Read, Write, and Do Something

No Teaching without learning

Menulislah agar abadi

---

Listen, free economic make better

09/10/2017

Panduan Menulis Esai dengan Mudah

Menulis adalah cara untuk mengabadikan diri.
Menulis sebagai puncak kecemerlangan pikiran seseorang.
Menulis adalah aktivitas intelektual tertinggi.

Menulis sebagai upaya membangun peradaban.  Menulis terasa berat karena melibatkan hampir semua potensi manusia. Potensi pertama yaitu kemampuan melihat, mengamati, dan merasakan fakta-fakta empiris (Indera). Kedua, kamampuan menalar untuk menghubungkan sejumlah fakta-fakta dan ide-ide yang dimiliki penulis. Entah ide tersebut berasal dari hasil bacaan atau diskusi dengan orang lain. dan potensi terakhir adalah hati atau bisikan qalbu.

Penulis handal yang mampu mengalirkan tulisannya hingga menggerakkan para pembacanya adalah kombinasi dari ketiga potensi manusia tersebut.

Berikut adalah peta pikiran (mind map) apa dan bagaimana itu esai. Semoga peta pikiran berikut dapat memotivasi para pembaca untuk lebih giat menulis. Menulis sebagai salah satu tradisi Literasi. Karena Literasi adalah salah satu upaya melawan Hoax.


Inilah esai Mind Map.pdf

Mohon maaf ini bukan panduan teknis tahap demi tahap. Kemudahan menulis karena bahan bakarnya ada pada setiap individu yang mempunyai ketiga potensi di atas. Pada setiap esai selalu memuat pengantar, isi, dan kesimpulan. Keterampilan dan kepiawaian merangkai kata akan lahir dengan sendirinya seiring dengan makin banyaknya 'jam terbang'. Intinya menulislah.....

Chart di atas memang terkesan ribet, beberapa istilah diantaranya butuh penjelasan. Peta pikiran di atas adalah presentase di dua kelas di kampus UNM Makassar. Pertama di kelas Literasi BEM UNM, kedua di Kelompok Studi 'Praxis'. Dari hasil diskusi kedua kelompok ini, ada kesamaan pandangan diantara audiens. Mereka mengatakan lebih termotivasi dan lebih mudah memahami tentang esai dengan peta pikiran di atas.

Pada kedua forum diskusi di atas sebagai upaya berbagi cerita dan pengalaman tentang menulis. Salah satu trik sederhana adalah, IKATLAH IDE KAPAN DAN DIMANAPUN IA MUNCUL. Kadang-kadang saat 'EE' atau mengendarai kendaraan, tiba-tiba muncul ide, maka disarankan untuk segera mengikatnya dengan MENULISKANNYA. Karena ketika saat-saat itu dilewati atau menundanya, maka bisa dipastikan ide itu akan berlalu bak dan sekedar melintasi pikiran kita.

Sekali lagi mohon maaf, ini bukan panduan tahap demi tahap sebagaimana membuat mie instan, ini sekadar motivasi untuk diri sendiri, dan jika ada yang berkenan menginternalisasi ke dalam dirinya silakan. Keep It Simple and Sob (KISS).

Sumber bacaan: Inilah esai, Muhiddin M Dahlan. Radioboekoe

#Mind map  #Menulis Esai  #Esai

08/10/2017

PASAR HOAX DAN "SAKAU" KEKUASAAN




Media Sosial (medsos), kini menjadi medan perang kata (wacana). Satu pihak melancarkan serangan kepada pihak lain, yang lainnya pasang kuda-kuda untuk melakukan counter-attack. Medos awalnya adalah media berbagi informasi, diskusi, dan berkolaborasi. Kini bermetamorfosis menjadi alat propaganda yang powerfull. Benturan kepentingan akan menyeret pihak-pihak yang terlibat untuk melakukan apa saja demi mencapai tujuan. Apa, dan siapa yang terlibat dalam transaksi Hoax? Elegankah melawan Hoax dengan Hoax? Dan apa relevansi pesan Agama, telah dibutakan mata, telinga, akal dan hatinya untuk menerima kebenaran? 

Hampir setiap peristiwa, khususnya yang berpotensi menimbulkan konflik selalu disertai dengan pasar Hoax. Kata hoax sendiri muncul pertama kali dari sebuah film yang berjudul  The Hoax, film drama Amerika 2006 yang disutradarai oleh Lasse Hallström. Sederhananya Hoax adalah  kata yang berarti ketidakbenaran suatu informasi, mengandung tipuan dan kebohongan. Kebohongan sendiri sudah ada sejak masa manusia pertama hadir ke bumi. 


Dua Rezim Utama

Saya teringat bulan lalu, perjalanan di Jakarta, dari blok M ke Bundaran HI, sopir moda transportasi online berujar ke saya, "Mas, di Indoneaia ini hanya ada dua perang kekuatan politik, pro keluarga atau ide-ide Sukarno dan pro Suharto". Terkesan reduksionis tapi banyak benarnya. Sembari menyetir, dia melanjutkan ceritanya. Lihat saja mas, mantan-mantan presiden. Pak Habibie, Gusdur, Mega, dan Jokowi lebih pro Sukarno, selainnya pro kubu sebelah. 'Piye kabare, enak jamanku toh'. Demikian pengikut Suharto mereproduksi ‘post power sindrom-nya’.

