19/03/2016
PTN BLU-BH: Penetrasi Ideologi Pasar dalam Manajemen PTN
PTN BLU-BH: Penetrasi Ideologi Pasar dalam Manajemen PTNSyamsu Alam
1001
macam cara orang mencari uang,
dari
menjual Koran sampai menjual kehormatan.
(1001
macam, Rhoma)
Kini, dunia benar-benar telah
berubah, entah berubah karena dorongan internal dirinya atau karena faktor
eksternal. Perubahan tentu sebuah keniscayaan, cara kita menanggapi perubahan
tersebut merupakan penentu kualitas diri kita. Apakah perubahan tersebut dapat
mentransformasikan diri, komunitas, organisasi, Negara ke hal yang lebih baik,
atau justru mengarah pada kemunduran. Sama halnya dalam dunia Pendidikan Tinggi
seolah mendapat gempuran yang
bertubi-tubi. Atas nama reformasi birokrasi, reformasi pendidikan, institusi
ini kerap menjadi incaran kebijakan ‘liberalisasi’. Perlombaan menjadi Perguruan
Tinggi kelas dunia, dikenal dengan istilah World
Class University (WCU) tak terbendung lagi. Bahkan universitas yang baru
bangkit dari penonaktifan status Perguruan Tingginya (sebut saja PTS tertentu)
berambisi menjadi WCU.
Beberapa tahun terakhir tepatnya
akhir 2006, Perguruan Tinggi di seantero nusantara bahkan di seluruh dunia
berpacu mewujudkan WCU. Cita-cita
tersebut ibarat ‘piala’ yang harus direngkuh oleh setiap kampus, daya saing
tinggi dan tata kelola, dan standardisasi yang lain mutlak diperlukan dalam WCU. Diantaranya akreditasi
internasional, sebuah pengakuan terhadap kemampuan yang memiliki desain dan
kemampuan mencetak/memproduksi lulusan yang berdaya saing internasional;
kualitas pendidikan; kualitas pengajaran; dan infrastruktur perguruan tinggi.
Nah, salah satu pintu masuk untuk
merangsang persaingan PTN dan PTS menjadi WCU adalah regulasi. Hal lainnya
adalah proyek-proyek riset yang dibiayai oleh IMF dan World Bank (WB) tentang
manajemen efektif perguruan tinggi. Meskipun Undang-undang Badan Hukum
Pendidikn (UU BHP) telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, namun para
aktivis organik pengusung ‘liberalisasi’ PT akan mencari upaya lainnya, agar PT
yang terlanjur di BHMNkan (UI, ITB, UGM, USU, dll) tidak terjadi kekosongan payung
hukum, bahkan jika memungkinkan diperluas jangakaunnya ke berbagai PTN.
Semangat WCU sebenarnya sudah lama dikampanyekan oleh WTO dan WB. Ada
dua wacana besar yang cukup hegemonik dalam pembangunan pendidikan tinggi di
negara-negara berkembang, yaitu ‘globalisasi pendidikan tinggi’ yang
dikampanyekan oleh WTO dan ‘reformasi Pendidikan Tinggi’ yang dikampanyekan
oleh Bank Dunia. Dalam perjanjian The General Aggrement on Trade in Services (GATS)
ditandatangani pada tahun 1994, ada 12 sektor jasa yang sepakat untuk
diliberalisasi, salah satunya sektor pendidikan tinggi. GATS dan kebijakan-
kebijakan WTO tersebut didesain untuk ‘membuka pintu kerjasama internasional
perguruan tinggi sehingga membuka keran investasi’ (Hawkins, 2010).
Lebih lanjut Bank Dunia melakukan penetrasi agenda ‘higher education reform’ sejak dokumen policy framework-nya yang berjudul ‘Higher Education: Lessons of
Experience’ dan diterbitkan pada tahun 1994. Agenda ‘reformasi’ tersebut dapat
disarikan ke dalam 4 hal: Pertama, mendorong diferensiasi Institusi PT; kedua,
mendorong diferensiasi pendanaan dari publik; ketiga, mendefinisikan ulang
peran pemerintah; dan keempat, fokus pada kualitas, performance, dan persamaan (World Bank, 1994).
Itulah, barangkali kenapa dalam
struktur PDB/PDRB versi 2010 jasa pendidikan merupakan sektor tersendiri.
Dari BLU menuju BH
BLU adalah
tahap lanjutan dari PT satuan kerja, tujuan akhirnya adalah menjadi PTN-BH.
