Read, Write, and Do Something

No Teaching without learning

Menulislah agar abadi

---

Listen, free economic make better

Showing posts with label Ekonomi. Show all posts
Showing posts with label Ekonomi. Show all posts

07/10/2018

Perang Ekonomi dan Bagaimana Menghadapinya

Syamsu Alam*)

Kita, umumnya menyukai barang yang harganya murah dan kualitasnya bagus alias mumpuni. Kita sering menyebutnya "barangnya kompetitif". 

Keunggulan kompetitif menurut M. Porter bukan membunuh pesaing (lawan) melainkan kita menunjukkan kinerja lebih baik. Sumber daya yang sama tetapi kita bisa berbuat atau berproduksi lebih berkualitas. Waktu kita sama 24/7 tetapi kita mampu mengoptimalkannya. Media sosial yang kita gunakan sama, namun optimalisasinya beragam. Ada yg manfaatkan untuk jualan, media belajar, media berbagi pengetahuan dan kembangkan skill, hingga cari jodoh, cari duit, dan ada pula yang cari musuh alias pengikut paham "nyiyirianisme".

Kalau kita menang atau untung, untunglah dengan terhormat, tidak dengan cara-cara curang, seperti pembunuhan karakter pihak pesaing. Kalau pun rugi (kalah), rugi dan cut loss lah dengan elegan, kata teman saya🤔. Kalau kita masuk dalam barisan orang-orang rugi,  rugilah seminimal mungkin. Itulah kompetitif. Menang dengan Happy, kalah dengan elegan.

Sejumlah analis menilai tekanan yang terjadi di pasar  keuangan emerging market menjadi kesempatan investor memburu aset di negara berfundamental kuat. Logikanya, kalau 1$ setara 15 rb berarti bagus untuk investasi. Yang bermasalah kalau kita sudah terlanjur invest di perusahaan atau di negara tersebut. Seandainya saya masih punya stok modal lebih banyak, saya akan beli saham-saham perusahaan yg fundamentalnya bagus. Saya susah cut loss dengan elegan 😂.

Kita memang sedang mengalami krisis, pemerintah harus akui itu. Kapitalisasi pasar kita sudah tergerus 2,74% dibanding akhir 2017 silam yang sebesar Rp 6.560 triliun. Mengutip Bloomberg, kapitalisasi pasar saham domestik mencapai Rp 6.380 triliun. Current Account Deficit, per 2 september 2018 sebesar $-5,7 B (TradingEconomic). 

Current Account Deficit yang sehat itu antara dua hingga 2,5 persen dari PDB. Penting untuk menekankan bahwa defisit transaksi berjalan tidak selalu buruk. Serupa dengan arus kas negatif sebuah perusahaan, defisit ini bisa menjadi hal yang positif apabila dana ini digunakan untuk tujuan-tujuan investasi produktif (yang menghasilkan aliran pendapatan di masa mendatang) seperti pembangunan industri atau infrastruktur. Tetapi kalau defisit ini hanya digunakan untuk konsumsi, terjadi ketidakseimbangan struktural karena defisit tidak menghasilkan aliran pendapatan di masa mendatang. Utang pemerintah juga lumayan tinggi, batas psikologis dari Menkeu 30%. Berdasarkan regulaai pasal 12 ayat 3 UU Keuangan negara maksimum 60% terhadap PDB, 30%  batas psikologis dari Menkeu. Sekarang sudah 29,%. Data-data makro ini bisa diakses di laman Bank Indonesia atau trading Economics, dll.

Kita masih ingat, Dinamika geopolitik global paling aktual yang layak dicermati bersama ialah currency war alias perang mata uang antara Amerika Serikat (AS) melawan Turki. Dolar versus Lira. AS mengancam TurkI dengan embargo finansial akibat praktik spioanase Paman Sam di Turki dibongkar oleh Erdogan. Secara nasionalisme Turki merupakan prestasi, namun peristiwa tersebut justru aib bagi AS.

Seruan untuk tidak menggunakan Dollar sebagai transaksi global utama menarik dicermati. Namun butuh nyali dan 'kuda-kuda" yang kokoh. Beberapa negara yang tidak sepenuhnya memakai US Dollar dalam traksaksi perdagangannya adalah Rusia, China, Iran, Jepang (?) dan kali ini Turki. Awalnya mungkin sakit, tapi jika kokoh maka bisa bangkit menjadi negara mandiri.

Kita memang harus bisa bangkit. Optimisme tetap ada asal jangan keterlaluan. Pelemahan rupiah 2018 amat jauh berbeda dengan 97/98. Kondisi politiknya berbeda, tren kenaikannya berbeda, dan tentu orang-orang yang menghadapinya juga beda. Mestinya cara pandang dan tindakan menghadapinya juga sedikit lebih maju.

Pada setiap kasus pasti ada sisi positif dan negatif, termasuk krisis. Rupiah anjlok tetap saja ada yang cuan besar. Bayangkan saja kalau mereka beli dollar di harga 10.000/usd, dan memiliki 1 juta dollar. Cuannya lumayan banyak, untuk sekadar cetak stiker kampanye, atau membiayai lomba makan kerupuk se-kabupaten. Barang-barang ekspor sudah tentu untung besar. Tapi derita bagi importir.

Pemerintah (yang serius) tangani krisis ini sudah pasti otak-atik strategi. Dari resep leluhur sampai resep milenial. Mainkan suku bunga, jual SBN, batasi impor barang-barang konsumsi, "rupiahnisasi" DHE (Dana Hasil Ekspor), Aksi BI membeli Surat berharga yang dijual asing, sembari menjaga psikologis investor, masyarakat, dan tentu lawan-lawan politik yang terjebak dalam paham 'Nyinyirisme'. Kritis boleh, asal tapi jangan lupa memberi apresiasi pada selebrasi Jojo 😂.