Ada banyak isu yang dengan mudah membuat kita terbelah dalam dua kutub kekuatan politik. ‘Penggorangan’ isu Sunni-Syiah, Ahok, Suriah vs Koalisi Arab Saudi, hingga persoalan remeh temeh seperti model rambut Jokowi pun tak luput dari perang sosmed. Isu terakhir adalah soal Hoax terbesar Orde Baru film G.30 S/PKI. Isu yang menunjukkan betapa kealpaan pengetahuan pihak anti komunis, hingga membuat meme, Komunis sama dengan Liberal. Sejak kapan komunis jadi liberali? 

Gempuran Hoax melalui produksi dan reproduksi teks tidak tepat diatasi dengan indoktrinasi. Apalagi indoktrinasi sekadar menguatkan status quo. Hal tersebut hanya akan menyebabkan individu dan masyarakat terjerambab dalam lubang sumur kebodohan. Sekaligus sejenis malpraktik. Melawan kebohongan hanya bisa dengan tidak melakukan kebohongan apalagi mereproduksinya. Bagi Rocky Gerung, Hoax adalah tantangan kritis bagi nalar publik. Menurutnya, Hoax hanya dapat dilawan secara efektif melalui Literasi (tradisi baca, diskusi, dan menulis).

Sepertinya perlu direnungkan bahwa, setiap text pasti tidak terlepas dari konteks (peristiwa yang dipengaruhi oleh setting aktor, waktu, tempat dan budaya). Dan terakhir interpretasi atas text dan konteks. Siapa yang paling berhak menafsirkan teks dan konteks? Jangan cari jawabannya pada kubu penguasa. Carilah pada siapa pun yang tidak terlalu ‘menggilai kekuasaan’. Meskipun menafsirkan sesuatu adalah juga sejenis kuasa. Setidaknya ada penguasaan pengetahuan (otoritas keilmuan) bukan atas kekuasaan karena lembaga atau institusi (misalnya Negara). Kenapa? Karena yang berkuasa paling berpeluang membuat hoax dengan piawai.
Tapi kini, di era 'banalitas informasi' kekuasaan bisa menyebar pada siapa saja. Tapi tetap saja negara (penguasa) paling punya potensi terbesar. Nah, atas perang text dan penafsiran yang terjadi. Tuhan telah lebih awal mengantisipasinya, melalui seruan Bacalah. Bacalah dengan panca indera, pahami dengan akal, dan terakhir yakinkan dengan hati, untuk dan atas nama Tuhan. Medan perang kedua Rezim di Indonesia yang makin luas dan kompleks, kerap mengabaikan seruan tersebut.

Hoax alat Indoktrinasi
Perang text bisa mencerdaskan asalkan di dalamnya ada proses berpikir, ada dialektika dalam diri, yang bisa berakhir pada saling membijaksanai perbedaan.  Pada titik ini, perbedaan akan menjadi rahmat. Selainnya adalah bencana dan malapetaka. Bencana terbesar manusia adalah ketiadaan pengetahuan, kealpaan belajar pada diri yang akan menyeret pada fanatisme tak berkesudahan, ibarat sinetron yang sulit menemukan episode akhir yang elegan.

Perang wacana dalam era 'banalitas informasi' adalah sejenis ideologisasi. Entah ideologi A, B, C, 1, 2 hingga 2019. Ideologisasi penting untuk menjaga kepatuhan. Slavoj Zizek telah memberikan formula, bahwa ideologisasi selalu terjadi tiga hal. Indoktrinasi, Kepercayaan (belief), dan ritual. Perang wacana adalah tahap awal membangun indoktrinasi, memberikan informasi secara berulang agar melekat dalam alam bawah sadar. Yang setiap saat mudah dipanggil. Jika sudah demikian maka kepercayaan akan terbangun dan akhirnya seluruh ritual akan diarahkan untuk menyokong doktrin-doktrin yang sudah tersimpan rapi dalam alam bawah sadar. Efek lebih jauh dan tragis adalah kecanduan akan doktrin tersebut dan akhirnya 'sakau' kekuasaan. 

Setidaknya Hoax mengajarkan kita sejenis gejala penyimpangan berpikir yang anti kausalitas. Model beripikir atas dasar dalil Pokok, pokoknya kalau bukan ‘anu’ salah. Pokoknya semua salah jokowi. Jika Anda menemukan ciri-ciri tersebut, mungkin telah overdosis pil c-PCC atau sejenis calon Presiden Cuma Cumi. Si penderita 'Sakau' kekuasaan akan mencari, mengakumulasi dan memanfaatkan informasi apa saja untuk memuaskan kesakauannya. Waspadalah.

*) Tulisan ini pernah dimuat di Tribun Timur Edisi Jumat 29 September 2017
**) Staf pengajar di Fakultas Ekonomi UNM Makassar

Sumber gambar: Visualcapitalist.com   Fallacy

09/07/2017

ADA APA DENGAN ISTILAH "PARENTA" KANDA?

ADA APA DENGAN ISTILAH "PARENTA" KANDA?
Seminggu terakhir, tepatnya usai lebaran 25 Juni 2017. Kosakata "parenta" seperti virus  yang menggejala di kepalaku, bahkan sebagian besar pikiran 'kaum muda". Setidaknya 5 orang yang saya say hei.. dalam rentang tersebut, mereka membalas sapaan yang memuat kosakata ada 'PARENTA (Perintah)', siaaap menunggu "PARENTA". Rentangan usia teman saya itu berkisar 25-30an tahun lebih 😃. Masa ranum-ranumnya, masa aggresifnya, mestinya.

