Read, Write, and Do Something

No Teaching without learning

Menulislah agar abadi

Membaca untuk hidup lebih baik atau sekadar pamer

Listen, free economic make better

Showing posts with label politik. Show all posts
Showing posts with label politik. Show all posts

29/07/2023

KAMPUS POLITIK ATAU POLITIK KAMPUS?

KAMPUS POLITIK ATAU POLITIK KAMPUS? 


Syamsu Alam 

Di dalam kelas sebuah SD inpres, dua murid ditanya gurunya. Guru: A, kamu mau jadi apa? A: Jadi dosen !, Guru: Mengapa?, A: Supaya bisa jadi professor. Guru: Ok. B kamu mau jadi apa?, B: Politisi, Guru: Mengapa? Supaya tidak sengsara seperti A dan tetap bakal jadi professor (Cerita fiksi, Mati Ketawa Cara profesor  NKRI, karya Prof. Arief Anshory)

Sependek pengetahuan saya, ada 11 pejabat publik yang telah dianugerahi gelar Profesor Kehormatan. Mantan Presiden Megawati (unhan RI), Mantan presiden Susilo Bambang Yudonoyo (Unhan RI-2014), Terawan Agus Putranto (Unhan RI, 2022), Muhammad Syarifuddin (UNDIP, 2021), Zainudin Amali (UNNES, 2022), Siti Nurbaya Bakar (UB, 222), Fahmi Idris (UNP, 2022), Edi Slamet Irianto (Unissula, 2022), Syahrul Yasin Limpo (UNHAS, 2022), Jafar Hafsah (UNM,2022) dan  Nurdin Halid (UNM, 2023).

Dasar penetapan pemberian profesor  kehormatan adalah Permendikbudristek nomor 38 tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan. Deretan nama-nama yang akan bergelar professor kehormatan akan bertambah. Meskipun Masa jabatan Profesor Kehormatan paling singkat 3 tahun dan paling lama 5 tahun dapat diperpanjang dengan mempertimbangkan kinerja dan kontribusi dalam melaksanakan Tridharma dan batas usia paling tinggi 70 (tujuh puluh) tahun.

Sebelas orang di atas dominan politis. Penetapannya tentu alot di Senat Akademik di kampus masing-masing. Universitas Gajah Mada (UGM) adalah kampus yang paling tegas menolak pemberian gelar tersebut, padahal prestasi dan kepakaran Perry Warjiyo (Gubernur BI) sangat mumpuni. Bagaimana civitas akademika kampus-kampus lain? Bagaimana atmosfer akademik, apaka kritis pada politisi atau menyemai praktik-praktik politik sumbu pendek di kampus?

Kampus: Benteng Akal Sehat dan Peradaban

Alwi Rahman menilai Kampus atau perguruan tinggi adalah benteng terakhir peradaban. Bisa juga kita sebut ia cerminan keadaban suatu masyarakat. Kata Prof Sigit, Universitas adalah benteng akal sehat dan keberadaban. Nilai dan tradisi yang dikembangkan adalah pemikiran yang jernih, etis, dan beradab; pertaruhannya adalah kebenaran, kejujuran dan kemaslahatan.

Sebagai orang yang pernah merasakan kuliah di kampus besar di Makassar, UNM dan UNHAS. Kedua kampus itu terasa perbedaannya memperlakukan mahasiswa atau akademisi yang kritis. Kultur kampus lain, bisa dipelajri dari oknum dan alumninya. Pengalaman studi banding dan Short Course di kampus lain menunjukkan kampus unggul adalah yang tradisi akademiknya kuat, tradisi yang menjamin kebebasan berpikir dan berpendapat lestari tanpa harus takut kehilangan rezeki dari TYME. 

Prof Sigit (UGM) menganggap pengangkatan profesor kehormatan memuat kepentingan pragmatis individu maupun kelompok. Mengabaikan prinsip kesetaraan dan keadilan tentu mengkhianati pengorbanan para dosen menggapai guru besar. Para dosen di perguruan tinggi harus berjuang keras puluhan tahun untuk mencapai posisi profesor dengan berbagai beban kinerja, belitan regulasi dan birokrasi.

Apabila otoritas perguruan tinggi memihak pada kepentingan pragmatis maka kebenaran dan akal sehat akan tergadaikan. Tentu juga merendahkan martabat perguruan tinggi dan sivitas yang ada. Pengangkatan profesor kehormatan yang tak berkontribusi pada pencapaian misi utama perguruan tinggi, justru merendahkan martabat dan reputasi, merusak ekosistem, dan tata kelola PT. 

Politik Kampus

Sedari dulu politik dan kampus selalu hadir dalam perbincangan di ruang publik. Evolusinya juga semakin kompleks. Mengurainya seperti mencari jerami dalam tumpukan jarum. Masalahnya rumit dan pelik dengan sejumlah variabel yang mempengaruhinya.

UNM dan UNHAS dua tahun terakhir ikutan tren memberikan gelar kehormatan pada tokoh politisi. SYL di Unhas dan NH di UNM. Keduanya sebenarnya adalah 'rival' politik.  Salah satu perbedaannya adalah polemik penolakan anggota Senat Universitas. SA Unahs menolak, Di UNM nyaris tak ada riak, kecuali beberapa dosen UNM di sudut-sudut pojokan dan warung kopi yang kaget dan bersikap kritis bahkan tidak setuju. Dua tahun polemik pemberian gelar pada SYL dan Senat tetap mangajukan ketidak sepakatannya, namun ‘hak veto’ Rektor Unhas tetap memberikan gelar pada SYL.

Kekuasaan memang sangat membuai manusia karena pada dasarnya menurut Nietzsche manusia tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan karena keinginan untuk berkuasa ada pada tiap individu. Bicara kekuasaan tidak hanya pada ranah makro – institusi politik semata. Pada skala mikro juga ada. Relasi kuasa dalam diri, keluarga, komunitas, dan lain-lain.

Ketika praktik kekuasaan mewujud secara totaliter maka kebebasan dan kebahagian terancam pada setiap individu di bawah institusi. Tan Malaka (1926) mengingatkan “Seluruh insan kampus seperti dosen dan mahasiswa berhak memperoleh ruang dan kebebasan untuk mengembangkan, mengaplikasikan ilmu pengetahuan serta mengabdikan diri untuk kepentingan rakyat supaya tidak ditindas oleh rezim kekuasaan”.

Sepertinya sivitas kampus membutuhkan penting menggiatkan kembali kajian-kajian kritis pada sindikasi-sindikasi skala mikro yang terdesentralisasi, sehingga kekuasaan yang sentrallistik tidak semena-mena pada hak kebebasan berpikir dan berpendapat setiap individu.

Politik adalah tindakan. Setiap tindakan sadar selalu di awali proses berpikir. Politik adalah cara untuk mencapai tujuan. Berdasarkan definisi ini, sesungguhnya semua orang berpolitik. Tentu dengan ideologi dan nilai yang dianutnya. 

Sebelum berbondong-bondong mengikuti tren pemberian gelar profesor kehormatan, perguruan tinggi Indonesia perlu fokus untuk membangun mutu, keunggulan, serta program studi yang unik dengan cara-cara bermartabat.

Oxford University Sejak berdiri pada 1096, konsisten berkomitmen untuk unggul di setiap bidang pengajaran dan penelitian. Meski punya sejarah sebagai universitas bagi bangsawan Inggris, Oxford modern telah menginisiasi transformasi jangka panjang untuk mewujudkan budaya yang lebih inklusif, misal dengan menerima mahasiswa dari berbagai latar belakang.

Mungkin membandingkan kampus kita dengan Oxford, seperti membandingkan langit dan sumur. Namun setidaknya memberikan pencerahan bahwa unggul tidak direngkuh dengan cara-cara instan dan jangka pendek, sebagaimana gelar profesor kehormatan. Wallahu a’lam bissawab.

 


Dimuat di Harian Tribun Timur Makassar.

PERAN DATA MEWUJUDKAN KEADILAN EKONOMI

PERAN DATA MEWUJUDKAN KEADILAN EKONOMI *)

Syamsu Alam


Measure what is measurable, and make measurable what is not so. 

Galileo Galilei (GG). 



World Digital Competitiveness Ranking (2022), Indonesia menempati peringkat ke-51 dengan skor 56,14 dari 63 negara. Rata-rata IQ orang Indonesia 78,49 urutan ke-10 dari 11 negara ASEAN. IQ biasanya mencerminkan kualitas pendidikan dan lingkungan. Rilis IQ rata-rata Versi World Population Review. Bisa diterima sebagai motivasi saja. Meskipun perhitungan rata-ratanya masih perlu dipertanyakan dengan melihat jumlah pembagi penduduk 275,5 juta yang jauh lebih besar dari negara lain. 


Ungkapan GG di atas masih relevan “Ukur apa yang dapat diukur, dan buatlah agar dapat diukur apa yang tidak dapat diukur." Kutipan ini menunjukkan pentingnya pengukuran, tetapi juga mengakui bahwa tidak semua hal dapat diukur dengan mudah. Galileo menyadari bahwa untuk memahami dunia yang kompleks, kita perlu mengembangkan alat pengukuran yang lebih canggih dan metode yang lebih maju untuk dapat mengukur fenomena yang sulit diukur atau bahkan belum diketahui cara mengukurnya. 


