09/10/2017
Panduan Menulis Esai dengan Mudah
Menulis adalah cara untuk mengabadikan diri.Menulis sebagai puncak kecemerlangan pikiran seseorang.
Menulis adalah aktivitas intelektual tertinggi.
Menulis sebagai upaya membangun peradaban. Menulis terasa berat karena melibatkan hampir semua potensi manusia. Potensi pertama yaitu kemampuan melihat, mengamati, dan merasakan fakta-fakta empiris (Indera). Kedua, kamampuan menalar untuk menghubungkan sejumlah fakta-fakta dan ide-ide yang dimiliki penulis. Entah ide tersebut berasal dari hasil bacaan atau diskusi dengan orang lain. dan potensi terakhir adalah hati atau bisikan qalbu.
Penulis handal yang mampu mengalirkan tulisannya hingga menggerakkan para pembacanya adalah kombinasi dari ketiga potensi manusia tersebut.
Berikut adalah peta pikiran (mind map) apa dan bagaimana itu esai. Semoga peta pikiran berikut dapat memotivasi para pembaca untuk lebih giat menulis. Menulis sebagai salah satu tradisi Literasi. Karena Literasi adalah salah satu upaya melawan Hoax.
Inilah esai Mind Map.pdf
Mohon maaf ini bukan panduan teknis tahap demi tahap. Kemudahan menulis karena bahan bakarnya ada pada setiap individu yang mempunyai ketiga potensi di atas. Pada setiap esai selalu memuat pengantar, isi, dan kesimpulan. Keterampilan dan kepiawaian merangkai kata akan lahir dengan sendirinya seiring dengan makin banyaknya 'jam terbang'. Intinya menulislah.....
Chart di atas memang terkesan ribet, beberapa istilah diantaranya butuh penjelasan. Peta pikiran di atas adalah presentase di dua kelas di kampus UNM Makassar. Pertama di kelas Literasi BEM UNM, kedua di Kelompok Studi 'Praxis'. Dari hasil diskusi kedua kelompok ini, ada kesamaan pandangan diantara audiens. Mereka mengatakan lebih termotivasi dan lebih mudah memahami tentang esai dengan peta pikiran di atas.
Pada kedua forum diskusi di atas sebagai upaya berbagi cerita dan pengalaman tentang menulis. Salah satu trik sederhana adalah, IKATLAH IDE KAPAN DAN DIMANAPUN IA MUNCUL. Kadang-kadang saat 'EE' atau mengendarai kendaraan, tiba-tiba muncul ide, maka disarankan untuk segera mengikatnya dengan MENULISKANNYA. Karena ketika saat-saat itu dilewati atau menundanya, maka bisa dipastikan ide itu akan berlalu bak dan sekedar melintasi pikiran kita.
Sekali lagi mohon maaf, ini bukan panduan tahap demi tahap sebagaimana membuat mie instan, ini sekadar motivasi untuk diri sendiri, dan jika ada yang berkenan menginternalisasi ke dalam dirinya silakan. Keep It Simple and Sob (KISS).
Sumber bacaan: Inilah esai, Muhiddin M Dahlan. Radioboekoe
#Mind map #Menulis Esai #Esai
08/10/2017
PASAR HOAX DAN "SAKAU" KEKUASAAN
Media Sosial (medsos), kini menjadi medan perang kata
(wacana). Satu pihak melancarkan serangan kepada pihak lain, yang lainnya
pasang kuda-kuda untuk melakukan counter-attack.
Medos awalnya adalah media berbagi informasi, diskusi, dan berkolaborasi. Kini
bermetamorfosis menjadi alat propaganda yang powerfull. Benturan kepentingan akan menyeret pihak-pihak yang
terlibat untuk melakukan apa saja demi mencapai tujuan. Apa, dan siapa yang
terlibat dalam transaksi Hoax? Elegankah melawan Hoax dengan Hoax? Dan apa
relevansi pesan Agama, telah dibutakan mata, telinga, akal dan hatinya untuk
menerima kebenaran?
Hampir setiap peristiwa, khususnya yang berpotensi
menimbulkan konflik selalu disertai dengan pasar Hoax. Kata hoax sendiri muncul
pertama kali dari sebuah film yang berjudul
The Hoax, film drama Amerika 2006 yang disutradarai oleh Lasse
Hallström. Sederhananya
Hoax adalah kata yang berarti
ketidakbenaran suatu informasi, mengandung tipuan dan kebohongan. Kebohongan
sendiri sudah ada sejak masa manusia pertama hadir ke bumi.
Dua Rezim Utama
Saya teringat bulan lalu, perjalanan di Jakarta, dari
blok M ke Bundaran HI, sopir moda transportasi online berujar ke saya,
"Mas, di Indoneaia ini hanya ada dua perang kekuatan politik, pro keluarga
atau ide-ide Sukarno dan pro Suharto". Terkesan reduksionis tapi banyak
benarnya. Sembari menyetir, dia melanjutkan ceritanya. Lihat saja mas,
mantan-mantan presiden. Pak Habibie, Gusdur, Mega, dan Jokowi lebih pro
Sukarno, selainnya pro kubu sebelah. 'Piye kabare, enak jamanku toh'. Demikian
pengikut Suharto mereproduksi ‘post power
sindrom-nya’.