Bebarapa dasar Dasar hukum Badan Layanan Umum (BLU) terdiri dari 3 paket Undang-undang, 6 paket Peraturan
Pemerintah (PP), 15 paket Peraturan Menteri Keuangan (PMK), 13 paket Keputusan
Menteri Keuangan (KMK), 5 paket peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, 3
paket Permendikbud tentang sistem akuntansi PTN, 7 paket Pedoman, Surat Edaran
Sekjen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan 7 paket Peraturan Dirjen Perbendahaan
Kementerian Keuangan (UT, 2015).
Sebagai Badan Layanan Umum atau
sebagai kelembagaan sektor publik yang pengelolaannya tidak mengutamakan untuk
mencari profit (nirlaba). Masalah
timbul ketika disi lain PT tidak untuk mencari profit, pada saat yang sama
harus membiayai dirinya sendiri. Sebagai perbandingan pengelolaan lembaga
sektor publik dapat dilihat pada uraian berikut:
1. Satker biasa
Ø
Non Profit (pendapatan < belanja)
Ø
Tidak Otonom
Ø
Pengelolaan sesuai dengan mekanisme APBN.
2. Satker dengan Pengelolaan Keuangan (PK) BLU
Ø
Not For Profit (tidak mengutamakan keuntungan)
Ø
Pengelolaan keuangan sesuai dengan PP 23/2005
Ø
Kekayaan Negara yang Tidak Dipisahkan
Ø
Semi Otonom/Otonom
3. Badan Hukum Milik Negara
Ø
Not For Profit (tidak mengutamakan keuntungan)
Ø
Pengelolaan keuangan secara mandiri untuk memajukan pendidikan?
Ø
Kekayaan Negara yang Dipisahkan kecuali tanah
Ø
Otonom
4. Perusahaan Negara/BUMN
Ø
Profit Oriented (Pendapatan
> belanja
Ø
Pengelolaan
keuangan bisnis murni
Ø
Kekayaan Negara yang Dipisahkan
Ø
Otonom
BLU sendiri bertujuan 1).Meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa. 2).Fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan
prinsip ekonomi dan produktivitas, dan 3).Penerapan praktek bisnis yang sehat.
Karakteristik
BLU:
- Berkedudukan sebagai
lembaga pemerintah (bukan kekayaan negara yang dipisahkan)
- Menghasilkan
barang/jasa yang seluruhnya/ sebagian dijual kepada publik
- Tidak bertujuan
mencari keuntungan (laba)
- Dikelola secara
otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas a la korporasi
- Rencana kerja/anggaran
dan pertanggung jawaban dikonsolidasikan pada instansi induk
- Pendapatan &
sumbangan dpt digunakan langsung
- Pegawai dapat
terdiri dari PNS dan Non-PNS
- Bukan sebagai subyek
pajak
(Sumber; Pengelolaan
Keuangan BLU. Depkeu RI)
Tiga
jenis Rumpun BLU yaitu: Rumpun Kegiatan Penyediaan Jasa/Barang (Rumah Sakit,
Perguruan Tinggi, Pelayanan Lisensi, Penyiaran), Rumpun
Kegiatan Pengelolaan Wilayah (Otorita, Kapet), dan Rumpun Pengelola
Dana Khusus (Dana bergulir UKM, Penerusan Pinjaman, Tabungan perumahan).
BLU sebenarnya hanyalah salah satu
tahapan di pendiddikan tinggi menjadi “Korporatisasi
PT”. Korporatisasi dalam artian bagaimana menerapkan prinsip-prinsip
pengelolaan perusahaan kedalam lembaga/institusi publik. Dalam memandang
korporasi (perusahaan) tentu tidak bisa menggunakan cara pandang ‘kaca mata kuda’ atau satu arah.
Perusahaan lebih produktif, selalu efisien dan efektif dalam pengelolaan sumber
daya. Demikian pula sebaliknya, perusahaan jahat dalam memperlakukan
pekerjanya. Karena pada kenyataannya banyak perusahaan-perusahaan transnasional
yang menerapkan manajemen modern, akhirnya runtuh dalam sekejap. Penyebabnya
tentu adalah ‘kalah dalam kompetisi’ dan adaptasi.