Currency War

Setidaknya ada 3 Alasan mengapa Negara mendevaluasi mata uangnya. Pertama, Meningkatkan Ekspor.  Currency War (Perang mata Uang) dalam perekonomian terbuka hampir tidak bisa dihindari. Era kapitalisme lanjut, membuat negara-negar berkapitalisasi kecil rentan guncangan eksternal. Entah arus modal yang masuk, atau pun arus modal yang keluar. Itulah mengapa negara-negara berkembang amat rentan krisis. Apalagi negara-negara yang senyatanya melakukan perlawanan terhadap Dollar AS.

Beberapa hal yang mungkin bisa kita upayakan adalah,  Pertama, kepemimpinan yang kuat diperlukan pada sebuah bangsa agar tidak dipermainkan oleh negara adidaya. Kuat, tidak dinilai dari fisik yang 'aduhai', tetapi nyali melawan para komprador dan egresor, sejauh kamampuan kita. Termasuk nyali menanggung risiko atas kebijakan yang diterapkan. 

Kedua,  Nasionalisme, mutlak harus tetap ditanamkan kepada setiap warga negara pada semua level umur, pada setiap profesi, agar bila menghadapi situasi (darurat) tertentu ---dari perspektif geopolitik--- mampu menjadi "amunisi dahsyat" bagi kedaulatan sebuah bangsa. Meskipun ajakan nasionalisme menyimpan 'potensi ilusi', tetapi jika pengelolah negara mampu memberi tauladan, mengapa tidak. Cina, Jepang, dan Iran bisa menjadi contoh model Nasionalisme yang baik.

Ketiga, aksi nyata melalui pikiran, ide dan tindakan nyata. Mengencangkan ikat pinggang saat krisis adalah salah satu resep leluhur yang tak lekang dimakan zaman.

Berkaitan dengan poin ketiga, Itulah mengapa saya menunda membeli mobil impor sekelas Lamborghini :P. Sebagai salah satu kontribusi saya pada negara. Ingin menukar dollar tapi apa daya, dollar tak punya 😂.


Berikut saya kutip hasil diskusi dengan teman saya (Moh. Zaki Amami) yang tinggal di Iran. Beliau menuturkan bagaimana Iran dapat bertahan di tengah badai Perang yang dihadapinya. Embargo ekonomi yang dideritanya, bahkan menurut perhitungan Prof. H. Hanke dari John Hopkins University sebagaimana berikut.



Inflasi Iran yang meningkat sampai 267% selama kurun waktu 4 bulan. Andaikan hal tersebut terjadi di Negara kita, saya bisa memprediksi hampir semua netizen akan berubah profesi sesaat menjadi pakar Inflasi. Pakar yang akan menyalahkan pihak otoritas, dan bahkan akan memprovokasi warga untuk melakukan demonstrasi massif yang justru akan melumpuhkan perekonmian. Lalu, apa resepnya sehingga Iran dapat bertahan di tengah badai embargo ekonomi dan serangan meiliter dari pihak musuh.

Dukungan negara sekutu dan kondisi politik domestik turut membantu Iran dalam menghadapi berbagai guncangan ekonomi politik dan keamanan negara. Beberapa poin positif yang dapat dipelajari dari kemampuan daya tahan dan saya saing Republik Islam Iran adalah sebagai berikut:

  1. Dukungan penuh rakyat pada pemerintah dan Ulama.
  2. Optimisme masyarakat pada keadaan yang pasti membaik
  3. Mengkonsumsi produk dalam negeri mulai sabun, hingga mobil.
  4. Dari turunnya nilai mata uang, Negara memberikan kompensasi berupa gratisnya listrik, air atau Gas. berbeda (beda tiap kota) bahkan untuk gas di Iran cukup bayar Rp 10.000 (untuk 2 bulan). 
  5. Regulasi jelas untuk pasar gelap (Seperti mata uang, barang Impor) jika ketahuan pelakunya pasti ditindak tegas.
  6. Oposisi membantu pemerintah dalam memerangi musuh bersama (Amerika Serikat) dengan cara berbeda, karena mereka juga mengetahui makar musuh. 
  7. Kesederhanaan rakyat dan gaya hidup minimalis dan sederhana. (Misalnya. Warga Iran makan nasi cukup 1x sehari, Orang-orang kaya pun rela antri beli roti kering di pinggir jalan).
  8. Membatasi Impor dengan sangat ketat bahkan mengenakan pajak hingga 300% bagi mereka yang sengaja Impor (mis. mobil Hyundai harga di Indonesia sktr 150jt, di Iran bisa sampe 800jt, karena pajaknya sangat tinggi. Masyarkatpun berbondong2 beli mobil nasional/motor yg dibuat oleh Iran seperti Saipa DLL (kualitas ekspor).
  9. Terakhir, ikhtiar harus terus diupayakan sekecil apapun, sembari berdoa kehadirat Tuhan YME.

Kesuksesan Iran, setidaknya hingga saat ini menghadapi embargo ekonomi dan serangan militer membuat Mahatir Muhammad bertandang beberapa kali ke Iran. Mahatir Muhammad mengetahui betul, Geopolitik global yang terjadi dan bagaimana harus bersikap dan kepada siapa harus belajar. Tuntutlah Ilmu sampai ke Negeri Iran. Pepatah zaman Now.


*) Pegiat di Praxis School


29/05/2018

“Every Economy is a Culture” dan Relevansinya dengan Doktrin Produktivitas

Mononton film pendek memang mengasikkan. Di dalamnya tersirat banyak simbol, makna dan pesan-pesan. Pada salah satu perkuliahan ekonomi internasional bagian integrasi ekonomi, saya lazimnya mendahului dengan pengantar cerita-cerita santai dan lucu, sebelum sesi menonton film pendek di kelas, judulnya why some countries are rich and the others are poor? Film ini menyiratkan bahwa perbedaan dalam mengoptimalkan tiga hal; institusi, budaya, dan sumber daya alam sebagai penyebab adanya perbedaan antar negara. Apa, bagaimana dan seberapa penting ketiga hal tersebut.

Sentilan Escobar dalam Encountering Development, "Every Economy is a Culture", menarik diselisik lebih jauh. Mengingat ekonomi adalah hal fundamental dalam hidup dan kehidupan manusia sepanjang sejarah. Selain itu, ekonomi kerap direduksi menjadi sekadar angka-angka statistik yang kaku. Data kuantitatif penting tapi belum cukup menjelaskan kompleksitas ekonomi.