Saya pun kadang imut-imutan, amit-amitan dan ikut-ikutan menjadikannya lelucon menggunakan istilah tersebut. Meskipun tanggapan saya pada kelima teman tersebut berseberangan dengannya. Saya hanya tanya kabar ko', ada yg balas ADA PARENTA. Spontan sy jawab sejak kapan ko sy pernah perintah. Ujar saya pada kawan lama yang pernah tidur se-sofa di PKM kampus UNM Parang Tambung. Entah alam sadar atau alam bawah sadar yang memengaruhi pita suaranya atau jempolnya untuk mengeluarkan ekspresi spontan "PARENTA".

Menurut hemat saya, tidak susah untuk menelisik memvirusnya istilah tersebut. Saya sepakat dengan teman saya Jalaluddin Rumi Prasad, apakah benar kita yang menggunakan facebook (jejaring sosial lainnya) atau kah mereka yang telah berhasil memanfaatkan kita? Pertanyaan filosofis yang ringan, tapi susah dijawab dengan jawaban yang menyehatkan pikiran. Karena faktanya setiap sistem pasti dibangun dengan algoritma. Inilah salah satu sumbangan terbesar Al khawarizmi, lidah orang barat memplesetkannya jadi algorithm. Apakah istilah 'parenta' adalah sebuah bangunan kesadaran atau alam bawah sadar kolektif yang telah menginvasi pikiran-pikiran kita.

Well, istilah tersebut sudah pasti lahir dari suatu sistem komunikasi pada suatu komunitas tertentu. Biasanya pada komunitas yang sangat hirarkis-lah yang sangat akrab dengan kosakata "perintah". Institusi militer, bahasa mesin (pemrograman) dll. Intinya mempertegas adanya relasi kuasa dan menguasai. Bagi Foucalt, kontrol kekuasaan berdasarkan pada kuasa wacana atau kuasa pengetahuan. Tidak jauh berbeda dengan Filosof Francis Bacon Knowledge is Power. Lewat pengetahuan kekuasaan dapat menyebar dengan cepat pada setiap tingkatan. Siapa yang menguasai wacana dialah yg sesungguhnya berkuasa.

Mari kita cek, kira-kira siapa-siapa dan pada komunitas apa yang amat akrab dengan kosakata 'Parenta'. Sedekat pemantauan saya, istilah tersebut populer dilantunkan oleh antek2 kekuasaan lapis kedua-lapis paling bawah. Ring satu tim sukses sampai tukang pasang spanduk dan baliho para kandidat-kandidat penguasa.Yaa istilah ini populer pada segerombolan tim sukses bakal calon kandidat. Ini subjektivitas saya, suatu istilah yang diadaptasi dari model kekuasaan yang cenderung absolut, dan tentulah kita hampir sepakat penuh pada Lord Acton, Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut sudah pasti korup. Saya sepakat 100 persen dengan Lord.

Menurut hemat saya, fenomena ini tidak berdiri sendiri. Fenomena latah meniru tanpa koreksi terhadap hal apapun termasuk 'kosakata' sekalipun adalah wujud betapa tidak kreatif dan progresifnya kita. Otak kita seolah didesain seperti mengikuti perintah algoritma facebook untuk membagikan apa yang kita pikirkan. Berdasar pada kecenderungan2 itulah orang cenderung diberikan sugesti pertemanan yang kira2 hampir sama dengan kecenderungan kita, selaku user. Maka apa jadinya kalau hampir semua teman kita adalah se-ide, se-kosakata, se-iya dan se-tidak. Dunia kita pasti akan sempit. Itu itu tonji dibicarakan, itu-itu saja yang di bahas. Akibat lebih jauh kita amat gampang tersulut emosi , terbawa perasaan. Oleh karena sebuah sistem telah berhasil menyempitkan cara pandang kita. Media sosial yang semestinya meluaskan cara pandang tapi terperangkap dalam sumur paling dalam kesempitan "PARENTA KANDA".

JADI, amat sangat wajar jika konflik, mobilisasi, dan memobilisasi konflik dan kerusuhan begitu mudah kita jumpai. Lihatlah konflik2 di sekitar kita berada, di sekolah, di kampus, di kantor, di pangkalan ojek, di tempat hiburan, di pusat keramaian. Senggol sedikit 'Bacot'. Berbeda sedikit 'musuh' ' bunuh' dan seterusnya. Mental kita sudah hampir terpola pada kanal-kanal yang sempit, yang kadang lebih rendah dari otak reptil. Otak reptil, ibarat oposisi biner, reptil yang kagetan hanya punya dua pilihan, menyerang atau kabur.

Sehingga apa yang terjadi, kita lebih sibuk membicara orang, calon, kandidat (1), membicarakan peristiwa-peristiwa (2), dan membicarakan ide-ide besar (3). Kalimat penutup di atas saya adaptasi dari Eleanor Rosevelt. Poin 1,2, 3 adalah hirarki kekuatan berpikir kita. Kualitas berpikir yang paling tinggi, tentu membicarakan ketiganya sekaligus. Membicarakan orangnya, peristiwa, plus ide-ide besar yang dibangunnya. Dan menunggu perintah boleh jadi ada pada poin (-9). 
Wallahu A'lam Bissawab.

#Salam, dari lubuk hati Alam yang paling dalam, yang masih belajar untuk tidak ma'parenta'.
Syamsu Alam.

14/04/2017

Kolaborasi Membangun Kampus WCU, Mungkinkah?