Ada banyak isu yang dengan mudah membuat kita
terbelah dalam dua kutub kekuatan politik. ‘Penggorangan’ isu Sunni-Syiah,
Ahok, Suriah vs Koalisi Arab Saudi, hingga persoalan remeh temeh seperti model
rambut Jokowi pun tak luput dari perang sosmed. Isu terakhir adalah soal Hoax
terbesar Orde Baru film G.30 S/PKI. Isu yang menunjukkan betapa kealpaan pengetahuan
pihak anti komunis, hingga membuat meme,
Komunis sama dengan Liberal. Sejak kapan komunis jadi liberali?
Gempuran Hoax melalui produksi dan reproduksi teks
tidak tepat diatasi dengan indoktrinasi. Apalagi indoktrinasi sekadar
menguatkan status quo. Hal tersebut
hanya akan menyebabkan individu dan masyarakat terjerambab dalam lubang sumur
kebodohan. Sekaligus sejenis malpraktik. Melawan kebohongan hanya bisa dengan
tidak melakukan kebohongan apalagi mereproduksinya. Bagi Rocky Gerung, Hoax
adalah tantangan kritis bagi nalar publik. Menurutnya, Hoax hanya dapat dilawan
secara efektif melalui Literasi (tradisi baca, diskusi, dan menulis).
Sepertinya perlu direnungkan bahwa, setiap text pasti tidak terlepas dari konteks (peristiwa yang dipengaruhi oleh
setting aktor, waktu, tempat dan budaya). Dan terakhir interpretasi atas text
dan konteks. Siapa yang paling berhak menafsirkan teks dan konteks? Jangan cari
jawabannya pada kubu penguasa. Carilah pada siapa pun yang tidak terlalu
‘menggilai kekuasaan’. Meskipun menafsirkan sesuatu adalah juga sejenis kuasa.
Setidaknya ada penguasaan pengetahuan (otoritas keilmuan) bukan atas kekuasaan
karena lembaga atau institusi (misalnya Negara). Kenapa? Karena yang berkuasa
paling berpeluang membuat hoax dengan piawai.
Tapi kini, di era 'banalitas informasi' kekuasaan
bisa menyebar pada siapa saja. Tapi tetap saja negara (penguasa) paling punya
potensi terbesar. Nah, atas perang text dan penafsiran yang terjadi. Tuhan
telah lebih awal mengantisipasinya, melalui seruan Bacalah. Bacalah dengan
panca indera, pahami dengan akal, dan terakhir yakinkan dengan hati, untuk dan
atas nama Tuhan. Medan perang kedua Rezim di Indonesia yang makin luas dan
kompleks, kerap mengabaikan seruan tersebut.
Hoax alat Indoktrinasi
Perang text bisa mencerdaskan asalkan di dalamnya ada
proses berpikir, ada dialektika dalam diri, yang bisa berakhir pada saling
membijaksanai perbedaan. Pada titik ini, perbedaan akan menjadi rahmat.
Selainnya adalah bencana dan malapetaka. Bencana terbesar manusia adalah
ketiadaan pengetahuan, kealpaan belajar pada diri yang akan menyeret pada
fanatisme tak berkesudahan, ibarat sinetron yang sulit menemukan episode akhir
yang elegan.
Perang wacana dalam era 'banalitas informasi' adalah
sejenis ideologisasi. Entah ideologi A, B, C, 1, 2 hingga 2019. Ideologisasi
penting untuk menjaga kepatuhan. Slavoj Zizek telah memberikan formula, bahwa
ideologisasi selalu terjadi tiga hal. Indoktrinasi, Kepercayaan (belief), dan
ritual. Perang wacana adalah tahap awal membangun indoktrinasi, memberikan
informasi secara berulang agar melekat dalam alam bawah sadar. Yang setiap saat
mudah dipanggil. Jika sudah demikian maka kepercayaan akan terbangun dan
akhirnya seluruh ritual akan diarahkan untuk menyokong doktrin-doktrin yang sudah
tersimpan rapi dalam alam bawah sadar. Efek lebih jauh dan tragis adalah
kecanduan akan doktrin tersebut dan akhirnya 'sakau' kekuasaan.
Setidaknya Hoax mengajarkan kita sejenis gejala
penyimpangan berpikir yang anti kausalitas. Model beripikir atas dasar dalil
Pokok, pokoknya kalau bukan ‘anu’ salah. Pokoknya semua salah jokowi. Jika Anda
menemukan ciri-ciri tersebut, mungkin telah overdosis pil c-PCC atau sejenis
calon Presiden Cuma Cumi. Si penderita 'Sakau' kekuasaan akan mencari,
mengakumulasi dan memanfaatkan informasi apa saja untuk memuaskan kesakauannya.
Waspadalah.
*) Tulisan ini pernah dimuat di Tribun Timur Edisi Jumat 29 September 2017
**) Staf pengajar di Fakultas Ekonomi
UNM Makassar
09/07/2017
ADA APA DENGAN ISTILAH "PARENTA" KANDA?
ADA APA DENGAN ISTILAH "PARENTA" KANDA?
Seminggu terakhir, tepatnya usai lebaran 25 Juni 2017. Kosakata "parenta" seperti virus yang menggejala di kepalaku, bahkan sebagian besar pikiran 'kaum muda". Setidaknya 5 orang yang saya say hei.. dalam rentang tersebut, mereka membalas sapaan yang memuat kosakata ada 'PARENTA (Perintah)', siaaap menunggu "PARENTA". Rentangan usia teman saya itu berkisar 25-30an tahun lebih 😃. Masa ranum-ranumnya, masa aggresifnya, mestinya.