Korporatisasi PTN
Semangat kompetisi adalah pilar utama korporasi, pilar lainnya adalah
efisiensi, efiktifitas dan produktifitas. Adaptasi prinsip pengelolaan
korporasi ke dalam pengelolaan sektor publik bukan tanpa alasan. Lembaga sektor
publik dianggap tidak efisien dan efektif dalam mengelola organisasi. Hal ini
teradi baik di Negara berkembang maupun Negara maju. Institusi sektor publik
dinilai boros input (anggaran, sumberdaya manusia, dan asset publik lainnya)
dengan output dan outcome yang tidak maksimal. Lihatlah
layanan BPJS memperlakukan kita. Namun, bukan berarti kalau korporasi (swasta)
tidak melakukan hal yang sama.
Sebenarnya BLU-BH menyerupai
bentuk praktis dari New Public Management
(NPM). NPM pertama kali diperkenalkank oleh Christopher Hood (1991).
Awalnya muncul di Eropa dan Amerika. Penekannanya pada desentralisasi,
devolusi, dan modernisasi pelayanan publik. Oleh karena manajemen sektor swasta
lebih baik daripada sektor publik, maka manajemen sektor swasta diintrodusir ke
dalam layanan sektor publik. Perubahan manajemen dari berorientasi output ke
outcome (hasil), atau populer disebut tata kelola/ manajemen berbasis kinerja.
NPM diterapkan
bervariasi diseluruh dunia. Di Inggris, privatisasi dilakukan untuk
meningkatkan efisiensi, cost-cutting,
dan memperbaiki kualitas layanan. Akan tetapi pada Negara berkembang (seperti
Indonesia) privatisasi dilakukan untuk meningkatkan pendapatan dalam rangka
menutup defisit fiskal.
Sederhananya pemerintah hendak
mengajak sebanyak mungkin pihak/institusi dapat berkontribusi dan berkolaborasi
dalam hal pengelolaan dan khususnya pembiayaan perguruan tinggi. Dengan kata
lain hendak menprivatisasi, memandirikan PT, agar mampu membiayai dirinya
sendiri. Artinya roh dan BLU-BH, PT jangan sekedar menciptakan input atau
penyedia tenaga kerja tetapi bagaimana agar dapat menghasilkan output/produk
yang bernilai finansial.
Dalam sudut pandang
perencanaan, berkolaborasi identik dengan proses, dimana inputnya
adalah Mahasiswa, Dosen, Pegawai, Satpam, Stakeholder dan shareholder
yang terkait dengan pengguna komoditi atau jasa dan produk (output) perguruan tinggi. Produk
perguruan tinggi bisa berarti lulusan sarjana dan pascasarjana atau hasil
penelitian yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat, perusahaan, atau
pemerintah dalam menyusun kebijakan. Dimensi dampaknya (impact) adalah apakah produk tersebut dimanfaatkan sesuai
kompetensinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kemandirian
bangsa. Jika Kolaborasi dimaknai seperti ini maka Tri Dharma Perguruan tinggi
akan berjalan sesuai dengan koridornya dan cita mewujudkan kampus menjadi
"Center of Excellence".
Tentu dengan berbagai konsekuensi-konsukuensi dan perbaikan sistem kelembagaan.
Tapi, apakah harus dengan korporatisasi?
Strategi
ATM (Amati, Tiru, dan Modifikasi) atau dalam istilah teori kritis mimesis
menjadi penting. Strategi ini bisa dikatakan menjaga kehati-hatian dalam
menduplikasi/meniru sesuatu. BLU-BH dan semacamnya bukanlah sesuatu yang jatuh
dari langit. Ia adalah produk kelompok organik yang menghendaki terjadinya
liberalisasi dalam sektor publik. Kesiapan menerapkan BLU-BH bukan sekedar
kesiapan ‘ambisi’, ‘institusi’ tapi yang paling penting adalah ‘mindset’ yang
mendiami institusi tersebut. BLU-BH disatu sisi membawa semangat “demokratisasi
a la pasar” yang bertumpu pada kompetisi, kompetensi, transparansi, efisien,
dan efektif. Hal yang bisa dilakukan jika ‘mindset’ feodalisme sudah runtuh di kampus. Entah feodalisme ‘darah
keturunan raja/karaeng’ atau ‘pangkat akademik’.
