Read, Write, and Do Something

No Teaching without learning

Menulislah agar abadi

Membaca untuk hidup lebih baik atau sekadar pamer

Listen, free economic make better

Showing posts with label inspirasi. Show all posts
Showing posts with label inspirasi. Show all posts

13/03/2023

TRANSFORMASI DIGITAL UNTUK SIAPA?

TRANSFORMASI DIGITAL UNTUK SIAPA?

Berdasarkan Survei Global World Digital Competitiveness Index yang dirilis Institute Management Development (IMD), peringkat literasi digital Indonesia mengalami peningkatan. The 2022 IMD World Digital Competitiveness Rankings menggunakan 3 indikator utama:

  • KNOWLEDGE (Talent, Training and Eductaion, Scientific Concentration)
  • TECHNOLOGY (Regulatory Framework, Capital, Technological Framework)
  • FUTURE READINESS (Adaptive attitudes, Business agility, IT integration)

Rangking indonesia dari tahun 2018(62), 2019(56), 2020(56), 2021(53), 2022(51). Laporan lengkapnya dapat dilihat di siniKnowledge is power kata Francis Bacon. Kini Knowledge is Potential Power (Napoleon Hill).  “Knowledge is only potential power. It becomes power only when, and if, it is organized into definite plans of action, and directed to a definite end.” 

― Napoleon Hill, Think and Grow Rich: The Original 1937 Unedited.

Klaus Schwab dengan Industri 4.0-nya mengemukakan:

  • Argumentasi: Kecepatan, keluasan dan kedalaman, dampak sistemik (terhadap negara, masyarakat, industri, dan perusahaan).
  • Dampak sistemik: ketimpangan sebagai tantangan terbesar.
  • Megatrend: Fisik (kendaraan tanpa pengemudi, mesin cetak 3D, advanced robotics, dan material baru), digital, biologis.
  • Tipping point dari Industri 4.0 diperkirakan terjadi pada tahun 2025.

SALAH KAPRAH TRANSFORMASI DIGITAL 

Transformasi membutuhkan strategi bukan sekadar langkah taktis mengadopsi teknologi terbaru. Transformasi digital bukan hanya mendigitalkan yang sebelumnya tidak digital. Sebagai metafore transformasi dapat diilustrasikan seperti berikut.

02/12/2022

'Digital Storytelling': Doa dan Air mata, Kekuatan Kami

"Bercerita dan mendengar cerita dapat meningkatkan Imajinasi dan kreativitas"

Abad ke-21 telah memperkuat suara user dalam hal bercerita dan bebas mengekpresikan idenya. Sekarang, setiap orang tidak hanya dapat berbagi cerita dengan bahasa lisan mereka, tetapi juga dengan alat digital yang memungkinkan mereka merancang, menggambar, dan menciptakan apa yang mereka ingin dengar. Dengan menggunakan alat storytelling (bercerita secara digital) seperti StoryBird, My Story, Cloud Stop Motion, Book Creator, dan Sock Puppets, kita (pelajar) dapat menemukan alat teknologi yang tepat yang memungkinkan imajinasi kita (mereka) menjadi hidup dan pengalaman mereka didengar.


Digital Storytelling adalah membuat cerita (story) dengan memadukan video, audio, gambar, dan teks untuk menyampaikan cerita dan informasi. Digital Storytelling adalah sesuatu yang mungkin (dan kemungkinan besar) sudah kita lakukan di berbagai aktivitas tanpa menyadarinya. Pada kontek pembelajaran, Digital Storytelling adalah cara yang ampuh untuk menghubungkan pelajar ke semua bidang keaksaraan dan literasi.

Digital stories push students to become creators of content, rather than just consumers. Weaving together images, music, text, and voice, digital stories can be created in all content areas and at all grade levels while incorporating the 21st century skills of creating, communicating, and collaborating. (https://edtechteacher.org)

Menurut Pepih Nugraha (mantan wartawan senior kompas), yang memiliki moto Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif.

Menurutnya Suatu topik akan dianggap menarik, jika topik itu:

  • PENTING bagi khalayak, yaitu berpengaruh  terhadap kehidupan sosial dan ekonomi mereka
  • Mampu MEMBANGKITKAN EMOSI khalayak,  yaitu bisa membuat mereka senang, marah,  dongkol, sedih, dan atau nelangsa.

Catatan: Jika penulis mampu mendapatkan topik yang  menarik, maka separuh tugasnya sudah terlaksana.  Kalau topiknya sudah menarik, meski disajikan  secara acak-acakan, pasti akan dibaca orang.  

Bang Pepih berbagi tips seperti berikut:

Tips memilih Judul

1. Rahasia
2. Dramatis
3. Lugas
4. Unik
5. Tonjolkan Konteks
6. Deskriptif
7. Sedikit lebay/ bombastis

Kedua, LEAD atau intro atau alinea pertama tulisan harus merupakan:

1. bagian paling penting karena akan berpengaruh terhadap kehidupan khalayak
2. bagian paling menarik karena berpotensi membangkitkan emosi mereka

SYARAT PENULISAN LEAD
  1. Diawali unsur 5W+1H (what, who, where, when, why, how) yang paling menarik,
  2. Ditulis secara singkat dan padat yaitu maksimal tiga kalimat dan 35 kata,
  3. menggunakan bahasa sederhana dan menarik.
Catatan: Pemilihan materi dan cara penyajian lead harus diupayakan agar membangkitkan penasaran khalayak untuk membaca tulisan lebih lanjut.

Digital Storytelling dapat digunakan sebagai sarana pembelajaran, literasi, mengasah imajinasi, dan juga marketing ide atau produk.

Setidaknya ada 8 tahap untuk membuat Digital Storytelling yang hebat.
1. Start with an Idea
2. Research/Explore/Learn
3. Write/Script
4. Storyboard/Plan
5. Gather and Create Images, Audio and Video
6. Put It All Together
7. Share
8. Reflection and Feedback


Kesemua instrumen digital lainnya sangat tergantung pada kemampuan mengolah fakta: data, informasi menjadi pengetahuan dan pencerahan dan akhirnya dapat mengambil keputusan secara bijak dan tepat. Data-data pendukung seperti gambar, audio dan video adalah pendukung dan penguat sebuah cerita. Hal lain yang penting adalah moment atau timing dari sebuah tulisan dibagikan.

Berikut adalah salah satu contoh tulisan sederhana yang penulis alami secara langsung. Mungkin tidak sepenuhnya mengikuti tahap Digital Storytelling, namun kekuatan ceritanya dapat menjadi pelajaran bersama.

14/03/2022

SMART CITY, METAVERSE UNTUK SIAPA?

Syamsu Alam

Beredar di media online, Makassar menuju Kota Metaverse. Danny Pomanto menyatakan, “Keunggulan masa depan adalah kecepatan dan adaptasi, kota Metaverse adalah loncatan dan kecepatan adaptasi kota Makassar menuju kota dunia yang ‘sombere’ dan ‘smart’ dengan keunggulan masa depannya,” (Tribun, 10 maret 2022).

Pertanyaan pada topik tulisan ini, bukan hal baru dan bukan anti kemajuan. Paul Virilio, filosof, pakar urban juga pernah mengemukakan berbagai pertanyaan yang perlu direnungkan. Mengapa ‘kita’ berlomba berburu kemajuan teknologi informasi? Apakah perlombaan itu benar-benar bermanfaat untuk kehidupan yang lebih baik (better quality of life) seperti yang dicita-citakan dalam Smart City. Kita rela menghabiskan waktu, uang, dan energi untuk sekadar ‘update’ informasi, tanpa merefleksikan seberapa besar manfaat informasi tersebut.

Teknologi sebenarnya untuk siapa? Apakah untuk manusia atau untuk teknologi itu sendiri. Jika Teknologi untuk manusia, apakah ia sebagai alat bantu atau bagian dari diri manusia yang akan menjadi otomatisasi. Don Ihde menganggap Teknologi adalah bagian dari proses berkebudayaan. Jadi teknologi bukan sekadar mesin-mesin, tetapi bagian dari budaya manusia dalam memandang dan memanfaatkan materi. 

Secara spesifik, Smart City dan Metaverse yang diwacanakan Pemerintah Kota Makassar, sebenarnya untuk siapa? Smart City sebagai gagasan yang mendisrupsi konsep pemerintahan konvensional bertujuan agar pelayanan pemerintahan kepada masyarakat lebih baik dan kehidupan warga lebih berkualitas. 

Metaverse sebenarnya hanya internet versi lain yang menawarkan cara baru berkomunikasi dan berinteraksi di dunia virtual. Bahkan ada teman mengatakan, meteverse hanya kosmetik.