Jika setiap ekonomi adalah juga budaya, hal ini bisa bersifat resiprokal bahwa setiap budaya adalah proses ekonomi, proses pemenuhan kebutuhan atau kesejahteraan. Ukuran kesejahteraan setiap individu tidak sama. Karena secara hakiki tidak ada manusia yang sama. Kita memang sama-sama manusia, tetapi secara personal bakat dan kapasitas setiap orang berbeda sejak ia lahir. Secara potensial mungkin sama, tetapi aktualisasinya beragam. Ada yang belajar puluhan jam tapi tidak paham-paham, ada yang belajar hanya sejam dapat memahami suatu pelajaran dengan baik. Itu bukan ketimpangan, tapi keragaman mengoptimalkan sumber daya. Tuhan telah menganugerahkan potensi panca indera, akal, dan naluri atau kemampuan batiniah. Kemampuan mengoptimalkan segala potensi tersebut meniscayakan kita berbeda dan beragam. Karena kita berbeda maka perlakuan juga berbeda, bahkan di depan hukum sekalipun semua orang sebenarnya tidak diperlakukan sama. Kenapa tidak sama, karena kasusnya beda, deliknya beda, orang-orangnya beda, itulah kenapa pengadilan kerap tidak mencerminkan keadilan. Karena sedari awal diksi gombalannya “semua orang diperlakukan sama di depan hukum” hampir dipastikan sulit dipenuhi. Keadilan salah satu topik yang sangat dinamis dalam berbagai bidang termasuk dalam kajian-kajian ekonomi.

Dalam Globalisme kehidupan kita digiring pada keadaan yang bersifat homogen. Selera musik sama, makanan sama, slogan sama, dan kemiripan-kemiripan lainnya.  Sadar atau belum sadar, infiltirasi kebudayaan dalam ekonomi global, sedikit demi sedikit menggeser ‘cita rasa’ budaya lokal suatu daerah atau negara. Apa yang dikonsumsi warga Eropa dan Amerika sejatinya dapat dinikmati pula oleh masyarakat lokal. Globalisasi menyediakan ruang-ruang hidup bebas yang sangat luas. Tetapi bukan kebebasan itu sendiri. Termasuk bebas mati kelaparan di pinggir jalan, bebas foya-foya, bebas mati karena kelaparan, keracunan, atau karena mati dibegal ditonton massa yang lebih fokus mengambil gambar daripada berusaha menolong korban. Globalisasi (ekonomi) bukan sesuatu yang alamiah, ia adalah serangkaian gerakan ideologi (kapitalisme) sistematis. Perpaduan pengusaha fan kartel global beserta institusi global (World Bank, WTO, IMF, dll), Kekuatan-kekuatan militer negara-negara tiran global, dan termasuk para intelektual penyebar dan pembela gagasan pasar bebas. Keempat serangkaian itulah yang menciptakan hegemoni global. Dalam terminologi Quran mereka adalah perpaduan Firaun, Qarun, Balam (teknokrat), dan Haman (intelektual), demikian istilah yang  digunakan Dimitri Mahayana dalam Berhala Globalisme. Mereka menciptakan sistem dominasi untuk mengeksploitasi sumber daya alam negara-negara lain.

Globalisme bisa jadi adalah sebentuk tirani. Fidel Castro pernah mengemukakan dengan lantang bahwa “The United States tyrannizes and pillages the globalized world with its political, economic, technological, and military might”. Faktanya, jika suatu negara tidak bisa ditaklukkan atau dijinakkan dengan kekuatan ekonomi dan politik, jalan terakhir adalah kekuatan militer (lihat kasus di timur tengah).

Homogenisasi, penyeragaman yang inheren dalam budaya globalisme boleh jadi sebentuk tirani. Setidaknya tirani psikologis atau tirani pemikiran. Meskipun terkesan hiperbolik, atau lebih tepatnya cara pandang globalisme telah menghegemoni kita. Efek lebih jauh dari sebuah hegemoni adalah membuat pihak-pihak yang terhegemoni rendah rasa percaya diri, bermental budak, dan cenderung menganggap apa pun yang berasal dari yang menghegemoninya adalah sesuatu yang baik yang harus ditiru dan digugu alias latah.

Semakin maraknya standar-standar global, standar-standar kompetensi, pengukuran indeks-indeks , dan ranking-ranking adalah upaya-upaya peningkatan kualitas dan standardisasi global. Hal ini sebagai prakondisi proses produksi dan integrasi global. Meskipun hal ini tidak fair. Saya sering bergurau, apa perbedaan mendasar antara Cambridge dan Universitas di Makassar? Ini jelas tidak mangga dengan mangga, satunya sudah ada abad yang lalu sedangkan UNM misalnya baru kemarin dapat akreditasi A. Akreditasi A (unggul) sudah pasti beda dengan unggulnya yang dipahami sebagai unggul yang sebenarnya. Misalnya para dosen “dipaksa” membuat jurnal internasional dengan level-level pembayaran yang bertingkat. Yang tak jarang membuat para dosen/peneliti lebih sibuk mengurusi administrasi penelitian daripada isi dan substansi penelitan itu sendiri. Tapi sebagai tahap awal okelah, dimana kita ‘dipaksa’ berlomba dengan mereka yang sudah lari duluan. Kita butuh tenaga ekstra kalau perlu konsumsi doping.

Standar-standar kompetensi yang kini marak dikampanyekan. Menjamurnya institusi-institusi penjamin standardisasi, baik swasta maupun milik pemerintah. Kehadiran institusi-institusi penjamin standar menyerupai massifnya lembaga-lmbaga survey dan pemeringkat kualitas bidang tertentu. Ia seperti sebuah industri tersendiri. Semua diupayakan demi dalih meningkatkan kualitas dan produktivitas. Faktanya, Mari kita cek, berapa banyak guru dan dosen yang sudah lulus uji kompetensi (sertifikasi) benar-benar kompeten dan mampu merangsang minat belajar siswa atau mahasiswa? Jawabannya ada di ruang batin kita masing-masing. Berapa banyak universitas, sekolah tinggi, dan progran studi yang berakreditasi unggul, tapi belum memenuhi standar minimal pelayanan konsumen (mahasiswa) dan juga civitas akademika. Inilah salah tantangan dalam perbaikan di bidang institusi (kelembagaan).

