Read, Write, and Do Something

No Teaching without learning

Menulislah agar abadi

---

Listen, free economic make better

Showing posts with label Edukasi. Show all posts
Showing posts with label Edukasi. Show all posts

26/03/2015

The Happiness Index: antara Data dan Fakta

The Happiness Index: antara Data dan Fakta

sumber:ashevillehappybody.com
Setahun yang lalu, blog ini dirawat dengan baik dan rutin dengan sangat bahagia oleh penjaganya. Bahkan menjadi motivasi tersendiri untuk tetap eksis dan aktif di blog kompas (kompasiana). Setidaknya ada tiga hal yang memotivasi untuk menghidupkan marwah blog ini. Pertama, ide-ide  berasal dari alam bawah sadar seperti: pendidikan kaum tertindas, adalah tema yang kerap mewarnai setiap propaganda ketika masih aktif di lembaga kemahasiswaan. Kedua, 'neuroscience' yang saya pernah baca dalam buku belajar cerdas karya Kang Jalal, salah satu isinya menyebutkan membaca dan menulis dapat membuat awet muda. Ketiga 'appreciative inquiry', yang bangkit dari alam bawah sadar, ketika pak Madjid Sallatu (pemateri The Happiness Index). Gagasan Appreciative Inquiry (AI) pertama kali saya dengar ketika menjadi tim kreatif PAK (Pertemuan Apresiatif Kabupaten) tahun 2009 silam.


Lalu, apa hubungannya dengan The Happiness Index: antara Data dan Fakta. Nah, Postingan ini tidak dalam hal menjelaskan tentang AI, tetapi sekadar ingin berbagi hasil diskusi provinsi yang dilaksanakan oleh JiKTI (Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia) Sulawesi Selatan 19 maret 2015 yang lalu. Kegiatan ini di koordinir langsung oleh Pak Agussalim (Focal Point JiKTI Sulawesi Selatan). Resume diskusi dalam blog ini adalah rancangan draf yang penulis buat sebelum di verifikasi oleh koordinator JiKTI. Oleh karena itu Resume ini bukan publikasi resmi JiKTI. Resume diskusi Indeks Kebahagiaan di publish di laman ini sebagai sharing informasi bagi siapapun yang tidak sempat hadir dalam diskusi tersebut.


Ukurlah sesuatu yang dapat diukur,
dan buatlah agar dapat diukur segala sesuatu yang belum dapat diukur
(Galileo Galilei)

Kebahagiaan bukanlah  sesuatu yang mudah diukur dan dinumerikkan. Karena  Kebahagiaan sangat immaterial, didalamnya ada  emosi, psikis dan spiritualitas. Selain itu  Kebahagiaan juga sangat subjektif yang relatif sulit dikuantifikasi secara akumulatif. Sehingga jika ada pengukuran tetap memperhatikan aspek validitas dan realibiltas.
Selama ini ukuran kemajuan secara objektif dominan berbasis ekonomi (Monetary based indicator), pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan sebagai indikator  makro kemajuan dan indikasi kesejahteraan. Kahagiaan dapat didekati dengan dua, yaitu secara subjektif dengan komponen kepuasaan hidup dan emosi positif. Cara ini digunakan untuk melengkapai indikator objektif.
Adanya Paradoks Pembangunan, dimana belanja pemerintah meningkat, pertumbuhan ekonomi meningkat tiap tahun sebagai ukuran makro kemajuan. Namun disisi yang lain peningkatan tindak pidana kejahatan, jumlah perkawinan massal juga meningkat. Bahkan tingkat bunuh diri dan kekerasan sosial juga melonjak.  Fenomena lainnya adalah masih tingginya ketimpangan antar wilayah,  antar individu, dan antar kelompok. Fenomena ini mengantarkan kita pada paradox kesejahteraan.
Sampai saat ini masalah terbesar dalam pembangunan adalah absennya indikator  pembangunan sosial. Hal ini dapat dilihat dari tiadanya perencanaan sosial. Padahal Pembangunan sosial adalah sesuatu yang terintegrasi dengan pembangunan itu sendiri.  Hal ini disebabkan karena selama ini perhatian sepenuhnya diarahkan pada indikator-indikator ekonomi. Bahkan ada indikasi kuat para pegiat sosial dan pemerintahan ikut terbawa arus hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi an sich.
Pada tingkatan pemerintahan, ada kecenderungan mengutamakan fungsi pemerintahan dan mengabaikan fungsi pembangunan. Fungsi pemerintahan yang seyogyanya berpikir untuk pembangunan sosial. Oleh karena itu yang paling esensial adalah pelayanan publik. Sedangkan fungsi pembangunan adalah memfasilitasi masyarakat, pihak pemerintah sebaiknya fokus bagaimana fasilitas pelayanan masyarakat berfungsi secara  efektif dan efisien. Salah satu tantangan terbesar adalah meningkatkan indeks pendidikan yang dalam hasil Indeks kebahagiaan memperoleh indeks terendah.
Capaian Indeks Kebahagiaan  Sulsel bisa dianggap sebagai kemajuan  karena berada di atas rata-rata nasional. Namun jika dilihat berdasarkan indeks komposit masing-masing komponen indeks kebahagiaan yang sebagian besar berkaitan dengan pembangunan sosial. Maka masalah kohesi sosial di Sulsel perlu menjadi perhatian untuk membangun modal sosial yang lebih baik. Tentu dengan mencoba pendekatan-pendekatan baru, menghindari cara-cara yang parsial dan lebih fokus  upaya solutif terintegrasi dengan pembangunan sosial.
Indeks kebahagiaan merupakan indeks komposit yang disusun berdasarkan tingkat kepuasan terhadap 10 aspek kehidupan yang esensial. Kesepuluh aspek tersebut secara substansi dan bersama-sama merefleksikan tingkat kebahagiaan yang meliputi kepuasan terhadap: 1) kesehatan, 2) pendidikan, 3) pekerjaan, 4) pendapatan rumah tangga, 5) keharmonisan rumah tangga, 6) ketersediaan waktu luang, 7) hubungan sosial, 8) kondisi rumah dan aset, 9) keadaan lingkungan, dan 10) kondisi keamanan.
Oleh karena pengukuran Indeks kebahagian di Sulawesi selatan terhitung baru, maka tantangan bagi akademisi adalah bagaimana menawarkan indikator kebahagiaan, dan menawarkan arah-arah jalan baru untuk indeks kebahagiaan di Sulawesi selatan ke depan.

