14/12/2012
Sosial Budaya Masyarakat Pesisir Makassar
Sosial Budaya Masyarakat Pesisir Makassar
Tulisan berikut adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya, "Spirit Pelaut Bugis Makassar", Bagian terakhir dari paper tugas Ekonomi Maritim :). Topik Sosial Budaya Masyarakat Pesisir Makassar dan sekitarnya.
Menurut Garna (1994), “sistem sosial adalah suatu perangkat peran sosial yang berinteraksi atau kelompok sosial yang memiliki nilai-nilai, norma dan tujuan yang bersama”. Seperti yang diungkapkan oleh Parsons(1951), “Sistem sosial merupakan proses interaksi di antara pelaku sosial”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem sosial itu pada dasarnya ialah suatu sistem dari tindakan-tindakan yang tercipta karena adanya interaksi.
Tulisan berikut adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya, "Spirit Pelaut Bugis Makassar", Bagian terakhir dari paper tugas Ekonomi Maritim :). Topik Sosial Budaya Masyarakat Pesisir Makassar dan sekitarnya.
Menurut Garna (1994), “sistem sosial adalah suatu perangkat peran sosial yang berinteraksi atau kelompok sosial yang memiliki nilai-nilai, norma dan tujuan yang bersama”. Seperti yang diungkapkan oleh Parsons(1951), “Sistem sosial merupakan proses interaksi di antara pelaku sosial”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem sosial itu pada dasarnya ialah suatu sistem dari tindakan-tindakan yang tercipta karena adanya interaksi.
Dari berbagai definisi budaya, dapat diperoleh
pengertian mengenai kebudayaan yaitu sesuatu yang
mempengaruhi tingkat pengetahuan yang meliputi
sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia
bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah
benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang
berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata
(konkrit), misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup,
organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya
ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat.
Sistem Sosial Budaya adalah suatu keseluruhan dari
unsur-unsur tata nilai, tata sosial, dan tata laku manusia yang
saling berkaitan dan masing-masing unsur bekerja secara mandiri serta
bersama sama satu sama lain saling mendukung untuk mencapai tujuan
hidup manusia dalam bermasyarakat.
Sistem kemasyarakatan Bugis-Makassar,
terbagi atas tiga tingkatan (kasta). Pertama: karaeng (Makassar),
menempati kasta tertinggi dalam stratifikasi sosial kemasyarakatan.
Mereka adalah kerabat raja-raja yang menguasai ekonomi dan
pemerintahan. Kedua: tu maradeka (Makassar), kasta kedua dalam sistem
kemasyarakatan Bugis-Makassar. Mereka adalah orang-orang yang merdeka
(bukan budak atau ata). Masyarakat Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar)
mayoritas berstatus kasta ini. Ketiga: ata, sebagai kasta terendah
dalam strata sosial. Mereka adalah budak/abdi yang biasanya
diperintah oleh kasta pertama dan kedua. Umumnya mereka menjadi budak
lantaran tidak mampu membayar utang, melanggar pantangan adat, dan
lain-lain.
Dalam perkembangannya, sebagai
sunnatullah, sistem kerajaan runtuh dan digantikan oleh pemerintahan
kolonial, stratifikasi sosial masyarakat Bugis-makassar berangsur
luntur. Hal ini terjadi karena desakan pemerintah kolonial untuk
menggunakan strata sosial tersebut. Selain itu, desakan agama (Islam)
yang melarang kalsifikasi status sosial berdasarkan kasta. Pengaruh
ini terlihat jelas menjelang abad 20, dimana kasta terendah,
“ata”mulai hilang. Bahkan, sampai sekarang kaum ata sudah sulit
ditemukan lagi, kecuali di kawasan pedalaman yang masihsangat feodal.