Tentang institusi, setidaknya ada tiga hal yang patut diperhatikan menurut North, yaitu formal rule, informal rule, dan force rule. Formal rule berkaitan dengan aturan-aturan formal yang tertulis. Informal rule berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan, tradisi, dan budaya dalam suatu organisasi/lembaga, termasuk dalam hal ini adalah “pamali”, yang umumnya tidak tertulis tapi disepakati atau diyakini untuk ditatati. Force rule, berkaitan dengan mekanisme reward and punishment untuk menegakkan aturan-aturan. Jika ketiga variabel institusi belum disatupadankan maka wajar-wajar saja kita masih tergolong ‘poor’. Sinkronisasi ketiga hal di atas akan menciptakan kualitas unggul dan akhirnya produktivitas dan inovasi. Namun yang paling adalah perubahan dan transformasi perilaku.

Saya meyakini bahwa tindakan atau perbuatan adalah refleksi dari pengetahuan kita. Kebiasaan konsumtif masyarakat, bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Iklan melalui berbagai media, pada berbagai saluran teknologi, bahkan setiap kedipan mata berseliweran iklan-iklan menjajakan produk untuk dibeli, beli, dan beli. Watak utama iklan adalah, mengubah desire menjadi seolah-olah needs. Watak tersebut membentuk mental. Mental konsumerisme adalah bentukan pasar, lebih tepatnya pelaku pasar yang kalah oleh mekanisme supply and demand. Pasar secara ekstrim hanyalah supply and demand, kalau kita bukan produsen, maka kita sudah pasti konsumen. Hanya rantai nilainya saja yang kadang panjang dan berbelit, sebagaimana birokrasi yang kompleks. Kini, Interaksi produsen dan konsumen bergeser lebih singkat dan praktis karena kemajuan pemikiran dan kebudayaan manusia melalui teknologi.

Teknologi menghadirkan cara baru berinteraksi. Teknologi adalah proses berkebudayaan. Ia melahirkan kebiasaan-kebiasaan baru, kebiasaan ini lama kelamaan akan menjadi tradisi dan akhirnya terbentuklah kepribadian. Kepribadian yang menular dan massif akan menciptakan budaya komunitas. Dalam mode produksi kapitalisme lanjut pun mengalami perubahan, entah karena perubahan dari dalam atau perubahan dari luar. Disrupsi, yaa hampir semua sisi kehidupan terdisrupsi oleh kamajuan teknologi. Dalih utamanya semua untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas kehidupan.

Dalih efektifitas dan efisiensi kadang seperti bahasa langit yang sulit membumi. Kenapa prinsip dalam ekonomi tersebut teramat sulit untuk dibudayakan. Meskipun ia diklaim sebagai nilai kapitalisme. Tetapi jauh sebelum cara pandang kapitalisme atau liberalisme ekonomi mendominasi kampus-kampus kita, pendahulu kita sangat piawai memerankan hidup dengan efektif dan efisien. Efisien dalam artian tidak boros, efektif dalam arti memanfaatkan semua sumber daya secara penuh untuk mencapai hasil optimal. Atau sederhananya hiduplah secara produktif. Barang siapa yang hidupnya lebih baik dari hati kemarin maka ia adalah orang beruntung, jika sama ia rugi, dan jika hari ini lebih buruk dari hari kemarin, ia celaka. Ini adalah doktrin-doktrin produktifitas. Doktrin lainnya, manfaatkanlah masa mudamu sebelum datang masa tuamu, manfaatkan sehatmu sebelum sakit. Dan, doktrin yang paling monumental adalah Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum kalau bukan ia sendiri yang berusaha merubahnya.

Dalih dan doktrin di atas belum sepenuhnya terserap pada setiap batin-batin kita, termasuk penulis. Kata-kata belum searah dengan aksi, taro ada taro gau masih sebatas slogan, satunya kata dan perbuatan masih sekadar lipsing. Pengetahuan belum menjadi ‘pengetahuan seutuhnya’ yang mewujud dalam setiap tindakan. Pengetahuan kita masih sebatas ceceran-ceceran kata-kata yang hampa nilai “mistis”, nilai yang mampu menggerakkan para penganutnya.

Secara hiperbolik saya ingin menyebutkan setiap kata atau istilah adalah pesan-pesan ideologis. Ideologi dalam pandangan Murtadha Mutahhari adalah sesuatu yang menggerakkan para pengikutnya, sesuatu yang mampu mentransformasikan diri para pendukungnya. Bukan Ideologi sebagaimana yang dipahami Marx  sebagai sesuatu yang datangnya eksternal, ilusif dan melahirkan kesadaran palsu. Ia adalah sesuatu yang inheren dalam diri setiap orang, makanya tindakan setiap orang tidak sama, karena kamampuan dan bakatnya untuk mengeksplorasi cara pandangnya yang berbeda. Mindset bisa jadi kata lain untuk menggambarkannya, ia bukan sekadar alam ide, ia adalah aksi sekaligus. Oleh karena setiap kita berbeda, maka biarkanlah setiap orang, daerah, negara benar-benar bebas mengelola dirinya sendiri berdasarkan local genius masing-masing. Teori-teori ekonomi yang sukses di eropa dengan keadaan geografis serba dataran, kondisi ruang dan budaya yang berbeda sudah bisa dipastikan gagal diterapkan di negara kepulauan. Rumus sederhanya ATM (Amati Tiru dan Modifikasi) bukan sekadar copy paste kebijakan negara maju ke negara berkembang. Salah satu ciri negara berkembang atau terbelakang dapat dilihat pada saat macet, atau perempatan lampu merah. Itulah cerminan paling kasat mata suatu masyarakat yang terbelakang.