23/06/2013

In memorial Prof. Dr. H.M. Idris Arief. M.Si

Prof. Dr. H.M. Idris Arief, M.Si (Mantan Rektor UNM/ Ketua Yayasan STIEM Bungaya)
Sekitar jam 6 pagi sabtu 22 juni 2013 menerima sms dari teman. beritanya tidak begitu mengasikkan namun harus diterima dengan lapang dada.

Innalillah wainna ilaihi rajiuun.
telah wafat bapak Prof. Dr. H.M. Idris Arief. M.Si
pada jam 04.00 dini hari. disemayamkan di rumah duka.


Diam. . mulut terasa dikunci. Saya pun segera berkemas dan mengajak teman untuk melayat beliau.

Catatan ini hanyalah sepenggal kisah perkenalan penulis dengan beliau.

Perkenalan kami (saya dkk) dengan almarhum bisa dibilang tidak biasa. kami berkenalan dalam sebuah ajang protes "demo" penolakan pungutan selain spp. tepatnya sekitar tahun 2004an. ketika penulis masih menjabat selaku ketua BEM FAKULTAS MIPA. Kata-kata beliau yang masih terekam jelas dalam benak adalah

"saya suka ji kalau kau 'anu' sambil menunjukku, caramu demo mau diskusi tidak seperti itu. . . . si anu yang datang saja teriak-teriak baru pulang".

itulah momen pertama perkenalan saya dengan beliau yang masih menjabat REKTOR UNM.

Perkenalan berlanjut diberbagai forum kemahasiswaan. Khususnya program kerja Traianing Advokasi Aliansi BEM SE-parang tambung (Mipa-Teknik-Fbs), salah satu latar belakang program inilah adalah untuk merajut kembali keakraban antara fak.Teknik dan Fak.Fbs yang baru saja "merenggangkan persaudaraan" alias "tawuran". Kegiatan yang awalnya dimediasi oleh BEM MIPA ketika itu mengundang BEM FT dan FBS untuk merumuskan bersama program aliansi bem.se-partam.

Kegiatan tersebut sangat di respon oleh beliau termasuk pendanaan kegiatan secara keseluruhan. Target minimal tercapai beberapa pelaku tawuran di dua fakultas dapat saling berbaur dan menyapa di lokasi training.

Dampak positif dari kegiatan tersebut saya dkk di Mipa dapat lebih mengenal kawan2 di Teknik (Jumair dkk), Inul dkk di FBS.

Keakraban kami dengan Almarhum "puang Derri" panggilan akrab beliau di STIEM Bungaya, berlanjut setelah pelantikan BEM UNM 2005. Kabinet Alam dkk kembali membangun BEM UNM dari reruntuhan 1 periode sebelumnya. Tidak ada harta inventaris yang diwariskan. Sehingga Beliau melalui PR3 (Pak. Hamsu Gani) yang secara bertahap membantu kami membanahi keperluan administratif dan kesekretariatan.

Karena keakraban dengan beliau kami tidak pernah mengalami kendala dalam hal finansial. Meskipun demikian gaya hidup kawan2 pengurus BEM UNM dan simpatisan yang sering nongkrong di Sek. bem (Alfiil, Ismail Amin, Eva, Jalil, Lili, Adi Tambur, La Ode, dll-Para Alumni Training Pendampingan Masyarakat) ketika itu sangat sederhana, jauh dari "aji mumpung".