APA KABAR SMART CITY?

Hasil evaluasi penerapan (SPBE) tahun 2021 di Sulsel belum sesuai target. Rerata instansi pemerintahan masih pada predikat cukup dan kurang. Di Sulawesi selatan hanya Pemerintah Kabupaten Pinrang dan Kab. Luwu Utara yang meraih predikat baik. Pemerintah Kab. Gowa, Kab Sidrap, dan Kab. Soppeng: Predikta kurang, selebihnya termasuk Kota Makassar masuk ketegori cukup. (PANRB, 2021).  Hasil evaluasi lengkap dapat dilihat pada Gambar


Walikota Makassar, Danny Pomanto (DP) sepertinya tak kehabisan wacana untuk menunjukkan pada dunia bahwa Kota Makassar adalah ‘Smart City’ dengan segudang inovasi. Smart City tertuang indah dalam Visi Misi RPJMD Kota Makassar. Bahkan Kota Makassar salah satu dari 3 kota percontohan ‘Smart City’ yang dianggap memiliki komitmen tinggi mewujudkan ide tersebut. Namun terburu-buru mengadopsi Metaverse apakah bisa disebut inovasi?

Se-SMART apakah kota yang berpenduduk 1,42 juta (SP,2020)? Dapat kita telusuri dari berbagai program dan dokumentasi kinerja Kota Makassar selama periode DP. Smart City memanfaatkan teknologi sebagai enabler untuk menjadikan kota yang layak huni, nyaman, mudah, sehat , aman, dan berkelanjutan. 

Secara garis besar, proyek Sombere & Smart City Makassar terdiri dari enam dimensi. 1.Smart government, untuk mengoptimalkan pelayanan publik. 2.Smart branding, untuk meningkatkan kesadaran terhadap karakter kota, terutama pariwisata. 3.Smart economy, untuk membangun ekosistem dan mendorong less cash society. 4.Smart living, untuk kehidupan yang nyaman dan meningkatkan Kesehatan. 5.Smart society, masyarakat yang interaktif dan humanis. 6.Smart environment, untuk mengurangi dan memanfaatkan sampah serta menciptakan sumber energi yang lebih baik.

Keenam dimensi tersebut bisa diukur dengan indikator yang lebih spesifik. Jika diringkas setidaknya ada dua hal yang harus dipenuhi oleh Pemerintah yang Smart, yaitu pelayanan masyarakat yang efektif dan efisien serta adanya sumber pendapatan baru daerah. Apa yang dirasakan oleh warga kota Makassar selain banyaknya CCTV? Apakah Pemerintah Kota Makassar dapat mengetahui secara real time pendapatan? Apakah sinkronisasi data kependudukan, data yang dikelola pemerintah seperti data statistik, data geospasial, dan data keuangan sudah tersinkronisasi dengan baik? Dapat diakses publik, seperti data di kota lainnya seperti Bandung, Semarang dan Jakarta. 


INTERUPSI !

Penggerak kemoderenan peradaban berevolusi. Pada peradaban pra modern, kemajuan ditentukan oleh produksi. Siapa pun yang memiliki alat produksi dan kemampuan memproduksi barang dan jasa dibanding yang lain, maka ia pemenangnya. Fase modernisme, kemajuan diukur dengan tingkat konsumsi. Semakin banyak, semakin mewah konsumsi, maka semakin berkuasa. Konsumsi adalah ukuran kemajuan, kemapanan dan superioritas. 

Penggerak postmodernisme saat ini adalah Kecepatan. Kecepatan adalah Prinsip. Paul Virilio menyebutnya Dromologi. Dromologi berarti semesta berpikir yang didasarkan pada prinsip kecepatan.  Ada empat asumsi dasar Dromologi. Pertama, dromologi menuntut untuk menjadi yang tercepat, pertama, dan terdepan. Hal ini memaksa seseorang untuk mencari informasi secara terus-menerus. Kita sering kali merasa takut ketinggalan informasi dan merasa tidak bisa bergaul jika tidak update. Kedua, siapa cepat dia menang, dan siapa menang dia berkuasa. Prinsip kecepatan mengubah cara pandang seseorang dari cepat memperoleh informasi menjadi berkuasa, mungkin juga bisa digunakan pada kecepatan mengadopsi teknologi. Ketiga manusia tidak boleh diam. Sebab diam berarti mati, tergilas oleh cepatnya perubahan. Keempat, kecepatan sebagai dasar berpikir dan pengambilan keputusan. Prinsip kecepatan menjadi pijakan berpikir dan penentuan keputusan dalam masyarakat.

Indonesia memang tercatat dalam daftar 10 besar negara yang kecanduan media sosial. We Are Social dan Kompas melaporkan, februari 2021,  waktu yang dihabiskan orang Indonesia untuk mengakses internet per hari rata-rata yaitu 8 jam 52 menit. Berdasarkan aplikasi yang paling banyak digunakan, secara berurutan posisi pertama adalah YouTube, WhatsApp, Instagram, Facebook, lalu Twitter. Namun dengan meomentum ini apakah harus terburu-buru mengadopsi konsep Metaverse(?)

Efek lebih jauh dari perlombaan mengadopsi teknologi (Informasi) adalah Piknolepsi.  Bagi Virilio, ia merupakan kondisi ekstase yang terjadi karena manusia larut dalam kecepatan dan percepatan perubahan. Kondisi ekstase ini membebaskan dari berbagai hambatan dan memenjarakan manusia dalam ketergantungan. Ia bisa menjadi keniscayaan atau malah menjadi candu. Kecanduan itu menyebabkan hidup kita hanya dikontrol oleh notifikasi algoritma. Kita kehilangan waktu untuk mempertimbangkan relevansi dan maknanya bagi kehidupan kita sendiri. 

MENCIPTAKAN BUDAYA TEKNOLOGI POSITIF

Teknologi seperti pisau bersisi ganda. Ia hadir membawa manfaat sekaligu spotensi bencana dan kerusakan. Pesawat dapat memudahkan dan mempercepat jarak tempuh waktu perjalanan, namun pada saat yang sama jug aada potensi kecelakaan pesawat, demikian pula dengan teknologi informasi, memudahkan mencari informasi sekaligus berpotensi mudahnya menemukan informasi bohong (hoax).

Mencari dan berburu informasi memang tidak salah. Kita membutuh ‘update’ informasi. Namun, pencarian informasi akan menjadi hal yang sia-sia jika tidak ada korelasi dan relevansi dengan makna kehidupan kita. Apalagi, kita sampai kehilangan arah hidup bahkan sampai mabuk akibat limpahan informasi yang tidak dapat dikendalikan. Oleh karena itu, sebaiknya kita mengenal kebutuhan informasi sekaligus mengendalikan diri agar tidak larut dalam pusaran kecepatan informasi atau ‘bom informasi’.

Sekaitan dengan hal tersebut, Paul Virilio mengemukakan lima gagasan guna menghasilkan budaya teknologi yang sehat dan positif. Pertama, prinsip kehati-hatian. Dalam konteks prinsip kecepatan, kehati-hatianuntuk tidak menelan begitu saja informasi yang ada. Informasi tersebut harus dianalisis dan dipahami dari beragam persfektif. Sehingga, informasi tersebut tepat sasaran dan manfaatnya untuk kita.

Kedua, menjaga jarak. Bukan hanya menjaga jarak aman berkendaraan. Kita juga seharusnya menjaga jarak dengan arus informasi yang cepat dan massif. Jika terlalu dekat dan terlibat, kita susah melawan arus. Selain itu, kita juga sulit memperoleh pemahaman yang objektif. Ketiga, skeptis. Skeptis atau meragukan sesuatu adalah salah satu metode dalam menguji kebenaran suatu informasi atau pengetahuan. Skeptis merupakan sikap yang tidak mudah mempercayai informasi. Hanya produsen informasi yang mengetahui bahwa informasi tersebut tidak benar atau palsu. Oleh karena itu, sikap skeptis ini perlu untuk mempertanyakan kembali kebenaran informasinya, sumber bahkan relevansinya dengan kita. Keempat, verifikasi. Yakni memastikan sumber informasi yang didapat adalah informasi yang terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan. Dan yang terakhir, yang kelima, check and recheck, yakni selalu memeriksa kembali informasi yang dapat agar terhindar dari informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Kelima langkah tersebut saling melengkapi satu sama lain. Kelima hal tersebut dapat menjadi pengontrol arah dan keterlibatan kita dalam arus kecepatan dan percepatan teknologi informasi. Hal tersebut akan melahirkan budaya berteknologi yang sehat dan positif. Satu sisi kita memperoleh informasi yang kita butuhkan dan di sisi lain kita juga berteknologi yang sehat dan positif.