Sebagai
perbandingan atas korporatisasi PT di Negara lain. Studi Mamdani di Uganda
dapat dijadikan referensi. Nafas liberalisasi sektor pendidikan yang sama juga diperlihatkan dalam
studi Mamdani (2007), yang melihat reformasi pendidikan neoliberal yang
dipromosikan Bank Dunia di Uganda, justru berakibat pada perubahan cara
berpengetahuan, di mana pendidikan justru menjadi wahana komersialisasi,
subversi institusi publik oleh kepentingan privat dan mengakibatkan proses
pendidikan dilakukan di atas fondasi komersial, bukan pada knowledge sharing atau
pengembangan pengetahuan. Dalam studinya di Universitas Makarere, Uganda,
Mamdani melihat bahwa reformasi pendidikan gaya neoliberal, memberi implikasi
kepada cara-cara berpengetahuan di universitas tersebut. Sebagai contoh
sederhana, ia melihat fenomena ‘the
winners and the losers‘. Departemen dan Fakultas yang tidak memiliki
kesempatan pasar yang kuat akan cenderung untuk mengajarkan hal-hal yang
sifatnya practice-industrial
ketimbang teoretik atau berbau pengetahuan. Lebih jauh lagi ilmu-ilmu
humaniora, dan ilmu-ilmu yang tidak dibutuhkan pasar akan sepi peminat dan
akhirnya tutup. Sepertinya, pesan Ki Hajar Dewantoro perlu menjadi renungan
Civitas Akademika se Nusantara: anak-anak
kita seperti biji. Tugas kita menumbuhkan biji, akarnya ngga kelihatan. Batang
, daun juga tidak Nampak, tapi kalau diberi kesempatan tumbuh, akan jadi
tanaman yang indah.
*Materi diskusi PTN BLU-BH oleh BEM FIS UNM, 16 Maret 2016
28/01/2016
"MERAH" DI KAMPUS ORANGE (UNM)
(Sebuah catatan atas Suksesi Rektor UNM,
2016)
SYAMSU
ALAM
"MERAH"
identik dengan darah, berani, atau secara kelembagaan identik
dengan kampus Unhas atau partai politik atau bahkan aliran ideologi tertentu
(kiri), tidak.. tentu tidak, karena amat sulit kita menemukan
Akademisi (Intelektual) Kiri di UNM (Universitas Negeri Makassar) . Tapi
dikalangan mahasiswa UNM gagasan kiri (sosialisme) bukan hal yang langka.
Salah satu indikatornya pernah ditemukan logo peralatan kerja petani (baca:
palu arit), indikator lainnya seorang penanya mengutip Lenin pada sesi
tanya jawab pada pemaparan Rencana Program Kerja calon Rektor UNM Periode 2016-2020 (27/01/16) di
ruang teater Pinisi UNM. Meskipun demikian UNM tetaplah kampus Orange.
Dalam
persfektif atmosfer akademik tentu berbagai pemikiran "sah dan halal"
dipelajari. Ini, boleh jadi pertanda baik bahwa civitas akademika
(dosen, mahasiswa, pegawai) kampus setengah Oemar Bakri tidak
perlu fobia terhadap aliran pemikiran apapun. Karena salah satu ciri kampus
yang besar dan unggul adalah tempat bersemai dan berdialektikanya berbagai
pemikiran. Bukankah pelangi itu indah karena warna-warninya.
BRANDING VISI MISI
Enam
kandidat calon rektor UNM telah memaparkan rencana-rencananya jika ditakdirkan
oleh Tuhan melalui 97 suara senat UNM disaring menjadi 3 (tiga) calon dan
putusan akhir adalah suara pak Menteri. Seharian pada pemaparan dan tanya
jawab calon Rektor UNM tidak banyak hal baru yang dipaparkan, bahkan
pemaparan program keenam kandidat tidak jauh berbeda dengan Program Rektor
sebelumnya. Setidaknya keenam calon Rektor ada kesepahaman atau kemiripan
gagasan visi misi dalam tiga kosakata. Ketiganya adalah
Kolaborasi, MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) dan World Class
University.
Pada
ketiga kosakata itulah, penulis hendak menyematkan kata
"Merah". Dalam psikologi warna dan kaitanya dengan
branding, Warna "Merah" identik dengan hasrat,
semangat, ambisi, nafsu, passion.
Para
kandidat sepaham untuk meningkatkan daya saing dalam pusaran MEA dan persaingan
menjadi universitas unggulan dengan berbagai predikat yang akan membanggakan
para civitas akademika UNM dengan tidak sekedar mengandalkan pada seorang
Rektor tetapi dengan berkolaborasi. Meskipun belum ada penjelasan lebih jauh
berkolaborasi dengan siapa. Kata Kolaborasi kian populer menjelang Revolusi
Industri keempat versi World Economic Forum (WEF), Sebuah revolusi batu
yang berbasis digital. Pemicu utamanya bergesernya mode of production dari input modal fisik ke input modal non-fisik (ide dan kreativitas) pemanfaatn input
tersbut menjadikan berbagai perusahaan dan organisasi meraih sukses di pentas
regional maupun global. Keberhasilan organisasi menjadi pemenang dengan strategi
"Kolaborasi". Beberapa organisasi diantaranya adalah Wikipedia,
Facebook, Skype, Goldcorp, Linux, P&G dll.