GG memiliki pertemuan yang terkenal dengan Karaeng Pattingalloang pada tahun 1621 di Makassar.  Galileo dan Karaeng Pattingalloang memiliki latar belakang yang sangat berbeda, namun mereka berhasil menjalin hubungan baik, berdiskusi dengan terbuka tentang topik-topik ilmiah hingga terjadi pertukaran ‘barang mewah’. Karaeng Pattingalloang memberikan peta dan dibalas dengan pemberian teropong oleh Galileo.


Galileo terkesan dengan teknologi maritim yang digunakan oleh orang Makassar, termasuk kemampuan mereka dalam menguasai angin dan arus laut untuk memudahkan navigasi kapal. Hal ini menunjukkan betapa majunya peradaban dan teknologi yang dimiliki oleh orang Makassar pada saat itu.


Jadi Makassar pernah memiliki daya tarik bukan hanya karena rempah-rempah tetapi khazanah kekayaan intelektualnya. Maka menjadi aneh ketika ada Tagline “Makassar Menuju Kota Dunia”. Kita sedari dulu telah mendunia, pak !


Hikmah lainnya, Galileo pada akhir kisah hidupnya memberikan pengingat akan pentingnya kebebasan berpikir dan keberanian untuk mengejar kebenaran dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sekaligus menjadi sebuah penanda dalam sejarah tentang betapa pentingnya menjaga kemerdekaan akademik dan kebebasan berpendapat untuk kemajuan bangsa.


Sayangnya keberanian yang diwarisi oleh leluhur orang-orang Makassar, kini redup dan kerap hanya ‘berani sala-sala’ (Berani bukan pada tempatnya). Keberanian kerap disandera dengan kepentingan ‘daerah perut dan sekitarnya’.


DATA ADALAH SENJATA


Data adalah fakta sejarah. Fakta semenit yang lalu ada orang yang rugi miliaran di pasar kripto, ada juga yang profit miliaran. Data digital adalah jejak digital pengguna aplikasi digital. Data ibarat dua mata sisi uang. Ia dapat dimanfaatkan untuk hal positif atau negatif. Manipulasi data pun dapat menyesatkan pengguna data, bahkan dapat menimbulkan perang. Data sebagai salah satu aset tak berwujud yang dimiliki oleh individu, organisasi, negara.


Di era digital saat ini, data telah menjadi komoditas yang sangat berharga. Ia sangat bermanfaat bagi perusahaan, pemerintah dan organisasi lainnya. Data dapat digunakan untuk memahami perilaku konsumen, mengidentifikasi tren pasar, meningkatkan efisiensi produksi, mengembangkan produk dan layanan baru yang lebih relevan dengan kebutuhan pasar.


Pada dimensi individu dan organisasi, data juga dapat membantu dalam proses pengambilan keputusan yang lebih baik dan akurat. Dengan data yang tepat, organisasi dapat menganalisis kinerja mereka, mengidentifikasi area yang memerlukan perbaikan, dan mengambil tindakan yang tepat untuk mencapai tujuan mereka.


Pada tahun 2018, sebuah laporan investigasi oleh The Guardian dan The New York Times mengungkapkan bahwa Cambridge Analytica (CA) telah mengumpulkan data pribadi dari jutaan pengguna Facebook tanpa izin mereka dan menggunakan data ini untuk mempengaruhi hasil pemilihan umum di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat dan Inggris. Setelah terungkap, Facebook dan CA dituduh telah melanggar privasi pengguna dan mengambil tindakan untuk menghentikan praktik ini.


Laporan tersebut mengungkapkan bahwa CA mendapatkan akses ke data pribadi pengguna Facebook melalui aplikasi "This Is Your Digital Life" yang dikembangkan oleh Aleksandr Kogan, seorang peneliti di Universitas Cambridge. Aplikasi ini meminta izin pengguna untuk mengakses data mereka dan data teman-teman mereka di Facebook untuk tujuan penelitian akademis.


Namun, Kogan memberikan data yang dikumpulkannya kepada CA, lalu menggunakannya untuk membuat profil psikologis pengguna Facebook dan mempengaruhi opini publik melalui iklan politik yang disesuaikan. Setelah laporan ini terungkap, Facebook dan CA dikecam secara luas karena telah melanggar privasi pengguna dan memanipulasi opini publik. Pemerintah dan regulator di beberapa negara juga melakukan penyelidikan atas praktik ini, dan CA akhirnya bangkrut.


DATA DAN PEMERINTAH


Pemerintah adalah produsen sekaligus pengguna data. Data yang benar terpercaya dan valid dapat memberikan informasi yang bermanfaat. Informasi tersebut dapat dikelola menjadi pengetahuan yang mencerahkan, dan akhirnya dapat memberikan tindakan (wisdom) yang tepat.


Di lingkup pemerintahan ada 3 jenis data yang digunakan. Yaitu data statistik, data spasial, dan data keuangan. Ketiga data ini diproduksi oleh instansi pemerintah yang dpat digunakan untuk Identifikasi ketidaksetaraan, menemukan pola dan penyebab ketidaksetaraan, mengukur efektivitas kebijakan, dan lain-lain.


Dengan memahami bisnis proses data maka suatu organisasi pemerintahan dapat kompetitif. Sayangnya kesadaran memanfaatkan transformasi data digital masih dominan sebagai ‘lip services’ daripada itikad baik dan berani untuk mewujudkan cita-cita bangsa, kesejahteraan dan keadilan sosial.


John Stuart Mill dalam "The Economic Rules of Behavior" memberikan pandangan tentang bagaimana perilaku ekonomi dapat dipahami dan dijelaskan secara logis dan sistematis. Konsep ini memberikan dasar dalam pemahaman dalam ekonomi yang lebih kompleks saat ini. Namun data memungkinka kita dapat memahami yang kompleks dengan lebih mudah, efisien, dan efektif. 


Syaratnya untuk memanfaatkan data menjadi sumber energi baru hanya dua, Pengetahuan dengan segala dimensinya (Knowledge) dan Kemauan (Political will). Jika dibuatkan fungsinya TDx = f(K,P). Manakah yang diutamakan pemerintah? K, P atau tidak keduanya, entahlah.[]


*) dimuat di harian Tribun Timur

SMART CITY ANTARA ILUSI ATAU KESADARAN

SMART CITY ANTARA ILUSI ATAU KESADARAN

Syamsu Alam


Dalam film Quantumman, serial fiksi ant man karya marvel, berulang kali muncul dialog, whats your plan? Rencana merupakan hal mendasar dalam pembangunan, baik nasional maupun daerah. Sebuah rencana yang baik tujuannya jelas, prosesnya jelas, dan inputnya bisa diketahui dengan baik dan jelas. Keliru menginterpretasikan input sensorik yang ditangkap oleh panca indera akan terjebak pada ilusi. Smart City (SC) sebagai model adaptasi disrupsi digital akan direspon berbeda berdasarkan tingkat kesadaran dan pengetahuan.

Penerapan SC di Kota Makassar diantaranya dengan memantau kemacetan melalui War Room, Call Center 112, Makassar Smart Card sistem pembayaran online, dll. Bahkan pada tahun lalu melalui Rakorsus 2022 Walikota meluncurkan program akselerasai SC, Makassar kota Metaverse (MakaVerse).

Membangun Kota (Daerah) sejatinya membangun manusianya, bukan sebuah perlombaan mengadopsi ‘sinyal’ teknologi terbaru. Smart City yang baik adalah konsep adaptasi teknologi yang tetap menjadikan manusia sebagi pusat, bukan teknologinya yang terkesan canggih. Semua perlu kajian, butuh perencanaan yang baik dan tidak terjebak pada ideologi posmodernime ‘siapa cepat ia menang’.

Penggerak postmodernisme saat ini adalah Kecepatan. Kecepatan adalah Prinsip utama. Paul Virilio menyebutnya Dromologi. Dromologi berarti semesta berpikir yang didasarkan pada prinsip kecepatan. Walikota Makassar menganggap program MakaVerse sebagai inovasi Kota Makassar dalam mengadopsi teknologi baru. Dinas Komunikasi dan Informasi Kota Makassar sebagai leading sector program ini dalam paparan pada Rapat Koordinasi Khusus (Rakorsus) dengan tagline ‘ Makassar Menuju Kota Meteverse’ pada 15 Maret tahun lalu.

Kota Makassar mengklaim keberhasilannya dalam program Smart City dengan telah membuat 147 aplikasi yang tersebar pada berabagai dinas dan badan. Daftarnya bisa dilihat pada anrong.makassarkota.go.id atau di laman web kominfo kota Makassar. Sayangnya open data, integrasi data layanan publik yang efektif dan efisien masih sulit kita temui keberadaannya.

Salah Kaprah Transformasi Digital

Transformasi Digital kerap disalah pahami sekadar penggunaan atau adopsi teknologi baru semata. Pada pemerintahan ditandai dengan banyaknya aplikasi yang telah dibuat. Ratusan aplikasi yang tersebar pada semua dinas, badan atau layanan masih perlu dicek kebelanjutannya, jangan-jangan itu hanya program menyerap anggaran. Semoga saja tidak demikian. Karena jika hendak benar-benar melakukan transformasi digital dengan baik, benar, dan diridhoi oleh khalayak, sebaiknya bertumpu pada bukti dan pengetahuan.