Demikian juga dengan metaverse, Jika hanya untuk Branding City, mungkin pemanfaatan digital marketing yang optimal akan berdampak bagus. Karena Teknologi dalam Smart City hanya alat bantu efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, bukan sekadar perlombaan mencapai rating indeks dan belanja untuk kebutuhan teknologi [].

Terbit di Tribun Timur, 15 Maret 2022.

Syamsu Alam
Dosen Bisnis Digital FEB UNM


Sumber Inspirasi:
  • Filsafat Teknologi, Don Ihde.
  • Speed and Politics, Paul Virilio
  • Kuliah FIlsafat Teknologi, Fachruddin Faiz.
  • Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik, KOMINFO
  • Buku 3 Sombere dan Smart City Kota Makassar.
  • Hasil evaluasi SPBE, MENPANRB
  • Imajinasi sendiri.

16/09/2021

PROPOSAL PENELITIAN

CONTOH PROPOSAL PENELITIAN

Postingan ini merupakan kombinasi dari dua tulisan sebelumnya yaitu  CONTOH (Kerangka) PROPOSAL PENELITIAN EKONOMI (1) dan CONTOH (Kerangka) PROPOSAL PENELITIAN EKONOMI (2)

Keberhasilan membuat rencana penelitian yang baik dalam dokumen "Proposal Penelitian" merupakan setengah dari keberhasilan penelitian itu sendiri.
Oleh karena itu penting memahami langkah-langkah membuat proposal penelitian dengan baik, secara sederhana dan sistematis.

Tulisan ini akan memberikan cara membuat proposal penelitian secara umum dan sistematikanya.kenapa secara umum ? karena setiap institusi mempunyai pola sistematika sendiri, namun pada umumnya sama saja.

Oleh karena itu, tulisan ini fokus pada penjelasan kerangka proposal khususnya untuk Skripsi dan Tesis. Pada tulisan ini fokus mengambil contoh pada bidang Ekonmi dan Bisnis.




Cakupan proposal penelitian :
I. JUDUL PENELITIAN
II. PENDAHULUAN
III. TINJAUAN PUSTAKA
IV. METODE PENELITIAN
V. DAFTAR PUSTAKA

1. JUDUL PENELITIAN

 Singkat dan spesifik, tetapi cukup jelas menggambarkan penelitian yang diusulkan.
ciri-cirinya :

  •  Menarik, khas, dan orisinal
  •  Menggambarkan ruang lingkup penelitian
  •  Memuat variabel-variabel yang akan diteliti
  •  Dinyatakan dalam kalimat pernyataan
  •  6 – 20 kata (bukan harga mati)

Note: Dalam merumuskan judul penelitian, yang paling tepat untuk ditonjolkan adalah inti permasalahan penelitian.

2.  PENDAHULUAN

Merupakan bagian penting penelitian yg sebaiknya mampu menarik perhatian para pembaca dan membuat mereka curious tdk puas kalau tdk membaca seluruh proposal. Hmmm ibarat minuman, nikmat sampai tetesan terakhir :)

Cakupan dalam pendahuluan :

  • Latar Belakang Penelitian
  • Masalah Penelitian
  • Tujuan Penelitian
  • Manfaat penelitian

Nah, bagian ini kerap menjadi momok bagi kebanyakan mahasiswa, kesulitan merangkai kata dan mengerucutkan permasalahan menjadi kesulitan tersendiri.
Oleh karena itu, akan di uraikan satu persatu, bagaimana membuat pendahuluan yang baik.

  • Latar Belakang Penelitian
Latar belakang merupakan faktor penting dalam riset, bagian ini juga termasuk hal yang dianggap sulit bagi peneliti, terutama mahasiswa yang tidak terbiasa dengan format penullisan karya ilmiah.

beberapa panduan yang bisa dijadikan rujukan untuk menyusun latar belakang adalah...

1.  Kondisi umum atau perspektif makro penelitian
2.  Jelaskan pentingnya penelitian
3.  Kemukakan jika penelitian:
  • Penelitian relatif baru, merupakan sanggahan atau pengembangan dari penelitian sebelumnya.
  • Mulai dengan pernyataan yg provokatif, kontroversial sehingga ada ketertarikan untuk membaca.
  • Sajikan secara menarik tentang kronologis judul yang dapat berupa evaluasi judul hingga statusnya sekarang.
  • Tampilkan data sekunder tentang profil obyek penelitian,  yang dapat diperoleh dari buku-buku, jurnal, majalah, lapooran penelitian,  dll.
  • Akhiri dengan pernyataan : Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, maka peneliti memilih judul penelitian: ....……………………….

Latar belakang dapat diilustrasikan dengan3 pola seperti berikut:


  1. Piramida, diawali dengan target penelitian (misal inflasi), kasus-kasus khusus yang menarik (provokatif/kontroverisal) 
  2. Piramida terbalik, diawali dengan ide-ide umum, bisa juga teori
  3. Gabungan piramida terbalik dengan piramida.
bisa juga mengikuti panduan berikut:

  • Paragraf pembuka: Tuliskan tentang fenomena atau persoalan ekonomi yang menjadi fokus riset.
  • Paragraf isi I: Tuliskan bagaimana keterkaitan teori dengan fenomena tersebut
  • Paragraf isi II: Tuliskan bagaimana hasil penelitian terdahulu yang terkait
  • Paragraf isi III: Tuliskan argument tentang pentingnya penelitian (skripsi) ini untuk dilakukan dan kebaruan (novelty) dari penelitian
  • Paragraf penutup IV: Tuliskan atau pertegas kembali tentang apa yang akan menjadi topic dalam penelitian ini atau apa yang akan dibahas dalam penelitian ini.

Dalam deskripsi latarbelakang yang kerap menjadi momok adalah mendeskripsikan tabel, gambar, atau grafik.





























Gambar di atas menunjukkan volume dan harga Bitcoin yang meningkat agresif. Peningkatan volume Bitcoin fluktuatif cenderung meningkat. Peningkatan volume Bitcoin sebesar 1689 % sepanjang periode maret 2018 sampai dengan maret 2021 atau meningkat setara 791,9 triliun. Perubahan volume terbesar Bitcoin sebesar 112% pada bulan Juli 2018, penurunan tertinggi pada juni 2020 sebesar -45%. Harga Bitcoin meningkat sebesar 526% atau setara 653,8 juta per koinnya. Volume transaksi Bitcoin tertinggi pada Jan 2021 dengan volume sebesar 918 triliun. Peningkatan harga bitcoin meningkat signifikan dibanding periode sebelumnya terjadi pada periode november 2021 yang meningkat 35% dibanding bulan sebelumnya. Sedangkan harga Bitcoin meningkat tertinggi sebesar 58% pada januari 2021, terendah pada desember 2018.

Kenaikan mata uang digital ‘Bitcoin’ yang akseleratif karena semakin banyak perusahaan yang mengguakan mata uang tersebut untuk bertransaksi. Pada periode februari 2021 sebanyak 162 perusahaan menggunakan bitcoin untuk transaksi perdagangan, diantaranya terdapat 19 perusahaan besar (paybis.com). Diantara perusahaan raksasa yang menggunakan Bitcoin adalah, Microsoft, AT&T, BMW, NordPVN, Rakuten, dll. Terdiri dari berbagai perusahaan koas, taknologi, travel, dll.

Setidaknya ada 3 kunci dalam deskripsi Tabel atau Gambar.
  1. Perhatikan tren dari titik awal sampai titik akhir, apakah naik, turun, fluktuatif
  2. Perubahan titik awal ke titik akhir
  3. Jika fluktuatif, perhatikan titik atau perubahan ekstrim.
  4. Bisa Anda tambahkan...
........
  • Masalah Penelitian
Masalah penelitian adalah setiap kesulitan yang menggerakkan manusia untuk memecahkannya atau menyelesaikannya. Masalah penelitian harus dapat dirasakan sebagai suatu rintangan yang mesti dilalui oleh peneliti
(dengan jalan mengatasinya, bukan lari dari masalah) bila kita akan mencari penyelesaiaan atau jawabannya serta dapat mengatasinya.

Dalam pengertian umum, masalah diartikan sebagai penyimpangan atau beda antara fakta/kenyataan dengan standar-standar tertentu. Standard tertentu tersebut dapat merupakan teori, aturan, logika, kebiasaan atau keharus-an.

Dalam pengertian ini, maka masalah penelitian baru merupakan masalah objek. Bagi suatu penelitian, masalah adalah pertanyaan bagi peneliti yang ingin dicari jawabannya atau penyelesaiannya. Disini berarti bahwa masalah
dalam penelitian dapat dimulai oleh penyimpangan fakta.