Setelah Indonesia merdeka, 2 kasta
tertinggi, yaitu ana’ karaeng dan tu maradeka juga berangsur mulai
hilang dalam kehidupan masyarakat. Memang pemakaian gelar ana’
karaeng, semisal Karaenta, Petta, Puang, dan Andi masih dipakai,
tetapi maknanya tidak sesakral zaman kerajaan. Pemakaian gelar
kebangsawanan tersebut tidak lagi dipandang sebagai pemilik status
sosial tertinggi.
Dalam
sistem sosial, juga dikenal adanya hubungan kekerabatan dalam
masyarakat seperti : Sipa’anakang/sianakang,
Sipamanakang,
Sikalu-kaluki, serta Sambori.
Kesemua
kekerabatan yang disebut di atas terjalin erat antar satu dengan yang
lain. Mereka merasa senasib dan sepenanggungan. Oleh karena jika
seorang membutuhkan yang lain, bantuan dan harapannya akan terpenuhi,
bahkan mereka bersedia untuk segalanya.
Sirik
na pacce juga merupakan prinsip hidup bagi suku Makassar. Sirik
dipergunakan untuk membela kehormatan terhadap orang-orang yang mau
memperkosa harga dirinya, sedangkan pacce dipakai untuk membantu
sesama anggota masyarakat yang berada dalam penderitaan. Sering kita
dengar ungkapan suku Makassar berbunyi “Punna tena siriknu, paccenu
seng paknia” (kalau tidak ada siri’mu paccelah yang kau pegang
teguh). Apabila sirikna pacce sebagai pandangan hidup tidak dimiliki
seseorang, akan dapat berakibat orang tersebut bertingkah laku
melebihi tingkah laku binatang karena tidak memiliki unsur kepedulian
sosial, dan hanya mau menang sendiri.
Sistem
sosial, kekerabatan dan nilai-nilai budaya yang dipaparkan di atas
juga terdapat dan termanifestasi di daerah pesisir Makassar sejak
dahulu hingga kini.
Nilai-nilai Budaya dan Roh Keberlanjutan Sumber Daya
Laut (SDL)
Pada pembahasan sistem nilai budaya masyarakat pesisir
Makassar . Sepertinya Patorani (Nelayan penangkap Ikan terbang dan
telurnya) yang banyak di pesisir pantai Galesong dan Barombong cukup
kapabel untuk menggambarkan nilai budaya masyarakat pesisir Makassar.
Karena budaya patorani masih berlangsung hingga kini, selain itu
hasil tangkapan (telur ikan terbang) di ekspor, penangkapan ikan
terbang juga tergolong unik, karena hanya dilakukan pada musim
kemarau dengan alat tradisional. Menurut para ahli, di Indonesia
terdapat 18 jenis ikan terbang, dan 10 diantaranya hidup diperairan
Sulawesi selatan dan wilayah timur Indonesia. Menurut McKnight
(1976) Indonesia adalah pengekspor teripang dan telur torani tertua
didunia, saat Belanda mengalahkan Makassar di Buton tahun 1667, dan
membuat batasan perdagangan bagi orang Makassar, banyak di antara
mereka melarikan diri ke Teluk Carpentaria di Australia, dan kemmbali
dengan memuat tangkapan hasil laut termasuk teripang. Bukti lain yang
mendukung sejarah ini adalah catatan Flinder dan Pobaso di tahun
1803, yaitu tentang nelayan Makassar yang sudah sejak 20 tahun
sebelumnya berlayar mencari ikan terbang ke pulau-pulau sekitar Jawa
sampai ke daerah kering yang terletak di selatan Pulai Rote dan
Pantai Kimberly, Australia Barat (Clark, 2000; Mc Knight 1976).
Dari sisi teknologi penangkapan tradisional yang mereka
pertahankan itu, hanya menggunakan gillnet
(jarring insang) dan pakkaja,
sedangkan untuk menangkap telurnya digunakan
pakkaja dan bale-bale.
Penangkapan dilakukan empat atau lima trip, dan setiap trip sekitar
satu bulan dengan jumlah nelayan tiga atau empat orang. Setiap kapal
pattorani membawa bale-bale sekitar 400-1.000 lembar (Safrudin
Sihotang, 2008).