Transformasi berbeda dengan perubahan. Transformasi bernuansa jangka panjang, sustainable, bertahap, terencana, dan menyeluruh. Perubahan lebih bernuansa jangka pendek dan tidak utuh. Sebagai metafora, transformasi seperti ulat berubah jadi kepompong, lalu menjadi kupu-kupu muda hingga dewasa dan bisa terbang bebas. Sedangkan perubahan (change) seperti ular yang ganti kulit saja. 

Transformasi ditandai adanya perubahan peran dari melata menjadi terbang. Mari kita simak transformasi ala Smart City di Kota kita tercinta. Sebenarnya transformasi digital membutuhkan dua syarat utama. Yaitu, digitisasi dan digitalisasi. Sudah berapa persen data yang terdigitisasi? Data Staitistik, keuangan, dan spasial sudah berapa yang terintegrasi, Apakah cukup dengan data berbasisi web? Itulah mengapa McKinsey menyebut, “Transformations are hard, and digital ones are harder.” Dan tentu tidak bisa diselesaikan dalam 1 periode pemerintahan Walikota.

Tabrizi dkk. Pernah menulis HBR (Harvard Business Shool) mengatakan “Digital Transformation is not about technology”. Digital transformation success depends not on technology, but systemic and behavioral changes. Raita menambahkan tiga kunci sukses dalam melakukan transformasi digital: 1) purpose, tujuannya dari digital transformasi harus jelas. 2) visible progress, seluruh anggota tim tahu ada di mana posisi organisasinya dalam tranformasi ini. 3) Emotional, karena transformasi akan mengubah dari steady state menjadi steady state yang lain.

Menurut Survey Walikota, hanya 8 % warga kota Makassar yang mengetahui Meteverse (makassar.tribunnews.com/2022). Nah, bagaimana mungkin sebuah program (MakaVerse) bisa sukses jika yang mengetahuinya hanya sedikit warga kota. Pada aspek ini, program tersebut bisa dikatakan ‘program sporadis’ dan cenderung ilutif.

Kembali ke ‘Kesadaran’

Hasil Penelusuran saya pada Program Smart dan ‘Sombere’ di Kota Makassar dengan memperhatikan konsistensi perencanaan pembangunan Kota. Keterkaitan antar dokumen Perencanaan seperti RPJMD Kota Makassar 2021-2016, RKPD Kota Makassar 2022, Rencana Strategis (RENSTRA) Bappeda 2021-2026, RENJA Bappeda Kota Makassar 2022, Masterplan Makassar Sombere & Smart City, LKPJ (Laporan Kinerja Pertanggung Jawaban) Kota Makassar Tahun 2022, Dan dokumen-dokumen pendukung lainnya. Sepertinya Program smart City yang kerap berubah-ubah secara cepat memberikan kesan bahwa Program ini belum di rumuskan secara baik dan memperhatikan aspek yang lebih komprehensif selain seolah-olah adaptif dengan perkembangan teknologi terbaru.

Secara hirarkis Perencanaan Pembangunan Visi, Misi, Tujuan, Strategi, Kebijakan, Program, dan Kegiatan sudah dirumuskan cukup baik dengan target terukur. Namun memberikan porsi perhatian yang sangat dominan pada Program Smart City yang ‘bombastis’ tanpa memperhatikan lingkungan atau ekosistem kesuksesan program Transformasi Digital dapat menyebabkan terjadinya inkonsistensi dalam perencanaan dan penganggaran. Kita sadar bahwa permbangunan mestinya berjalan gradual, sistemik, dan lamban.

Baars mengkaji kesadaran secara psikologis dengan mempopulerkan analisis kontrastif untuk membandingkan kesadaran dengan ketidaksadaran. Menurutnya, Kesadaran itu bersifat lamban sebab terkait dengan keterbatasan kapasitas baik dalam memori, perhatian selektif maupun sistem serial. Sedangkan ketaksadaran bersifat cepat, paralel, dan cenderung sporadis. Bahkan dalam kesadaran kuantum mengatakan bahwa ‘setiap orang terhubung dengan segala hal’. Artinya membangun kota, berarti bersedia membuka telinga, pikiran, hati, dari aspirasi warga, karena kita sadar akan keterbatasan kita [].


Note:

Tabrizi dkk. Pernah menulis HBR (Harvard Business Shool) mengatakan “Digital Transformation is not about technology”. Digital transformation success depends not on technology, but systemic and behavioral changes. Raita menambahkan tiga kunci sukses dalam melakukan transformasi digital: 1) purpose, tujuannya dari digital transformasi harus jelas. 2) visible progress, seluruh anggota tim tahu ada di mana posisi organisasinya dalam tranformasi ini. 3) Emotional, karena transformasi akan mengubah dari steady state menjadi steady state yang lain.

Menurut Giffinger (et al.,2007) Smart Governance yang baik memenuhi kriteria 1). Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, 2).Pelayanan umum dan sosial, 3). Tata kelola yang transparan, 4). Strategi dan perspektif politik. Namun jika memperhatikan secara empirik, beberapa kebijakan di Kota Makassar tidak menunjukkan memnuhinya aspek di atas. Hal ini dapat dilihat dari program yang tidka berjalan sesuai harapan, dan kerap tidak mencerminkan kebutuhan masyarakat sebagai implikasi partisipasi yang rendah.



31/01/2023

'BISNIS KEBIJAKAN' SUBSIDI GREEN LIFE STYLE

'BISNIS KEBIJAKAN' SUBSIDI GREEN LIFE STYLE
Syamsu Alam
Kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang, tapi kita meminjamnya dari anak cucu kita.
~Pepatah Suku Indian~
Jika Anda berencana membeli mobil baru, motor baru, boleh dipertimbangkan dulu. Kenapa? Kabarnya Pemerintah akan mensubsidi kendaraan listrik sekitar 5 triliun rupiah. Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian berencana memberikan subsidi kendaraan listrik listrik sebesar Rp80 juta dan mobil berbasis hybrid sebesar Rp40 juta, serta motor listrik baru Rp8 juta. Meskipun demikian besaran angka-angka ini belum final di Kementerian Keuangan.

Setiap kebijakan biasanya dilandasai oleh tiga hal. Kajian akademik teoretis, regulasi, data data (termasuk benchmarking). Secara teoretis ekonomi hijau ataupun energi hijau sangat baik. Nafasnya adalah, bagaimana aktifitas ekonomi saat ini, tidak mengorbankan generasi yang akan datang. Dari aspek regulasi, baik secara internasional sampai ke tingkat lokal sudah tersedia dipaparkan dengan indah dalam dokumen-dokumen regulasi pemerintah. Dari Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Instruksi presiden, sampai peraturan Bupati/walikota. 

Sedangkan aspek data dan bechmarking, Indonesia dianggap memiliki potensi sumber daya alam yang besar untuk mendorong ekonomi hijau. Potensi tambang mineral untuk beterai, potensi hutan, lahan pertanian, dll. Khusus subsidi kendaraan listrik benchmarking adalah Taiwan dan Vietnam.

Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah pada tanggal 13 September 2022. Sejumlah kebijakan dan program progresif dilakukan untuk menindaklanjutinya.

Setiap ‘rencana kebijakan’ selalu menuai pro-kontra. Gaya marketing pemerintah sedari dulu demikian, ibaratnya melempar umpan untuk melihat riak, termasuk rencana subsidi kendaraan listrik. Benarkah rencana subsidi sebesar itu untuk mendukung gaya hidup ‘green’, atau ‘seolah-olah pro-green’ untuk bisnis para oligark? 

Bisnis Kebijakan ‘Green Life Style’

Sebuah bisnis pasti memiliki ekosistem. Semakin besar dan dominan sektor bisnis tersebut, tentu ekosistemnya juga solid. Relasi pemerintah dan pebisnis ibarat dua sisi uang koin. Tidak akan disebut uang koin, tanpa dua sisi. Keduanya adalah simbiosis mutualisme.

14/03/2022

SMART CITY, METAVERSE UNTUK SIAPA?

Syamsu Alam

Beredar di media online, Makassar menuju Kota Metaverse. Danny Pomanto menyatakan, “Keunggulan masa depan adalah kecepatan dan adaptasi, kota Metaverse adalah loncatan dan kecepatan adaptasi kota Makassar menuju kota dunia yang ‘sombere’ dan ‘smart’ dengan keunggulan masa depannya,” (Tribun, 10 maret 2022).

Pertanyaan pada topik tulisan ini, bukan hal baru dan bukan anti kemajuan. Paul Virilio, filosof, pakar urban juga pernah mengemukakan berbagai pertanyaan yang perlu direnungkan. Mengapa ‘kita’ berlomba berburu kemajuan teknologi informasi? Apakah perlombaan itu benar-benar bermanfaat untuk kehidupan yang lebih baik (better quality of life) seperti yang dicita-citakan dalam Smart City. Kita rela menghabiskan waktu, uang, dan energi untuk sekadar ‘update’ informasi, tanpa merefleksikan seberapa besar manfaat informasi tersebut.