Upaya menstrukturisasi dan menyeragamkan cara pandang terhadap apa pun justru membuat hidup kadang tidak produktif. Jika tidak produktif tidak inovatif. Justru doktrin kebebasan untuk berbedalah yang kerap memicu produktifitas. Berpikirlah bebas niscaya kamu akan menemukan dirimu dna Tuhanmu. Kira-kira demikian pelajaran dari kasus Nabi Ibrahim dalam pencarian Tuhannya. Setiap individu diberikan jatah sumber daya waktu yang sama 24 jam/hari tetapi sungguh masih banyak yang lalai dengan waktunya masing-masing. Mengapa kampus atau sekolah, institusi pendidikan atau pemerintah di negara kita pada umumnya tidak produktif? Bisajadi karena, kita tidak terbiasa dengan tradisi-tradisi yang berbeda dengan kebiasaan kita. Inginnya itu-itu saja, yang penting damai. Keberagaman memicu dialektika, dialektika dapat merangsang nalar, asalkan tidak baper. Bukankah pelangi indah karena warna-warninya.

Upaya memenuhi kebutuhan (upaya ekonomi) adalah juga proses berkebudayaan maka seluruh standar-standar yang telah menjadi kesadaran massif, mungkin perlu didekonstruksi. Misalnya, kenapa definisi standar kemiskinan tidak ada yang sama, bahkan banyak versi, ada versi konsumsi 2$, 1200 kkalori per hari, dll? Karena sejatinya kemiskinan ataupun kesejahteraan adalah persepsi personal yang coba distandardisasi. Standar-standar umum atau (katanya objektif) dicoba dipadupadankan dengan standar subjektif. Sudah pasti ada konflik dan distorsi. Upaya mendorong ukuran kesejahteraan berbasis komunitas perlu senantiasa digelorakan. Standar kesejahteraan warga pantai, dataran rendah, dan dataran tinggi, kota-desa umumnya beda.

Von Mises mendefinisikan ekonomi sebagai logika tindakan. Alat analisisnya disebut Praxiology. Dalam logika tindakan terdapat tiga hal; alat, cara, dan tujuan. Besi orang Papua, besi dapat dijadikan tombak atau mata panah, bagi Amerika bagus dibuat senjata. Kedua alat tersebut dapat dijadikan media untuk membunuh, tapi caranya sudah tentu beda. Demikian pula jika kita ingin makan, sejahtera, lulus kuliah, sarjana dst. Tujuannya bisa sama, tapi alat dan caranya berbeda. Logika tindakan ini menyiratkan keberagaman cara untuk mencapai tujuan. Dalam cara pandang demikian pengikut Mises, Mazhab Austria menolak cara pandang John Locke yang emipiris, yang pada perkembangan mutakhirnya ‘menuhankan’ data-data statistik. Dampaknya cara pandang tersebut mereduksi kenyataan.

Keterasingan diri memahami logika tindakan kita masing-masing berdampak pada rendahnya produktivitas dan inovasi. Kenapa rendah? Karena dalam logika tindakan terdapat aksi dan refleksi. Apa yang telah dilakukan akan direfleksikan secara berkesinambungan, ada perbaikan secara terus menerus dan berkelanjutan. Sehingga kebiasaan meniru-niru dan latah tidak menjadi kebiasaan kita. Misalnya, ketika seorang Photografer berhasil mempopulerkan wisata “Negeri di atas Awan” di Toraja Utara, hingga menjadi objek wisata alternatif. Daerah lain pun ketularan mengekpose tempat-tempat yang serupa. Kebiasaan latah pun merebak pada hampir semua hal. Latah tentang #Hastag, latah tentang #pilpres, dan lain-lain latah boleh jadi adalah budaya orang-orang/komunitas yang malas bernalar dan berkontemplasi.

Saya tidak tahu harus mengakhiri bagaimana tulisan ini. Banyak pihak yang menginspirasi tulisan ini, WAG literasi Bantaeng, anak-anak Praxis_Comm, Mutahhari, Marx, Mises, mahasiswa Ekonomi Pembangunan UNM, dll. Namun pemicunya adalah buku Escobar Encountering Development. Pembangunan, pernah menjadi anak emas di negeri ini, di era Suharto, para teknokrat pembangunan melesatkan ide-idenya dalam penerapan pembangunan oleh “Bapak Pembangunan”, namun saya tidak tahu siapa “anak Pembangunan”. Para kritikus sosial pun mengkritik dan bahkan mencibir “Pembangunan” sebagai biang kerok kerusakan alam, penggusuran, ketimpangan, dll. Kalau pernyataan ini diterima, semakin nyata kalau kata memang adalah senjata. Oleh karena itu untuk menimpali cibiran ‘pembangunan’. Menarik merenungkan ungkapan Armatya Sen, Pembangunan adalah pembebasan, Pembangunan harusnya membahagiakan. Nah, apakah Anda sudah bebas dan bahagia?

 Sumber gambar: iebschool

@alamyin, dimuat pertama kali di Kalaliterasi.com

12/11/2016

Ekonomi Kerakyatan dan Industri Lorong

Ekonomi Kerakyatan dan Industri Lorong
Mimpi Kota Makassar di usia ke-409 tahun masih dalam ranah menjadi Kota Dunia. Kota Dunia dengan tagline “Smart” dan “Sombere”. Bagi Danny Pomanto (Walikota Makassar periode 2014-2019), Industri Lorong adalah pengejawantahan ekonomi Kerakyatan. Industri Lorong adalah salah satu program unggulan Pemerintah Kota akan melakukan Pilot Project pengembangan komoditas “Lombok” di beberapa Lorong di Makassar yang potensial. Sebagai “Pilot Project” penting untuk menguji dan menelisik asumsi-asumsi yang dibangun di balik industri dan klaim atas praktik langsung ekonomi Kerakyatan. Apa saja peluang dan tantangan dari Industri Lorong tersebut? Benarkah program tersebut akan menyentuh  Kaum Miskin Kota (KMK) Makassar?