Syamsu Alam

Sejak kapan kosakata ‘Kolaborasi’ menghipnotis berbagai orang? Demikian pula frase World Class  University (WCU) seolah frase ‘wajib’ disampaikan pada setiap sambutan di berbagai kampus? Mungkinkah kampus-kampus di Makassar mampu bersaing dan sejajar dengan kampua-kampus bertaraf internasional seperti UI dan Cambridge? Entahlah, mari dicek kemungkinannya ☺


Tentang mantra Kolaborasi dan WCU

Beberapa tahun terakhir tepatnya akhir 2006, perguruan tinggi di seantero nusantara bahkan di seluruh dunia berpacu mewujudkan WCU. Cita-cita tersebut ibarat ‘piala’ yang bisa direngkuh oleh setiap kampus yang berdaya saing tinggi dan memenuhi berbagai standar-standar sebagai WCU. Diantaranya akreditasi internasional, sebuah pengakuan terhadap kemampuan yang memiliki desain dan kemampuan mencetak lulusan yang berdaya saing internasional; kualitas pendidikan; kualitas pengajaran; dan infrastruktur perguruan tinggi. Para petinggi kampus menilai hal ini tidak mungkin dilakukan sendiri.
Kolaborasi kian populer menjelang Revolusi Industri keempat versi World Economic Forum (WEF),  Sebuah revolusi baru ekonomi yang berbasis dan didorong oleh kemajuan teknologi digital.  Pemicu utamanya bergesernya mode of production dari input modal fisik yang dominan ke input modal non-fisik (ide dan kreativitas), pemanfaatn input tersebut menjadikan berbagai perusahaan dan organisasi meraih sukses di pentas regional maupun global. Keberhasilan beberapa organisasi menjadi pemenang dengan strategi "Kolaborasi".  Organisasi  atau komunitas yang sukese diantaranya adalah Wikipedia, Facebook, Skype, Goldcorp, Linux, P&G dll.

Don Tapscott penulis The Digital Economy  dan Wikinomics,  mengungkapkan bahwa awalnya "Kolaborasi Maya"  yang dilakukan oleh para netizen,  programmer,  youtuber dan lain-lain adalah semacam gerakan massif sebagai anti-tesa atas dominasi perusahaan-perusahaan raksasa yang menguasai media dam teknologi publikasi mainstream. Bahkan kerap dikatakan sebagai "komunisme gaya baru".  Tetapi para aktivis "Kolaborasi Maya" tetap memacu kreativitas dan berinovasi tiada henti tanpa terpengaruh dengan stigma komunisme gaya baru.  Misalnya Linux, yang awalnya hanyalah proyek "gotong-royong" dimana para programer berjejaring,  berbagi source code,  sharing pengalaman hingga akhirnya bisa bersaing dengan Microsoft atau Mac. Padahal tidak ada perusahaan yang menaunginya,  toh,  bisa menjadi pemain dan menguasai pangsa pasar dalam dunia Sistem Operasi. Hal yang sama terjadi pada perusahaan dan organisasi yang melakukan "Kolaborasi".
Dibalik mantra “Kolaborasi” tersirat semangat kemandirian, kerjasama sekaligus semangat berkompetisi melawan dominasi korporasi raksasa. Hal yang lebih penting dalam kolaborasi adalah praktik saling berbagi,  saling percaya, dan transparansi.

Kolaborasi dan Feodalisme di Perguruan Tinggi

Berdasarkan sudut pandang perencanaan,  kalaborasi dapat diidentikkan dengan proses,  dimana inputnya adalah Mahasiswa,  Dosen,  Pegawai,  Satpam, Stakeholder dan shareholder yang terkait dengan pengguna jasa dan produk (output)  perguruan tinggi. Produk perguruan tinggi bisa berarti lulusan sarjana dan pascasarjana atau hasil kajian dan penelitian yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat,  perusahaan,  atau pemerintah dalam menyusun kebijakan. Dimensi dampaknya (impact) adalah apakah produk tersebut dimanfaatkan sesuai kompetensinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kemandirian bangsa. Jika Kolaborasi dimaknai seperti ini maka Tri Dharma Perguruan tinggi: pengajaran berlangsung demokratis, penelitian yang berkualitas karena dikerjakan dengan prinsip-prinsip kolaborasi (kerjasama, saling percaya, dan transparan) dan pengabdian pada masyarakat bisa lebih bermanfaat, dan tepat sasaran.  Kolaborasi akan mampu mewujudkan sinergi antar civitas akademika yang pada akhirnya terwujud kampus  sebagai "Center of Excellence". Tentu dengan berbagai konsekuensi dan perbaikan sistem kelembagaan yang mempraktikkan prinsip-prinsip kolaborasi.

Cerita sukses tentang organisasi/komunitas yang menerapkan Kolaborasi "Massif" sudah sangat banyak. Komunitas tersebut berani mentransformasikan sistem manajemennya.  Organisasi yang awalnya menerapkan manajemen vertikal,  model hirarkis yang ketat,  berdasarkan komando,  perintah atasan,  dan standar operasional yang sangat kaku dan mekanistik,  dapat menyebabkan bawahan terkena sindrom ABS (Asal Bos Senang). Dengan Kolaborasi, gaya tersebut ditransformasi menjadi Organisasi dengan sistem manajemen horisontal,  terbuka, komunikasi lebih cair,   fleksibel,  penuh ruang improvisasi bagi siapapun yang terlibat didalamnya. Dalam konteks perguruan tinggi, sistem seperti ini membuat jarak antara pejabat Universitas,  Fakultas,  Jurusan dan Prodi dengan yang bukan pejabat seperti dosen (pengajar semata),  pegawai dan mahasiswa bisa dianggap tidak berjarak dan lebih terbuka.