Walaupun cukup akrab dengan birokrasi, namun api protes tetap menyala dan kami tidak pernah dilarang protes oleh beliau. Salah puncaknya yang juga merupakan kebesaran hati kawan2 pengurus BEM ketika itu untuk lebih menempuh dialog dan penyelesaian internal adalah kasus seleksi PUML (Panitia Ujian Masuk Lokal). Salah satu jalur penerimaan mahasiswa di UNM yang diseleksi secara lokal (unm sendiri). Ceritanya seperti berikut.

BEM UNM dilibatkan dan di SKkan bersama civitas akademika selaku pengawas ujian. Delegasi BEM perperan ganda selain selaku pengawas ujian lokal, mereka juga berperan mengawasi kecurangan ujian versi Lembaga Kemahasiswaan. Tepat jam 12 Ujian selesai dan semua delegasi bem rapat di sekretariat (Ged.PKM lt.2 di Parang Tambung) temuannya sama. Banyak kecurangan dalam proses seleksi, rapat sejenak dan langsung aksi di depan rektorat. Awalnya aksi kami lancar dan rektor (almarhum) bersedia menemui kami. Entah kenapa tiba2 kami diserang oleh "mahasiswa bayaran" dan polisi. Kejar2an dan aksi serang tak terelakkan. Beberapa teman termasuk saya kena pukulan polisi kampus. Berita menyebar bahwa anak2 bem diserang mahasiswa bayaran dari fakultas yang 99% pelajarannya adalah Fisik. --sebut saja FPOK--

Keesokan harinya kawan2 di Parang tambang (FT &FBS) menawarkan aksi balasan. FBS melakukan aksi solidaritas dengan membawa keranda ke rektorat. sementara mahasiswa FT (khususnya Mapatek) masih menunggu isyarat dari bem unm. Kami mengambil langkah yang sedikit "soft" bertemu dengan pak Rektor (Almarhum) dan membicarakan sejelas jelasnya duduk permasalahannya. Akhirnya kami bisa memahami dengan syarat bahwa polisi yang ikut-ikutan menyerang saat aksi mesti di Nonjobkan dari kampus.

Hal di atas hanya sekilas dari perkenalan saya dkk selama di kampus unm. Kebaikan dan Semangat berbagi senantiasa mewarnai keakraban kami. Walau, beliau tahu kami sering memprotes kebijakannya. tak jarang setiap ketemu di jalan dan di forum kemahasiswaan menyempatkan menyapa dan bercanda dengan kami bahkan memberi sesuatu yang dapat kami nikmati langsung bersama teman2 di kantin.

Satu hal lagi yang memotivasi saya belajar ekonomi hingga kini adalah Setiap diskusi diruangannya selain bicara soal dunia kemahasiswaan pasti saya meminta persfektif beliau tentang fenomena kebangsaan yang terjadi. Hingga, Beliau pun meminjamkan bukunya yang berjudul "GLOBALISASI ADALAH MITOS". Buku yang hampir 6 tahun saya pinjam dan setiap ketemu selalu beliau tanyakan.

Sudah selesaimi kau baca bukuku. . kabb******? kabb****** adalah salah ciri khas bicara beliau. Setahu saya itu hanya diutarakan pada mahasiswa yang diakrabinya. Dua tahun lalu buku tersebut saya kembalikan di rumahnya, beliau menemuiku di ruang tamu dengan tertatih memakai tongkatnya sepulang berobat dari singapura, saya pun memapahnya sampai di kursi dan kami bincang-bincang hampir sejam.

Sebelum pensiun, kami pun sering bincang-bincang dan beliau seringkali memotivasiku untuk lanjut studi, dana jangan dijadikan hambatan, tuturnya. Dan, atas kebaikan hati beliaulah saya bisa melanjutkan studi. Beliaulah yang memberi arahan dan rekomendasi studi. Terima kasih banyak Prof. Terakhir kali kami bincang2 di ruangannya di STIEM BUNGAYA, ketika saya mengantarkan hadiah buku dari Pak Rhenald Kasali untuk beliau, buku yang saya peroleh ketika mempunyai kesempatan belajar di Rumah Perubahan. Karena sejauh yang saya ketahui, beliau masih rajin membaca dan menulis dan berbagi apapun yang dimakannya. Masih teringat ketika kubawakan buku, beliau menawarkan makanan di meja untuk dicicipi bersama.
Ya Allah, semoga beliau dilapangkan tempat dan ditinggikan derajatnya.
Selamat Jalan Bapak, Guru dan orang tua kami.

Wassalam.
Makassar, 23062013

Special for Bapak H.M.Idris Arief (Almarhum).
Syamsu Alam.