Berdasarkan data Badan Pusat statistik (BPS), Pertumbuhan Ekonomi Kota Makassar tahun 2011 sebesar 10,36 terus mengalami penurunan  setiap tahun hingga 7,04 % pada tahun 2014. Namun mengalami peningkatan pada tahun 2015 menjadi 7,44%. Hal yang mengkhawatirkan adalah angka pengangguran yang meningkat tajam. Pada tahun 2012, angka pengangguran mencapai 9,97% pada tahun 2015 menyentuh angka 12,03%. Angka ini merupakan angka pengangguran tertinggi kedua di Sulsel setalah Kota palopo (BPS Kota Makassar, 2016). Pengangguran tersebut adalah angkatan kerja yang tidak tertampung di sektor formal.

Lorong adalah Sel Kota

Kota dunia yang dimimpikan adalah miniatur kota yang bukan hanya sekadar dijejali dengan pemandangan gedung-gedung tinggi, kemacetan, kriminalitas dan fitur-fitur kota yang sering kita alami dan saksikan. Kota dunia yang diharapkan adalah kota yang 'smart' (Cerdas) dan Sombere (ramah dan bersahabat). Kota yang cerdas adalah kota yang penghuninya adalah pembelajar dan menyenangi hal-hal baru sekaligus menantang. Ramah dan bersahabat adalah upaya aktualisasi pengetahuan lokal 'sipakatau' dan 'sipakainga'. Frase Cerdas dan Bersahabat menyiratkan makna tidak arogan. Sehingga selayaknya proses pembangunan kota berbasis pada slogan tersebut.

Walikota Makassar dengan program andalan yang dikenal dengan 8 Jalan Restorasi Lorong. Kedelapannya adalah Lorong tidak rantasa, Garden ceria, Singara'na lorong ta, Industri lorong, Smart lorong, Lorong wisata, Usaha lorong, dan Apartemen Lorong. Program 'Longgar' atau Lorong Garden dilirik oleh pemerintah pusat untuk dijadikan Program Nasional. Kisah sukses ‘Longgar” akan ditindak lanjutan dengan program BULO (Badan Usaha Lorong) yang diharap dapat meningkatkan kesejahteraan warga lorong, meningkatkan perputaran ekonomi masyarakat berbasis lorong, sekaligus upaya mendorong pertumbuhan ekonomi, menekan inflasi, dan peningkatan kualitas manusia.


Skema dan pengembangan ekonomi lorong secara sepintas cukup menjanjikan. Hitung-hitungan kasar, hanya dengan fokus pada penanaman dan pengusahan komoditas Lombok Kota Makassar dapat meraup hasil hingga Triliuan Rupiah. Jika 1 pohon Lombok, dengan asumsi hasil panen 4-5 kg, harga 30 ribu/kilo, maka usaha lorong ini berpotensi mencapai hasil produksi sebasar Rp1,440 M pertahun. Hasil tersbut akan lebih tinggi jika pengelolaannya dengan system Organik yang akan dikerjasamakan dengan Bank Sampah Kota Makassar. Skema pembaiayan, pemasaran, distribusi “Pilot Project” ini akan didukung penuh oleh Pemkot. Sebagai usaha Mikro akan didukung penuh untuk memaksimalkan peran koperasi dalam pengusahaan komoditas ini.

Tantangan dan Peluang

Filosofi ekonomi Kerakyatan adalah bagaimana menerapkan budaya kerja gotong-royong dalam setiap aktifitas ekonomi. Sukses, berdaya dan sejahtera bersama. Dalam perspektif pemerintahan “Bagaimana mengajak masyarakat terlibat aktif dalam program pemerintah, menerima visi kota dan meningkatkan partisipasinya” (Danny). 

Salah satu dasar pemikiran pengembangan BULO adalah untuk ketahanan pangan, menekan inflasi, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Indikator Makro tersebut harus diikuti dengan peningkatan kualitas pada sisi mikro. Sekaligus menjamin peningkatan kualitas hidup warga lorong.

Beberapa catatan mendasar atas niat baik pemerintah kota tersebut, terkait produktivitas pengusahaan, manajemen, dan tata kelola kelembagaan. Pertama, Produktivitas usaha komoditi di atas akan ditangani langsung oleh dinas ketahanan pangan sebagai leading sektor. Kajian atas tanah dan iklim untuk budidaya tanaman di atas. Menangani Industri lorong yang tersebar di 14 kecamatan, harus bisa meyakinkan warga bahwa usaha ini untuk warga lorong secara keseluruhan. Peningkatan produktifitas membutuhkan fokus dan massif yang konsisten dari pihak-pihak yang terkait.Kedua, Manajemen produksi, pemasaran, sumber daya manusia dan keuangan. Terkait manajemen,masalah ikutannya adalah etos kerja, loyalitas dan konsisten pada semangat kerakyatan, yang berbasis pada pelayanan. Skema yang dibangun oleh Pemkot adalah siap menjadi buyer hasil produksi dan pemasaran produk. Rantai produksi dan manajemen hingga ke konsumen akhir syarat utama kesuksesan manajemen, sekaligus menjamin terjadinya sustainibiltas program. Ketiga,Tata kelola kelembagaan. Melibatkan multi SKPD bukan hal yang mudah. Hal mendasar yang sebaiknya dibenahi sedari awal adalah bagaimana meminimalisir terjangkitnya penyakit birokrasi yang lazim diistilahkan dengan "Kolesterol Tinggi" -koordinasi lemah dan ego sektoral tinggi-.

Keterlibatan Dinas ketahanan pangan sebagai leading sektor, Dinas Perdagangan, UMKM dan Koperasi, dan Bappeda Kota Makassar, serta dinas-dinas terkait yang terlibat langsung untuk menyukseskan Industri Lorong. Sungguh, kita merindukan Industri yang humanis dan pro pada rakyat adalah industri yang dalam produksi sebisa mungkin dikelola oleh rakyat untuk kesejahteraan rakyat yang tersebar di 7000 lebih lorong. Semoga !.


Syamsu Alam, @alamyin.
Tulisan ini adalah tulisan versi lengkap penulis.
Versi edit Dimuat di Harian Tribun Timur edisi Sabtu 12-11-2016.