Konsekuensi lebih jauh akan menghancurkan tatanan struktural feodalisme,  entah feodalisme keturunan "karaeng",  “raja”,  "puan", “andi” atau feodalisme keilmuan "professor" dan bukan professor yang kerap menjangkiti perguruan tinggi.  Tentu saja hal ini adalah alamat baik buat atmosfer akademik,  dimana setiap civitas akademica adalah subjek dan ilmu pengetahuan adalah objeknya.

Konsekuensi selanjutnya,  setelah struktur feodal runtuh,  maka akan tercipta kesetaraan,  ruang-ruang dialogis antar civitas akademika dan stakeholder makin luas.  Dan pada akhirnya demokratisasi kampus dapat terwujud. Apakah semudah itu?  Tentu tidak.  Tapi yang pasti jika Kolaborasi telah menjadi kosakata pamungkas bagi sebagian besar petinggi kampus, maka semestinya prinsip-prinsip kolaborasi menjadi tonggak-tonggak pengelolaan perguruan tinggi.

Kolaborasi:  Lipsing atau Inisiasi Masa Depan

Harapan terbesar kita sebagai masyarakat biasa pada para pemimpin perguruan tinggi dan kementerian pendidikan tinggi adalah satunya kata dan perbuatan atau dalam terminologi kampus adalah “kejujuran ilmiah”. Kolaborasi laiknya diperlakukan tidak seperti liberalisasi pasar,  karena dalam liberalisasi menyimpan potensi laten ketimpangan dan penindasan bagi yang tidak punya akses dan asset pada sumber daya dan kekuasaan.  Apalagi Negara kita adalah Negara berkembang dengan berbagai universitas masih terbelakang. Hayward (2008) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa di Negara-negara berkembang diperlukan perubahan yang mendasar, yaitu perubahan mental atas keinginan mewujudkan WCU. Yaa, perubahan mental. Merubah mental para pemimpin yang hirarkis dan kaku menjadi horisontal yang lebih terbuka bukan perkara mudah. Kolaborasi tentulah memuat prinsip  pro-konsumer, tersedianya perpustakaan besar untuk berbagi sumber-sumber pengetahuan, terciptanya transparansi sebagaimana "kolaborasi maya"  berbagi source code. Prasarat utama membangun kampus adalah menyuburkan pikiran kolaboratif bukan pikiran kolutif dan koruptif.




20/02/2017

Analisis Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan dan Dampaknya terhadap Kemiskinan di Sulawesi Selatan


Analisis Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan Dan Dampaknya Terhadap Kemiskinan di Sulawesi Selatan

ABSTRAK

Syamsu Alam. Analisis Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan dan Dampaknya terhadap Kemiskinan di Sulawesi Selatan
(dibimbing oleh Madris dan Sultan Suhab)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengeluaran pemerintah pusat dan daerah bidang pendidikan terhadap kemiskinan di Sulawesi Selatan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui mutu SDM dan pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini dilaksanakan di Sulawesi Selatan dengan unit analisis Kab/kota. Pengumpulan data dilakukan melalui survey literature berupa data sekunder (panel data) tentang pengeluaran pemerintah (pusat, provinsi, kab/kota) di sektor pendidikan, Mutu Sumberdaya Manusia (SDM), Pertumbuhan Ekonomi, dan kemiskinan, tahun 2006-2012. Data dianalisis secara deskriptif dan bersifat kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan hubungan fungsional,  mutu SDM berpengaruh lebih besar  daripada  pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan kemiskinan dan pengeluaran pemerintah kab/kota lebih berpengaruh melalui mutu SDM daripada melalui pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan. Dari sisi pengeluaran pemerintah (pusat, provinsi dan kab/kota) bidang pendidikan. Pengeluaran pemerintah kab/kota bidang pendidikan yang lebih besar dan cenderung meningkat lebih memberikan efek terhadap peningkatan mutu SDM dan pertumbuhan ekonomi serta mereduksi kemiskinan daripada pengeluaran pemerintah (pusat dan provinsi) yang fluktuatif.

Kata Kunci: Pengeluaran pemerintah bidang Pendidikan, mutu SDM,  Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan

"Download : Tesis_Alam: Analisis Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan dan Dampaknya Terhadap Kemiskinan di Sulawesi Selatan"