Teknologi sebenarnya untuk siapa? Apakah untuk manusia atau untuk teknologi itu sendiri. Jika Teknologi untuk manusia, apakah ia sebagai alat bantu atau bagian dari diri manusia yang akan menjadi otomatisasi. Don Ihde menganggap Teknologi adalah bagian dari proses berkebudayaan. Jadi teknologi bukan sekadar mesin-mesin, tetapi bagian dari budaya manusia dalam memandang dan memanfaatkan materi. 

Secara spesifik, Smart City dan Metaverse yang diwacanakan Pemerintah Kota Makassar, sebenarnya untuk siapa? Smart City sebagai gagasan yang mendisrupsi konsep pemerintahan konvensional bertujuan agar pelayanan pemerintahan kepada masyarakat lebih baik dan kehidupan warga lebih berkualitas. 

Metaverse sebenarnya hanya internet versi lain yang menawarkan cara baru berkomunikasi dan berinteraksi di dunia virtual. Bahkan ada teman mengatakan, meteverse hanya kosmetik.

APA KABAR SMART CITY?

Hasil evaluasi penerapan (SPBE) tahun 2021 di Sulsel belum sesuai target. Rerata instansi pemerintahan masih pada predikat cukup dan kurang. Di Sulawesi selatan hanya Pemerintah Kabupaten Pinrang dan Kab. Luwu Utara yang meraih predikat baik. Pemerintah Kab. Gowa, Kab Sidrap, dan Kab. Soppeng: Predikta kurang, selebihnya termasuk Kota Makassar masuk ketegori cukup. (PANRB, 2021).  Hasil evaluasi lengkap dapat dilihat pada Gambar


Walikota Makassar, Danny Pomanto (DP) sepertinya tak kehabisan wacana untuk menunjukkan pada dunia bahwa Kota Makassar adalah ‘Smart City’ dengan segudang inovasi. Smart City tertuang indah dalam Visi Misi RPJMD Kota Makassar. Bahkan Kota Makassar salah satu dari 3 kota percontohan ‘Smart City’ yang dianggap memiliki komitmen tinggi mewujudkan ide tersebut. Namun terburu-buru mengadopsi Metaverse apakah bisa disebut inovasi?

Se-SMART apakah kota yang berpenduduk 1,42 juta (SP,2020)? Dapat kita telusuri dari berbagai program dan dokumentasi kinerja Kota Makassar selama periode DP. Smart City memanfaatkan teknologi sebagai enabler untuk menjadikan kota yang layak huni, nyaman, mudah, sehat , aman, dan berkelanjutan. 

Secara garis besar, proyek Sombere & Smart City Makassar terdiri dari enam dimensi. 1.Smart government, untuk mengoptimalkan pelayanan publik. 2.Smart branding, untuk meningkatkan kesadaran terhadap karakter kota, terutama pariwisata. 3.Smart economy, untuk membangun ekosistem dan mendorong less cash society. 4.Smart living, untuk kehidupan yang nyaman dan meningkatkan Kesehatan. 5.Smart society, masyarakat yang interaktif dan humanis. 6.Smart environment, untuk mengurangi dan memanfaatkan sampah serta menciptakan sumber energi yang lebih baik.

Keenam dimensi tersebut bisa diukur dengan indikator yang lebih spesifik. Jika diringkas setidaknya ada dua hal yang harus dipenuhi oleh Pemerintah yang Smart, yaitu pelayanan masyarakat yang efektif dan efisien serta adanya sumber pendapatan baru daerah. Apa yang dirasakan oleh warga kota Makassar selain banyaknya CCTV? Apakah Pemerintah Kota Makassar dapat mengetahui secara real time pendapatan? Apakah sinkronisasi data kependudukan, data yang dikelola pemerintah seperti data statistik, data geospasial, dan data keuangan sudah tersinkronisasi dengan baik? Dapat diakses publik, seperti data di kota lainnya seperti Bandung, Semarang dan Jakarta. 


INTERUPSI !

Penggerak kemoderenan peradaban berevolusi. Pada peradaban pra modern, kemajuan ditentukan oleh produksi. Siapa pun yang memiliki alat produksi dan kemampuan memproduksi barang dan jasa dibanding yang lain, maka ia pemenangnya. Fase modernisme, kemajuan diukur dengan tingkat konsumsi. Semakin banyak, semakin mewah konsumsi, maka semakin berkuasa. Konsumsi adalah ukuran kemajuan, kemapanan dan superioritas. 

Penggerak postmodernisme saat ini adalah Kecepatan. Kecepatan adalah Prinsip. Paul Virilio menyebutnya Dromologi. Dromologi berarti semesta berpikir yang didasarkan pada prinsip kecepatan.  Ada empat asumsi dasar Dromologi. Pertama, dromologi menuntut untuk menjadi yang tercepat, pertama, dan terdepan. Hal ini memaksa seseorang untuk mencari informasi secara terus-menerus. Kita sering kali merasa takut ketinggalan informasi dan merasa tidak bisa bergaul jika tidak update. Kedua, siapa cepat dia menang, dan siapa menang dia berkuasa. Prinsip kecepatan mengubah cara pandang seseorang dari cepat memperoleh informasi menjadi berkuasa, mungkin juga bisa digunakan pada kecepatan mengadopsi teknologi. Ketiga manusia tidak boleh diam. Sebab diam berarti mati, tergilas oleh cepatnya perubahan. Keempat, kecepatan sebagai dasar berpikir dan pengambilan keputusan. Prinsip kecepatan menjadi pijakan berpikir dan penentuan keputusan dalam masyarakat.

Indonesia memang tercatat dalam daftar 10 besar negara yang kecanduan media sosial. We Are Social dan Kompas melaporkan, februari 2021,  waktu yang dihabiskan orang Indonesia untuk mengakses internet per hari rata-rata yaitu 8 jam 52 menit. Berdasarkan aplikasi yang paling banyak digunakan, secara berurutan posisi pertama adalah YouTube, WhatsApp, Instagram, Facebook, lalu Twitter. Namun dengan meomentum ini apakah harus terburu-buru mengadopsi konsep Metaverse(?)

Efek lebih jauh dari perlombaan mengadopsi teknologi (Informasi) adalah Piknolepsi.  Bagi Virilio, ia merupakan kondisi ekstase yang terjadi karena manusia larut dalam kecepatan dan percepatan perubahan. Kondisi ekstase ini membebaskan dari berbagai hambatan dan memenjarakan manusia dalam ketergantungan. Ia bisa menjadi keniscayaan atau malah menjadi candu. Kecanduan itu menyebabkan hidup kita hanya dikontrol oleh notifikasi algoritma. Kita kehilangan waktu untuk mempertimbangkan relevansi dan maknanya bagi kehidupan kita sendiri. 

MENCIPTAKAN BUDAYA TEKNOLOGI POSITIF

Teknologi seperti pisau bersisi ganda. Ia hadir membawa manfaat sekaligu spotensi bencana dan kerusakan. Pesawat dapat memudahkan dan mempercepat jarak tempuh waktu perjalanan, namun pada saat yang sama jug aada potensi kecelakaan pesawat, demikian pula dengan teknologi informasi, memudahkan mencari informasi sekaligus berpotensi mudahnya menemukan informasi bohong (hoax).

Mencari dan berburu informasi memang tidak salah. Kita membutuh ‘update’ informasi. Namun, pencarian informasi akan menjadi hal yang sia-sia jika tidak ada korelasi dan relevansi dengan makna kehidupan kita. Apalagi, kita sampai kehilangan arah hidup bahkan sampai mabuk akibat limpahan informasi yang tidak dapat dikendalikan. Oleh karena itu, sebaiknya kita mengenal kebutuhan informasi sekaligus mengendalikan diri agar tidak larut dalam pusaran kecepatan informasi atau ‘bom informasi’.

Sekaitan dengan hal tersebut, Paul Virilio mengemukakan lima gagasan guna menghasilkan budaya teknologi yang sehat dan positif. Pertama, prinsip kehati-hatian. Dalam konteks prinsip kecepatan, kehati-hatianuntuk tidak menelan begitu saja informasi yang ada. Informasi tersebut harus dianalisis dan dipahami dari beragam persfektif. Sehingga, informasi tersebut tepat sasaran dan manfaatnya untuk kita.

Kedua, menjaga jarak. Bukan hanya menjaga jarak aman berkendaraan. Kita juga seharusnya menjaga jarak dengan arus informasi yang cepat dan massif. Jika terlalu dekat dan terlibat, kita susah melawan arus. Selain itu, kita juga sulit memperoleh pemahaman yang objektif. Ketiga, skeptis. Skeptis atau meragukan sesuatu adalah salah satu metode dalam menguji kebenaran suatu informasi atau pengetahuan. Skeptis merupakan sikap yang tidak mudah mempercayai informasi. Hanya produsen informasi yang mengetahui bahwa informasi tersebut tidak benar atau palsu. Oleh karena itu, sikap skeptis ini perlu untuk mempertanyakan kembali kebenaran informasinya, sumber bahkan relevansinya dengan kita. Keempat, verifikasi. Yakni memastikan sumber informasi yang didapat adalah informasi yang terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan. Dan yang terakhir, yang kelima, check and recheck, yakni selalu memeriksa kembali informasi yang dapat agar terhindar dari informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Kelima langkah tersebut saling melengkapi satu sama lain. Kelima hal tersebut dapat menjadi pengontrol arah dan keterlibatan kita dalam arus kecepatan dan percepatan teknologi informasi. Hal tersebut akan melahirkan budaya berteknologi yang sehat dan positif. Satu sisi kita memperoleh informasi yang kita butuhkan dan di sisi lain kita juga berteknologi yang sehat dan positif.