14/12/2012

Sosial Budaya Masyarakat Pesisir Makassar

Sosial Budaya Masyarakat Pesisir Makassar

Tulisan berikut adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya, "Spirit Pelaut Bugis Makassar", Bagian terakhir dari paper tugas Ekonomi Maritim :). Topik Sosial Budaya Masyarakat Pesisir Makassar dan sekitarnya.

Menurut Garna (1994), “sistem sosial adalah suatu perangkat peran sosial yang berinteraksi atau kelompok sosial yang memiliki nilai-nilai, norma dan tujuan yang bersama”. Seperti yang diungkapkan oleh Parsons(1951), “Sistem sosial merupakan proses interaksi di antara pelaku sosial”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem sosial itu pada dasarnya ialah suatu sistem dari tindakan-tindakan yang tercipta karena adanya interaksi.
Dari berbagai definisi budaya, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yaitu sesuatu yang mempengaruhi tingkat pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata (konkrit), misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Sistem Sosial Budaya adalah suatu keseluruhan dari unsur-unsur tata nilai, tata sosial, dan tata laku manusia yang saling berkaitan dan masing-masing unsur bekerja secara mandiri serta bersama sama satu sama lain saling mendukung untuk mencapai tujuan hidup manusia dalam bermasyarakat.