Don
Tapscott penulis The Digital Economy dan Wikinomics,
mengungkapkan bahwa awalnya "Kolaborasi Maya" yang dilakukan
oleh para netizen, programmer, youtuber dan lain-lain adalah
semacam gerakan massif sebagai anti-tesa atas dominasi perusahaan-perusahaan
raksasa yang menguasai media mainstream. Bahkan kerap dikatakan sebagai
"komunisme gaya baru". Tetapi para aktivis "Kolaborasi
Maya" tetap memacu krativitas dan berinovasi tiada henti tanpa terpengaruh
dengan stigma komunisme gaya baru. Misalnya Linux, yang awalnya hanyalah
proyek "gotong-royong" dimana para programer berjejaring,
berbagi source code, sharing pengalaman hingga akhirnya bisa bersaing
dengan Microsoft atau Mac. Padahal tidak ada perusahaan yang menaunginya,
toh, bisa menjadi pemain dalam dunia Sistem Operasi. Hal yang sama
terjadi pada perusahaan dan organisasi yang melakukan "Kolaborasi".
KONSEKUENSI
KOLABORASI
Berdasarkan
sudut pandang perencanaan, kalaborasi identik dengan proses, dimana
inputnya adalah Mahasiswa, Dosen, Pegawai, Satpam,
Stakeholder dan shareholder yang terkait dengan pengguna jasa dan produk
(output) perguruan tinggi. Produk perguruan tinggi bisa berarti lulusan
sarjana dan pascasarjana atau hasil penelitian yang bisa dimanfaatkan oleh
masyarakat, perusahaan, atau pemerintah dalam menyusun kebijakan.
Dimensi dampaknya (impact) adalah apakah produk tersebut dimanfaatkan sesuai
kompetensinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kemandirian bangsa.
Jika Kolaborasi dimaknai seperti ini maka Tri Dharma Perguruan tinggi akan
berjalan sesuai dengan koridornya dan cita mewujudkan kampus menjadi
"Center of Excellence". Tentu dengan berbagai konsekuensi-konsukuensi
dan perbaikan sistem kelembagaan.
Cerita
sukses tentang organisasi yang menerapkan Kolaborasi "Massif" berani
mentransformasikan sistem manajemennya. Organisasi yang awalnya
menerapkan manajemen vertikal, hirarkis yang kaku, berdasarkan
komando, perintah atasan, dan standar operasional yang sangat kaku
dan mekanistik, dapat menyebabkan bawahan terkena penyakit sindrom ABS
(Asal Bos Senang). Dengan Kolaborasi gaya tersebut ditransformasi menjadi
Organisasi dengan sistem manajemen horisontal, terbuka, komunikasi lebih
cair, fleksibel, penuh ruang improvisasi bagi siapapun yang
terlibat dalam kolaborasi. Dengan sistem seperti ini maka jarak antara pejabat
Universitas, Fakultas, Jurusan dan Prodi dengan yang bukan pejabat
seperti dosen, pegawai dan mahasiswa bisa dianggap tidak berjarak.
Konsekuensi
lebih jauh adalah akan menghancurkan tatanan struktural feodalisme, entah
feodalisme keturunan "karaeng", "puan" atau
feodalisme keilmuan "professor" dan bukan professor. Tentu saja
hal ini adalah alamat baik buat atmosfer akademik, dimana setiap civitas
akademika adalah subjek dan ilmu pengetahuan adalah objeknya.
Konsekuensi
selanjutnya, setelah struktur feodal sudah runtuh, maka akan
tercipta kesetaraan, ruang-ruang dialogis antar civitas akademika dan stakeholder
makin luas. Dan pada akhirnya demokratisasi kampus dapat terwujud. Apakah
semudah itu? Tentu tidak. Tapi yang pasti jika Kolaborasi telah
menjadi kosakata pamungkas para kandidat Rektor UNM maka semestinya
prinsip-prinsip kolaborasi harus menjadi tonggak-tonggak pengelolaan perguruan
tinggi.