Demikian juga dengan metaverse, Jika hanya untuk Branding City, mungkin pemanfaatan digital marketing yang optimal akan berdampak bagus. Karena Teknologi dalam Smart City hanya alat bantu efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, bukan sekadar perlombaan mencapai rating indeks dan belanja untuk kebutuhan teknologi [].

Terbit di Tribun Timur, 15 Maret 2022.

Syamsu Alam
Dosen Bisnis Digital FEB UNM


Sumber Inspirasi:
  • Filsafat Teknologi, Don Ihde.
  • Speed and Politics, Paul Virilio
  • Kuliah FIlsafat Teknologi, Fachruddin Faiz.
  • Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik, KOMINFO
  • Buku 3 Sombere dan Smart City Kota Makassar.
  • Hasil evaluasi SPBE, MENPANRB
  • Imajinasi sendiri.

09/10/2021

EVOLUSI KAPITAL (CAPITAL EVOLUTION)

[Serial Kapital] : EVOLUSI KAPITAL 

KAPITAL adalah kunci utama dalam aktivitas ekonomi dan bisnis. Bahkan dalam aktifitas sehari-hari, Kapital adalah kuncinya. Banyak orang menjadikan modal sebagai kendala utama dalam berusaha. Modal juga kerap menjadi 'sang tertuduh' atas terjadinya ketidakharmonisan semesta (bencana). Konsep modal juga menjadi pemicu debat dari era klasik berbagai mazhab dalam ekonomi hingga saat ini. 

Teori kapital adalah salah satu konsep paling mendasar dan tidak ada definisi tunggal tentang kapital dalam teori ekonomi. Oleh karena itu pengukuran terhadap kapital pun sangat beragam dan dinamis. Jika kapital adalah aset maka masih dapat ditelusuri apakah Tangible asset (empiris) atau intangible asset (non-empiris). Namun yang dapat disepakati adalah modal adalah input. Ia adalah masukan bagi sebuah proses rantai produksi bahkan dalam rantai nilai kehidupan manusia.

Di weblog ini akan diulas secara serial teori tentang kapital, termasuk kekeliruan memaknai tentang kapital (modal) yang menyesatkan sebagian besar masyarakat. Sehingga terkesan modal adalah sesuatu yang sulit dan jauh di luar diri kita, padahal Tuhan secara alamiah telah memberikan potensi pada kita semua: Panca indera, akal, hati (qalbu), kemampuan imajinasi, harapan, teman, kemampuan membaca, dll adalah juga termasuk modal.    

Berikut adalah ilustrasi bagaimana konsep atau pun teori kapital berevolusi, dari yang tradisional hingga yang mutakhir. 


Kita kerap mereduksi Kapital hanya sekadar modal fisik dan modal keuangan, sedangkan produktivitas memanfaatkan potensi diri, seperti ide, kreatifitas tidak dianggap sebagai kapital. 

Mungkin dalam kerangka produksi yang massif definisi tentang kapital adalah bahan material fisik, mesin-mesin produksi, tanah, sumber keuangan. Namun level yang lebih mikro pada diri setiap manusia ada harapan, kepercayaan, cita-cita, keberanian untuk memulai sebuah usaha adalah juga kapital. Jangan-jangan kita semua adalah Kapitalis, yang tidak memahami kemampuan kapital yang kita miliki.

Claude Frédéric Bastiat dalam Capital and Interest Theory secara ekstrim menyebutkan everybody was a capitalist. 

see you next .... :)

08/04/2021

KEMANA ISU PERUBAHAN KE-5 UUD 1945 BERLABUH?

KEMANA ISU PERUBAHAN KE-5 UUD 1945 BERLABUH?

Telaah Kecil Asymmetric War

Agaknya, isu amandemen ke-5 UUD 1945 tentang masa jabatan presiden tiga periode, bukanlah sekedar rumor atau bualan semata. Kenapa demikian, bahwa pola asymmetric war (perang asimetris) menengarai hal tersebut justru merupakan skema dan skenario yang hendak digelar. Ini asumsi awal. Masih perlu diuji. 


Ya, asymmetric war mengajarkan pola dan urutan langkah guna meraìh apapun, misalnya, dalam hal ini adalah amandemen ke-5 UUD 1945 melalui tiga tahapan yakni: isu - tema/agenda - skema atau disingkat ITS. 

Isu disebar guna melihat reaksi serta mempengaruhi publik; kemudian tema digulirkan, selain untuk mempertebal pengaruh (isu) juga dalam rangka menggiring opini. Jika opini (agenda) telah terbentuk kuat di benak publik lalu dianggap lumrah, maka skema pun dihampar atau digelar. Itu urut-urutan lazim dalam pola perang nirmiliter atau asymmetric war. 

Nah, membaca pola asimetris di atas pada sebuah peristiwa, contohnya, bisa dimulai dari isu dahulu atau dari skema terlebih dulu. Terserah pembaca.

Pertanyaannya kini: "Jika 'skema'-nya ialah amandemen ke-5 UUD 1945 untuk mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode, lantas --- apa gerangan isu dan agenda?" 

Tampaknya peristiwa KLB Demokrat ---menurut hemat penulis--- itulah pintu pertama. Isu pembuka atau istilah kerennya test the water. Melihat reaksi dan gejolak publik atas tebaran isu.

Secara asimetris, peran isu sangatlah urgen. Kenapa demikian, karena apabila publik menolak secara keras, biasanya isu akan ditarik kembali atau dibatalkan. Seperti halnya investasi miras kemarin, misalnya, akibat gelombang penolakan publik relatif kuat maka isu pun dicabut. Tak dilanjut menjadi kebijakan dan/atau program. Akan tetapi, jika publik terlihat adem-adem saja ---menerima--- niscaya 'agenda' pun digulirkan. 

Tampaknya, respon publik terhadap isu KLB Demokrat di Sumut hampir tak ada gejolak signifikan. Publik terlihat 'bodo amat'. Ini berbeda dengan isu investasi miras. Gaduh luar biasa. Memang ada reaksi di level akademis soal KLB namun kecil dan elitis. Hanya riak - riak menyoal etika politik, atau dianggap urusan internal partai, ataupun soal hukum karma akibat kiprah masa lalu dst. Jadi, simpulan awal: tak ada gejolak (publik menerima) dengan adanya peristiwa "isu kudeta" di Sumut, bahkan ramai olok-olok nitizen yang sifatnya nyukurin.

Pertanyaan berikut, "Apa agenda lanjutan setelah isu ditelan oleh publik?"

Tak lain ialah 'koalisi tunggal partai' di parlemen dalam rangka meloloskan amandemen ke-5 UUD 1945. Mengapa? Karena riil oposisi saat ini hanya tersisa Demokrat dan PKS saja. Lainnya sudah masuk koalisi. Maka untuk meraih kuarom koalisi tunggal dimaksud, Demokrat kudu digoyang ---diakuisisi--- ditarik menjadi koalisi. Besok mungkin PKS yang digoyang, misalnya, atau tetap dibiarkan bila suaranya dianggap kecil. 

Memang ada slentingan bahwa 'kudeta' di Sumut terkait hajatan 2024, karena sang calon dari Demokrat sudah meminta restu "mbah"-nya. Tetapi abaikan dulu, lain waktu kita bahas. Sekarang balik lagi ke isu amandemen ke-5.

Permasalahan kini bukan soal amandemen ke-5, ke-6 atau revisi UU dst, akan tetapi --- apakah amandemen tersebut demi Kepentingan Nasional RI (KENARI); atau ada hidden agenda lain; atau jangan-jangan justru menguntungkan Kepentingan Negara Asing (KENARA)?

Geopolitik mencermati, bahwa amandemen sebanyak empat kali terhadap UUD 1945 (1999-2002) bukanlah peristiwa perubahan (konstitusi) lazimnya sesuai amanat reformasi, tetapi ada penumpang gelap bermain cantik lagi senyap. Gilirannya, amandemen lebih menjurus kepada apa yang disebut dengan istilah "kudeta konstitusi".

Lantas, apa indikatornya jika amandemen periode 1999 - 2002 dianggap sebagai kudeta konstitusi? 