Thanks to:
  1. Dr. Madris, DPS., SE.,M.Si dan Dr. Sultan Suhab, SE.,M.Si. Selaku pembimbing yang senantiasa memberi bimbingan di waktu senggang ataupun sibuk, senantiasa mengoreksi dan mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini.
  2. Bapak Dr. Paulus Uppun, SE.,MA., Dr. Abd. Rahman Razak, SE.,MS dan  Dr. Agussalim, SE.,M.Si selaku penguji yang telah banyak memberikan koreksi dan saran yang konstruktif demi kesempurnaan tesis ini.
  3. Bapak Dr. Agussalim, SE.,M.Si selaku ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan yang senantiasa memberikan motivasi bagi penulis untuk dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
  4. Bapak/Ibu Dosen Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan (EPP) UNHAS yang senantiasa melibatkan kegiatan di P3KM Unhas diantaranya Bapak Abdul Majid Sallatu, Dr. Agussalim, SE.,M.Si., Dr. Sultan Suhab, SE.,M.Si, dan Dr. Nursini, SE.,MA yang senantiasa memberi tauladan disiplin, pelajaran praktis dan teoretis serta pengalaman melalui berbagai kegiatan dan penelitian.
  5. Bapak Prof. Dr. H.M Idris Arif. M.S selaku Ketua Yayasan STIEM Bongaya, senantiasa memberi saran dan nasihat agar tetap fokus pada studi.
  6. LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan)  Kemeterian Kemuangan Republik Indonesia yang telah memberikan biaya penelitian Tesis.
  7. Kepada Bapak Kepala badan Penelitian dan Pengembangan Keuangan Daerah Sulawesi Selatan, Kepala BPKD Sulawesi Selatan, Kepala Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan, dan Kepala BPPS Sulawesi Selatan, yang telah memberikan izin dan akses terhadap data-data penelitian yang penulis butuhkan.
  8. Kapada kedua orang tua, saudara-saudara yang senantiasa mendoakan agar tetap sehat dan dikarunia kekuatan melakukan setiap aktifitas.
  9. Teman-teman seperjuangan di Program  Studi Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan Angkatan 2011, kalian adalah teman diskusi yang baik dan bersahaja.
  10. Rekan-rekan di P3KM Unhas, Afif, Chali, Wahyu, Tami, Indra, dan spesial untuk ka’ Gego yang telah sharing pengetahuan ”Vibrant Presentation”.
  11. Teman-teman Studi Klub, Smart English Camp; Andi Karman, Fandi, dll.
  12. Semua kru di Titik9 Desain Printing, atas doa dan kebersamaannya dalam proses penyelesaian tesis ini.
  13. Akhirnya ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian tesis ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih perlu penyempurnaan. Oleh karena itu, penulis mangharapkan masukan dari seganap pembaca dengan prinsip 3K. Kritis, Konstruktif, dan disampaikan dengan Kasih sayang.  Wallahu A’lam Bissawab.

AROMA EMPIRISME PARA PEMBELA AJARAN (T)UHAN



Berselancar di media sosial, setidaknya memberikan beberapa manfaat. Diantaranya dapat bersilaturrahmi dengan teman lama dan berbagi cerita suka dan derita dengan daftar teman. Selain itu dapat melatih kesabaran menahan diri, tetap hening dan terjaga dalam keriuhan "Bom Informasi". Manfaat lebih jauh dapat menggambarkan REFERENSI, PREFERENSI, dan INTERPRETASI yang diikuti (dipilih) oleh seseorang.

Tulisan ini adalah refleksi diri dan teman-teman yang di ruang-ruang komentarnya dijejali dengan aroma-aroma interogasi. Interogasi atas status dan tweet yang berujung pada pemaksaan kesepahaman serta pilihan keyakinan si interogator. Mereka seperti pasukan pemusnah, yang bisa datang kapan saja di status-status atau postingan kita. Tiba-tiba datang dengan secuil referensi di otak kanan dan kirinya serta  kosakata yang sangat terbatas di tangannya.

Si interogator memburu dengan pertanyaan-ertanyaan yang kadang OUT OF CONTEXT. Kalaupun dalam konteks variasinya tidak banyak, tidak menantang dan prematur. Kesannya pun cenderung memaksakan pemahamannya. Isu minoritas kaum Syiah, pendukung Ahok yang dilabeli kafir, hingga tokoh-tokoh ulama sekaliber Prof. Qurais Shihab pun tak luput dari cercaan "Liberal" dan "Syiah". Saya jadi ingat ungkapan satire. Apakah ketika kita memegang palu semua tampak seperti paku? Si interogator sudah tidak bisa membedakan sekadar "have fun" dengan komentar-komentar, diskusi ringan, bahkan penghormatan pada yang lebih tua: kakak, bapak tidak dibaikan. Upaya untuk saling memahami perbedaan seolah ditutup dengan kebencian. Oleh karena kebenciannya itu saya curiga, jangan-jangan mereka sudah seperti si pemegang palu itu.

Inilah era BANALITAS informasi. Yaa sekadar informasi yang liar hingga tak terkontrol, fasenya seperti fase kapitalisme lanjut, yang bercirikan tua renta tapi liar. Padahal di atas tahap informasi masih ada dua tingkatan, yaitu pengetahuan dan kebijaksanaan. Atas semua data dan  informasi yang diperoleh dari berbagai sumber dan perspektif yang beragam, kemudian diolah menjadi PENGETAHUAN. Artinya dalam pengetahuan, ada proses BERPIKIR. Contoh, dulu ketika masih kuliah S1 dengan doktrin-doktrin gereja ortodoks yang menghambat kemajuan ilmu pengetahuan...OOPS Sorry, salah. Maksud saya, Doktrin-doktrin lembaga dakwah kampus (Sebagai derivasi dari induknya- Wahabisme) dengan ciri khas yang nyentrik: panggilan antum/akhi, celana khas puntung, rutin hafal hadis dst, doyan menyesatkan dan mengkafirkan. Sy meyakini dengan haqqul yaqien, siapapun di luar Islam, Kafir. Hingga pada suatu ketika saya membaca buku, yang membahas tentang Kafir dengan persfektif yang beda dengan definisi kafir di atas. Ringkasnya seperti berikut yang sadur dari tulisan kanda Kama. Kafir dalam terminologi adalah menolak, mengingkari, mengingkari kenyataan, kebenaran, kebaikan dll. Seirama dengan hal tersebut, dari makna terminologi ini para ulama membagi kafir menjadi dua. Kafir hakiki dan kafir fikhih. Kafir hakiki hampir sama (klo tidak persis) dgn makna terminologi: tapi kafir fikhih adalah kafir menurut pandangan kaum Islam yg mengatakan yg tidak mengucapkan syahadatain, dalam artian bahwa siapapun yg tidak mengucapkan syahadatain, maka ia kafir. pertanyaannya: apakah Islam hanya sekedar mengucapkan syahadatain lalu melakukan apa saja yg ia inginkan untuk menolak org yg mungkin dia tdk kafir secara hakiki. Berdasar pada berbagai REFERENSI itu,  saya mendapat tambahan pengetahuan, yang berdampak pada cara pamdang terhadap orang di luar apa yang saya yakini selama ini. 