Sistem kemasyarakatan Bugis-Makassar, terbagi atas tiga tingkatan (kasta). Pertama: karaeng (Makassar), menempati kasta tertinggi dalam stratifikasi sosial kemasyarakatan. Mereka adalah kerabat raja-raja yang menguasai ekonomi dan pemerintahan. Kedua: tu maradeka (Makassar), kasta kedua dalam sistem kemasyarakatan Bugis-Makassar. Mereka adalah orang-orang yang merdeka (bukan budak atau ata). Masyarakat Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar) mayoritas berstatus kasta ini. Ketiga: ata, sebagai kasta terendah dalam strata sosial. Mereka adalah budak/abdi yang biasanya diperintah oleh kasta pertama dan kedua. Umumnya mereka menjadi budak lantaran tidak mampu membayar utang, melanggar pantangan adat, dan lain-lain.
Dalam perkembangannya, sebagai sunnatullah, sistem kerajaan runtuh dan digantikan oleh pemerintahan kolonial, stratifikasi sosial masyarakat Bugis-makassar berangsur luntur. Hal ini terjadi karena desakan pemerintah kolonial untuk menggunakan strata sosial tersebut. Selain itu, desakan agama (Islam) yang melarang kalsifikasi status sosial berdasarkan kasta. Pengaruh ini terlihat jelas menjelang abad 20, dimana kasta terendah, “ata”mulai hilang. Bahkan, sampai sekarang kaum ata sudah sulit ditemukan lagi, kecuali di kawasan pedalaman yang masihsangat feodal.
Setelah Indonesia merdeka, 2 kasta tertinggi, yaitu ana’ karaeng dan tu maradeka juga berangsur mulai hilang dalam kehidupan masyarakat. Memang pemakaian gelar ana’ karaeng, semisal Karaenta, Petta, Puang, dan Andi masih dipakai, tetapi maknanya tidak sesakral zaman kerajaan. Pemakaian gelar kebangsawanan tersebut tidak lagi dipandang sebagai pemilik status sosial tertinggi.
Dalam sistem sosial, juga dikenal adanya hubungan kekerabatan dalam masyarakat seperti : Sipa’anakang/sianakang, Sipamanakang, Sikalu-kaluki, serta Sambori.
Kesemua kekerabatan yang disebut di atas terjalin erat antar satu dengan yang lain. Mereka merasa senasib dan sepenanggungan. Oleh karena jika seorang membutuhkan yang lain, bantuan dan harapannya akan terpenuhi, bahkan mereka bersedia untuk segalanya.
Sirik na pacce juga merupakan prinsip hidup bagi suku Makassar. Sirik dipergunakan untuk membela kehormatan terhadap orang-orang yang mau memperkosa harga dirinya, sedangkan pacce dipakai untuk membantu sesama anggota masyarakat yang berada dalam penderitaan. Sering kita dengar ungkapan suku Makassar berbunyi “Punna tena siriknu, paccenu seng paknia” (kalau tidak ada siri’mu paccelah yang kau pegang teguh). Apabila sirikna pacce sebagai pandangan hidup tidak dimiliki seseorang, akan dapat berakibat orang tersebut bertingkah laku melebihi tingkah laku binatang karena tidak memiliki unsur kepedulian sosial, dan hanya mau menang sendiri.
Sistem sosial, kekerabatan dan nilai-nilai budaya yang dipaparkan di atas juga terdapat dan termanifestasi di daerah pesisir Makassar sejak dahulu hingga kini.
 Nilai-nilai Budaya dan Roh Keberlanjutan Sumber Daya Laut (SDL)
Pada pembahasan sistem nilai budaya masyarakat pesisir Makassar . Sepertinya Patorani (Nelayan penangkap Ikan terbang dan telurnya) yang banyak di pesisir pantai Galesong dan Barombong cukup kapabel untuk menggambarkan nilai budaya masyarakat pesisir Makassar. Karena budaya patorani masih berlangsung hingga kini, selain itu hasil tangkapan (telur ikan terbang) di ekspor, penangkapan ikan terbang juga tergolong unik, karena hanya dilakukan pada musim kemarau dengan alat tradisional. Menurut para ahli, di Indonesia terdapat 18 jenis ikan terbang, dan 10 diantaranya hidup diperairan Sulawesi selatan dan wilayah timur Indonesia. Menurut McKnight (1976) Indonesia adalah pengekspor teripang dan telur torani tertua didunia, saat Belanda mengalahkan Makassar di Buton tahun 1667, dan membuat batasan perdagangan bagi orang Makassar, banyak di antara mereka melarikan diri ke Teluk Carpentaria di Australia, dan kemmbali dengan memuat tangkapan hasil laut termasuk teripang. Bukti lain yang mendukung sejarah ini adalah catatan Flinder dan Pobaso di tahun 1803, yaitu tentang nelayan Makassar yang sudah sejak 20 tahun sebelumnya berlayar mencari ikan terbang ke pulau-pulau sekitar Jawa sampai ke daerah kering yang terletak di selatan Pulai Rote dan Pantai Kimberly, Australia Barat (Clark, 2000; Mc Knight 1976).
Dari sisi teknologi penangkapan tradisional yang mereka pertahankan itu, hanya menggunakan gillnet (jarring insang) dan pakkaja, sedangkan untuk menangkap telurnya digunakan pakkaja dan bale-bale. Penangkapan dilakukan empat atau lima trip, dan setiap trip sekitar satu bulan dengan jumlah nelayan tiga atau empat orang. Setiap kapal pattorani membawa bale-bale sekitar 400-1.000 lembar (Safrudin Sihotang, 2008).
Sisi menariknya adalah penggunaan teknologi dan pengetahuan tradisional (kearifan lokal) yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Tradisi mereka tetap dipertahankan walau pengaruh teknologi modern begitu kuat mempengaruhinya. Struktur sosial masyarakt nelayan ikan terbang memiliki garis patrilineal dengan bentuk kerjasama berdasarkan sistem patron klien yang tetap terpelihara.
Struktur kepatoranian terbentuk suatu organisasi yang saling terkait satu sama lain antara paplele (pinggawa darat), juragong (pinggawa taut) dan sawi (pekerja/buruh) yang berkisar pada kepentingan-kepentingan untuk saling mendukung dan sating memeriukan dalam lingkungan unt uk beraktivitas sebagai kcmunitas nelayan patorani. lama kelamaan pranata-pranata tersebut di atas semakin teratur dan mapan datam arti sudah melembaga di dikalangan patorani, selanjutnya terbentuklah suatu organisasi yang disebut popolele_ pinggowa don sawi.
Menurut mereka, sistem nilai budaya yang berujud siri' dan pesse bahkan menjadi jiwa bagi empat kelompom etnik besar di Sulawesi Selatan yaitu Bugis, Makasar, Mandar dan Toraja. Siri' merujuk pada budaya rasa-malu yang mendorong dinamika masyarakat. Menurut Hamid (2007:7) siri' mendorong munculnya kreativitas dan prestasi, serta rasa malu kalau berbuat salah dan mengingkari janji atau disiplin. Walapun demikian, menurutnya, sekarang ini pengertian siri' bergeser pada konsep martabat atau harga diri bahkan seringkali secara sempit diartikan sebagai ketersinggungan. Sementara pesse atau pacce mengandung implikasi berikut dari siri' yang berupa rasa solidaritas (Farid 2007:28-29). Pacce merupakan suatu perasaan sedih yang menyayat hati apabila ada sesama warga, keluarga atau kawan tertimpa kemalangan. Rasa ini mendorong orang untuk menolong dan membantu sesamanya.
Umumnya masyarakat nelayan pesisir pantai Galesong dan Barombong masih percaya sepenuhnya bahwa lautan itu adalah hasil ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa sesuai dengan ajaran agama Islam yang mereka yakini dan anut secara resmi. Merekapun tahu bahwa segala sesuatu yang ada di alam raya ini, termasuk lautan berada di bawah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, namun
secara tradisional warga masyarakat yang bersangkutan mempunyai pula kepercayaan, bahwa Tuhan yang disebutnya Koraeng Allah Tao/a telah melimpahkan penguasaan wilayah lautan kepada Nabi Hellerek.
Nelayan Mandar pun meyakini juga akan keberadaan Nabi Khaidir dalam struktur dunia gaib, dimana menempatkannya diurutan pertama sebagai pemimpin dan penguasa laut. Sementara makhluk-makhluk halus lainnya dianggap sebagai anggota di bawah kekuasaan dan perintah Nabi Khaidir. (Arifuddin Ismail, 2007:92).
Masyarakat nelayan patorani (penangkap ikan terbang /tuing-tuing) membutuhkan persiapan- persiapan:
  1. Tahap perencanaan ;
mencari waktu baik, menentukan sawi, persiapan dan pemeliharaan peralatan, persiapan bekal nelayan (bokong), kelengkapan surat-surat.
  1. Tahap operasional
Sebelum berangkat Punggawa laut membaca Pakdoangan (do’a) yang disebutnya sebagai bagian dari erang pakboya-boyang juku. Adapun isi dari pakdoangang sebagai berikut:
"Irate rammang makdonteng, kupailalang sorongang. Naungkomae, pirassianga
tangngana biseangku. Rossi ipantarang, rassi ilalang. Oh ....... , Nabbi. sareanga dalleku ri Allah Taalah, siagang Nabi Muhammad. Oh ........ , Nabbi Pakere, Nabbi Hedere, sareanga mange dallekku ri Allah Taalah, siagang Nabbi Muhammad”