Sisi menariknya adalah penggunaan teknologi dan
pengetahuan tradisional (kearifan
lokal) yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi
berikutnya. Tradisi mereka tetap dipertahankan walau pengaruh
teknologi modern begitu kuat mempengaruhinya. Struktur sosial
masyarakt nelayan ikan terbang memiliki garis patrilineal
dengan bentuk kerjasama berdasarkan sistem patron klien yang tetap
terpelihara.
Struktur kepatoranian terbentuk suatu organisasi
yang saling terkait satu sama lain antara paplele
(pinggawa darat), juragong
(pinggawa taut) dan sawi
(pekerja/buruh) yang berkisar pada kepentingan-kepentingan untuk
saling mendukung dan sating memeriukan dalam lingkungan unt uk
beraktivitas sebagai kcmunitas nelayan patorani. lama kelamaan
pranata-pranata tersebut di atas semakin teratur dan mapan datam
arti sudah melembaga di dikalangan patorani, selanjutnya
terbentuklah suatu organisasi yang disebut popolele_ pinggowa don
sawi.
Menurut mereka, sistem nilai budaya yang berujud siri'
dan pesse bahkan menjadi jiwa bagi empat kelompom etnik besar di
Sulawesi Selatan yaitu Bugis, Makasar, Mandar dan Toraja.
Siri' merujuk pada budaya rasa-malu yang mendorong dinamika
masyarakat. Menurut Hamid (2007:7) siri' mendorong munculnya
kreativitas dan prestasi, serta rasa malu kalau berbuat salah
dan mengingkari janji atau disiplin. Walapun demikian,
menurutnya, sekarang ini pengertian siri' bergeser pada konsep
martabat atau harga diri bahkan seringkali secara sempit diartikan
sebagai ketersinggungan. Sementara pesse atau pacce mengandung
implikasi berikut dari siri' yang berupa rasa solidaritas (Farid
2007:28-29). Pacce merupakan suatu perasaan sedih yang menyayat
hati apabila ada sesama warga, keluarga atau kawan tertimpa
kemalangan. Rasa ini mendorong orang untuk menolong dan
membantu sesamanya.
Umumnya masyarakat nelayan pesisir pantai Galesong
dan Barombong masih percaya sepenuhnya bahwa lautan itu adalah
hasil ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa sesuai dengan ajaran agama
Islam yang mereka yakini dan anut secara resmi. Merekapun tahu bahwa
segala sesuatu yang ada di alam raya ini, termasuk lautan berada di
bawah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, namun
secara
tradisional warga masyarakat yang bersangkutan mempunyai pula
kepercayaan, bahwa Tuhan yang disebutnya Koraeng Allah Tao/a telah
melimpahkan penguasaan wilayah lautan kepada Nabi
Hellerek.
Nelayan Mandar pun meyakini juga akan keberadaan Nabi
Khaidir dalam struktur dunia gaib, dimana menempatkannya diurutan
pertama sebagai pemimpin dan penguasa laut. Sementara
makhluk-makhluk halus lainnya dianggap sebagai anggota di bawah
kekuasaan dan perintah Nabi Khaidir. (Arifuddin Ismail, 2007:92).
Masyarakat nelayan patorani (penangkap ikan terbang
/tuing-tuing) membutuhkan persiapan- persiapan:
- Tahap perencanaan ;
mencari waktu baik, menentukan sawi, persiapan dan
pemeliharaan peralatan, persiapan bekal nelayan (bokong), kelengkapan
surat-surat.
- Tahap operasional
Sebelum berangkat Punggawa laut membaca Pakdoangan
(do’a) yang disebutnya sebagai bagian
dari erang pakboya-boyang juku.
Adapun isi dari pakdoangang sebagai berikut:
"Irate rammang makdonteng, kupailalang
sorongang. Naungkomae, pirassianga
tangngana biseangku. Rossi ipantarang, rassi ilalang.
