19/03/2016
PTN BLU-BH: Penetrasi Ideologi Pasar dalam Manajemen PTN
PTN BLU-BH: Penetrasi Ideologi Pasar dalam Manajemen PTNSyamsu Alam
1001
macam cara orang mencari uang,
dari
menjual Koran sampai menjual kehormatan.
(1001
macam, Rhoma)
Kini, dunia benar-benar telah
berubah, entah berubah karena dorongan internal dirinya atau karena faktor
eksternal. Perubahan tentu sebuah keniscayaan, cara kita menanggapi perubahan
tersebut merupakan penentu kualitas diri kita. Apakah perubahan tersebut dapat
mentransformasikan diri, komunitas, organisasi, Negara ke hal yang lebih baik,
atau justru mengarah pada kemunduran. Sama halnya dalam dunia Pendidikan Tinggi
seolah mendapat gempuran yang
bertubi-tubi. Atas nama reformasi birokrasi, reformasi pendidikan, institusi
ini kerap menjadi incaran kebijakan ‘liberalisasi’. Perlombaan menjadi Perguruan
Tinggi kelas dunia, dikenal dengan istilah World
Class University (WCU) tak terbendung lagi. Bahkan universitas yang baru
bangkit dari penonaktifan status Perguruan Tingginya (sebut saja PTS tertentu)
berambisi menjadi WCU.
Beberapa tahun terakhir tepatnya
akhir 2006, Perguruan Tinggi di seantero nusantara bahkan di seluruh dunia
berpacu mewujudkan WCU. Cita-cita
tersebut ibarat ‘piala’ yang harus direngkuh oleh setiap kampus, daya saing
tinggi dan tata kelola, dan standardisasi yang lain mutlak diperlukan dalam WCU. Diantaranya akreditasi
internasional, sebuah pengakuan terhadap kemampuan yang memiliki desain dan
kemampuan mencetak/memproduksi lulusan yang berdaya saing internasional;
kualitas pendidikan; kualitas pengajaran; dan infrastruktur perguruan tinggi.
Nah, salah satu pintu masuk untuk
merangsang persaingan PTN dan PTS menjadi WCU adalah regulasi. Hal lainnya
adalah proyek-proyek riset yang dibiayai oleh IMF dan World Bank (WB) tentang
manajemen efektif perguruan tinggi. Meskipun Undang-undang Badan Hukum
Pendidikn (UU BHP) telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, namun para
aktivis organik pengusung ‘liberalisasi’ PT akan mencari upaya lainnya, agar PT
yang terlanjur di BHMNkan (UI, ITB, UGM, USU, dll) tidak terjadi kekosongan payung
hukum, bahkan jika memungkinkan diperluas jangakaunnya ke berbagai PTN.
Semangat WCU sebenarnya sudah lama dikampanyekan oleh WTO dan WB. Ada
dua wacana besar yang cukup hegemonik dalam pembangunan pendidikan tinggi di
negara-negara berkembang, yaitu ‘globalisasi pendidikan tinggi’ yang
dikampanyekan oleh WTO dan ‘reformasi Pendidikan Tinggi’ yang dikampanyekan
oleh Bank Dunia. Dalam perjanjian The General Aggrement on Trade in Services (GATS)
ditandatangani pada tahun 1994, ada 12 sektor jasa yang sepakat untuk
diliberalisasi, salah satunya sektor pendidikan tinggi. GATS dan kebijakan-
kebijakan WTO tersebut didesain untuk ‘membuka pintu kerjasama internasional
perguruan tinggi sehingga membuka keran investasi’ (Hawkins, 2010).
Lebih lanjut Bank Dunia melakukan penetrasi agenda ‘higher education reform’ sejak dokumen policy framework-nya yang berjudul ‘Higher Education: Lessons of
Experience’ dan diterbitkan pada tahun 1994. Agenda ‘reformasi’ tersebut dapat
disarikan ke dalam 4 hal: Pertama, mendorong diferensiasi Institusi PT; kedua,
mendorong diferensiasi pendanaan dari publik; ketiga, mendefinisikan ulang
peran pemerintah; dan keempat, fokus pada kualitas, performance, dan persamaan (World Bank, 1994).
Itulah, barangkali kenapa dalam
struktur PDB/PDRB versi 2010 jasa pendidikan merupakan sektor tersendiri.
Dari BLU menuju BH
BLU adalah
tahap lanjutan dari PT satuan kerja, tujuan akhirnya adalah menjadi PTN-BH.
Bebarapa dasar Dasar hukum Badan Layanan Umum (BLU) terdiri dari 3 paket Undang-undang, 6 paket Peraturan
Pemerintah (PP), 15 paket Peraturan Menteri Keuangan (PMK), 13 paket Keputusan
Menteri Keuangan (KMK), 5 paket peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, 3
paket Permendikbud tentang sistem akuntansi PTN, 7 paket Pedoman, Surat Edaran
Sekjen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan 7 paket Peraturan Dirjen Perbendahaan
Kementerian Keuangan (UT, 2015).