KOLABORASI:
LIPSING ATAU INISIASI
Harapan
terbesar kita sebagai masyarakat biasa,
atas setiap suksesi para calon pemimpin adalah satunya kata dan perbuatan atau dalam terminologi kampus adalah
“kejujuran ilmiah” para kandidat. Semua
yang dipaparkan seolah-olah adalah energi positif dengan beragam angan-angan
indah. Kata memang adalah senjata, dia bisa memotivasi atau mematikan.
Kolaborasi
layaknya diperlakukan tidak seperti liberalisasi pasar regional ASEAN dalam
MEA, karena dalam liberalisasi menyimpan
potensi laten ketimpangan dan menindas Negara yang tidak punya akses dan
aset. Kolaborasi tentu memuat prinsip pro-konsumer, tersedianya perpustakaan
besar untuk berbagi sumber-sumber pengetahuan, terciptanya transparansi
sebagaimana "kolaborasi maya" berbagi source code, menyuburkan pikiran kolaboratif bukan pikiran
kolutif dan koruptif. Semoga UNM tetap
Jaya dalam Tantangan.
05/12/2015
SEBERAPA 'KAYA' KITA MEMAHAMI KEMISKINAN?
Syamsu Alam *)
Sumber Gambar: http://guardianlv.com/2014/04/poverty- |
Sesungguhnya kemiskinan mendekatkan diri pada kekufuran
Darimanakah
kemiskinan berasal? Pertanyaan klasik nan sederhana tersebut tidak sesederhana
menjawabanya apalagi hendak menyelesaikannya. Karena dari jawaban atas
pertanyaan tersebut akan menimbulkan pertanyaan turunan. Kemiskinan boleh jadi
akan selalu ada sepanjang sejarah umat manusia. Sepanjang logika perbandingan
masih mendominasi pemikiran manusia. Konsepsi kemiskinan dan penanganannya
bahkan “proyek kemiskinan” adalah cerita lama yang paling dinamis dan terseksi
dibahas diberbagai tingkatan. Pinggiran kota hingga ibukota Negara, trotoar
hingga hotel berbintang, korban kebijakan hingga penentu kebijakan, diskusi
lesehan di kampus, riset akademik hingga janji politisi yang selalu didaur
ulang agar terkesan peduli pada kemiskinan di si miskin. Sejak zaman manusia pertama hingga kini, terma kemiskinan masih diperdebatkan;
definisi, ukuran/indikator hingga cara mengatasinya, yang kesemua dimensinya
tersebut berkaitan erat dengan sejauhmana pengetahuan kita tentang terma
tersebut.
Abad 21
menghadirkan kembali pentingnya rezim pengetahuan. Dimana pengetahuan (termasuk
kreatifitas) adalah salah satu faktor produksi yang penting dalam pandangan
kaum neoklasik. Knowledge is Power,
kata Francis Bacon. Bahkan jauh sebelumnya pesan revolusioner pertama al Quran
‘Bacalah’ merupakan diktum pertama Tuhan kepada Nabi Muhammad akan pentingnya
membaca sebagai basis utama memperoleh pengetahuan. Sebelumnya lagi hadirnya
kita di dunia karena ulah Nabi Adam yang mengkonsumsi buah huldi, buah
‘pengetahuan’. Namun pengetahuan apa dan bagaimana yang dapat mereduksi
kemiskinan? Atau jangan-jangan kemiskinan konsepsi yang membuat kita masih
terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan.
Mainstream Pendekatan Kemiskinan
Sejak
1950-an ketika pendapatan nasional mulai dijadikan indikator pembangunan. Pada
umumnya ilmuan sosial merujuk pada
pendekatan tersebut ketika berbicara masalah kemiskinan satu negara. Pengukuran
kemiskinan kemudian sangat dipengaruhi oleh perspektif income poverty yang menggunakan indikator pendapatan sebagai
satu-satunya indikator “kemiskinan”.
Di bawah
kepemimpinan Mahbub Ul Haq (ekonom asal Pakistan) pada tahun 1990an, UNDP
memperkenalkan pendekatan Human Development yang diformulasikan dalam bentuk
Indeks Pembangunan Manusia (Human
Development Index) dan Indeks Kemiskinan Manusia. Dibandingkan dengan
pendekatan yang dipakai Bank Dunia, pendekatan UNDP relatif lebih komprehensif
karena mencakup beberapa dimensi, yaitu dimensi ekonomi (pendapatan), dimensi
pendidikan (angka melek huruf), dan dimensi kesehatan (angka harapan hidup).
Pendekatan kemiskinan versi UNDP berporos pada paradigma pembangunan
populis/kerakyatan yang memadukan konsep pemenuhan kebutuhan dasar dari Paul
Streeten dan teori kapabilitas yang dikembangkan Amartya Sen.