Cermatan penulis, ada beberapa indikator mengapa amandemen pertama hingga keempat (1999 - 2002) dianggap sebagai kudeta konsitusi. Antara lain sebagai berikut:

1. Secara administrasi, kini ia tengah digugat di PN Jakarta Pusat oleh Dr Zulkifli S Ekomei dan sudah tahap banding dengan inti materi sebagai berikut:    

Pertama
  1. Bab IV-nya kosong; 
  2. 89% ayatnya baru; 
  3. Menghapus pasal 6 ayat 1 yang isinya adalah presiden adalah orang Indonesia asli; 
  4. Memberi nama yang sama dengan UUD 45 yang asli, padahal isinya jauh berbeda. Ini dianggap manipulasi dan palsu sehingga banyak yang menyebut UUD 2002;
  5. Tap MPR mengenai hasil perubahan UUD 45 ini tidak bernomor, padahal semua keputusan penting MPR punya nomor bahkan SK Kepada Desa saja ada nomornya; 
  6. Tap MPR RI No IV tahun 1999 tentang GBHN berlaku untuk periode 1999 - 2004 tidak ada indikasi akan melakukan perubahan UUD 1945. Dengan adanya perubahan pada periode tersebut maka praktis GBHN berubah; 
  7. Kecuali PAN dan PUDI, semua partai lain saat itu seperti PDIP, Golkar, PPP, PBB dll yang ada di MPR tidak pernah mewacanakan perubahan UUD. Mengapa tiba-tiba ada perubahan? Partai - partai tersebut melakukan perubahan UUD 1945 tanpa kongres atau rakernas untuk mendapatkan mandat. Begitu juga fraksi ABRI tidak melalui rapim; 
Kedua
  1. Akibat dari perubahan UUD 45 maka ada tiga hal prinsip yang sangat merugikan rakyat, yaitu perubahan pasal 1 ayat 2 menyebabkan kedaulatan rakyat diambilalih oleh partai-partai politik;
  2. Hilangnya kata 'orang-orang Indonesia asli' di pasal 6 membuka peluang imigran bisa menjadi presiden sehingga posisi Bumiputra Indonesia seperti terjajah kembali; 
  3. Penambahan satu ayat pada pasal 33 menyebabkan sistem ekonomi menjadi liberal sehingga melegalkan pencabutan subsidi untuk rakyat (Narasi di atas adalah bunyi Video I Dr Zulkifli S Ekomei yang berjudul: Mengapa Saya Menggugat UUD 1945 Yang Palsu).
  4. Dari perspektif geopolitik, hakikat amandemen empat kali UUD 1945 ialah pengambilalihan alias perampasan kedaulatan dari tangan rakyat ke genggam para pemilik modal. Inilah yang kerap disebut dengan oligarki oleh Prof Jeffry Winters, poin intinya: "bersatunya kekayaan dan kekuasaan". Kekayaan para pemilik modal bersekutu dengan pemegang kekuasaan. Entah kekuasaan partai politik atau kekuasaan pejabat negara sekaligus pebisnis. 
Hal ini berakibat, setiap kebijakan lebih menguntungkan segelintir elit kekuasaan dan pemilik modal daripada rakyat selaku pemilik kedaulatan. Kebijakan impor beras misalnya, justru dikala petani panen raya. Itu salah satu contoh. Dan kebijakan tersebut membuat para petani menjadi frustrasi karena harga-harga anjlog akibat impor, sedang rezim (sistem dan aturan) tidak berkutik.

Pertanyaannya, "Kemana para anggota dewan periode 1999 - 2002?" 

[Part III] 

Menyimak uraian Video Kedua dari Dr Zulkifli S Ekomei yang diuplode di Youtube: Mengapa Saya Menggugat UUD 1945 yang Palsu? 

Adalah sebagai berikut:

Ya. Salah satu akibat yang paling penting dengan berlakunya UUD 1945 palsu adalah dibegalnya kedaulatan rakyat oleh partai-partai yang kini terbukti bersifat oligarki. Tidak ada satupun produk legislatif yang dibuat untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan pemilik modal yang menjadi sandaran hidup partai politik. 

Rakyat menjadi tidak berdaulat, apalagi kemudian juga terbukti bahwa UUD 1945 palsu hanya untuk memenuhi pesanan asing, seperti yang disampaikan oleh mantan rektor universitas Gajah Mada Prof Sofian Effendi. 

Seperti yang sudah tersebar ke publik --- diawali oleh keraguan Prof Sofian yang ia tulis dalam buku: "Sistem Demokrasi Pancasila," bahwa konsep ekonomi dan konsep politik Pancasila akan terlaksana di Indonesia, sebab untuk mewujudkan itu sangat bergantung tindakan orang Indonesia terhadap UUD 1945 yang sudah diobrak - abrik begitu luar biasa dan melibatkan kekuatan asing. 

Dulu, saya menduga --- saat MPR tahun 1999 memutuskan untuk melakukan perubahan terhadap UUD 45 dengan cara amandemen itu sudah melalui kajian para ahli Indonesia, tetapi ternyata hanya di rapat pertama MPR diputuskan akan mengadakan rencana perubahan. Pada rapat - rapat selanjutnya sudah besar sekali pengaruh dari kelompok - kelompok LSM, bahkan LSM luar negeri di dalam rapat-rapat itu, kata Prof Sofian Effendi dalam peluncuran buku "Sistem Demokrasi Pancjsila" di kampus Pascasarjana Univesitas Nasional, Jakarta Selatan (11/3/20). 

Ia melanjutkan, dalam rapat-rapat Panitia Ad Hoc (PAH) di MPR juga dihadiri oleh orang - orang yang bukan WNI dan LSM asing National Democratic Institute (NDI), kata Sofian Effendi, membawa uang "berkarung-karung" ke dalam gedung MPR dan membagi - bagi kepada 11 fraksi. 

NDI juga membawa konsep UUD terutama pasal tentang HAM, pasal 10 UUD yang diamandemen, lanjut Prof Sofian, itu caplokan dari United Nation Convention Human Right. Jadi, agak aneh UUD kita ini karena bunyinya tidak lagi 'Warga Negara' tetapi 'orang'. Orang lho? Saya ini warga negara, tegas Prof Sofian Effendi. 

Ia mempertanyakan, UUD itu mengatur hak dan kewajiban warga negara, atau mengatur hak dan kewajiban dari siapapun orang yang ada di Indonesia? 

Oleh sebab itu, Prof Sofian menduga, ini semua memang sengaja diciptakan untuk mengaburkan konsep-konsep tersebut termasuk juga untuk mengaburkan kewenangan pemerintahan dan negara, untuk mengaburkan sistem politik dan ekonomi Indonesia sehingga tidak jelas lagi bahwa ekonomi kita itu ekonomi yang berazaskan kekeluargaan dan berkeadilan sosial karena dimasukkan semangat - semangat individualisme di dalam pasal 3 dan 4, dan demikian juga di dalam sistem sosial sudah dimasuki pasal-pasal itu, tuturnya. 

Saya sebagai ilmuwan menduga - duga bahwa ada pihak luar negeri terlibat mengubah UUD itu. Seringnya perjalanan Jogja dan Jakarta, di pesawat --- saya ketemu dengan seorang pimpinan partai. Anak muda yang dulu ketua senat UGM. Saya tanya: "Mas, sebagai ilmuwan hanya bisa menduga - duga. Saya tak bisa menuduh dengan tegas bahwa ada intervensi asing di dalam amandemen UUD kita. Jadi, hanya begitu - begitu saja di antara kawan saya bisa ngomong - ngomong. Tapi, kita tak punya bukti tidak bisa menuduh lho? Kebetulan kita duduk berdekatan, saya tanya". 

"Pak, selesai dari UGM -- saya masuk partai politik. Oleh pimpinan partai saya ditugaskan untuk ikut panja PAH I. Dan di situ, dengan mata saya sendiri melihat bagaimana uang berkarung - karung masuk ke Gedung MPR. Dan kemudian, pasal - pasal yang mereka ingin masukkan itu --- dimasukkan," ungkap ketua partai yang mantan Ketua Senat UGM.

Pada intinya, kata Prof Sofian, sidang MPR masa bhakti 1999 - 2002 menetapkan bahwa amandemen UUD 1945 sesuai ketentuan pasal 37. Karena pasal 37 yang diamandemen di tahap ketiga yang sebenarnya disepakati tidak diubah. Namun, sesal Prof Sofian, dalam PAH II, masuk dan diubahnya sehingga MPR itu atau struktur dari kekuasaan negara tidak lagi ada lembaga pemegang pelaksana kedaulatan rakyat karena diubahnya pasal itu. Padahal pada Tahap I dan II masih ada. 

Di situ ada 11 fraksi MPR yang menyepakati amandemen UUD dilakukan dengan syarat sebagai berikut: 

  • Pertama, tidak mengubah pembukaan UUD;
  • Kedua, tidak mengubah NKRI dan bentuk negara;
  • Ketiga, amandemen dilakukan dengan cara adendum bukan mengubah teks aslinya. 

Mengapa saya mengutip ungkapan Prof Sofian Effendi di atas, kata Dr Zulkifli di ujung videonya, karena sesuai dengan data yang ada di tangan saya tentang keterlibatan asing pada proses kudeta konstitusi UUD 1945 yang akan saya jadikan bukti pada sidang gugatan saya menolak UUD 1945 palsu.

Nah, bagaimana nasib gugatan Dr Zulkifli terhadap praktik UUD palsu?  

[Part 4]. Telaah Kecil Asymmetric War

"Hidup adalah pola permainan tentang teknis yang dimainkan oleh dirinya sendiri dan bermuara pada nasib. Demikian pula negara selaku organisme hidup. Ia lahir, berkembang, menyusut dan mati". 

Dari paparan terdahulu bisa disimpulkan bahwa ada tiga hal prinsip dalam bernegara yang hilang karena faktor amandemen (empat kali) UUD 1945 pada 1999 - 2002. Dan akibat hilangnya tiga hal prinsip tersebut, selain merugikan rakyat -- secara geopolitik, juga membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Adapun tiga hal tersebut ialah sebagai berikut: 

1. Rakyat kini tidak memiliki kedaulatan sebab telah diambilalih oleh partai-partai politik. Ini tersurat pada perubahan pasal 1 ayat 2. Buktinya apa? Kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi berubah menjadi lembaga tinggi -- sama/selevel dengan DPR, Presiden, MK dll. 

