapai Rp 214,4 triliun, meningkat 24,4 % dari realisasi tahun 2015. Programnya pun lumayan banyak tersebar diberbagai program kementerian, dinas-dinas provinsi  hingga kabupaten/kota.

Proporsi anggaran yang besar ternyata belum disertai dnegan kinerja yang setara. Berdasarkan data BPS Sul-sel persentasi kemiskinan 2012-2016 desa dan kota menurun sebesar 0,87 %.  Penduduk miskin di perdesaan masih persisten pada angka dua digit. Sebesar 13,46% pada 2012 dan 12.46% pada Maret 2016. Atau menurun sebesar 1% selama 4 tahun terakhir.  Dengan Garis kemiskinan sebesar Rp 270.601 perkapita perbulan.

Hasil penelitian Alam. S (2016) di Kabupaten Takalar menunjukkan bahwa hubungan kemasyarakatan, dan norma dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas interaksi sosial masyarakat yang pada gilirannya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat baik dalam keperluan individu maupun kepentingan bersama. Di perdesaan masih ditemukan budaya berbagi pangan antar tetangga, saling menguatkan atas kondisi hidup yang makin terhimpit dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Segala hal tersebut dapat meningkatkan daya tahan keluarga terhadap krisis.

Bahkan secara empiris Narayan membuktikan bahwa modal sosial dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga. Penelitian di daerah perdesaan Tanzania misalnya, modal sosial individu berhubungan positif dengan income. Artinya, semakin tinggi tingkat modal sosial individu maka terjadi peningkatan pendapatan sebesar 20-30 persen setiap keluarga (Narayan,1999).

Warga miskin dan simpatisannya kerap menganggap ‘kemiskinan sebagai komoditas yang dapat diperjual belikan di pasar program pemerintah ataupun kandidat dalam pilkada. Maka sejumlah komunitas sosial dibentuk untuk mengorganisir para pemilih. Oleh karena itu perlu dibedakan antara antara modal sosial pemerintah dengan modal sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat yaitu menerapkan berbagai peran undang-undang/peraturan, kebebasan, tata nilai, norma-norma serta hubungan yang bersifat informal yang ada di masyarakat.
Di dalam masyarakat, modal sosial pemerintah terbatas karena proporsi kontrak secara luas ditentukan oleh kepercayaan dan modal sosial masyarakat. Modal sosial yang terbentuk secara hirarkis dengan struktur yang kaku cenderung tidak dapat berfungsi dengan baik. Hal ini disebabkan karena interrelasi yang tercipta didalamnya digerakkan oleh motif mengontrol pihak-pihak yang berada pada posisi atau status sosial yang lebih rendah.

Sedangkan hubungan individu dalam masyarakat mengutamakan jaringan informal, dan kerjasama masyarakat, kerelaan saling menerima, merasa memiliki sebagai anggota dari sebuah sistem, dimana mereka saling bergantung satu sama lain, mereka saling percaya untuk memenuhi keinginan bersama sehingga ketentraman dan keharmonisan keluarga dapat tercapai. Komunikasi diantara mereka lebih cair dan bersifat non-hirarkis.

Kuatnya tradisi kunjung mengunjungi antar tetangga. Komunikasi yang relatif terbuka antar warga, dengan memanfaatkan kolong-kolong  rumah warga. Ayu diah Amalia (2015) menemukan hal yang sama, bahwa modal sosial merupakan kekuatan yang membentuk suatu jaringan sosial sesama kaum miskin untuk bahu-membahu mengentaskan kemiskinan dengan memanfaatkan solidaritas sosial untuk mengatasi keterbatasan modal material.

Perhelatan lima tahunan sejatinya menjadikan modal sosial sebagai kekuatan konstruktif untuk membangun solidaritas sosial dan mengeliminasi kemiskinan dan ketimpangan antar warga. Meskipun disisi yang lain modal sosial dapat dimanfaatkan sebagai kekuatan destruktif. Persekongkolan jahat di instantsi pemerintahan dan swasta untuk mengorupsi uang Negara. Kroni kapitalisme yang dapat menyebabkan tidak efektif dan efisiennya pelaksanaan pemerintahan dan tidak efektifnya pasar.

Hadirnya media sosial yang merangsek hingga ke perdesaan bukan tidak mungkin akan mengikis solidaritas sosial di antara warga miskin perdesaan. Gaya hidup STEPA (Selera Tinggi Ekonomi Pacce (lemah), pamer diri. Dan kemudahan memperoleh fasilitas kredit atas barang-barang konsumtif akan melemahkan produktivitas warga. Oleh karena itu dibutuhkan energi besar untuk menguatkan kembali kearifan lokal yang menguatkan modal sosial yang positif yang pada akhirnya dapat mereduksi kemiskinan dan bukan sekadar mempolitisasinya untuk singgasana kekuasaan. []

*Dimuat diharian fajar Makassar, Senin 7 Februari 2017.