Oh ....... , Nabbi. sareanga dalleku ri Allah Taalah, siagang Nabi
Muhammad. Oh ........ , Nabbi Pakere, Nabbi Hedere, sareanga mange
dallekku ri Allah Taalah, siagang Nabbi Muhammad”
Artinya : Di atas awan menggumpal, dengan penuh
harapan. Turunlah, penuhilah perahuku. Penuh di luar, penuh di
dalam. Wahai .... Nabi (Dewa-dewa ikan), berikan rezeki dari
Allah SWT bersama Nabi Muhammad. Wahai..... Nabi Pakere, Nabi
Haidir, berikan juga rezekiku dari Allah bersama Nabi Muhammad.
"lkau makkalepu, areng tojennu ri Allah Taalah.
Boyangak dallekku battu ri Allah Taala.
Malewai ri kanang, I Mandacingi ri kairi.
Tallangpi lina, kutallang todong. Jai leko rilino. Jai tongi
dallekku ri Allah Taala. 0 ..... , Nabbi Hellerek. Allei
dalleknu. Palakkang tongak dollekku.
Artinya: Engkau yang sempurna. Nama aslimu dari
Allah Taala. Carikan rezekiku dari Allah. Si penegak di
sebelah kanan, Si penyeimbang disebelah kiri. Tenggelam dunia,
kutenggelam juga. Banyak daun di dunia, Banyak juga rezekiku
dari Allah. Oh ... , Nabi Khaidir, Ambillah rezekimu, mintakan
juga rezekiku.
Dan masih banyak lagi do’a-do’a lainnya, yang pola
umumnya mengharapkan Ridho Allaw swt melalui perantara Nabi
(Tawassul).
- Tahap pengangkutan produksi dan pemasaran.
Tradisi yang berlangsung hingga kini di masyarakat
pesisir ‘patorani’ yaitu ritual Patorani, Pantangan, ranah suci
Patorani, Pappasang (Akkareso, Barani, Assitulung-tulung dan Siri’
Na Pacce).
Sudah menjadi kebiasaan sebelum Patorani berangkat
melaut melakukan ritual Doa Patorani , membaca bait doa sebelum
berangkat berlayar. “ Ikau
irumpa, areng tojennu ri Allah Taala. Inakke bitti riukkung, areng
tojengku ri Allah Taalah. Ri langi tumabbuttanu ”.
“Pada bait ini mengungkapkan tentang makna hakiki dari perahu yang
digunakan untuk beroperasi. Ungkapan itu merupakan pandangan yang
menunjukkan bahwa, perahu itu pada dasarnya menyerupai manusia yang
diciptakan atas keinginan Tuhan. Oleh sebab itu, setiap perahu yang
ingin
digunakan
untuk beroperasi oleh kelompok pattorani maka punggawa laut harus
dapat berkomunikasi secara batin dengan perahunya. dalam komunikasi
ini, keduanya saling memperkenalkan eksistensinya masing-masing. Di
samping itu, punggawa laut sudah dapat mengetahui apakah perahu itu
bersedia untuk mengantar dan menjaga keselamatan seluruh anggota
kelompok dalam operasi pengumpulan produksi, ataukah sebaliknya.
Selama dalam perjalanan menuju lokasi penangkapan, punggawa laut
pada saat tertentu melakukan komunikasi secara batin dengan
mengharapkan fungsi perahu dapat berjalan sesuai dengan
harapan-harapan yang ada. Harapan-harapan tersebut merupakan
perwujudan dari kategori “kearifan lokal”.” (Akzam Amir, 2011).
“Areng
tojennu ri Allah Taala. Allah Taala ampakjariko biseang. Allah
Taala behupahi. I bungan daeng riboko. Bunga intang ritangngana.
Rimpaki dalleknu. Ri Allah Taala. siagang Nabbi Muhammad”.
“Pada bait ini, juga termasuk “kearifan lokal”.
Dalam bait ini, punggawa perahu atau punggawa laut menyampaikan atau
memberitahukan kepada perahu bahwa sebenarnya nama asli perahu ada di
tangan Allah yang menciptakanmu. Berusahalah mencari rejeki yang
diberikan kepadamu oleh Allah dan Nabi Muhammad.” (Akzam Amir,
Unhas, 2011).