Artinya : Di atas awan menggumpal, dengan penuh harapan. Turunlah, penuhilah perahuku. Penuh di luar, penuh di dalam. Wahai .... Nabi (Dewa-dewa ikan), berikan rezeki dari Allah SWT bersama Nabi Muhammad. Wahai..... Nabi Pakere, Nabi Haidir, berikan juga rezekiku dari Allah bersama Nabi Muhammad.

"lkau makkalepu, areng tojennu ri Allah Taalah. Boyangak dallekku battu ri Allah Taala.
Malewai ri kanang, I Mandacingi ri kairi. Tallangpi lina, kutallang todong. Jai leko rilino. Jai tongi dallekku ri Allah Taala. 0 ..... , Nabbi Hellerek. Allei dalleknu. Palakkang tongak dollekku.

Artinya: Engkau yang sempurna. Nama aslimu dari Allah Taala. Carikan rezekiku dari Allah. Si penegak di sebelah kanan, Si penyeimbang disebelah kiri. Tenggelam dunia, kutenggelam juga. Banyak daun di dunia, Banyak juga rezekiku dari Allah. Oh ... , Nabi Khaidir, Ambillah rezekimu, mintakan juga rezekiku.
Dan masih banyak lagi do’a-do’a lainnya, yang pola umumnya mengharapkan Ridho Allaw swt melalui perantara Nabi (Tawassul).
  1. Tahap pengangkutan produksi dan pemasaran.
Tradisi yang berlangsung hingga kini di masyarakat pesisir ‘patorani’ yaitu ritual Patorani, Pantangan, ranah suci Patorani, Pappasang (Akkareso, Barani, Assitulung-tulung dan Siri’ Na Pacce).
Sudah menjadi kebiasaan sebelum Patorani berangkat melaut melakukan ritual Doa Patorani , membaca bait doa sebelum berangkat berlayar. Ikau irumpa, areng tojennu ri Allah Taala. Inakke bitti riukkung, areng tojengku ri Allah Taalah. Ri langi tumabbuttanu ”.
“Pada bait ini mengungkapkan tentang makna hakiki dari perahu yang digunakan untuk beroperasi. Ungkapan itu merupakan pandangan yang menunjukkan bahwa, perahu itu pada dasarnya menyerupai manusia yang diciptakan atas keinginan Tuhan. Oleh sebab itu, setiap perahu yang ingin
digunakan untuk beroperasi oleh kelompok pattorani maka punggawa laut harus dapat berkomunikasi secara batin dengan perahunya. dalam komunikasi ini, keduanya saling memperkenalkan eksistensinya masing-masing. Di samping itu, punggawa laut sudah dapat mengetahui apakah perahu itu bersedia untuk mengantar dan menjaga keselamatan seluruh anggota kelompok dalam operasi pengumpulan produksi, ataukah sebaliknya. Selama dalam perjalanan menuju lokasi penangkapan, punggawa laut pada saat tertentu melakukan komunikasi secara batin dengan mengharapkan fungsi perahu dapat berjalan sesuai dengan harapan-harapan yang ada. Harapan-harapan tersebut merupakan perwujudan dari kategori “kearifan lokal”.” (Akzam Amir, 2011).
Areng tojennu ri Allah Taala. Allah Taala ampakjariko biseang. Allah Taala behupahi. I bungan daeng riboko. Bunga intang ritangngana. Rimpaki dalleknu. Ri Allah Taala. siagang Nabbi Muhammad”.
Pada bait ini, juga termasuk “kearifan lokal”. Dalam bait ini, punggawa perahu atau punggawa laut menyampaikan atau memberitahukan kepada perahu bahwa sebenarnya nama asli perahu ada di tangan Allah yang menciptakanmu. Berusahalah mencari rejeki yang diberikan kepadamu oleh Allah dan Nabi Muhammad.” (Akzam Amir, Unhas, 2011).
Di masyarakat pesisir Barang Lompo melakukan upacara Pa’rappo yakni upacara ritual yang dilaksanakan oleh para nelayan sebelum turun ke laut, dan upacara Karangan yakni upacara ritual yang dilakukan oleh para nelayan ketika pulang melaut dengan memperoleh hasil yang berlimpah.
Dahulu kala bahkan dibeberapa tempat tertentu, tradisi membagikan hasil tangkapan ke tetangga-tetangga masih berlangsung sebagai wujud kesyukuran dan semangat berbagi dengan sesama. Namun seiring perkembangan zaman, merebaknya budaya kapitalis, banyak nelayan atau Papalele, atau eksportir yang sedikit menggerus tradisi berbagi dikalangan para nelayan.