Tahapan selanjutnya setelah data dan informasi diolah dan menghasilkan pengetahuan baru adalah KEBIJAKSANAAN. Bijak menghadapi orang yang beda keyakinan, beda pacar, beda istri, beda suami, baju, makanan, status sosial, tingkat pendidikan dan masih banyak lagi contoh-contoh nyata yang Tuhan hamparkan di seantero semesta, tentang betapa perbedaan nyata adanya.

Pada dasarnya perbedaan ada karena tiga hal. Yaitu, Referensi, Preferensi, dan Interpretasi (Tafsiran). Prinsip Logika mengajarkan. TIDAK ADA  SESUATU YANG SAMA SELAIN SESUATU ITU SENDIRI. X hanya sama dengan X. Lalu, mengapa kalian (penebar kebencian) harus mengenterogasi siapapun yang berbeda dengan pilihan, dan cenderung memaksakan pemahaman. Dan jika berbeda, atribut 'Sesat" 'Liberal" Syiah" adalah kata kunci penutup diskusi (debat).

Teks pertama Al Quran, IQRA (arti BACALAH),  cara pandang terhadap TEKS 'BACALAH' setiap orang pasti berbeda. Tafsir tergantung Referensi dan Preferensi (Kecenderungan). Kalau kecenderungan kita sekadar membaca dengan indera (mata, telinga, peraba) semata, maka ayat itu ditafsitkan secara inderawi. Tetapi kalau membaca berdasarkan potensi yang dimiliki manusia maka tingkatannya tentu bukan hanya indera, tapi dengan akal, dan hati. 

Membaca dengan  akal, berarti proses berpikir atas tanda-tanda baca yang Tuhan titipkan di alam raya. Ayat tertulis dan tercipta. Perbedaan hadir sudah tentu sebagai pelajaran bagi manusia, bagi yang mau belajar dan mengambil hikmah atas hal tersebut. Penemuan teori gravitasi, penemuan Archimedes, dan sejumlah penemuan-penemuan lainnya yang telah bermanfaat bagai semua umat manusia. Meskipun sejarah mengajarkan, kadang ilmuan berseteru dengan kaum agamawan. Dan, Einstein, memformulasi agama dan sains dengan sangat apik lewat ungkapan. "Agama tanpa ilmu buta, Ilmu tanpa agam lumpu". Sehingga, semestinyalah rasionalitas bersenyawa dengan doktrin agama.

Kekuatan mengolah hati, melakukan perenungan dan kontemplasi atas seluruh gerak sebab akibat alam semesta. Kemampuan mengasah hati dengan praktik-praktik spiritual, telah melahirkan banyak ajaran-ajaran 'kearifan".  Banyak hal yang terjadi di luar jangkauan nalar dan indera, dan hanya penyerahan pada yang Kuasa yang dapat menenangkan diri. Inilah, pertautan potensi manusia yang semestinya sling menguatkan indera-akal-hati, bukan saling mematikan. Sebagaimana para penganut Empirisme yang menolak gagasan-gagasan kaum Rasionalisme, terlebih pada pengetahuan yang bersifat non-inderawi.

Mereka (para interogator) biasanya membenci logika dan filsafat. Meskipun tak sadar mereka menerapkan prinsip-prinsip keduanya. Atas semua hal yang saya lihat, pikir atas perilaku kelompok-kelompok yang sering digelari "Takfiri" ini menyerupai kaum Emipirisme dalam beragama.  Mereka yang tekstual dan abai dengan konteks, mereka sibuk mempercantik fitur-fitur diri yang nampak secara inderawi (materi), pakaian, jidat, hafalan quran dan hadis. Lihai mengenakan aksesoris fikh lainnya dan mengabaikan dimensi ruh (spiritual). Dimensi immateri akan mewujud dalam bentuk perilaku seperti kebijaksanaan, kearifan dan cinta kasih selaku sesama makhluk ciptaan TYME, hatta termasuk yang beda dengan kita.


#Ditulis setelah diinterogasi oleh seorang bocah mahasiswa Al Birr Makassar dan teman FB tentang kekafiran di Indonesia. Maaf pada  'bocah' puber pembela (T)UHAN itu sy block untuk menjaga kewarasan saya.
 

09/02/2017

MODAL SOSIAL DAN POLITIK KEMISKINAN

Syamsu Alam

Pilkada serentak 2017 di sejumlah daerah di Indonesia segera digelar. Sejumlah manuver kandidat dilakukan untuk menarik simpati masyarakat.  Selain modal finansial dan kekuatan politik para kandidat, modal sosial adalah komponen penting dalam meraih kemenangan. Dalam kaitannya dengan kemiskinan, muncul pertanyaan Mampukah modal sosial mereduksi kemiskinan? Terma-terma kemiskinan kerap dijadikan jargon kampanye dan lipsing para kandidat.

Modal sosial dipopulerkan pertama kali oleh Bourdieu sebagai hubungan individu dalam kelompok. Dilengkapi oleh Coleman sebagai struktur sosial, dimana peran individu dalam keluarga dan masyarakat. Sedangkan Putnam lebih luas melihat peran kekerabatan, norma dan kepercayaan dalam ruang lingkup organisasi sosial yang lebih makro.