Di masyarakat pesisir Barang Lompo melakukan upacara
Pa’rappo yakni upacara ritual yang dilaksanakan oleh para nelayan
sebelum turun ke laut, dan upacara Karangan yakni upacara ritual yang
dilakukan oleh para nelayan ketika pulang melaut dengan memperoleh
hasil yang berlimpah.
Dahulu kala bahkan dibeberapa tempat tertentu, tradisi
membagikan hasil tangkapan ke tetangga-tetangga masih berlangsung
sebagai wujud kesyukuran dan semangat berbagi dengan sesama. Namun
seiring perkembangan zaman, merebaknya budaya kapitalis, banyak
nelayan atau Papalele, atau
eksportir yang sedikit menggerus tradisi berbagi dikalangan para
nelayan.
PENUTUP
Sistem Sosial Budaya merupakan suatu keseluruhan dari
unsur-unsur tata nilai, tata sosial, dan tata laku manusia yang
saling berkaitan dan masing-masing unsur bekerja secara mandiri serta
bersama sama satu sama lain saling mendukung untuk mencapai tujuan
hidup manusia dalam bermasyarakat.
Sistem sosial dan nilai budaya masyarakat pesisir
Makassar sejak dahulu kala mampu menjadi kekuatan untuk bertahan
hidup, dan memenuhi kebutuhan dasar mereka, bahkan komoditas tertentu
bisa menajdi komoditas ekspor. Selain itu nilai budaya yang
menunjukkan penyerahan diri total kepa Allaw SWT dalam melakukan
aktivitas ekonomi dapat menjadi formula untuk menjaga kelestarian dan
keberlanjutan sumberdaya laut. Hal ini merupak wujud semangat
Akkareso (Makkareso) dengan menjaga harmoni semesta
Tuhan-Alam-Manusia.
REFERENSI
Adisasmita,
Rahardjo, Pengembangan
Ekonomi Maritim, Universitas
Hasanuddin.2010.
Alfian Noor, dkk. Radioaktivitas
Lingkungan Pantai Makassar: Pemantauan unsure Torium (th) dan
Plutonium (pt) dalam Sedimen Makassar.
UNHAS-Pusdiklat BATAN Jakarta. 2001
Arifin Taslim, dkk., (2012), Riset Pendekatan Ekologi-Ekonomi
Untuk Peningkatan Produktivitas Pertambakan Udang Di Kawasan Selat
Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, Kementerian Kelautan
Dan Perikanan
Garna, Judistira K. 1991. Sistem
Budaya Indonesia. Bandung: Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Lampe Munsi, Strategi-strategi Adaptif Nelayan: Studi Antropologi
Nelayan. Essai Antropologi-IKA Press, Unhas. 1992
Mahmud,lrfan M. (ed), Tradisi, laringan Maritim,
Sejarah-Budaya: Perspektif Etnoarkeologi-Arkeologi Sejarah. Lembaga
Penerbttan Universitas Hasanuddin (Lephas). 2002.
____, Memanfaatkan Potensi Sosial Budaya Lokal untuk
Pengembangan Manajemen Perikanan Lout Berbasis Masyarakat.
Makalah, Jurnal Antropologi lndonesia-Fisip UI-Fisip Unhas. 2000.
Mattuladda. 1974. Bugis Makassar,
Manusia dan Kebudayaan. Makassar: Berita
Antropologi No. 16, Fakultas Sastra UNHAS.
Nasruddin., Kearifan Lokal dalam
Penangkapan Telur Ikan Torani sebagai Komoditas Ekspor pada
Masyarakat Pesisir di Galesong, Sulawesi Selatan.
Kementistek, 2010
------------. 1975. Latoa,
Suatu Lukisan Analitis Antropologi Politik Orang Bugis.
Makassar: Disertasi.
Wahyudin, Yudi., Sistem Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Pesisir.
PKSPL-IPB. Bogor.