Sebagai Badan Layanan Umum atau
sebagai kelembagaan sektor publik yang pengelolaannya tidak mengutamakan untuk
mencari profit (nirlaba). Masalah
timbul ketika disi lain PT tidak untuk mencari profit, pada saat yang sama
harus membiayai dirinya sendiri. Sebagai perbandingan pengelolaan lembaga
sektor publik dapat dilihat pada uraian berikut:
1. Satker biasa
Ø
Non Profit (pendapatan < belanja)
Ø
Tidak Otonom
Ø
Pengelolaan sesuai dengan mekanisme APBN.
2. Satker dengan Pengelolaan Keuangan (PK) BLU
Ø
Not For Profit (tidak mengutamakan keuntungan)
Ø
Pengelolaan keuangan sesuai dengan PP 23/2005
Ø
Kekayaan Negara yang Tidak Dipisahkan
Ø
Semi Otonom/Otonom
3. Badan Hukum Milik Negara
Ø
Not For Profit (tidak mengutamakan keuntungan)
Ø
Pengelolaan keuangan secara mandiri untuk memajukan pendidikan?
Ø
Kekayaan Negara yang Dipisahkan kecuali tanah
Ø
Otonom
4. Perusahaan Negara/BUMN
Ø
Profit Oriented (Pendapatan
> belanja
Ø
Pengelolaan
keuangan bisnis murni
Ø
Kekayaan Negara yang Dipisahkan
Ø
Otonom
BLU sendiri bertujuan 1).Meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa. 2).Fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan
prinsip ekonomi dan produktivitas, dan 3).Penerapan praktek bisnis yang sehat.
Karakteristik
BLU:
- Berkedudukan sebagai
lembaga pemerintah (bukan kekayaan negara yang dipisahkan)
- Menghasilkan
barang/jasa yang seluruhnya/ sebagian dijual kepada publik
- Tidak bertujuan
mencari keuntungan (laba)
- Dikelola secara
otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas a la korporasi
- Rencana kerja/anggaran
dan pertanggung jawaban dikonsolidasikan pada instansi induk
- Pendapatan &
sumbangan dpt digunakan langsung
- Pegawai dapat
terdiri dari PNS dan Non-PNS
- Bukan sebagai subyek
pajak
(Sumber; Pengelolaan
Keuangan BLU. Depkeu RI)
Tiga
jenis Rumpun BLU yaitu: Rumpun Kegiatan Penyediaan Jasa/Barang (Rumah Sakit,
Perguruan Tinggi, Pelayanan Lisensi, Penyiaran), Rumpun
Kegiatan Pengelolaan Wilayah (Otorita, Kapet), dan Rumpun Pengelola
Dana Khusus (Dana bergulir UKM, Penerusan Pinjaman, Tabungan perumahan).
BLU sebenarnya hanyalah salah satu
tahapan di pendiddikan tinggi menjadi “Korporatisasi
PT”. Korporatisasi dalam artian bagaimana menerapkan prinsip-prinsip
pengelolaan perusahaan kedalam lembaga/institusi publik. Dalam memandang
korporasi (perusahaan) tentu tidak bisa menggunakan cara pandang ‘kaca mata kuda’ atau satu arah.
Perusahaan lebih produktif, selalu efisien dan efektif dalam pengelolaan sumber
daya. Demikian pula sebaliknya, perusahaan jahat dalam memperlakukan
pekerjanya. Karena pada kenyataannya banyak perusahaan-perusahaan transnasional
yang menerapkan manajemen modern, akhirnya runtuh dalam sekejap. Penyebabnya
tentu adalah ‘kalah dalam kompetisi’ dan adaptasi.
Korporatisasi PTN
Semangat kompetisi adalah pilar utama korporasi, pilar lainnya adalah
efisiensi, efiktifitas dan produktifitas. Adaptasi prinsip pengelolaan
korporasi ke dalam pengelolaan sektor publik bukan tanpa alasan. Lembaga sektor
publik dianggap tidak efisien dan efektif dalam mengelola organisasi. Hal ini
teradi baik di Negara berkembang maupun Negara maju. Institusi sektor publik
dinilai boros input (anggaran, sumberdaya manusia, dan asset publik lainnya)
dengan output dan outcome yang tidak maksimal. Lihatlah
layanan BPJS memperlakukan kita. Namun, bukan berarti kalau korporasi (swasta)
tidak melakukan hal yang sama.
Sebenarnya BLU-BH menyerupai
bentuk praktis dari New Public Management
(NPM). NPM pertama kali diperkenalkank oleh Christopher Hood (1991).
Awalnya muncul di Eropa dan Amerika. Penekannanya pada desentralisasi,
devolusi, dan modernisasi pelayanan publik. Oleh karena manajemen sektor swasta
lebih baik daripada sektor publik, maka manajemen sektor swasta diintrodusir ke
dalam layanan sektor publik. Perubahan manajemen dari berorientasi output ke
outcome (hasil), atau populer disebut tata kelola/ manajemen berbasis kinerja.