Jika dianalogikan pada tubuh manusia, MPR adalah "otak"-nya. Central of gravity. Titik dimana semua aktivitas bermula serta pusat musyawarah seluruh organ tubuh guna memutus 'sesuatu'. Contoh, ketika kaki digigit semut maka otak akan musyawarah, bagaimana langkah terbaik untuk sang semut tadi. Apakah cukup diusap/disingkirkan tanpa dibunuh; atau disentil; ataupun dipites (dimatikan)?

Tatkala otak (sistem musyawarah) dinihilkan maka yang muncul cuma voting. Dan tidak dapat dipungkiri, selain memakan tempo relatif lama karena melibatkan seluruh organ tubuh, keputusan melalui voting belum tentu benar dan efektif sebab rujukannya hanya suara terbanyak.

Contoh lagi sisi negatif voting. Ketika muncul perdebatan terkait halal - haram, misalnya, jika satu ulama menyebut riba itu haram, sedang empat orang lainnya mengatakan riba itu halal ---karena via mekanisme voting--- hasil akhir pasti: "riba itu halal". Kenapa? Sang ulama sendirian. Ia kalah dalam hal jumlah. Inilah yang tengah berlangsung dalam praktik konstitusi ketika menggunakan UUD palsu. 

Sepertinya rakyat tidak hanya dicekoki agenda semata, tetapi digiring pada kondisi ambiguitas secara sistematis bahwa kebenaran identik dengan suara terbanyak. 

Secara filosofi, musyawarah mufakat merupakan kearifan lokal warisan leluhur. Ia selaras dengan sila ke-4 Pancasila. Sedang voting merupakan nilai - nilai impor. Mekanisme dan model yang berasal dari luar.

Sesungguhnya inilah pencerabutan nilai-nilai leluhur secara revolusioner diganti dengan nilai asing namun hampir tidak disadari oleh mayoritas anak bangsa sebab berlangsung senyap. Apakah ini yang disebut silent revolution?

2. Dihilangkannya kalimat 'orang-orang Indonesia asli' pada pasal 6, hal tersebut membuka peluang imigran menjadi presiden. Ini bukan rasisme. Jangan didangkalkan menjadi isu hilir. Ini masalah hulu. Kenapa demikian, karena penghilangan kata "asli" berpotensi terhadap bumiputra (seakan-akan) terjajah kembali. 

Ada beberapa contoh peristiwa. Termarginalnya kaum Aborigin di Australia, misalnya, atau terpinggirnya suku Indian di Amerika, ataupun orang Melayu yang kini terdepak di Singapura -- itu bukan bualan dan cerita kosong. Istilahnya Absentee of Lord. Tuan tanah yang tidak berpijak di tanahnya sendiri. Gilirannya, pribumi justru (seolah-olah) menjadi tamu di negeri sendiri.  

Pengalaman ialah guru terbaik. Dan ia tidak harus dialami. Cukup dengan mendengar dan melihat pengalaman orang lain, lalu dipetik hikmahnya. 

Kejadian di NTT memberi isyarat, jangankan imigran, sedang WNA saja bisa lolos menjadi Bupati dan bahkan sebelumnya, ada WNA pernah duduk sebagai pejabat negara selevel Wamen. Mengapa? Muara penyebab tidak lain dan tak bukan karena praktik UUD 1945 palsu. 

Ada kata-kata bijak: "Jangan biarkan penyimpangan sekecil apapun pada konstitusi, sebab jika dibiarkan maka penyimpangan semakin kompetitif dan akumulatif";

3. Terdapat penambahan satu ayat pada pasal 33 menyebabkan sistem ekonomi menjadi liberal sehingga melegalkan pencabutan subsidi untuk rakyat. 

Dalam materi ajar geopolitik di Lemhannas RI (2016) diuraikan, sekurang - kurangnya ada 12 UU terkait pengelolaan SDA dan lingkungan yang kurang konsisten dalam substansi, khususnya masa depan pengelolaan, antara lain meliputi UU No 11/1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No 31/2004 tentang Perikanan dan lain - lain. Hampir semua UU mengacu pada pasal 33, tetapi orientasinya saling berbeda. 

Berdasar UU tersebut, model pengelolaan cenderung bermuara ke swasta, maka kerusakan dan habisnya sumber daya hanya soal waktu. Masing - masing sektor juga masih memiliki pandangan berbeda tentang istilah dan pemanfaatan sumber daya.

Belum lagi tentang Omnibus Law yang sempat kontroversi di publik. Memang belum ada kajian resmi terhadap UU tersebut yang konon ---menurut beberapa pengamat--- cenderung ultraliberalisme karena membolehkan membakar hutan demi membuka lahan. Itu salah satu contoh. 

Penulis teringat pandangan khusus Letjen TNI (Pur) Rais Abin (10/11/20) tentang Amandemen UUD 1945 di Era Reformasi. Inti pandangannya sebagai berikut: 

Pertama, bahwa tindakan Orde Reformasi terhadap UUD 1945 seolah - olah mendurhakai bapak-bapak bangsa penciptanya; 

Kedua, para bapak bangsa telah memberikan hidupnya bagi kejayaan bangsa. Mereka adalah insan - insan 24 karat yang sulit dicari bandingannya di kalangan Orde Reformasi. Mereka pun tentu memahami ketidaksempurnaan ciptaannya, karena hanya perubahanlah yang abadi; 

Ketiga, alangkah baiknya jika penyempurnaan dilakukan dengan beradab, tanpa merusak naskah asli yang bersama proklamasi menjadi genderang men-JAYA-kan bangsa;

Keempat, kiranya koreksi dilakukan dengan adendum - adendum penyempurnaan yang dikaitkan dengan setiap pasal UUD yang dianggap perlu, sehingga kemurnian UUD asli tetap terpelihara; 

Kelima, kembali kepada istilah pendurhakaan, saya sangat berpegang kepada adagium bahwa setiap pendurhakaan akan membawa aib; 

Keenam, aib akan menuntut kebenaran yang hakiki kepada para penanggung jawabnya. Semoga Orde Reformasi tidak menjadi Orde Deformasi.

Pertanyaannya ialah: "Siapa bertanggung jawab atas munculnya berbagai 'aib' bangsa akibat operasional UUD 1945 yang palsu?"

[Part 5] KEMANA ISU PERUBAHAN KE-5 UUD 1945 BERLABUH?

Telaah Kecil Asymmetric War

Sesuai pandangan Letjen TNI (Purn) Rais Abin ---almarhum--- bahwa pendurhakaan terhadap founding fathers melalui kudeta konstitusi akan menuai aib. Dan aib, kata beliau, akan menuntut kebenaran hakiki kepada penanggung jawabnya. 

Menurut KBBI, aib adalah malu; cela; noda; salah; keliru dll. Retorika yang muncul terkait aib akibat pendurhakaan segelintir oknum anak bangsa terhadap founding fathers karena telah pengubahan teks asli UUD 1945, misalnya: 

  1. Apakah tidak keliru (kelola), negeri kaya raya namun mayoritas rakyatnya masih miskin; 
  2. Apakah tidak tercela, pewaris ras unggul dan dianggap nenek moyang bangsa-bangsa (kata Arysio Santos dan Steppen Openheimer), tetapi justru menjadi bangsa pecundang (membebek kepada bangsa luar); 
  3. Apakah tidak malu, negeri dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, tetapi impor garam dan ikan; 
  4. Apakah tidak salah, negeri agraris dengan dua musim serta bercurah hujan tinggi tetapi impor kedelai, cabe, bawang, buah dan holtikultura lain; 
  5. Apakah bukan noda, jika harta karun di halaman pekarangan sendiri diserahkan kepada asing. Lantas, siapa bertanggung jawab atas maraknya berbagai mafia? Entah mafia migas, mafia impor, mafia kasus dan mafia - mafia lain?

Pertanyaan mendasar, mengapa kita selalu merusak peninggalan leluhur yang sudah baik hanya karena merasa lebih pandai dari para pendahulu, bahkan JT cs yang terlibat kudeta konstitusi menyebut dirinya sebagai "The 2nd Founding Fathers".

Menurut Alfred T Mahan (1840 - 1914), bahwa Indonesia memiliki daya tawar kuat di panggung global berupa checkpoint dalam pengendalian lalu lintas laut yang melewati sealanes of comunication (SLOC) dan pengendalian lalu lintas udara di atasnya. 

SLOC adalah jalur pelayaran yang secara politik dan ekonomi sangat strategis karena menyangkut kelangsungan hidup berbagai negara. Posisi Indonesia menjadi rawan pada satu sisi, tetapi sangat strategis di sisi lain, kenapa? Karena semua SLOC vital yang berada di antara Samudra Hindia dan Lautan Pasifik melewati perairan Indonesia. 

Ada tujuh selat strategis di dunia, empat di antaranya ada di (perairan) kedaulatan Indonesia. Seperti dikatakan oleh Mahan, bargaining power Indonesia sangat kuat di panggung global. Barang siapa menguasai SLOC dapat menentukan pasar, sebaliknya -- gangguan terhadap SLOC akan mempengaruhi kondisi pasar. Itu clue geopolitik.