PENUTUP
Sistem Sosial Budaya merupakan suatu keseluruhan dari unsur-unsur tata nilai, tata sosial, dan tata laku manusia yang saling berkaitan dan masing-masing unsur bekerja secara mandiri serta bersama sama satu sama lain saling mendukung untuk mencapai tujuan hidup manusia dalam bermasyarakat.
Sistem sosial dan nilai budaya masyarakat pesisir Makassar sejak dahulu kala mampu menjadi kekuatan untuk bertahan hidup, dan memenuhi kebutuhan dasar mereka, bahkan komoditas tertentu bisa menajdi komoditas ekspor. Selain itu nilai budaya yang menunjukkan penyerahan diri total kepa Allaw SWT dalam melakukan aktivitas ekonomi dapat menjadi formula untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya laut. Hal ini merupak wujud semangat Akkareso (Makkareso) dengan menjaga harmoni semesta Tuhan-Alam-Manusia.


REFERENSI

Adisasmita, Rahardjo, Pengembangan Ekonomi Maritim, Universitas Hasanuddin.2010.
Alfian Noor, dkk. Radioaktivitas Lingkungan Pantai Makassar: Pemantauan unsure Torium (th) dan Plutonium (pt) dalam Sedimen Makassar. UNHAS-Pusdiklat BATAN Jakarta. 2001
Arifin Taslim, dkk., (2012), Riset Pendekatan Ekologi-Ekonomi Untuk Peningkatan Produktivitas Pertambakan Udang Di Kawasan Selat Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, Kementerian Kelautan Dan Perikanan
Garna, Judistira K. 1991. Sistem Budaya Indonesia. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Lampe Munsi, Strategi-strategi Adaptif Nelayan: Studi Antropologi Nelayan. Essai Antropologi-IKA Press, Unhas. 1992
Mahmud,lrfan M. (ed), Tradisi, laringan Maritim, Sejarah-Budaya: Perspektif Etnoarkeologi-Arkeologi Sejarah. Lembaga Penerbttan Universitas Hasanuddin (Lephas). 2002.
____, Memanfaatkan Potensi Sosial Budaya Lokal untuk Pengembangan Manajemen Perikanan Lout Berbasis Masyarakat. Makalah, Jurnal Antropologi lndonesia-Fisip UI-Fisip Unhas. 2000.

Mattuladda. 1974. Bugis Makassar, Manusia dan Kebudayaan. Makassar: Berita Antropologi No. 16, Fakultas Sastra UNHAS.
Nasruddin., Kearifan Lokal dalam Penangkapan Telur Ikan Torani sebagai Komoditas Ekspor pada Masyarakat Pesisir di Galesong, Sulawesi Selatan. Kementistek, 2010
------------. 1975. Latoa, Suatu Lukisan Analitis Antropologi Politik Orang Bugis. Makassar: Disertasi.
Wahyudin, Yudi., Sistem Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Pesisir. PKSPL-IPB. Bogor.