Mainstream
pendekatan modernisasi ala Bank Dunia
dan pendekatan populis UNDP masih melihat kemiskinan sebagai kemiskinan
individu dan kurang memperhatikan kemiskinan struktural. Sistem pengukuran dan
indikator yang digunakannya terfokus pada “kondisi” atau “keadaan” kemiskinan
didasarkan pada faktor-faktor ekonomi yang dominan. Orang miskin hanya
dipandang sebagai “orang yang serba tidak memiliki”, tidak memiliki pendapatan
tinggi, tidak terdidik, tidak sehat, tidak mempunyai faktor-faktor produksi dan
sebagainya. Pun, ukuran-ukuran ‘ketidak memiliki sesuatu’ di tentukan dan
diberlakukan secara general oleh
lembaga-lembaga tertentu kepada setiap kelompok masyarakat/Negara.
Kedua
pendekatan di atas adalah referensi utama lembaga/kementerian di Negara dalam
merumuskan kebijakan berkaitan dengan penduduk miskin, yang secara
statistik setiap tahun menurun namun
anggaran untuk mengatasi kemiskinan meningkat setiap tahun yang tersebar di
beberapa kementerian atau dinas.
Pentingnya Perspektif Komunitas
Kemiskinan
akan selalu hadir ditengah-tengah kita, ketika relasi ketergantungan antara satu
orang/komunitas masih terlembagakan baik secara formal maupun informal.
Pendekatan kelembagaan secara formal kerap kali dilakukan oleh pemerintah
sebagai bentuk kontrol terhadap warga seperti Raskin, bantuan siswa miskin, dan
program lainnya yang melanggengkan ketergantungan warga Negara terhadap Negara.
Sedangkan kelembagaan secara informal dapat ditelusuri dari berbagai mitos yang
mengilusi kerja kreatif masyarakat, himbauan-himbauan, ceramah-ceramah agamawan
yang tidak mencerahkan/ menggerakkan individu dan masyarakat.
Konsep Patron-Klien dalam
konseptualisasi pikiran materiil dan individualis adalah sebuah bentuk
eksploitasi dari patron ke klien, namun lembaga seperti ini adalah hubungan yang saling
menjamin seperti antara pemilik tanah luas dan tak bertanah. James C.
Scott mengatakan bahwa keduanya saling
memiliki kewajiban moral, seperti orang yang numpang tinggal ditanah orang
kaya memiliki kewajiban moral terhadap
yang ditumpangi, demikian sebaliknya.
Di beberapa tempat di senatero dunia
masih kita temui aksi kolektif komunitas
semacam “Manajemen ala orang mati” yang dipraktin di Boetta Ilmoe Bantaneg. Misalnya kematian, sekarang ini orang mati pun harus
membayar ketika hendak dikuburkan. Biaya yang dikeluarkan oleh sanak keluarga mulai dari
menggali kuburan sampai dengan menjamu para pelayat tidak bisa lepas dari biaya ekonomi dari
para keluarga. Namun orang yang meninggal tatkala mereka masih hidup telah mengasuransikan
hidupnya kepada komunitas dengan cara ikut menyumbang ketika ada tetangganya yang meninggal. Ini
lah yang disebut dengan community insurance
(Banerjee). Hal seperti masih
sering ditemui pada masyarakat yang masih memegang teguh modal sosial mereka,
khususnya di desa-desa yang kekerabatan dan solidaritasnya belum tergerus oleh
masyarakat modern yang individualis.
Dalam struktur masyarakat modern
yang berbasis pada kepentingan individu, kegiatan seperti ini ditangkap sebagai
kegiatan pemborosan. Orang ketika dilihat dari ukuran materiil adalah miskin
namun dalam kehidupan sosialnya masih membagi-bagikan apa yang dimiliki untuk
menjamin keberlangsungan komunitas (shared
poverty). Konsep membagi kemiskinan dikemukakan oleh salah satu
Indonesianis, yakni Clifford Geertz yang menyoroti tentang perkembangan
masyarakat Indonesia saat memasuki modernisasi dimana perubahan itu ditunjukkan
ada perkembangan namun perkembangan itu tidak menunjukkan peningkatan. Tentu,
kerangka konseptualnya untuk menyebutkan shared
poverty terhadap perkembangan masyarakat Indonesia karena ia melihatnya dari
cara pandang capitalist mode of
production.