Saya pun kadang imut-imutan, amit-amitan dan ikut-ikutan menjadikannya lelucon menggunakan istilah tersebut. Meskipun tanggapan saya pada kelima teman tersebut berseberangan dengannya. Saya hanya tanya kabar ko', ada yg balas ADA PARENTA. Spontan sy jawab sejak kapan ko sy pernah perintah. Ujar saya pada kawan lama yang pernah tidur se-sofa di PKM kampus UNM Parang Tambung. Entah alam sadar atau alam bawah sadar yang memengaruhi pita suaranya atau jempolnya untuk mengeluarkan ekspresi spontan "PARENTA".
Menurut hemat saya, tidak susah untuk menelisik memvirusnya istilah tersebut. Saya sepakat dengan teman saya Jalaluddin Rumi Prasad, apakah benar kita yang menggunakan facebook (jejaring sosial lainnya) atau kah mereka yang telah berhasil memanfaatkan kita? Pertanyaan filosofis yang ringan, tapi susah dijawab dengan jawaban yang menyehatkan pikiran. Karena faktanya setiap sistem pasti dibangun dengan algoritma. Inilah salah satu sumbangan terbesar Al khawarizmi, lidah orang barat memplesetkannya jadi algorithm. Apakah istilah 'parenta' adalah sebuah bangunan kesadaran atau alam bawah sadar kolektif yang telah menginvasi pikiran-pikiran kita.
Well, istilah tersebut sudah pasti lahir dari suatu sistem komunikasi pada suatu komunitas tertentu. Biasanya pada komunitas yang sangat hirarkis-lah yang sangat akrab dengan kosakata "perintah". Institusi militer, bahasa mesin (pemrograman) dll. Intinya mempertegas adanya relasi kuasa dan menguasai. Bagi Foucalt, kontrol kekuasaan berdasarkan pada kuasa wacana atau kuasa pengetahuan. Tidak jauh berbeda dengan Filosof Francis Bacon Knowledge is Power. Lewat pengetahuan kekuasaan dapat menyebar dengan cepat pada setiap tingkatan. Siapa yang menguasai wacana dialah yg sesungguhnya berkuasa.
Mari kita cek, kira-kira siapa-siapa dan pada komunitas apa yang amat akrab dengan kosakata 'Parenta'. Sedekat pemantauan saya, istilah tersebut populer dilantunkan oleh antek2 kekuasaan lapis kedua-lapis paling bawah. Ring satu tim sukses sampai tukang pasang spanduk dan baliho para kandidat-kandidat penguasa.Yaa istilah ini populer pada segerombolan tim sukses bakal calon kandidat. Ini subjektivitas saya, suatu istilah yang diadaptasi dari model kekuasaan yang cenderung absolut, dan tentulah kita hampir sepakat penuh pada Lord Acton, Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut sudah pasti korup. Saya sepakat 100 persen dengan Lord.
Menurut hemat saya, fenomena ini tidak berdiri sendiri. Fenomena latah meniru tanpa koreksi terhadap hal apapun termasuk 'kosakata' sekalipun adalah wujud betapa tidak kreatif dan progresifnya kita. Otak kita seolah didesain seperti mengikuti perintah algoritma facebook untuk membagikan apa yang kita pikirkan. Berdasar pada kecenderungan2 itulah orang cenderung diberikan sugesti pertemanan yang kira2 hampir sama dengan kecenderungan kita, selaku user. Maka apa jadinya kalau hampir semua teman kita adalah se-ide, se-kosakata, se-iya dan se-tidak. Dunia kita pasti akan sempit. Itu itu tonji dibicarakan, itu-itu saja yang di bahas. Akibat lebih jauh kita amat gampang tersulut emosi , terbawa perasaan. Oleh karena sebuah sistem telah berhasil menyempitkan cara pandang kita. Media sosial yang semestinya meluaskan cara pandang tapi terperangkap dalam sumur paling dalam kesempitan "PARENTA KANDA".
JADI, amat sangat wajar jika konflik, mobilisasi, dan memobilisasi konflik dan kerusuhan begitu mudah kita jumpai. Lihatlah konflik2 di sekitar kita berada, di sekolah, di kampus, di kantor, di pangkalan ojek, di tempat hiburan, di pusat keramaian. Senggol sedikit 'Bacot'. Berbeda sedikit 'musuh' ' bunuh' dan seterusnya. Mental kita sudah hampir terpola pada kanal-kanal yang sempit, yang kadang lebih rendah dari otak reptil. Otak reptil, ibarat oposisi biner, reptil yang kagetan hanya punya dua pilihan, menyerang atau kabur.
Sehingga apa yang terjadi, kita lebih sibuk membicara orang, calon, kandidat (1), membicarakan peristiwa-peristiwa (2), dan membicarakan ide-ide besar (3). Kalimat penutup di atas saya adaptasi dari Eleanor Rosevelt. Poin 1,2, 3 adalah hirarki kekuatan berpikir kita. Kualitas berpikir yang paling tinggi, tentu membicarakan ketiganya sekaligus. Membicarakan orangnya, peristiwa, plus ide-ide besar yang dibangunnya. Dan menunggu perintah boleh jadi ada pada poin (-9).