Masalah penelitian dapat berupa gejala sosial yang menarik perhatian peneliti atau seseorang.

Tahapannya bisa mengikuti langkah berikut:

  Identifikasi, pilih dan rumuskan masalah-masalah penelitian.
  •    Apakah terdapat hubungan yang erat antara ... dengan…..?
  •    Bagaimana pengaruh ……….terhadap …………...?
  • Tujuan Penelitian
 Kemukakan yang akan dicapai oleh penelitian: Untuk mengetahui, menganalisis atau membandingkan.
-- Untuk mengetahui pengaruh … terhadap …
-- Untuk mengetahui hubungan antara ……dengan …..…
-- Untuk menganalisis …..…….
  • Manfaat penelitian
Kemukakan siapa yg diharapkan memperoleh manfaat penelitian: Pengembangan ilmu pengetahun, Lemabaga, dan atau penelitian lain.
  • Penelitian ini diharapkan memberi manfaat dalam………
  • Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam...
Jadi penelitian kita hanya salah satu bahan, kadang kita sedikit angkuh mengatakan sebagai referensi. :).

3. TINJAUAN PUSTAKA

Cakupan:  Penelitian terdahulu,  Landasan teoritis,  Kerangka teoretis (pikir),  Hipotesis penelitian.

  • Kemukakan hasil penelitian2 sebelumnya utk mengakrabkan peneliti dg informasi, data, model/peralatan analisis yang mungkin terkait dengan masalah yang sedang diteliti.
  • Kemukakan dan sintesakan teori-teori yang relevan dengan masalah yang sedang diteliti.
  • Buat dan tuliskan kerangka fikir dari sintesis teori-teori yang relevan, hubungkan variabel-variabel yang terkait .
  • Buat bagan keterkaitan variabel-variabel yang mungkin berhubungan atau mempengaruhi variabel penelitian yang sedang dilakukan.
  • Dari kerangka fikir, turunkan hipotesis penelitian yang merupakan jawaban teoritis sementara atas masalah-masalah  penelitian yang telah dikemukakan yang masih harus dibuktikan  validitasnya. 
  • Jumlah hipotesis seyogyanya berkorespondensi dengan jumlah masalah penelitian.
  • (ini juga kadang menjadi masalah umum, dimana masalah penelitian tidak sama jumlahnya dengan hipotesis).

4.  METODE PENELITIAN
Cakupan:  Lokasi Penelitian,  Populasi dan sampel,  Jenis data (Primer atau sekunder),  Model Analisis,  Definisi operasional konsep/variabel.



5.  DAFTAR PUSTAKA
Memuat daftar semua bacaan yang terkait dg penelitian. Alfabetis, atau  nomor, atau lainnya.

to be continue....

Contoh Proposal Penelitian Ekonomi : Download Here 

Silakan diperiksa data-data, mungkin link berikut bisa bermanfaat bagi bagi yang sulit menemukan masalah penelitian.


Keep share and enjoy !

Contoh Proposal Penelitian Ekonomi : Download Here
Full Download send email to alamyin@gmail.com to get password.

23/08/2021

FILSAFAT ILMU EKONOMI 1/6

DESKRIPSI MATA KULIAH:

Mata kuliah ini fokus pada dua sesi. Sesi pertama fokus pada filsafat secara umum. Filasafat secara umum membahas tentang aspek epistemologi, ontologi, dan aksiologi pengetahuan, serta bagaimana kaitan antara filsafat dan metode ilmiah. Pada sesi kedua, fokus pambahasan pada filsafat khusus pada filsafat ilmu ekonomi. Pada sesi kedua ini mengulas tentang konsep nilai dalam filsafta ekonomi, fondasi mikro untuk makroekonomi, dan bagaimana relasi antara matematika, ekonomi dan realitas.

BAHAN KAJIAN: 

  1. Sejarah Filsafat dan filsafat ilmu
  2. Tinjauan Teoretis Filsafat ilmu
  3. Filsafat Ekonomi : Mikro, makro, Matematika dan Nilai

TOPIK MATA KULIAH:

  1. Pengantar Filsafat Ilmu 
  2. Epistemolgi
  3. Ontologi
  4. Aksiologi
  5. Filsafat dan metode Ilmiah 
  6. The New Philosophy of Economics [4]
  7. Microfoundations and the On of Macroeconomics [4]
  8. Mathematical Economics and Reality (3)
  9. Konsep Nilai dalam Ekonomi  [5]

REFERENSI:

Utama:

  1. The Philosophy Book: Big Idea simply explained. 2011. First American Edition.
  2. Paulus W. 2016. Filsafat Ilmu Pengetahuan. 
  3. Subroto Roy. 1991. Philosophy of Economics On the Scope of Reason in Economic Inquiry. Routledge
  4. Harold Kincaid & Don Ross. 2009. THE OXFORD HANDBOOK OF PHILOSOPHY OF ECONOMICS. Oxford.
  5. Tobias Brosch and David Sander. 2016. Handbook of Value Perspectives from economics, neuroscience, philosophy, psychology, and sociology.

Pendukung:

  1. “Instrumental Realism : The Interface between Philosophy of Science and Philosophy of Technology Indiana Series in the Philosophy of Technology. Ihde, Don”. Apple Books.
  2. www.thephylosophy.com
  3. www.science-network.tv
  4. www.Britannica.com
  5. www.Plato.stanford.edu


Asal kata filsafat

File Presentase .pdf bisa diperoleh di Group Chat Telegram.


30/05/2020

Tausiah Aristoteles : Breaking The Habit

Tausiah Aristoteles :  Breaking The Habit
Syamsu Alam

Seberapa sulit kita mengubah habit? Bisakah hanya dengan anjuran, himbauan, atau cambukan?

Sejak massifnya penyebaran info Covid-19 yang mengguncang dunia pada awal tahun 2020. Ia seperti Shock Doctrin, secara psikologis menciptakan ketakutan dan panik. Dalam situasi demikian kita mungkin saja bertindak sporadis bahkan brutal.

Informasi yang lengkap dan memadai serta kematangan berpikir dapat membuat kita bertindak  secara rasional. Rasional dalam artian jelas landasannya tindakannya, cara atau prosedurnya, dan tujuannya. Selainnya adalah tindakan sporadis dan irasional.

Kini hadir istilah baru "New Normal" aka "Kebiasaan Baru".  Apa yang dimaksud normal? Apakah normal adalah kebiasaan yang lazim dan berlaku umum. Rutinitas atau apa? Dan siapa yang memiliki otoritas memberi makna normal dan new normal?


Zizek mengutip Hegel dalam buku Panic, Pandemic, yang mengatakan bahwa manusia pada umumnya tidak pandai belajar pada sejarah, dan karena itu mereka tidak akan lebih bijaksana pasca pandemi Corona.

Terlepas dari kontroversi dari rekomendasi akhir dari buku tersebut yang dapat memicu panik 🙂. Bahwa kehidupan pasca pandemi hanya ada dua, kemenangan komunisme atau barbarisme (Hasil diskusi Nyalakan Lilin di Zoom).

Individu Unggul

Kalaupun kehidupan 'New Normal' itu ada, menurut saya, hanya kesadaran Individu yang dapat menyukseskan implementasinya. Kesadaran individu yang menghargai kehidupan orang lain untuk hidup sehat. Kesadaran individu yang menghargai kebebasan orang lain. 

Selain kutub individu yang sadar, kesuksesan protokol 'new normal' bisa terwujud karena tekanan eksternal dari pihak otoritas. Entah oleh otoritas di rumah, di kantor, atau pemerintah. Persoalannya, bisakah pihak otoritas menegakkan protokol secara konsisten dan berkelanjutan. Mengingat institusi penegak aturan, kerap mereka sendiri yang meruntuhkannya. 

Titik temu antara diri dan institusi di luar diri ada pada konsensus atau kontrak. Sayangnya eksistensi kesadaran diri seringkali kalah atau banyak mengalah pada institusi 'government'. Apalagi kalau kita hanya orang biasa-biasa saja. 

Kesadaran individu yang sudah terkikis oleh tirani mayoritas. Serasional apapun argumentasi kita, kerap harus mengalah atau dipaksa mengalah oleh suara terbanyak. Dan jika kita tetap pada pendirian dan berani berhadapan yang mayoritas, kita dicap tidak normal.

Dampaknya lahir kebiasaan yang manut saja pada suara mayoritas, yang biasanya diwakili oleh otoritas lembaga publik. Syukur-syukur jika lembaga publiknya berkualitas, kalau tidak.