09/12/2012

Selayang Pandang Spirit Pelaut Makassar


 Selayang Pandang Spirit Pelaut Makassar

Diktum The survival of the fittes dalam referensi teori evolusi mungkin ada benarnya jika dikaitkan dengan spirit para petarung, semangat para pelaut ulung menaklukkan derasnya ombak dan ganasnya gelombang dengan tetap menjaga harmoni (Syamsu Alam:2012). Itulah penggambaran semangat para pelaut Bugis-Makassar menjelajahi samudera sebagaimana yang terekam dalam sejarah. Pada abad ke-14-17, dengan simbol Kerajaan Gowa, mereka berhasil membentuk satu wilayah kerajaan yang luas dengan kekuatan armada laut yang besar berhasil membentuk suatu Imperium bernafaskan Islam, mulai dari keseluruhan pulau Sulawesi, kalimantan bagian Timur, NTT, NTB, Maluku, Brunei, Papua dan Australia bagian utara Mereka menjalin Traktat dengan Bali, kerjasama dengan Malaka dan Banten dan seluruh kerajaan lainnya dalam lingkup Nusantara maupun Internasional (khususnya Portugis).
Spirit yang sama juga tergambar dalam kearifan ”Resopa temmangingi, matinulu, namalomo naletei pammase Dewata sewwa-E.” Begitulah pesan tetua Bugis-Makassar kepada anak cucunya. Bahwa ”Rahmat berupa kesejahteraan dari Tuhan Yang Maha Esa hanya bisa diraih melalui kerja keras, gigih, dan ulet”. Bagi warga Bugis-Makassar, semangat kerja keras yang biasa dilafalkan sebagai “makkareso” “akkareso”  tak hanya diwujudkan dalam bentuk bekerja ulet di tanah kelahiran atau di kampung asal untuk bertahan hidup, di mana saja, semangat itu dikobarkan. Namun, lazimnya, kutipan pesan itu diucapkan para tetua kepada anak-anak muda yang meminta restu untuk sompe’ atau merantau.
Istilah Bugis dan Makassar adalah istilah yang diciptakan oleh Belanda untuk memecah belah. Hingga pada akhirnya kejatuhan Kerajaan Makassar pada Belanda menyebabkan segala potensi dimatikan, mengingat suku ini terkenal sangat keras menentang Belanda. Di mana pun mereka bertemu Belanda, pasti diperanginya. Beberapa tokoh sentral Gowa yang menolak menyerah seperti Karaeng Galesong, hijrah ke Tanah Jawa. Bersama armada lautnya yang perkasa, memerangi setiap kapal Belanda yang mereka temui. Oleh karena itu, Belanda yang saat itu dibawah pimpinan Spellman menjulukinya dengan "Si-Bajak-Laut".
Orang Bugis-Makassar  yang tinggal di desa-desa daerah pantai bermata pencaharian mencari ikan. Mereka akrab dengan laut dan berani mengarungi lautan luas. Mereka menangkap ikan sampai jauh ke laut hanya dengan perahu-perahu layar. Dengan perahu layar dari tipe pinisi dan lambo, Orang Bugis-Makassar mengarungi perairan nusantara sampai Srilanka dan Filipina.
Mereka merupakan suku bangsa Indonesia yang telah mengembangkan kebudayaan maritim sejak abad ke-17. Orang Bugis-Makassar juga telah mewarisi hukum niaga pelayaran. Hukum ini disebut Ade’allopiloping Bicaranna Pabbalue ditulis oleh Amanna Gappa pada lontar abad ke-17. Sambil berlayar orang Bugis-Makassar mengembangkan perdagangan ke berbagai tempat di Indonesia.
Berbagai jenis binatang laut ditangkap dan diperdagangkan. Teripang dan holothurioidea (sejenis binatang laut) ditangkap di kepulauan Tanibar, Irian Jaya, bahkan sampai ke Australia untuk dijual kepada tengkulak. Melalui tengkulak binatang laut ini diekspor ke Cina. Mulai abad ke- 19 sampai abad ke-20 ekspor teripang sangat maju.
Menurut Darwis Semangat survival orang Bugis-Makassar di tanah rantau, , juga tak lepas dari sistem sosial-budaya yang lekat dengan hierarki (kasta), yakni Karaeng/arung (bangsawan/juragan) dan ata (hamba/orang kebanyakan). Bagi orang kebanyakan yang ingin bebas dari sistem itu atau setidaknya ingin naik kelas sosial, merantau adalah salah satu pilihan. Tali-temali dengan mobilitas vertikal,  Prof Halide, menekankannya pada aspek ekonomi. ”Peningkatan taraf hidup seseorang berbanding lurus dengan strata sosial yang disandangnya,”.
Wilayah pesisir dan laut merupakan bagian wilayah daerah yang memiliki sumberdaya alam yang sangat potensial dan prospektif untuk menjadi akselerator pembangunan perekonomian daerah jika dikelola dengan baik dan optimum. Sebagai wilayah yang strategis, wilayah pesisir merupakan suatu zona yang diperuntukkan untuk berbagai aktivitas manusia baik secara sosial, kultural, ekonomi, industri maupun pemanfaatan secara langsung.
Sulawesi Selatan khususnya Makassar sebagai penghubung yang menautkan antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur yang menyebabkan fungsi logistik, fungsi transportasi, dan fungsi perdagangan saling berpengaruh. Pelabuhan dan bandara yang memadai menjadikan potensi kota ini makin terasa secara optimal. Selain itu, sistem yang terjalin dari turun temurun penting diperhatikan untuk memahami lebih dalam tentang masyarakat pesisir.
            Paper sederhana ini hendak memotret sistem sosial budaya masyarakat pesisir Makassar sebagai masyarakat maritim yang tangguh yang pernah terekam dalam sejarah dan pergeseran yang terjadi akibat perkembangan zaman.
(Bagian A. Pendahuluan  Paper Ekonomi Maritim, Syamsu Alam | alamyin@gmail.com)