Sekali-sekali, coba tutup Selat Lombok atau Selat Sunda untuk keperluan latihan gabungan TNI-Polri guna menanggulangi illegal fishing, misalnya, niscaya Australia bakal menjerit karena jalur ekspor impornya tersumbat. 

Sekali-sekali, ajukan konsep ke PBB untuk setiap lalu lalang kapal di selat dalam perairan Indonesia dikenakan "fee" dan wajib bayar pakai rupiah. Apa tidak bakal heboh dunia? Syukur-syukur bisa disetujui, supaya rupiah diburu oleh berbagai negara pelintas ALKI, dan nilai rupiah niscaya tidak akan melorot.

Dulu, konsepsi Deklarasi Djuanda 1957 juga dianggap "gila" dan mustahil, tetapi toch sekian tahun kemudian disetujui PBB bahkan membidani UNCLOS 1982 di tingkat global. 

Ya. Sekali-sekali.

Sekali-sekali itu tidak setiap kali, itu hanya test case geopolitik (dan geostrategi) kita punya yang selama ini "ditidurkan" berbagai rezim (sistem dan aturan).

Balik lagi ke UUD. Nah, dengan praktik operasional UUD 1945 yang palsu, bangsa ini ibarat menjamu tamu yang datang -- jamuan makan dihabiskan para tamu, sedang tuan rumah justru dapat sisa-sisa. Lebih ironi lagi, tuan rumah tidak mengusirnya malah mempersilahkan masuk kamar untuk "meniduri" istrinya. Ini sekedar permisalan atas berbagai hal yang terjadi, termasuk kebijakan mengizinkan investor asing berburu harta karun di bawah laut Indonesia. Ya, itu tadi -- kamar pun diserahkan kepada tamu!

Usulan PDIP agar GBHN dihidupkan kembali namun dengan terminologi baru yaitu PNSB (Pembangunan Nasional Semesta Berencana). No problem. 

"Ganti pimpinan, ganti visi. Lama-lama saya berpikir, Indonesia senang dansa. Kapan benar lima tahun, dia maju. Kapan kurang benar, dia mundur lagi," ujar Mega, "Maju mundur seperti tangan saya mungkin masih baik. Tapi, maju selangkah seperti poco-poco, lalu mundur sepuluh langkah. Itukah yang Indonesia inginkan?" Megawati beretorika. 

Tampaknya, usulan PDIP dalam rakernas disambut oleh Presiden Jokowi. Gagasan PDIP tentang PNSB ---GBHN versi baru--- berisi rencana dan cita-cita besar Indonesia. 

"Apa yang akan kita kerjakan 10 tahun, 25, 50 tahun mendatang, apa mimpi-mimpi dan rencana besar kita 100 tahun yang akan datang sudah harus mulai dirancang," kata Jokowi di rakernas PDIP. "Sehingga semua harus punya panduan. Negara ini punya haluan kemana negara akan dibawa. Oleh sebab itu, pembangunan nasional semesta berencana (GBHN versi baru) menjadi pe er kita dalam mengarungi pembangunan 5, 10, 25, 50, 100 tahun kedepan agar arah pembangunan jelas", tambah Jokowi. 

Jadi, entah GBHN atau PNSB istilahnya, ia adalah produk lembaga tertinggi, bukannya lembaga tinggi seperti MPR produk reformasi.

Pertanyaan selidik muncul: "Apakah MPR selaku penjelmaan rakyat dan sebagai lembaga tertinggi negara bakal dihidupkan kembali sebagaimana PDIP hendak menghidupkan GBHN?"

KEMANA ISU PERUBAHAN KE-5 UUD 1945 BERLABUH? (Bag-6)

Telaah Kecil Asymmetric War

GBHN adalah sistem politik yang tidak terpisah dengan MPR. Ya, sebagai lembaga tertinggi negara, pemegang kekuasaan tertinggi di NKRI -- berhimpun seluruh elemen bangsa guna merumuskan politik rakyat. Kenapa demikian, doeloe -- pada sidang ke-2 BPUPKI, usai Panitia Kecil (perancang UUD) mengkaji berbagai konstitusi negara di dunia, akhirnya BPUPKI memutuskan sistem sendiri dalam ketatanegaraan. Tidak mengadopsi atau meng-copy sistem negara lain.

Waktu itu, sistem presidensial ala USA yang cukup populer, namun ditolak Panitia Kecil; juga sistem parlementer ala Inggris ditolak oleh sidang. Kemudian Panitia Kecil menciptakan sistem Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR dirancang sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Sistem ini merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat.

Dan perlu digaris - bawahi bahwa kedaulatan rakyat di sini bukanlah kedaulatan individu (one man one vote), tetapi kedaulatan dalam makna jamak. Kedaulatan yang di dalamnya terdapat beragam suku, agama, golongan, ras dll dalam koridor Bhinneka Tunggal Ika. 

Di MPR, seluruh rakyat melalui wakil - wakilnya berkumpul dan/atau dikumpulkan untuk musyawarah guna merumuskan haluan negara (GBHN); memilih presiden dan meminta pertanggungjawaban presiden/wakil; serta membuat dan mengubah UUD. Itulah politik rakyat.

Sebagai lembaga tertinggi, MPR tidak bersidang setiap saat atau setiap tahun, namun sekurang - kurangnya sekali dalam lima tahun.

Sesungguhnya MPR bukanlah lembaga politik seperti halnya presiden (eksekutif), MA (yudikatif), DPR (legeslatif) dll melainkan 'sumber kekuasaan' bagi lembaga - lembaga (politik) tinggi di bawahnya. Mengapa? Karena MPR merupakan lembaga penelor mandat atau amanah -- representasi dari kedaulatan rakyat. 

Lembaga tinggi di bawah MPR itu bekerja setiap hari - setiap saat sesuai dengan haluan negara yang telah diamanahkan kepadanya, sedangkan MPR bekerja tidak setiap hari.

Keanggotaan MPR relatif besar terdiri atas anggota DPR, utusan daerah dan utusan golongan. Karenanya, ia bersidang lima tahun sekali; atau ketika ada situasi tertentu -- Ketua MPR memanggil anggota untuk bersidang (sidang istimewa, contohnya).

Maka, ketika pasal 1 ayat 2: "Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR" diubah isinya/diamandemen menjadi: "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD" -- itulah sejatinya silent revolution. Inilah kudeta konstitusi. Mengapa? Karena kedaulatan rakyat telah berpindah dari tangan rakyat ke partai politik. 

Pada gilirannya, MPR  berubah menjadi lembaga tinggi, sama - sederajat dengan DPR, presiden, MA dst. Dan sejak saat itulah, (sistem) bangunan NKRI yang dibuat founding fathers porak - poranda.

Dalam sistem presidensial versi UUD palsu, contohnya,  kedaulatan menjadi tidak jelas karena bersifat individu dengan memilih langsung presiden dan kepala daerah secara one man one vote. Tren yang muncul sebagai konsekuensi one man one vote ialah presiden menjalankan 'politiknya sendiri' yang kental diwarnai kepentingan partai pengusung, terutama kepentingan pemilik modal yang niscaya "bermain" di masa pemilu presiden. Akhirnya, (seolah-olah) wajar bila presiden tidak menjalankan politik rakyat (GBHN) apabila berbasis UUD 1945 palsu.

Dalam sistem MPR pada UUD asli yang lahir 18 Agustus 1945, presiden tidak boleh menjalankan politiknya sendiri melainkan harus menjalankan 'politik rakyat' sebagaimana tertuang dalam GBHN. Artinya, jika ia menyimpang dari GBHN maka MPR dapat meminta pertanggungjawaban kepada presiden selaku mandataris.

Dan melalui sistem ini pula, DPR punya parameter pengawasan dalam  pelaksanaan GBHN. 

Pada gilirannya, praktik UUD 1945 palsu membidani apa yang disebut dengan istilah "konstitusi banci". Apa itu? Ada beberapa indikasi kenapa UUD palsu membidani konstitusi banci, antara lain:

  1. Negara kesatuan kok mempunyai senator (anggota DPD) sebagaimana praktik konstitusi di negara federal;
  2. Sistem presidensial namun terdapat mekanisme fit and proper test bagi para pembantu presiden; 
  3. Otda sebagai bentuk halus federal telah menciptakan 'raja-raja kecil' di daerah. Mereka kurang patuh kepada gubernur ataupun presiden dengan alasan selain dipilih langsung oleh rakyat, juga menganggap bukan "anak buah"-nya. Apalagi jika tidak berasal dari satu partai;
  4. Tentang maraknya korupsi. Ya. Seandainya jumlah pelaku korupsi hanya hitungan jari -- mungkin itu soal moral pejabatnya. Tetapi, ketika sudah ratusan kepala daerah dan pejabat negara terjerat kasus korupsi -- niscaya ada yang salah dalam sistem konstitusi. Makanya ada asumsi berkembang, bahwa korupsi di Indonesia diciptakan oleh sistem.

Pertanyaannya ialah: "Sampai kapan konstitusi banci ini terus dijalankan, sedang aib bangsa semakin kompetitif serta akumulatif; adakah rujukan untuk kaji ulang amanden UUD palsu  dan peristiwa mana bisa dijadikan preseden?"

Penulis: M. Arief Ptanoto
The Global Future Institute