Seminggu terakhir, tepatnya usai lebaran 25 Juni 2017. Kosakata "parenta" seperti virus yang menggejala di kepalaku, bahkan sebagian besar pikiran 'kaum muda". Setidaknya 5 orang yang saya say hei.. dalam rentang tersebut, mereka membalas sapaan yang memuat kosakata ada 'PARENTA (Perintah)', siaaap menunggu "PARENTA". Rentangan usia teman saya itu berkisar 25-30an tahun lebih 😃. Masa ranum-ranumnya, masa aggresifnya, mestinya.
Saya pun kadang imut-imutan, amit-amitan dan ikut-ikutan menjadikannya lelucon menggunakan istilah tersebut. Meskipun tanggapan saya pada kelima teman tersebut berseberangan dengannya. Saya hanya tanya kabar ko', ada yg balas ADA PARENTA. Spontan sy jawab sejak kapan ko sy pernah perintah. Ujar saya pada kawan lama yang pernah tidur se-sofa di PKM kampus UNM Parang Tambung. Entah alam sadar atau alam bawah sadar yang memengaruhi pita suaranya atau jempolnya untuk mengeluarkan ekspresi spontan "PARENTA".
Menurut hemat saya, tidak susah untuk menelisik memvirusnya istilah tersebut. Saya sepakat dengan teman saya Jalaluddin Rumi Prasad, apakah benar kita yang menggunakan facebook (jejaring sosial lainnya) atau kah mereka yang telah berhasil memanfaatkan kita? Pertanyaan filosofis yang ringan, tapi susah dijawab dengan jawaban yang menyehatkan pikiran. Karena faktanya setiap sistem pasti dibangun dengan algoritma. Inilah salah satu sumbangan terbesar Al khawarizmi, lidah orang barat memplesetkannya jadi algorithm. Apakah istilah 'parenta' adalah sebuah bangunan kesadaran atau alam bawah sadar kolektif yang telah menginvasi pikiran-pikiran kita.
Well, istilah tersebut sudah pasti lahir dari suatu sistem komunikasi pada suatu komunitas tertentu. Biasanya pada komunitas yang sangat hirarkis-lah yang sangat akrab dengan kosakata "perintah". Institusi militer, bahasa mesin (pemrograman) dll. Intinya mempertegas adanya relasi kuasa dan menguasai. Bagi Foucalt, kontrol kekuasaan berdasarkan pada kuasa wacana atau kuasa pengetahuan. Tidak jauh berbeda dengan Filosof Francis Bacon Knowledge is Power. Lewat pengetahuan kekuasaan dapat menyebar dengan cepat pada setiap tingkatan. Siapa yang menguasai wacana dialah yg sesungguhnya berkuasa.
Mari kita cek, kira-kira siapa-siapa dan pada komunitas apa yang amat akrab dengan kosakata 'Parenta'. Sedekat pemantauan saya, istilah tersebut populer dilantunkan oleh antek2 kekuasaan lapis kedua-lapis paling bawah. Ring satu tim sukses sampai tukang pasang spanduk dan baliho para kandidat-kandidat penguasa.Yaa istilah ini populer pada segerombolan tim sukses bakal calon kandidat. Ini subjektivitas saya, suatu istilah yang diadaptasi dari model kekuasaan yang cenderung absolut, dan tentulah kita hampir sepakat penuh pada Lord Acton, Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut sudah pasti korup. Saya sepakat 100 persen dengan Lord.
Menurut hemat saya, fenomena ini tidak berdiri sendiri. Fenomena latah meniru tanpa koreksi terhadap hal apapun termasuk 'kosakata' sekalipun adalah wujud betapa tidak kreatif dan progresifnya kita. Otak kita seolah didesain seperti mengikuti perintah algoritma facebook untuk membagikan apa yang kita pikirkan. Berdasar pada kecenderungan2 itulah orang cenderung diberikan sugesti pertemanan yang kira2 hampir sama dengan kecenderungan kita, selaku user. Maka apa jadinya kalau hampir semua teman kita adalah se-ide, se-kosakata, se-iya dan se-tidak. Dunia kita pasti akan sempit. Itu itu tonji dibicarakan, itu-itu saja yang di bahas. Akibat lebih jauh kita amat gampang tersulut emosi , terbawa perasaan. Oleh karena sebuah sistem telah berhasil menyempitkan cara pandang kita. Media sosial yang semestinya meluaskan cara pandang tapi terperangkap dalam sumur paling dalam kesempitan "PARENTA KANDA".
JADI, amat sangat wajar jika konflik, mobilisasi, dan memobilisasi konflik dan kerusuhan begitu mudah kita jumpai. Lihatlah konflik2 di sekitar kita berada, di sekolah, di kampus, di kantor, di pangkalan ojek, di tempat hiburan, di pusat keramaian. Senggol sedikit 'Bacot'. Berbeda sedikit 'musuh' ' bunuh' dan seterusnya. Mental kita sudah hampir terpola pada kanal-kanal yang sempit, yang kadang lebih rendah dari otak reptil. Otak reptil, ibarat oposisi biner, reptil yang kagetan hanya punya dua pilihan, menyerang atau kabur.