Dampak lebih jauh, kita akan seperti kerbau yang dicocok tali di hidungnya. Bahkan harus dicambuk agar patuh dan disiplin menjalankan tugas atau aturan. Lama kelamaan kita akan mengalami alienasi diri. Keterasingan dengan diri sendiri. Kenapa? Karena kita melakukan aktifitas bukan atas pilihan rasional kita.

Manusia yang berakal (rasional) semestinya bisa mengatur dirinya sekaligus menjaga kehidupan orang lain agar tetap sehat, nyaman dan lestari menjalani kehidupan. Kehadirannya tidak mengancam kehidupan yang lain. Bahkan "manusia unggul' ala "Insan Kamil" bisa menjadi rahmat bagi manusia sebagai individu pada individu yang lain.

Pada titik ekstrim, manusia (individu) yang rasional tidak terlalu membutuhkan pengaturan aka paksaan dari pihak lain (misal dari penguasa). Jika manusia tersebut memiliki kesadaran eksistensial diri yang mantap. Jika setiap kita menyadari pentingnya semacam protokol hidup yang menghargai kebebasan.

Sayangnya pendidikan pribadi unggul yang bebas-merdeka dan bertanggung jawab tidak terwadahi dengan baik dalam institusi pendidikan kita. Lembaga pendidikan kerap melestarikan 'Tirani Mayoritas" dan menganggap abnormal individu yang berani berpikir bebas.

Kisah Lama bersemi Kembali

Berikut ada e-book New Normal. Begitu siap lembaga ini membuat panduan 'new normal'. Mari kita baca dan pelajari baik-baik dan diterapkan, tanpa menunggu cambukan dari pihak lain.


The Survival of the fittest, yang kuat yang bertahan. Istilah kekiniannya Herd Immunity. Kita, pada umumnya menyebut sebagai "Hukum Rimba". Hukum Rimba umumnya diasosiasikan negatif. Bahwa di dalam hutan rimba terjadi hukum makan-memakan, bunuh-membunuh. Apakah bisa dikatakan itu barbarianisme atau hanya siklus makhluk hidup. 

Kuat dugaan berdasarkan data-data sejarah, menusia lebih agresif membunuhi manusia lainnya. Entah dengan cara perang, dengan cara meracuninya, atau mengkondisikan sistem yang memungkinkan manusia lain kelaparan, hingga kini dalam bentuk "perang ekonomi" dan boleh jadi "perang virus".

Hewan yang digerakkan oleh instingnya bisa mendeteksi bahaya dini bagi dirinya. Meskipun tidak semuanya memiliki sistem deteksi dini atas bahaya yang sama.

Selain sistem deteksi dini kemampuan beradaptasi dengan segala potensi yang dimiliki hewan memungkinkan mereka bisa tetap bertahan hingga kini. Misalnya Semut dengan berbagai jenisnya, dapat tetap eksis hingga kini. Sementara Dinosaurus kini hanya dipamerkan dalam museum dan film-film. Dinasaurus yang jumawa nan perkasa dikabarkan pernah hidup pada ratusan juta yang lalu. Wallahu a'lam.

Manusia dengan potensi Indera, Akal, insting, hati, dan imajinasi saya yakin bisa bertahan hidup menghadapi segala tantangan. Tentu hanya yang memiliki kemampuan adaptasi. Peluang bernasib seperti dinosaurus tetap ada. Semuanya bergantung pada kita (manusia), berani berubah, atau punah.

ATAUKAH mempercepat kepunahan dengan perilaku barbar. Tidak memedulikan pihak lain, sembari merasa diri yang paling hebat, paling jago, paling sehat, dll. Merasa paling superior adalah bibit-bibit barbarianisme. Mari deteksi diri masing-masing, seberapa potensial kita menjadi barbar, apakah lingkungan kita relatif aman dari perilaku barbar?

Di hutan belantara pun, dimana Singa adalah Raja hutan, memiliki habit yang tidak barbar. The Lion King, bukan hewan terbesar dan terkuat tetapi ia memiliki habit yang mengagumkan. Makanya disebut sebagai raja hutan.  Googling saja The Habit of Lion. Kita akan temukan, jika Singa hanya brutal saat lapar sekali, dan habit yang lain.

Sayangnya secara empiris manusia kadang brutal bukan saat dia kelaparan, namun saat mereka berhasrat menumpuk-numpuk "makanan" dan harta.

Apakah kita dapat begitu mudah beradaptasi dengan "kebiasaan baru"? Filosof empiris-rasional, Aristoteles memberikan tausiah "we are what we repeatedly do. Excellence, then is not an act, but a habit.