05/12/2015

SEBERAPA 'KAYA' KITA MEMAHAMI KEMISKINAN?

Syamsu Alam *)


Sumber Gambar: http://guardianlv.com/2014/04/poverty-
Sesungguhnya kemiskinan mendekatkan diri pada kekufuran

Darimanakah kemiskinan berasal? Pertanyaan klasik nan sederhana tersebut tidak sesederhana menjawabanya apalagi hendak menyelesaikannya. Karena dari jawaban atas pertanyaan tersebut akan menimbulkan pertanyaan turunan. Kemiskinan boleh jadi akan selalu ada sepanjang sejarah umat manusia. Sepanjang logika perbandingan masih mendominasi pemikiran manusia. Konsepsi kemiskinan dan penanganannya bahkan “proyek kemiskinan” adalah cerita lama yang paling dinamis dan terseksi dibahas diberbagai tingkatan. Pinggiran kota hingga ibukota Negara, trotoar hingga hotel berbintang, korban kebijakan hingga penentu kebijakan, diskusi lesehan di kampus, riset akademik hingga janji politisi yang selalu didaur ulang agar terkesan peduli pada kemiskinan di si miskin. Sejak zaman manusia pertama hingga kini, terma kemiskinan masih diperdebatkan; definisi, ukuran/indikator hingga cara mengatasinya, yang kesemua dimensinya tersebut berkaitan erat dengan sejauhmana pengetahuan kita tentang terma tersebut.

Abad 21 menghadirkan kembali pentingnya rezim pengetahuan. Dimana pengetahuan (termasuk kreatifitas) adalah salah satu faktor produksi yang penting dalam pandangan kaum neoklasik. Knowledge is Power, kata Francis Bacon. Bahkan jauh sebelumnya pesan revolusioner pertama al Quran ‘Bacalah’ merupakan diktum pertama Tuhan kepada Nabi Muhammad akan pentingnya membaca sebagai basis utama memperoleh pengetahuan. Sebelumnya lagi hadirnya kita di dunia karena ulah Nabi Adam yang mengkonsumsi buah huldi, buah ‘pengetahuan’. Namun pengetahuan apa dan bagaimana yang dapat mereduksi kemiskinan? Atau jangan-jangan kemiskinan konsepsi yang membuat kita masih terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan.
           
Mainstream Pendekatan Kemiskinan

Sejak 1950-an ketika pendapatan nasional mulai dijadikan indikator pembangunan. Pada umumnya ilmuan sosial  merujuk pada pendekatan tersebut ketika berbicara masalah kemiskinan satu negara. Pengukuran kemiskinan kemudian sangat dipengaruhi oleh perspektif income poverty yang menggunakan indikator pendapatan sebagai satu-satunya indikator “kemiskinan”.

Di bawah kepemimpinan Mahbub Ul Haq (ekonom asal Pakistan) pada tahun 1990an, UNDP memperkenalkan pendekatan Human Development yang diformulasikan dalam bentuk Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) dan Indeks Kemiskinan Manusia. Dibandingkan dengan pendekatan yang dipakai Bank Dunia, pendekatan UNDP relatif lebih komprehensif karena mencakup beberapa dimensi, yaitu dimensi ekonomi (pendapatan), dimensi pendidikan (angka melek huruf), dan dimensi kesehatan (angka harapan hidup). Pendekatan kemiskinan versi UNDP berporos pada paradigma pembangunan populis/kerakyatan yang memadukan konsep pemenuhan kebutuhan dasar dari Paul Streeten dan teori kapabilitas yang dikembangkan Amartya Sen.

Mainstream pendekatan modernisasi ala Bank Dunia dan pendekatan populis UNDP masih melihat kemiskinan sebagai kemiskinan individu dan kurang memperhatikan kemiskinan struktural. Sistem pengukuran dan indikator yang digunakannya terfokus pada “kondisi” atau “keadaan” kemiskinan didasarkan pada faktor-faktor ekonomi yang dominan. Orang miskin hanya dipandang sebagai “orang yang serba tidak memiliki”, tidak memiliki pendapatan tinggi, tidak terdidik, tidak sehat, tidak mempunyai faktor-faktor produksi dan sebagainya. Pun, ukuran-ukuran ‘ketidak memiliki sesuatu’ di tentukan dan diberlakukan secara general oleh lembaga-lembaga tertentu kepada setiap kelompok masyarakat/Negara.

Kedua pendekatan di atas adalah referensi utama lembaga/kementerian di Negara dalam merumuskan kebijakan berkaitan dengan penduduk miskin, yang secara statistik  setiap tahun menurun namun anggaran untuk mengatasi kemiskinan meningkat setiap tahun yang tersebar di beberapa kementerian atau dinas.

Pentingnya Perspektif Komunitas

Kemiskinan akan selalu hadir ditengah-tengah kita, ketika relasi ketergantungan antara satu orang/komunitas masih terlembagakan baik secara formal maupun informal. Pendekatan kelembagaan secara formal kerap kali dilakukan oleh pemerintah sebagai bentuk kontrol terhadap warga seperti Raskin, bantuan siswa miskin, dan program lainnya yang melanggengkan ketergantungan warga Negara terhadap Negara. Sedangkan kelembagaan secara informal dapat ditelusuri dari berbagai mitos yang mengilusi kerja kreatif masyarakat, himbauan-himbauan, ceramah-ceramah agamawan yang tidak mencerahkan/ menggerakkan individu dan masyarakat.

Konsep Patron-Klien dalam konseptualisasi pikiran materiil dan individualis adalah sebuah bentuk eksploitasi dari patron ke klien, namun lembaga seperti ini adalah hubungan yang saling menjamin seperti antara pemilik tanah luas dan tak bertanah. James C. Scott  mengatakan bahwa keduanya saling memiliki kewajiban moral, seperti orang yang numpang tinggal ditanah orang kaya  memiliki kewajiban moral terhadap yang ditumpangi, demikian sebaliknya.