Sehingga apa yang terjadi, kita lebih sibuk membicara orang, calon, kandidat (1), membicarakan peristiwa-peristiwa (2), dan membicarakan ide-ide besar (3). Kalimat penutup di atas saya adaptasi dari Eleanor Rosevelt. Poin 1,2, 3 adalah hirarki kekuatan berpikir kita. Kualitas berpikir yang paling tinggi, tentu membicarakan ketiganya sekaligus. Membicarakan orangnya, peristiwa, plus ide-ide besar yang dibangunnya. Dan menunggu perintah boleh jadi ada pada poin (-9).
Wallahu A'lam Bissawab.
#Salam, dari lubuk hati Alam yang paling dalam, yang masih belajar untuk tidak ma'parenta'.
#Salam, dari lubuk hati Alam yang paling dalam, yang masih belajar untuk tidak ma'parenta'.
Syamsu Alam.
14/04/2017
Kolaborasi Membangun Kampus WCU, Mungkinkah?
Syamsu Alam
Sejak kapan kosakata ‘Kolaborasi’ menghipnotis berbagai orang? Demikian pula frase World Class University (WCU) seolah frase ‘wajib’ disampaikan pada setiap sambutan di berbagai kampus? Mungkinkah kampus-kampus di Makassar mampu bersaing dan sejajar dengan kampua-kampus bertaraf internasional seperti UI dan Cambridge? Entahlah, mari dicek kemungkinannya ☺
Tentang mantra Kolaborasi dan WCU
Beberapa tahun terakhir tepatnya akhir 2006, perguruan tinggi di seantero nusantara bahkan di seluruh dunia berpacu mewujudkan WCU. Cita-cita tersebut ibarat ‘piala’ yang bisa direngkuh oleh setiap kampus yang berdaya saing tinggi dan memenuhi berbagai standar-standar sebagai WCU. Diantaranya akreditasi internasional, sebuah pengakuan terhadap kemampuan yang memiliki desain dan kemampuan mencetak lulusan yang berdaya saing internasional; kualitas pendidikan; kualitas pengajaran; dan infrastruktur perguruan tinggi. Para petinggi kampus menilai hal ini tidak mungkin dilakukan sendiri.
Kolaborasi kian populer menjelang Revolusi Industri keempat versi World Economic Forum (WEF), Sebuah revolusi baru ekonomi yang berbasis dan didorong oleh kemajuan teknologi digital. Pemicu utamanya bergesernya mode of production dari input modal fisik yang dominan ke input modal non-fisik (ide dan kreativitas), pemanfaatn input tersebut menjadikan berbagai perusahaan dan organisasi meraih sukses di pentas regional maupun global. Keberhasilan beberapa organisasi menjadi pemenang dengan strategi "Kolaborasi". Organisasi atau komunitas yang sukese diantaranya adalah Wikipedia, Facebook, Skype, Goldcorp, Linux, P&G dll.
Don Tapscott penulis The Digital Economy dan Wikinomics, mengungkapkan bahwa awalnya "Kolaborasi Maya" yang dilakukan oleh para netizen, programmer, youtuber dan lain-lain adalah semacam gerakan massif sebagai anti-tesa atas dominasi perusahaan-perusahaan raksasa yang menguasai media dam teknologi publikasi mainstream. Bahkan kerap dikatakan sebagai "komunisme gaya baru". Tetapi para aktivis "Kolaborasi Maya" tetap memacu kreativitas dan berinovasi tiada henti tanpa terpengaruh dengan stigma komunisme gaya baru. Misalnya Linux, yang awalnya hanyalah proyek "gotong-royong" dimana para programer berjejaring, berbagi source code, sharing pengalaman hingga akhirnya bisa bersaing dengan Microsoft atau Mac. Padahal tidak ada perusahaan yang menaunginya, toh, bisa menjadi pemain dan menguasai pangsa pasar dalam dunia Sistem Operasi. Hal yang sama terjadi pada perusahaan dan organisasi yang melakukan "Kolaborasi".
Dibalik mantra “Kolaborasi” tersirat semangat kemandirian, kerjasama sekaligus semangat berkompetisi melawan dominasi korporasi raksasa. Hal yang lebih penting dalam kolaborasi adalah praktik saling berbagi, saling percaya, dan transparansi.
Kolaborasi dan Feodalisme di Perguruan Tinggi
Berdasarkan sudut pandang perencanaan, kalaborasi dapat diidentikkan dengan proses, dimana inputnya adalah Mahasiswa, Dosen, Pegawai, Satpam, Stakeholder dan shareholder yang terkait dengan pengguna jasa dan produk (output) perguruan tinggi. Produk perguruan tinggi bisa berarti lulusan sarjana dan pascasarjana atau hasil kajian dan penelitian yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat, perusahaan, atau pemerintah dalam menyusun kebijakan. Dimensi dampaknya (impact) adalah apakah produk tersebut dimanfaatkan sesuai kompetensinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kemandirian bangsa. Jika Kolaborasi dimaknai seperti ini maka Tri Dharma Perguruan tinggi: pengajaran berlangsung demokratis, penelitian yang berkualitas karena dikerjakan dengan prinsip-prinsip kolaborasi (kerjasama, saling percaya, dan transparan) dan pengabdian pada masyarakat bisa lebih bermanfaat, dan tepat sasaran. Kolaborasi akan mampu mewujudkan sinergi antar civitas akademika yang pada akhirnya terwujud kampus sebagai "Center of Excellence". Tentu dengan berbagai konsekuensi dan perbaikan sistem kelembagaan yang mempraktikkan prinsip-prinsip kolaborasi.