Alamyin, 26 Mei 2020

10/11/2019

NASIB REZIM KEBENARAN DI ERA VIRALISME

Jika seorang perempuan disanjung-sanjung dengan kata-kata indah. Misalnya, “kamu cantik sekali malam ini”. Yakinlah, hatinya akan berbunga-bunga. Namun, ketika ekspresi cantik dipercantik menjadi “syantik”, mungkin ekspresinya akan berubah, apalagi jika ia mempunyai pengetahuan historis tentang viralnya dangdut si syantik. Itulah contoh sederhana betapa hebatnya viral mengubah persepsi atas ekspresi kata-kata. Sama-sama niatnya memuji, cantik, syantik, tapi bisa ditanggapi berbeda.
Era serba internet (internet of thing) sekilas tampak bahwa tiadanya atau tergerusnya strata sosial di hadapan “viralisme”. Dalam viralisme kita bisa hina sesaat, bisa mulia sejenak. Ia datang dan pergi sesukanya sekejap mata, ketawa dan sedih kadang beririsan, seperti drama Korea mengaduk-aduk emosi. Begitu dinamisnya, begitu relatifnya ekspresi kita. Seorang pejabat bisa berpura-pura jadi kuli untuk viral. Komplotan perampok yang beringas bisa berpura-pura jadi pejabat yang santun, namun belum tentu untuk viral, karena memang niatnya jadi perampok.
Mungkinkah viralisme menjadikan masyarakat yang non-hirarkis, atau hanya menciptakan hirarki baru, user-administrator, follower-creator, viral – non-viral?
Viralnya sesuatu (teks/narasi atau style/perilaku) ibarat tsunami. Ia akan menenggelamkan dan menggulung apa dan siapa saja yang dilewatinya. Semua level usai, strata jabatan, semua profesi, strata sosial, dll. Bersyukurlah jikalau yang viral adalah hal baik dan menginspirasi, jika sebaliknya, celakalah. Jika style tertentu viral maka mengikutlah kita padanya. Hatta dengan mengikutinya setulus hati atau hanya sekadar peniruan yang mengejek, atau cara-cara mimesis lainnya. Lalu, siapa yang bisa bertahan dari derasnya arus viralisme? Boleh jadi viral akan menjadi agama dan ideologi baru masyarakat kita.
Sebagai ilustrasi terkini, polemik antara protes Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan PB Djarum berakhir indah dengan foto bersama di stage. Adanya kesepakatan bahwa audisi bulutangkis tetap dilaksanakan, dengan sejumlah catatan. Perubahan sikap pihak PB Djarum menarik keputusan untuk meniadakan audisi, demikian juga melunaknya KPAI atas protesnya yang awalnya garang banget menjadi slow. Apa sebabnya? Boleh jadi disebabkan viralnya polemik tersebut yang menjalar ke mana-mana. Termasuk pada latar belakang komisioner KPAI dan donaturnya selama ini, dan seterusnya, yang melahirkan berbagai persepsi dan penilaian terhadapnya.
Ada banyak kasus yang bisa mengubah sikap seseorang dari sedih menjadi senang, dari benci menjadi cinta, dari pemalu jadi beringas, dst. Kasus manipulasi aturan, kebijakan, bahkan kejadian tragedi besar karena the power of viral. Viralnya sesuatu (berita, kasus, info, dll.) bisa melelehkan pada apapun yang dilewatinya. Yang salah bisa jadi benar, yang benar bisa jadi keliru, itulah fenomena post-truth. Kebenaran narasi ditentukan oleh masifnya emosi yang terlibat di dalamnya bukan pada standar kebenaran itu sendiri.
Apakah ini berbahaya bagi rezim kebenaran? Sudah tentu. Bukan hanya rezim kebenaran, rezim kepakaran pun akan terkena dampak oleh tsunami viral. Profesor bidang tafsir, bisa saja kalah populer dan pengikut (jamaah follower) oleh mahasiswa semester akhir yang mampu mengoptimalkan sarana algoritma sosial media, google adsense, dan fasilitas robot lainnya. Sudah lazim kita saksikan bagaimana seorang mualaf (pemeluk Islam pemula banget) sok tahu (sotta) menceramahi dan kadang menyalahkan seorang kiai yang mendekati ‘paripurna’ keilmuan. Si pemula yang lebih populer dan diterima khalayak karena ceramahnya lucu, kocak, dan menghibur. Sedangkan kiai yang paripurna keilmuannya hanya mengisi pengajian-pengajian di pelosok.
Atau jangan-jangan seperti yang dirapalkan Tom Nichols, “Kadang dalam rimba informasi masa kini, penjelasan pakar tidak didengar, sementara jawaban dari tokoh yang mempunyai banyak pengikut justru lebih dipercaya –dan membahayakan banyak orang.” (Tom Nichols, 2019, dalam Matinya Kepakaran).
Oleh karena si pemula lebih populer, jam tayang di TV, di Youtube, dan media sosial lebih masif maka sangat mungkin dia akan didaulat sebagai yang “paripurna” ala ciptaan media. Dan terlanjur populer, maka si pemula pun tak punya waktu untuk “ngaji”, belajar lebih banyak dan lebih dalam. Cara-cara instan pun ditempuh, belajar instan dan karbitan. Akhirnya, lahirlah agamawan pemula, populer, karbitan, dan kagetan.
Hal yang serupa juga terjadi pada realitas publik yang lain. Partai politik yang sejatinya menjadi lembaga pengaderan politik, juga terjebak pada politisi viral. Siapapun figur publik yang bisa menciptakan narasi populer, maka akan dilirik oleh partai dicaplok sebagai kader. Singkat cerita lahirlah anggota-anggota dewan dan politisi yang karbitan, kagetan, dan panikan. Padahal tugas utama mereka adalah menjadi corong publik, memperjuangkan hak-hak warga yang memilihnya, karena terlalu jauh kalau mewakili kepentingan warga kebanyakan. Akhirnya panggung politik menjadi kontestasi drama. Dramaturgi, di mana setiap lakon bisa mati berulang kali dengan peran yang berbeda-beda. Pagi hari berperan jahat, malamnya jadi bejat, esoknya jadi bajingan, kapan baiknya? Di pencitraan, di narasi tontonan.
Kalau sudah demikian, lalu siapa yang bisa diharap menyuarakan kebenaran-kebenaran konstitusional, kebenaran ajaran agama yang mulia yang membawa rahmat untuk semesta. Kebenaran-kebenaran pancasila yang mulia nilainya: Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kebersamaan, dan keadilan.
Dua Persfektif Logika
Kebenaran dapat kita amati dan verifikasi pada dua perspektif logika. Pertama, perspektif logika biner. Dalam melihat kebenaran seperti logika klasik/biner/boolean. Logika benar-salah, hitam-putih, halal-haram. Cara pandang ini diterapkan oleh hakim dalam mengeksekusi kasus, bersalah atau bebas. Hal sama dapat kita lihat pada perilaku sebagian kaum agamawan ekstrimis yang sumbu pikirnya sangat pendek, kalau bukan dari golongannya yang ‘mahabenar’ maka yang lain salah.
Logika klasik menyatakan bahwa segala hal dapat diekspresikan dalam istilah biner (0 atau 1, hitam atau putih, ya atau tidak). Logika ini membagi realitas dalam dua titik ekstrim yang berbeda 0 atau 1. Tentu dengan standar yang ketat mana yang benar dan mana yang salah.
Kedua, perspektif logika fuzzy (kabur). Cara pandang logika fuzzy menyerupai perspektif gradasi cahaya. Sebagaimana cahaya yang bergradasi, dari terang bisa menuju ketiadaan terang (gelap).
Logika fuzzy memungkinkan nilai keanggotaan antara 0 dan 1 (0,2; 0,5; 0,7; 0,9), tingkat kekaburan (probabilitas), begitu banyaknya angka antara 0-1, dan dalam bentuk linguistik, konsep tidak pasti seperti “sedikit”, “cukup”, “sedang”, “sangat”, dll. Logika ini berhubungan dengan himpunan fuzzy/kabur dan teori kemungkinan. Fuzzy Set (Himpunan Kabur) diperkenalkan oleh Lotfi A. Zadeh, beliau adalah Bapak logika fuzzy yang dilahirkan di Baku, Azerbaijan merupakan peletak dasar-dasar fuzzy logic. Beliau besar di Iran, dan bekerja sampai akhir hayatnya sebagai profesor di Universitas California, Barkeley.
Penemuannya tentang sistem fuzzy, dengan pergeseran sudut pandang dari perhitungan sistem yang akurat, teliti, lengkap (hard computing) menjadi perhitungan sistem yang mentolerir adanya ketidakpastian, kekurangan data, dan sebagainya (soft computing) yang ternyata lebih mendekati pada kenyataan sehari-hari.
Logika fuzzy mengajarkan cara melihat fenomena, realitas dengan lebih jujur, plural dan realistis. Jika dalam dunia asmara Romeo-Juliet, Laila- Majnun, kita mengenal cinta dan benci. Dalam sudut pandang Zadeh, ada cinta mati, sangat cinta, cukup cinta, lumayan cinta, tidak cinta. Demikian pula benci.
Meretas Jalan, Bebas dari Jebakan Viralisme
Sekilas dapat terlihat bahwa logika fuzzy ini dalam sudut tertentu menyerupai pandangan “Hierarki Eksistensial” Mulla Shadra. Dalam hirarki eksistensial tidaklah wujud dipahami sebagaimana tunggalnya tiang listrik, tetapi wujud bergradasi bagai pendar-pendar cahaya. Mulla Shadra menghubungakan “kesatuan wujud dengan kemajemukan eksistensi” yang diibaratkan cahaya matahari dalam hubungannya dengan matahari itu sendiri. Cahaya tersebut bukanlah matahari, namun pada saat yang sama tidak lain adalah juga matahari. Sebagaimana Wujud (Ada). Adanya Tuhan, adanya buku, adanya esai ini, sama-sama ada, tetapi keberadaanya berbeda secara hakiki.
Filsafat Mulla Shadra mengajarkan gradasi wujud, dalam logika fuzzy ada gradasi kebenaran. Benar 100%, 90%, 85%, …..10%. Sama-sama ada level wujudnya, ada level kebenarannya. Tentu dengan kriteria kebenaran pada setiap level.
Dalam khasanah keilmuan Islam, “Benar” memiliki berbagai turunan. Kebenaran dalam Islam diistilahkan dalam 3 bentuk: Haqq, Shiddiq, Shahih. Kebenaran karena faktual, person yang terpercaya, dan kebenaran proposisi,
Pertama, Haqq adalah kebenaran yang bermuara pada hakikat sebagai dasar yang berwujud materi yakni realitas faktual. Contoh : Habibie telah wafat adalah realitas dan hakikatnya adalah alat komunikasi. 2). Shiddiq yaitu kebenaran yang mengacu kepada struktur kualitas dan kredibilitas subjek/individu, namun bukan pada status sosialnya (jabatan, profesor dll). Contoh: Periwayat hadist yang terpercaya, kejujuran imam. 3) Shahih, kebenaran yang merujuk kepada aspek pernyataan/proposisi/kata-kata atau verbal tanpa memandang person-nya. Kebenaran silogisme yang taat pada aturan formal logika.
Kekacauan diskusi akibat dari viralnya suatu narasi terjadi karena tidak adanya semesta pembicaraan yang jelas dan selevel. Pada level pengetahuan mana: biasa, illmiah, ideologis, agama, filosofis, mistik, atau metafisik. Karut marut yang timbulkan oleh sesuatu yang viral diperparah oleh netizen yang suka co’do rantasa (coras) atau asal bunyi (asbun), asal komentar tanpa basis pengetahuan yang memadai. Misalnya, bicara pengetahuan ilmiah tetapi menggunakan cara pandang mistik. Diskusi filosofis tetapi berpikir fikih. Ngga nyambung coii…
Baik Prof. Zadeh atau pun Mulla Shadra menghadirkan pandangan realitas yang majemuk. Yang memungkinkan setiap kita melihat setiap fenomena dan realitas tidak dengan tunggal. Prof. Zaadeh adalah sosok “pluralis”, tergambar dari pernyataan beliau. “The question really isn’t whether I’m American, Russian, Iranian, Azarbaijani, or anything else. I’ve been shaped by all these people and cultures and I feel quite comfortable among all of them”. Seorang pluralis tidak akan mudah menyalahkan orang lain. Sebagaimana yang terjadi pada korban-korban viral. Lihatlah betapa banyak orang menghakimi Pak Azis hanya karena mengulik pemikiran Muhammad Sahrur.
Leluhur, junjungan kita, Sokrates tidak pernah menyalahkan orang. Ia sangat bijaksana. Kebijaksanaanya karena kecenderungannya pada pencarian kebenaran. Tanpa membabi buta menghakimi yang berbeda dengannya. Ada tiga resep Sokrates untuk memfilter hoaks, gosip atau narasi viral. Ada 3 pertanyaan yang ia ajukan pada pembawa berita atau kabar. Satu, apakah Anda yakin benar dengan cerita yang hendak kamu ceritakan? Kedua, apakah yang akan kamu ceritakan hal-hal yang baik/bagus? Ketiga, apakah ada manfaatnya atau gunanya bagiku?
Kebenaran seperti cahaya, sumber cahayanya satu, tetapi tingkatan cahayanya berbeda (jamak). Seberapa dekat kita pada sumber cahaya maka level kebenaran kita makin terang dan jelas tanpa harus merendahkan mereka yang masih dalam kekurangan cahaya (kegelapan). Kata guruku, kegelapan itu identik dengan kebodohan. Maka bergeraklah dari kegelapan menuju cahaya, mulailah dari pesan pamungkas pertama, Membacalah! Membaca dengan indera, analisis dengan berpikir, teguhkan keyakinan dengan hati.
Wassalam. Wallahu a’lam Bisshawab.
Tulisan ini juga dimuat di KALALITERASI