NPM diterapkan
bervariasi diseluruh dunia. Di Inggris, privatisasi dilakukan untuk
meningkatkan efisiensi, cost-cutting,
dan memperbaiki kualitas layanan. Akan tetapi pada Negara berkembang (seperti
Indonesia) privatisasi dilakukan untuk meningkatkan pendapatan dalam rangka
menutup defisit fiskal.
Sederhananya pemerintah hendak
mengajak sebanyak mungkin pihak/institusi dapat berkontribusi dan berkolaborasi
dalam hal pengelolaan dan khususnya pembiayaan perguruan tinggi. Dengan kata
lain hendak menprivatisasi, memandirikan PT, agar mampu membiayai dirinya
sendiri. Artinya roh dan BLU-BH, PT jangan sekedar menciptakan input atau
penyedia tenaga kerja tetapi bagaimana agar dapat menghasilkan output/produk
yang bernilai finansial.
Dalam sudut pandang
perencanaan, berkolaborasi identik dengan proses, dimana inputnya
adalah Mahasiswa, Dosen, Pegawai, Satpam, Stakeholder dan shareholder
yang terkait dengan pengguna komoditi atau jasa dan produk (output) perguruan tinggi. Produk
perguruan tinggi bisa berarti lulusan sarjana dan pascasarjana atau hasil
penelitian yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat, perusahaan, atau
pemerintah dalam menyusun kebijakan. Dimensi dampaknya (impact) adalah apakah produk tersebut dimanfaatkan sesuai
kompetensinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kemandirian
bangsa. Jika Kolaborasi dimaknai seperti ini maka Tri Dharma Perguruan tinggi
akan berjalan sesuai dengan koridornya dan cita mewujudkan kampus menjadi
"Center of Excellence".
Tentu dengan berbagai konsekuensi-konsukuensi dan perbaikan sistem kelembagaan.
Tapi, apakah harus dengan korporatisasi?
Strategi
ATM (Amati, Tiru, dan Modifikasi) atau dalam istilah teori kritis mimesis
menjadi penting. Strategi ini bisa dikatakan menjaga kehati-hatian dalam
menduplikasi/meniru sesuatu. BLU-BH dan semacamnya bukanlah sesuatu yang jatuh
dari langit. Ia adalah produk kelompok organik yang menghendaki terjadinya
liberalisasi dalam sektor publik. Kesiapan menerapkan BLU-BH bukan sekedar
kesiapan ‘ambisi’, ‘institusi’ tapi yang paling penting adalah ‘mindset’ yang
mendiami institusi tersebut. BLU-BH disatu sisi membawa semangat “demokratisasi
a la pasar” yang bertumpu pada kompetisi, kompetensi, transparansi, efisien,
dan efektif. Hal yang bisa dilakukan jika ‘mindset’ feodalisme sudah runtuh di kampus. Entah feodalisme ‘darah
keturunan raja/karaeng’ atau ‘pangkat akademik’.
Sebagai
perbandingan atas korporatisasi PT di Negara lain. Studi Mamdani di Uganda
dapat dijadikan referensi. Nafas liberalisasi sektor pendidikan yang sama juga diperlihatkan dalam
studi Mamdani (2007), yang melihat reformasi pendidikan neoliberal yang
dipromosikan Bank Dunia di Uganda, justru berakibat pada perubahan cara
berpengetahuan, di mana pendidikan justru menjadi wahana komersialisasi,
subversi institusi publik oleh kepentingan privat dan mengakibatkan proses
pendidikan dilakukan di atas fondasi komersial, bukan pada knowledge sharing atau
pengembangan pengetahuan. Dalam studinya di Universitas Makarere, Uganda,
Mamdani melihat bahwa reformasi pendidikan gaya neoliberal, memberi implikasi
kepada cara-cara berpengetahuan di universitas tersebut. Sebagai contoh
sederhana, ia melihat fenomena ‘the
winners and the losers‘. Departemen dan Fakultas yang tidak memiliki
kesempatan pasar yang kuat akan cenderung untuk mengajarkan hal-hal yang
sifatnya practice-industrial
ketimbang teoretik atau berbau pengetahuan. Lebih jauh lagi ilmu-ilmu
humaniora, dan ilmu-ilmu yang tidak dibutuhkan pasar akan sepi peminat dan
akhirnya tutup. Sepertinya, pesan Ki Hajar Dewantoro perlu menjadi renungan
Civitas Akademika se Nusantara: anak-anak
kita seperti biji. Tugas kita menumbuhkan biji, akarnya ngga kelihatan. Batang
, daun juga tidak Nampak, tapi kalau diberi kesempatan tumbuh, akan jadi
tanaman yang indah.
*Materi diskusi PTN BLU-BH oleh BEM FIS UNM, 16 Maret 2016