Cerita sukses tentang organisasi/komunitas yang menerapkan Kolaborasi "Massif" sudah sangat banyak. Komunitas tersebut berani mentransformasikan sistem manajemennya. Organisasi yang awalnya menerapkan manajemen vertikal, model hirarkis yang ketat, berdasarkan komando, perintah atasan, dan standar operasional yang sangat kaku dan mekanistik, dapat menyebabkan bawahan terkena sindrom ABS (Asal Bos Senang). Dengan Kolaborasi, gaya tersebut ditransformasi menjadi Organisasi dengan sistem manajemen horisontal, terbuka, komunikasi lebih cair, fleksibel, penuh ruang improvisasi bagi siapapun yang terlibat didalamnya. Dalam konteks perguruan tinggi, sistem seperti ini membuat jarak antara pejabat Universitas, Fakultas, Jurusan dan Prodi dengan yang bukan pejabat seperti dosen (pengajar semata), pegawai dan mahasiswa bisa dianggap tidak berjarak dan lebih terbuka.
Konsekuensi lebih jauh akan menghancurkan tatanan struktural feodalisme, entah feodalisme keturunan "karaeng", “raja”, "puan", “andi” atau feodalisme keilmuan "professor" dan bukan professor yang kerap menjangkiti perguruan tinggi. Tentu saja hal ini adalah alamat baik buat atmosfer akademik, dimana setiap civitas akademica adalah subjek dan ilmu pengetahuan adalah objeknya.
Konsekuensi selanjutnya, setelah struktur feodal runtuh, maka akan tercipta kesetaraan, ruang-ruang dialogis antar civitas akademika dan stakeholder makin luas. Dan pada akhirnya demokratisasi kampus dapat terwujud. Apakah semudah itu? Tentu tidak. Tapi yang pasti jika Kolaborasi telah menjadi kosakata pamungkas bagi sebagian besar petinggi kampus, maka semestinya prinsip-prinsip kolaborasi menjadi tonggak-tonggak pengelolaan perguruan tinggi.
Kolaborasi: Lipsing atau Inisiasi Masa Depan
Harapan terbesar kita sebagai masyarakat biasa pada para pemimpin perguruan tinggi dan kementerian pendidikan tinggi adalah satunya kata dan perbuatan atau dalam terminologi kampus adalah “kejujuran ilmiah”. Kolaborasi laiknya diperlakukan tidak seperti liberalisasi pasar, karena dalam liberalisasi menyimpan potensi laten ketimpangan dan penindasan bagi yang tidak punya akses dan asset pada sumber daya dan kekuasaan. Apalagi Negara kita adalah Negara berkembang dengan berbagai universitas masih terbelakang. Hayward (2008) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa di Negara-negara berkembang diperlukan perubahan yang mendasar, yaitu perubahan mental atas keinginan mewujudkan WCU. Yaa, perubahan mental. Merubah mental para pemimpin yang hirarkis dan kaku menjadi horisontal yang lebih terbuka bukan perkara mudah. Kolaborasi tentulah memuat prinsip pro-konsumer, tersedianya perpustakaan besar untuk berbagi sumber-sumber pengetahuan, terciptanya transparansi sebagaimana "kolaborasi maya" berbagi source code. Prasarat utama membangun kampus adalah menyuburkan pikiran kolaboratif bukan pikiran kolutif dan koruptif.
Tentang mantra Kolaborasi dan WCU
Beberapa tahun terakhir tepatnya akhir 2006, perguruan tinggi di seantero nusantara bahkan di seluruh dunia berpacu mewujudkan WCU. Cita-cita tersebut ibarat ‘piala’ yang bisa direngkuh oleh setiap kampus yang berdaya saing tinggi dan memenuhi berbagai standar-standar sebagai WCU. Diantaranya akreditasi internasional, sebuah pengakuan terhadap kemampuan yang memiliki desain dan kemampuan mencetak lulusan yang berdaya saing internasional; kualitas pendidikan; kualitas pengajaran; dan infrastruktur perguruan tinggi. Para petinggi kampus menilai hal ini tidak mungkin dilakukan sendiri.
Kolaborasi kian populer menjelang Revolusi Industri keempat versi World Economic Forum (WEF), Sebuah revolusi baru ekonomi yang berbasis dan didorong oleh kemajuan teknologi digital. Pemicu utamanya bergesernya mode of production dari input modal fisik yang dominan ke input modal non-fisik (ide dan kreativitas), pemanfaatn input tersebut menjadikan berbagai perusahaan dan organisasi meraih sukses di pentas regional maupun global. Keberhasilan beberapa organisasi menjadi pemenang dengan strategi "Kolaborasi". Organisasi atau komunitas yang sukese diantaranya adalah Wikipedia, Facebook, Skype, Goldcorp, Linux, P&G dll.