Di beberapa tempat di senatero dunia masih kita temui aksi kolektif  komunitas semacam Manajemen ala orang mati” yang dipraktin di Boetta Ilmoe Bantaneg. Misalnya kematian, sekarang ini orang mati pun harus membayar ketika hendak dikuburkan. Biaya yang dikeluarkan oleh sanak keluarga mulai dari menggali kuburan sampai dengan menjamu para pelayat tidak bisa lepas dari biaya ekonomi dari para keluarga. Namun orang yang meninggal tatkala mereka masih hidup telah mengasuransikan hidupnya kepada komunitas dengan cara ikut menyumbang ketika ada tetangganya yang meninggal. Ini lah yang disebut dengan  community insurance  (Banerjee).  Hal seperti masih sering ditemui pada masyarakat yang masih memegang teguh modal sosial mereka, khususnya di desa-desa yang kekerabatan dan solidaritasnya belum tergerus oleh masyarakat modern yang individualis.

Dalam struktur masyarakat modern yang berbasis pada kepentingan individu, kegiatan seperti ini ditangkap sebagai kegiatan pemborosan. Orang ketika dilihat dari ukuran materiil adalah miskin namun dalam kehidupan sosialnya masih membagi-bagikan apa yang dimiliki untuk menjamin keberlangsungan komunitas (shared poverty). Konsep membagi kemiskinan dikemukakan oleh salah satu Indonesianis, yakni Clifford Geertz yang menyoroti tentang perkembangan masyarakat Indonesia saat memasuki modernisasi dimana perubahan itu ditunjukkan ada perkembangan namun perkembangan itu tidak menunjukkan peningkatan. Tentu, kerangka konseptualnya untuk menyebutkan shared poverty terhadap perkembangan masyarakat Indonesia karena ia melihatnya dari cara pandang capitalist mode of production.

Di belahan dunia yang lain, seperti, Di Sardinia  Itali, di Okinawa Jepang dan di Loma Linda California AS, adalah contoh dimana terdapat penduduk yang rata-rata hidupnya berumur panjang di atas 80 tahun (National Geographic). Dari beberapa wilayah yang terpisah ini umumnya terdapat kebiasaan yang serupa, meskipun ada perbedaan latar belakang dan keyakinannya. Rata-rata rahasia hidup berumur panjang itu karena gaya hidup (lifestyle) mereka. Pada umumnya mereka hidup dengan gaya tradisional, mengutamakan keluarga, berkomunitas, melaksanakan event-event budaya, ramah dengan orang lain, menghargai antar sesama dan mengutamakan pergaulan dalam kehidupan, selain itu juga tidak pernah menggerutu. Pada umumnya mereka gemar berolahraga dan berkegiatan. Merawat dan memelihara orang tua dalam satu keluarga dan bukan mengirimkannya ke rumah jompo.

Pentingnya menghadirkan konsepsi dan perspektif kemiskinan berbasis kemunitas adalah wujud membangun kemandirian politik maupun finansial. Kemandirian secara politik akan mengantarkan si subjek untuk lebih berani bersikap, bahkan terhadap konsep yang mainstream sekalipun. Kemandirian secara finansial dapat diupayakan dengan memanfaatkan ‘apa’ yang dimiliki (potensi), apakah potensi non-materi berupa ide (pengetahuan), akses, keterampilan, pertemanan (modal sosial) atau potensi materi yang dimiliki individu/komunitas. Kedua jenis kemandirian ini dapat dikembangkan dan dirawat melalui semangat saling berbagi (share), yang bahkan dalam pandang mode of production capitalism, kemiskinan (_kekurangan menurut cara pandang mainstream_) dapat kita share. Yaa… shared poverty tepatnya. Karena dalam doktrin agama saya, kita tidak akan miskin dengan membagikan apa yang kita miliki kepada yang lain meskipun orang menilai kita kekurangan.

Sedekah: Jalan Alternatif yang Sunyi

Kemiskinan dapat mendekatkan kepada kekufuran. Bukan berarti bahwa kekayaan dapat menjauhkan dari kekufuran. Karena kenyataannya banyak juga yang kufur karena berlimpahan nikmat atau rezeki. Istilah teman saya, banyak orang bisa survive dengan ‘penderitaan dan serba kekurangan’ tapi tak jarang banyak yang tumbang dan lupa diri justru dengan ‘angin sepoi-sepoi’.

Islam sebagai agama yang mulia dan agung, senyatanya sudah mempunyai solusi-solusi, bahkan upaya pencegahan atas penyakit-penyakit sosial yang muncul. Sedekah adalah salah satu konsep yang masih sunyi dari hiruk pikuknya aktifitas manusia sejagad. Sedekah tentu merupakan doktrin Islam untuk mengatasi kesenjangan sosial dan mewujudkan pemerataan ekonomi.

Sedekah (Shodaqoh) adalah segala yang dikeluarkan sesorang dari hartanya dengan niat mendekatkan diri kepada Tuhan. Atau apa yang diberikan secara sukarela kepada orang lain dengan niat meraih ridha Ilahi, selain hadiyah. Termasuk kategori sedekah adalah Zakat, Nazar, Kafarah, dan lain sebaginya.

Berdasarkan definisi di atas, dapat kita jadikan acuan dasar untuk menilai maraknya slogan, seminar, dan ajakan sedekah. Mengajak orang bersedekah adalah mulia, sepanjang untuk mendepatkan ridhaNYA. Persoalan muncul ketika, beberapa agamawan, mengajak kita bersedekah agar harta kita makin bertambah, semakin dilapangkan resekinya, dan bla..bla..bla. Padahal definisi di atas jelas untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan agar terjadi akumulasi harta, apalagi agar dipilih dalam pemilihan caleg, kades, bupati, gubernur, hingga ketua RT J. Menurut hemat saya, ajakan tersebut adalah sebentuk ‘kapitalisasi sedekah’ melalui iklan-iklan yang bombastis, heboh, dan menggiurkan.

Begitu fenomena kemiskinan di Negeri yang kaya raya ini. Hendak hati memberantasnya apa daya terjebak dalam memiskinkan diri dalam memahaminya.

Wallahu A’lam. @alamyin

*) CA di FE UNM