05/08/2019

“Hijrah” antara Rahmat untuk Semesta atau Berkah Bisnis Fashion


Syamsu Alam*)

Seberapa ‘kebeletnya’ kita ikutan arus ‘Hijrah Fest’ yang kini ramai dikemas dalam berbagai kegiatan. Mulai dari asosiasi artis ibukota, artis lokal, lembaga-lembaga pemerintahan hingga kelompok ibu-ibu arisan komplek. Apakah ini sebagai sinyal baik kebangkitan Islam atau sinyalemen pasar bahwa umat Islam adalah potensi ekonomi yang luar biasa, sekaligus potensi politik yang bisa membinasakan. Mari kita baca baik-baik sinyal-sinyal ini. 

Iqra (Bacalah) adalah pesan pamungkas Quran. Membaca sejarah, kisah dan hikmah dapat mencerahkan kita. Diantaranya tentang hijrah, mengapa Rasul Saw memilih hijrah ke negeri Habasyah yang Kristen sebagai tujuan hijrah pertama? Apa pesan penting hijrah Nabi ke Madinah? Dan apa kaitannya dengan massifnya fenomena hijrah satu dekade tarakhir.

Akhir-akhir ini, kata ‘hijrah' santer terdengar di berbagai kalangan, di media cetak dan elektronik. Berhijrah amat populer di kalangan urban muda-mudi, selebritis, eksekutif muda, hingga orang biasa, bahkan teman dekat dan saudara kita. Fenomena hijrah pun telah merangsek ke pelosok desa.

Fitur-fitur artifisial yang dapat disaksikan dari mereka yang memutuskan berhijrah biasanya ditandai dengan berubahnya penampilan, hijab syar’i. Sedangkan bagi laki-laki, umumnya ada gejala peningkatan ‘kaki celana’ dari di bawah mata kaki menjadi di atas mata kaki (cingkrang/tidak Isbal), atau berjubah. Mereka memelihara jenggot dan utama memanjangkannya. Fitur suara yang sering  terdengar, mereka akrab dengan kosakata arab:  antum, ana, ukhti, masya Allah, dll. 

Tak hanya itu, mereka yang merasa berhijrah lebih rajin mempelajari ilmu agama dari majelis pengajian hingga majelis group virtual (WAG) dan ‘youtube’. Pun, kerap membagikan ceramah dan meme konten islami yang diperolehnya dari jejaring media atau komunitasnya.

Fenomena di atas lumrah dan biasa saja, yang mengherankan, ketika mereka mulai ‘menghakimi’ orang lain dengan keyakinan barunya. Mereka bergairah tinggi mendakwahi orang lain. Bahkan, tak jarang kita menyaksikan, mereka mengisolasi diri dari ibadah dan kebiasaan masyarakat pada umumnya. Ungkapan yang meneguhkan bahwa ‘keyakinan terbarunyalah’ yang terbenar yang lain mengada-ada dan menyimpang (bid'ah) bahkan sesat adalah fitur ‘horor’ yang menyesakkan bagi kaum yang belum berhijrah. 

“Jasmerah” Hijrah

Sebelum hijrah, Rasul SAW mengamati kondisi dalam negeri dan negeri-negeri tetangga dengan cermat. Beliau memahami bahwa sumber masalah ada di Jazirah Arabia. Di mana dua kubu saling bertikai antara umat Muslim versus kaum kafir Quraisy yang hatinya sudah terbakar rasa benci, tanpa kompromi.

Sedangkan kondisi negeri-negeri tetangga saat tidak kondusif. Kerajaan Persia masih penyembah api abadi. Romawi yang memperbudak rakyatnya. Tentu kedua negeri tersebut bukan tujuan strategis untuk mempertahankan benih-benih keimanan keluarga dan sahabat.

Kerajaan Habasyah (Ethiopia), yang terletak di seberang lautan. Kondisi geografis ini dipandang begitu menguntungkan bagi umat Muslim yang berhijrah, karena lebih menjamin keselamatan mereka dari kejaran kaum Quraisy yang saat itu belum mahir menghadapi medan laut. Selain itu, Habasyah merupakan kerajaan yang masih menganut ajaran Nabi Isa AS. Raja selalu ditemani oleh para uskup yang tangan mereka tak lepas dari kitab suci Injil. Ia dikenal sebagai raja yang bijaksana, menjunjung tinggi keadilan dalam mengambil keputusan.

Ragib Al-Isfahani (w. 502 H/1108 M), pakar leksikografi Al-Qur’an berpendapat, istilah hijrah mengacu pada tiga pengertian. Pertama, meninggalkan negeri dimana penduduknya sangat tidak bersahabat menuju negeri yang aman dan damai. Kedua, meninggalkan syahwat, akhlak buruk dan dosa-dosa menuju kebaikan dan kemaslahatan (QS. al-Ankabut, 29:26). Ketiga, meninggalkan semua bentuk kemaksiatan, narsisme dan hedonisme menuju kesadaran kemanusiaan dengan cara mujahadah an nafs (mengontrol hawa nafsu) (Musda M, 2017)

Hijrah seutuhnya

Kini, banyak orang yang hijrah, meninggalkan dunianya yang selama ini digelutinya. Banyak artis berhenti jadi artis, musisi, pegawai bank dll, melakukan migrasi profesi, dengan alasan, profesinya mengandung syubhat (bercampurnya yang haq dan bathil). 

Atas hal di atas Quran dengan bijak mengingatkan. Janganlah kau berpindah dari alam ke alam karena kau akan seperti keledai pengilingan, di mana tujuan yang sedang ditempuhnya adalah titik mula ia berjalan. Tetapi berpindahlah dari alam kepada Penciptanya. Allah berfirman, ‘Hanya kepada Tuhanmu titik akhir tujuan,’ (Surat An-Najm: 42).”

Hijrah sebagai fenomena massif di negeri ini berdampak pada interaksi sosiobudaya kita.  Ada teman sebelum ’Hijrah’ asik ditemani ngobrol, setelah ’Hijrah’ mulai kurang asik, menjaga jarak dan akhirnya mengisolasi diri bersama kaum yang sudah ’Hijrah’ lebih awal. 

Dibalik fenomena ’Hijrah’ seolah-olah bangkit kekuatan ekonomi dan politik baru. Jejaring bisnis kaum ’Hijrah’ dengan label-label syar’i dan syariah. Gerakan politiknya pun dapat kita saksikan pada berbagai perhelatan politik di Nusantara ini. Cukup populer di media massa sejumlah tokoh-tokoh yang berfashion ‘Islami’. Orasi-orasi yang dilantunkan pun kearab-araban. Dari sini saya semakin yakin betapa hebatnya sebuah kata-kata bisa menggerakkan seseorang dan solidaritas identitas para kaum ‘hijrah’. Sekali lagi semoga ini pertanda baik, bukannya sinyalemen pasar yang justeru akan memperkokoh rezim eksploitasi pasar kaum ‘hijrah’.

Beberapa hikmah hijrah yang dilakukan Nabi Saw diantaranya, Pertama, fase revolusi diri, membangun pondasi ketauhidan. Fase ini berlangsung pada level individual dan kolektif. Kedua, setelah Hijrah ke Madinah, Nabi saw memperkenalkan ukhuwah Islamiyah (persaudaraan seiman), Ukhuwah Wathaniyah (persaudaraan sebangsa) dan Ukhuwah Basyariyah (persaudaraan sesama manusia). Ketiga, fase perjalanan menuju Ilahi. Fase peleburan nilai-nilai keegoan dengan nilai keilahian. Jangan sekalikali ada perasaan bangga dan merasa diri lebih beriman dari orang lain. Karena penilaian itu hak mutlak sang Khalik.