Don Tapscott penulis The Digital Economy dan Wikinomics, mengungkapkan bahwa awalnya "Kolaborasi Maya" yang dilakukan oleh para netizen, programmer, youtuber dan lain-lain adalah semacam gerakan massif sebagai anti-tesa atas dominasi perusahaan-perusahaan raksasa yang menguasai media dam teknologi publikasi mainstream. Bahkan kerap dikatakan sebagai "komunisme gaya baru". Tetapi para aktivis "Kolaborasi Maya" tetap memacu kreativitas dan berinovasi tiada henti tanpa terpengaruh dengan stigma komunisme gaya baru. Misalnya Linux, yang awalnya hanyalah proyek "gotong-royong" dimana para programer berjejaring, berbagi source code, sharing pengalaman hingga akhirnya bisa bersaing dengan Microsoft atau Mac. Padahal tidak ada perusahaan yang menaunginya, toh, bisa menjadi pemain dan menguasai pangsa pasar dalam dunia Sistem Operasi. Hal yang sama terjadi pada perusahaan dan organisasi yang melakukan "Kolaborasi".
Dibalik mantra “Kolaborasi” tersirat semangat kemandirian, kerjasama sekaligus semangat berkompetisi melawan dominasi korporasi raksasa. Hal yang lebih penting dalam kolaborasi adalah praktik saling berbagi, saling percaya, dan transparansi.
Kolaborasi dan Feodalisme di Perguruan Tinggi
Berdasarkan sudut pandang perencanaan, kalaborasi dapat diidentikkan dengan proses, dimana inputnya adalah Mahasiswa, Dosen, Pegawai, Satpam, Stakeholder dan shareholder yang terkait dengan pengguna jasa dan produk (output) perguruan tinggi. Produk perguruan tinggi bisa berarti lulusan sarjana dan pascasarjana atau hasil kajian dan penelitian yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat, perusahaan, atau pemerintah dalam menyusun kebijakan. Dimensi dampaknya (impact) adalah apakah produk tersebut dimanfaatkan sesuai kompetensinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kemandirian bangsa. Jika Kolaborasi dimaknai seperti ini maka Tri Dharma Perguruan tinggi: pengajaran berlangsung demokratis, penelitian yang berkualitas karena dikerjakan dengan prinsip-prinsip kolaborasi (kerjasama, saling percaya, dan transparan) dan pengabdian pada masyarakat bisa lebih bermanfaat, dan tepat sasaran. Kolaborasi akan mampu mewujudkan sinergi antar civitas akademika yang pada akhirnya terwujud kampus sebagai "Center of Excellence". Tentu dengan berbagai konsekuensi dan perbaikan sistem kelembagaan yang mempraktikkan prinsip-prinsip kolaborasi.
Cerita sukses tentang organisasi/komunitas yang menerapkan Kolaborasi "Massif" sudah sangat banyak. Komunitas tersebut berani mentransformasikan sistem manajemennya. Organisasi yang awalnya menerapkan manajemen vertikal, model hirarkis yang ketat, berdasarkan komando, perintah atasan, dan standar operasional yang sangat kaku dan mekanistik, dapat menyebabkan bawahan terkena sindrom ABS (Asal Bos Senang). Dengan Kolaborasi, gaya tersebut ditransformasi menjadi Organisasi dengan sistem manajemen horisontal, terbuka, komunikasi lebih cair, fleksibel, penuh ruang improvisasi bagi siapapun yang terlibat didalamnya. Dalam konteks perguruan tinggi, sistem seperti ini membuat jarak antara pejabat Universitas, Fakultas, Jurusan dan Prodi dengan yang bukan pejabat seperti dosen (pengajar semata), pegawai dan mahasiswa bisa dianggap tidak berjarak dan lebih terbuka.
Konsekuensi lebih jauh akan menghancurkan tatanan struktural feodalisme, entah feodalisme keturunan "karaeng", “raja”, "puan", “andi” atau feodalisme keilmuan "professor" dan bukan professor yang kerap menjangkiti perguruan tinggi. Tentu saja hal ini adalah alamat baik buat atmosfer akademik, dimana setiap civitas akademica adalah subjek dan ilmu pengetahuan adalah objeknya.
Konsekuensi selanjutnya, setelah struktur feodal runtuh, maka akan tercipta kesetaraan, ruang-ruang dialogis antar civitas akademika dan stakeholder makin luas. Dan pada akhirnya demokratisasi kampus dapat terwujud. Apakah semudah itu? Tentu tidak. Tapi yang pasti jika Kolaborasi telah menjadi kosakata pamungkas bagi sebagian besar petinggi kampus, maka semestinya prinsip-prinsip kolaborasi menjadi tonggak-tonggak pengelolaan perguruan tinggi.
Kolaborasi: Lipsing atau Inisiasi Masa Depan
Harapan terbesar kita sebagai masyarakat biasa pada para pemimpin perguruan tinggi dan kementerian pendidikan tinggi adalah satunya kata dan perbuatan atau dalam terminologi kampus adalah “kejujuran ilmiah”. Kolaborasi laiknya diperlakukan tidak seperti liberalisasi pasar, karena dalam liberalisasi menyimpan potensi laten ketimpangan dan penindasan bagi yang tidak punya akses dan asset pada sumber daya dan kekuasaan. Apalagi Negara kita adalah Negara berkembang dengan berbagai universitas masih terbelakang. Hayward (2008) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa di Negara-negara berkembang diperlukan perubahan yang mendasar, yaitu perubahan mental atas keinginan mewujudkan WCU. Yaa, perubahan mental. Merubah mental para pemimpin yang hirarkis dan kaku menjadi horisontal yang lebih terbuka bukan perkara mudah. Kolaborasi tentulah memuat prinsip pro-konsumer, tersedianya perpustakaan besar untuk berbagi sumber-sumber pengetahuan, terciptanya transparansi sebagaimana "kolaborasi maya" berbagi source code. Prasarat utama membangun kampus adalah menyuburkan pikiran kolaboratif bukan pikiran kolutif dan koruptif.