Modal sosial dapat ditelusuri dalam tiga input (sumber)  yaitu individu, kelompok atau komunitas, dan masyarakat melalui mekanisme komunikasi dan kepercayaan (trust). Outcome dari modal sosial tersebut adalah manfaat langsung dari pada individu atau kelompok yang diperoleh melalui proses komunikasi dan saling percaya. Manfaat bagi produsen adalah membangun kolaborasi dan dapat mengurangi biaya produksi. Karena manfaat inilah modal sosial kerap kali dimanfaatkan dalam politik.

Politik anggaran kemiskinan menunjukkan niat baik pemerintah mengatasi persoalan ini. Postur anggaran menunjukkan peningkatan positif. Pada tahun 2016, anggaran untuk mengentaskan kemiskinan mencapai Rp 214,4 triliun, meningkat 24,4 % dari realisasi tahun 2015. Programnya pun lumayan banyak tersebar diberbagai program kementerian, dinas-dinas provinsi  hingga kabupaten/kota.

Proporsi anggaran yang besar ternyata belum disertai dnegan kinerja yang setara. Berdasarkan data BPS Sul-sel persentasi kemiskinan 2012-2016 desa dan kota menurun sebesar 0,87 %.  Penduduk miskin di perdesaan masih persisten pada angka dua digit. Sebesar 13,46% pada 2012 dan 12.46% pada Maret 2016. Atau menurun sebesar 1% selama 4 tahun terakhir.  Dengan Garis kemiskinan sebesar Rp 270.601 perkapita perbulan.

Hasil penelitian Alam. S (2016) di Kabupaten Takalar menunjukkan bahwa hubungan kemasyarakatan, dan norma dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas interaksi sosial masyarakat yang pada gilirannya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat baik dalam keperluan individu maupun kepentingan bersama. Di perdesaan masih ditemukan budaya berbagi pangan antar tetangga, saling menguatkan atas kondisi hidup yang makin terhimpit dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Segala hal tersebut dapat meningkatkan daya tahan keluarga terhadap krisis.

Bahkan secara empiris Narayan membuktikan bahwa modal sosial dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga. Penelitian di daerah perdesaan Tanzania misalnya, modal sosial individu berhubungan positif dengan income. Artinya, semakin tinggi tingkat modal sosial individu maka terjadi peningkatan pendapatan sebesar 20-30 persen setiap keluarga (Narayan,1999).

Warga miskin dan simpatisannya kerap menganggap ‘kemiskinan sebagai komoditas yang dapat diperjual belikan di pasar program pemerintah ataupun kandidat dalam pilkada. Maka sejumlah komunitas sosial dibentuk untuk mengorganisir para pemilih. Oleh karena itu perlu dibedakan antara antara modal sosial pemerintah dengan modal sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat yaitu menerapkan berbagai peran undang-undang/peraturan, kebebasan, tata nilai, norma-norma serta hubungan yang bersifat informal yang ada di masyarakat.
Di dalam masyarakat, modal sosial pemerintah terbatas karena proporsi kontrak secara luas ditentukan oleh kepercayaan dan modal sosial masyarakat. Modal sosial yang terbentuk secara hirarkis dengan struktur yang kaku cenderung tidak dapat berfungsi dengan baik. Hal ini disebabkan karena interrelasi yang tercipta didalamnya digerakkan oleh motif mengontrol pihak-pihak yang berada pada posisi atau status sosial yang lebih rendah.

Sedangkan hubungan individu dalam masyarakat mengutamakan jaringan informal, dan kerjasama masyarakat, kerelaan saling menerima, merasa memiliki sebagai anggota dari sebuah sistem, dimana mereka saling bergantung satu sama lain, mereka saling percaya untuk memenuhi keinginan bersama sehingga ketentraman dan keharmonisan keluarga dapat tercapai. Komunikasi diantara mereka lebih cair dan bersifat non-hirarkis.

Kuatnya tradisi kunjung mengunjungi antar tetangga. Komunikasi yang relatif terbuka antar warga, dengan memanfaatkan kolong-kolong  rumah warga. Ayu diah Amalia (2015) menemukan hal yang sama, bahwa modal sosial merupakan kekuatan yang membentuk suatu jaringan sosial sesama kaum miskin untuk bahu-membahu mengentaskan kemiskinan dengan memanfaatkan solidaritas sosial untuk mengatasi keterbatasan modal material.

Perhelatan lima tahunan sejatinya menjadikan modal sosial sebagai kekuatan konstruktif untuk membangun solidaritas sosial dan mengeliminasi kemiskinan dan ketimpangan antar warga. Meskipun disisi yang lain modal sosial dapat dimanfaatkan sebagai kekuatan destruktif. Persekongkolan jahat di instantsi pemerintahan dan swasta untuk mengorupsi uang Negara. Kroni kapitalisme yang dapat menyebabkan tidak efektif dan efisiennya pelaksanaan pemerintahan dan tidak efektifnya pasar.

Hadirnya media sosial yang merangsek hingga ke perdesaan bukan tidak mungkin akan mengikis solidaritas sosial di antara warga miskin perdesaan. Gaya hidup STEPA (Selera Tinggi Ekonomi Pacce (lemah), pamer diri. Dan kemudahan memperoleh fasilitas kredit atas barang-barang konsumtif akan melemahkan produktivitas warga. Oleh karena itu dibutuhkan energi besar untuk menguatkan kembali kearifan lokal yang menguatkan modal sosial yang positif yang pada akhirnya dapat mereduksi kemiskinan dan bukan sekadar mempolitisasinya untuk singgasana kekuasaan. []

*Dimuat diharian fajar Makassar, Senin 7 Februari 2017.