Di belahan dunia yang lain, seperti,
Di Sardinia Itali, di Okinawa Jepang dan di Loma Linda California AS,
adalah contoh dimana terdapat penduduk yang rata-rata hidupnya berumur panjang
di atas 80 tahun (National Geographic).
Dari beberapa wilayah yang terpisah ini umumnya terdapat kebiasaan yang serupa,
meskipun ada perbedaan latar belakang dan keyakinannya. Rata-rata rahasia hidup
berumur panjang itu karena gaya hidup (lifestyle)
mereka. Pada umumnya mereka hidup dengan gaya tradisional, mengutamakan
keluarga, berkomunitas, melaksanakan event-event
budaya, ramah dengan orang lain, menghargai antar sesama dan mengutamakan
pergaulan dalam kehidupan, selain itu juga tidak pernah menggerutu. Pada
umumnya mereka gemar berolahraga dan berkegiatan. Merawat dan memelihara orang
tua dalam satu keluarga dan bukan mengirimkannya ke rumah jompo.
Pentingnya menghadirkan konsepsi dan
perspektif kemiskinan berbasis kemunitas adalah wujud membangun kemandirian politik
maupun finansial. Kemandirian secara politik akan mengantarkan si subjek untuk
lebih berani bersikap, bahkan terhadap konsep yang mainstream sekalipun.
Kemandirian secara finansial dapat diupayakan dengan memanfaatkan ‘apa’ yang
dimiliki (potensi), apakah potensi non-materi berupa ide (pengetahuan), akses,
keterampilan, pertemanan (modal sosial) atau potensi materi yang dimiliki
individu/komunitas. Kedua jenis kemandirian ini dapat dikembangkan dan dirawat
melalui semangat saling berbagi (share),
yang bahkan dalam pandang mode of
production capitalism, kemiskinan (_kekurangan menurut cara pandang
mainstream_) dapat kita share. Yaa… shared
poverty tepatnya. Karena dalam doktrin agama saya, kita tidak akan miskin
dengan membagikan apa yang kita miliki kepada yang lain meskipun orang menilai
kita kekurangan.
Sedekah: Jalan Alternatif yang Sunyi
Kemiskinan
dapat mendekatkan kepada kekufuran. Bukan berarti bahwa kekayaan dapat
menjauhkan dari kekufuran. Karena kenyataannya banyak juga yang kufur karena
berlimpahan nikmat atau rezeki. Istilah teman saya, banyak orang bisa survive
dengan ‘penderitaan dan serba kekurangan’ tapi tak jarang banyak yang tumbang
dan lupa diri justru dengan ‘angin sepoi-sepoi’.
Islam
sebagai agama yang mulia dan agung, senyatanya sudah mempunyai solusi-solusi,
bahkan upaya pencegahan atas penyakit-penyakit sosial yang muncul. Sedekah
adalah salah satu konsep yang masih sunyi dari hiruk pikuknya aktifitas manusia
sejagad. Sedekah tentu merupakan doktrin Islam untuk mengatasi kesenjangan
sosial dan mewujudkan pemerataan ekonomi.
Sedekah
(Shodaqoh) adalah segala yang dikeluarkan sesorang dari hartanya dengan niat
mendekatkan diri kepada Tuhan. Atau apa yang diberikan secara sukarela kepada
orang lain dengan niat meraih ridha Ilahi, selain hadiyah. Termasuk kategori
sedekah adalah Zakat, Nazar, Kafarah, dan lain sebaginya.
Berdasarkan
definisi di atas, dapat kita jadikan acuan dasar untuk menilai maraknya slogan,
seminar, dan ajakan sedekah. Mengajak orang bersedekah adalah mulia, sepanjang
untuk mendepatkan ridhaNYA. Persoalan muncul ketika, beberapa agamawan,
mengajak kita bersedekah agar harta kita makin bertambah, semakin dilapangkan
resekinya, dan bla..bla..bla. Padahal definisi di atas jelas untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan, bukan agar terjadi akumulasi harta, apalagi agar dipilih
dalam pemilihan caleg, kades, bupati, gubernur, hingga ketua RT J. Menurut hemat saya, ajakan tersebut adalah sebentuk
‘kapitalisasi sedekah’ melalui iklan-iklan yang bombastis, heboh, dan
menggiurkan.
Begitu
fenomena kemiskinan di Negeri yang kaya raya ini. Hendak hati memberantasnya
apa daya terjebak dalam memiskinkan diri dalam memahaminya.
Wallahu
A’lam. @alamyin
*) CA di FE UNM