Kini, pintu hijrah terbuka lebar. Dalam konteks ini hijrah bermakna melakukan upaya-upaya transformasi diri dan masyarakat menuju kualitas yang lebih beradab bukan makin biadab pada sesama makhluk Tuhan yang boleh jadi tidak sepemahaman dengan keyakinan kita.

[][] *) Ketua Masika ICMI Orda Makassar)

21/07/2019

Kuliah (Sekolah), untuk apa?



Kuliah (Sekolah), untuk apa?[Syamsu Alam]



Sekarang musim pendaftaran kuliah tahun 2019. Hal ini bisa jadi berita gembira ataupun berita yang manyayat hati bagi calon dan keluarga calon mahasiswa. Gembira bagi yang lulus dan mampu membayar biaya kuliah. Derita bagi yang tak lulus SBMPTN atau Bidik Misi, dan jalan satu-satunya untuk kuliah, lewat jalur mandiri atau Perguruan Tinggi swasta. Itupun kalau ada koneksi dan koleksi harta untuk biaya kuliah jalur Mandiri. _Hmmmm, Mandiri.. tapi bukan Bank Mandiri yang hari ini down sistemnya_ 😂. Mandiri adalah salah satu jalur prestise masuk kampus Negeri. Prestise dengan bayar yang lebih aduhai.

Kini, masuk perguruan tinggi ibarat memilih dan memilah menu, sesuaikan dnegan isi otak atau isi kantong. Andiakan saat ini saya baru masuk kuliah, sudah dipastikan tidak akan mampu masuk lewat jalur Mandiri. Maka harus bersaing merebut "Golden Ticket" Bidik Misi agar bisa kuliah. Jalur Bidik Misi adalah harapan bagi kaum yang mumpuni kecerdasan akademik namun kurang beruntung dalam hal finansial. Negara memfasilitasinya lewat jalur ini. Semoga jalur ini tidak dimasuki siluman. Sebagaimana yang terjadi pada jalur Mandiri pada umumnya. 😁



Tahun 2005 silam, saat resmi berstatus Sarjana Sains Matematika. Saya membaca tulisan Bob Black, "Penghapusan Dunia Kerja". Bacaan tersebut yang menyebabkan saya mengurunkan niat ikutan wawancara di salah satu perusahaan raksasa di Makassar. Pada saat kuliah, saya tidak serius-serius amat, kecuali saat menjelang selesai, menjelang persentasi tugas akhir. Saya lulus dengan durasi hampir maksimal 6 tahun 8 bulan. IPK tiga koma sembilan.................

belas. Alhamdulillah. "Baru ka santai-santai kuliah IPKku sudah setinggi itu" Apalagi kalau serius. 😁 Sahutku pada teman2 di bawah beton jamur Matematika UNM. Tempat ngobrol dan bernanung dari penatnya belajar matematika.

Kemarin Lembaga Studi Al Muntazar bekerjasama dengan salah satu Himpunan Mahasiswa di UIN Alauddin Makassar menggelar diskusi tentang Kerja dan Rev. Industri 4.0. Mengingatkanku lagi pada tulisan Bob Black. Pada Diskusi tersebut, saya memulai pembicaraan dengan mengutip sana-sini uraian Bob Black tentang "Penghapusan Dunia Kerja" dan mengaitkannya dengan kondisi kekinian.  Awalnya kukira peserta diskusi akan resisten, ternyata sebagai besar mengamini analisa Bob.

Pada diskusi itu, saya mengambil kasus-kasus yang saya dan teman-teman alami di dunia kerja. Apapun profesi pekerjaannya, yang sok santai (pelapak online) atau pun pekerja kantoran yang sebenarnya bekerja bukan 8 jam perhari atau minimal 35 jam perminggu. Tetapi 24 jam perhari selama seminggu. Sesekali menertawai diri sendiri "sebagai pengamen hasil bacaan dan pelajaran" di salah satu kampus negeri di Makassar.

Dalam diskusi tersebut, saya kemukakan bahwa, akhir-akhir ini kerja telah mengalami reduksi yang sangat dalam. Orang tidak akan dikatakan kerja kalau tidak berkantor, dengan jam kerja paten 08.00-17.00. Paling mutakhir tidak dikatakan kerja kalau bukan PNS. Maka wajar antrian pendaftaran CPNS akan melimpah.

Tapi pada prinsipnya kerja yang kita pahami selama ini adalah yang ada kantor (ataupun yang online berkantornya cukup bayar kopi di warkop atau cafe),  ada jam kerja, ada bos, ada _jobdesk_, ada target, dst. Prinsip inilah menurut Bob Black yang melanggengkan sistem kerja penindasan kapitalisme a la _fasisme pabrik_. Yang mana setiap orang yang terlibat di dalamnya mengalami dehumanisasi, alieansi diri dan ketertindasan.

Terdehumanisasi karena kita dipaksa diam atau terpaksa diam atas keburukan-keburukan yang terjadi dalam lingkungan kerja. Kita ketahui ada penyelewengan, ada korupsi, ada kebiadaban tetapi apa daya kita memperbaikinya dan mengubahnya. Melawan secara frontal akan memberikan implikasi panjang pada nasib kita.

Nah, kita yang terlanjur larut dan terdehumanisasi dalam dunia kerja. Tanpa berani mempertanyakan apa sebenarnya kerja? Untuk apa dan siapa, tujuannya apa?  Akan diam-diam saja dan merasa semua hal berjalan normal-normal saja. Padahal jika dicermati dengan seksama kerja dan institusinya telah banyak merusak relasi-relasi kemanusiaan kita.

Nilai kemanusiaan yang paling mendasar adalah Kebebasan. Dan dalam dunia kerja tiada lagi kebebasan. Catat, tiada lagi kebebasan. Sejak menandatangani kontrak kerja, maka pada saat itu kita menggadaikan kebebasan kita. Hal paling mungkin kita lakukan adalah mencuri kembali sedikit demi sedikit kebebasan itu yang telah dirampas oleh dunia kerja.

Berapa jam kita bekerja /hari?  8 jam, tidak. Sebenarnya 24 jam per hari.

Seorang bapak yang bekerja bukan hanya dia yang akan terlibat dalam dunia kerja. Istrinya akan menyetrika bajunya, memasak masakan bergizi agar berstamina prima. Pun, istirahat kita di siang hari dan malam hari adalah rangkaian dunia kerja. Agar esok hari, bisa fit and fresh lagi masuk kerja. Demikian seterunsya dan seterusnya berputar. Berlibur pun adalah rangkaian dari merefresh ketegangan kerja. Semua adalah rangkaian dunia kerja.

Lalu buat apa kita Sekolah, Kuliah? Apakah hanya sekadar memperpanjang barisan perbudakan dunia kerja? Atau sesekali menginterupsinya. Interupsi dengan event-event budaya, diskusi, meditasi, atau lainnya.

Sekolah sebenarnya adalah bahan kayu bakar dari "fasisme pabrik". Apalagi sekolah atau kampus yang tujuan tunggalnya sekadar untuk menciptakan 'Worker' bukannya 'Human'. Institusi sekolah lah yang mengajarkan disiplin dan kadang menkondisikan ketaatan total tanpa interupsi pada suatu aturan. Jika sekolah atau kampus sudah demikian, maka tak ada bedanya dengan penjara. Dan para pengelola kampus adalah sipir.

Karena untuk merealisasikan tawaran Bob Black yang begitu radikal butuh perjuangan dan nafas yang panjang.

Saya justru melihat tawaran Bob, dapat ditelusuri pada jejak-jejak kehidupan kaum sufi. Dimana bekerja dan pekerjaan adalah aktifitas ibadah, bekerja dilakukan dengan riang gembira, bukan karena paksaan dan intimidasi. Kerja yang bermartabat adakah kerja yang dilakukan dengan riang gembira ibarat dunia permainan yang didalamnya ada konsensus yang sifatnya sukarela. Dimana, apabila ada teman bermain yang "curang" atau menyalahi konsensus bersama bisa kita tegur ramai-ramai dengan santai dan tanpa dendam.

Singkat cerita....

Pada sesi penutup diskusi saya bertanya pada audience. Yang bekerja ataupun yang berniat bekerja, Anda sebenarnya mencari apa dipekerjaan, uang atau rejeki? Kekayaan atau kesejahteraan?





Syamsu Alam, Pegiat di Praxis School