20/02/2017
Analisis Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan dan Dampaknya terhadap Kemiskinan di Sulawesi Selatan
Analisis Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan Dan Dampaknya Terhadap Kemiskinan di Sulawesi Selatan
ABSTRAK
Syamsu Alam. Analisis Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan dan Dampaknya terhadap Kemiskinan di Sulawesi Selatan
(dibimbing oleh Madris dan Sultan Suhab)
ABSTRAK
Syamsu Alam. Analisis Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan dan Dampaknya terhadap Kemiskinan di Sulawesi Selatan
(dibimbing oleh Madris dan Sultan Suhab)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengeluaran pemerintah pusat dan daerah bidang pendidikan terhadap kemiskinan di Sulawesi Selatan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui mutu SDM dan pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini dilaksanakan di Sulawesi Selatan dengan unit analisis Kab/kota. Pengumpulan data dilakukan melalui survey literature berupa data sekunder (panel data) tentang pengeluaran pemerintah (pusat, provinsi, kab/kota) di sektor pendidikan, Mutu Sumberdaya Manusia (SDM), Pertumbuhan Ekonomi, dan kemiskinan, tahun 2006-2012. Data dianalisis secara deskriptif dan bersifat kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan hubungan fungsional, mutu SDM berpengaruh lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan kemiskinan dan pengeluaran pemerintah kab/kota lebih berpengaruh melalui mutu SDM daripada melalui pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan. Dari sisi pengeluaran pemerintah (pusat, provinsi dan kab/kota) bidang pendidikan. Pengeluaran pemerintah kab/kota bidang pendidikan yang lebih besar dan cenderung meningkat lebih memberikan efek terhadap peningkatan mutu SDM dan pertumbuhan ekonomi serta mereduksi kemiskinan daripada pengeluaran pemerintah (pusat dan provinsi) yang fluktuatif.
Kata Kunci: Pengeluaran pemerintah bidang Pendidikan, mutu SDM, Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan
Kata Kunci: Pengeluaran pemerintah bidang Pendidikan, mutu SDM, Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan
"Download : Tesis_Alam: Analisis Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan dan Dampaknya Terhadap Kemiskinan di Sulawesi Selatan"
Thanks to:
Thanks to:
- Dr. Madris, DPS., SE.,M.Si dan Dr. Sultan Suhab, SE.,M.Si. Selaku pembimbing yang senantiasa memberi bimbingan di waktu senggang ataupun sibuk, senantiasa mengoreksi dan mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini.
- Bapak Dr. Paulus Uppun, SE.,MA., Dr. Abd. Rahman Razak, SE.,MS dan Dr. Agussalim, SE.,M.Si selaku penguji yang telah banyak memberikan koreksi dan saran yang konstruktif demi kesempurnaan tesis ini.
- Bapak Dr. Agussalim, SE.,M.Si selaku ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan yang senantiasa memberikan motivasi bagi penulis untuk dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
- Bapak/Ibu Dosen Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan (EPP) UNHAS yang senantiasa melibatkan kegiatan di P3KM Unhas diantaranya Bapak Abdul Majid Sallatu, Dr. Agussalim, SE.,M.Si., Dr. Sultan Suhab, SE.,M.Si, dan Dr. Nursini, SE.,MA yang senantiasa memberi tauladan disiplin, pelajaran praktis dan teoretis serta pengalaman melalui berbagai kegiatan dan penelitian.
- Bapak Prof. Dr. H.M Idris Arif. M.S selaku Ketua Yayasan STIEM Bongaya, senantiasa memberi saran dan nasihat agar tetap fokus pada studi.
- LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) Kemeterian Kemuangan Republik Indonesia yang telah memberikan biaya penelitian Tesis.
- Kepada Bapak Kepala badan Penelitian dan Pengembangan Keuangan Daerah Sulawesi Selatan, Kepala BPKD Sulawesi Selatan, Kepala Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan, dan Kepala BPPS Sulawesi Selatan, yang telah memberikan izin dan akses terhadap data-data penelitian yang penulis butuhkan.
- Kapada kedua orang tua, saudara-saudara yang senantiasa mendoakan agar tetap sehat dan dikarunia kekuatan melakukan setiap aktifitas.
- Teman-teman seperjuangan di Program Studi Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan Angkatan 2011, kalian adalah teman diskusi yang baik dan bersahaja.
- Rekan-rekan di P3KM Unhas, Afif, Chali, Wahyu, Tami, Indra, dan spesial untuk ka’ Gego yang telah sharing pengetahuan ”Vibrant Presentation”.
- Teman-teman Studi Klub, Smart English Camp; Andi Karman, Fandi, dll.
- Semua kru di Titik9 Desain Printing, atas doa dan kebersamaannya dalam proses penyelesaian tesis ini.
- Akhirnya ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian tesis ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih perlu penyempurnaan. Oleh karena itu, penulis mangharapkan masukan dari seganap pembaca dengan prinsip 3K. Kritis, Konstruktif, dan disampaikan dengan Kasih sayang. Wallahu A’lam Bissawab.