Read, Write, and Do Something

No Teaching without learning

Menulislah agar abadi

---

Listen, free economic make better

24/06/2020

Mengapa Open Source dan Open Society Penting?


Open Source kerap dituduh sebagai gerakan neo komunisme. Open Society dipromosikan oleh para kapitalis. Benarkah Gerakan Open Source adalah komunisme baru? Atau ia justru menjadi media menuju terwujudnya tatanan Open Society.


Meskipun George Soros mendirikan Open Society Foundations (OSF), sebelumnya disebut Open Society Institute, adalah jaringan hibah internasional yang didirikan oleh tokoh bisnis George Soros. Open Society Foundations merupakan bagian dari jaringan Soros Foundation dan membantu kelompok masyarakat sipil di seluruh dunia secara finansial. Yayasan ini aktif di bidang kehakiman, pendidikan, kesehatan publik, dan media independen. OSF didirikan oleh Soros untuk mebendung pengaruh ide-ide Komunisme. 

Tulisan sederhana ini merujuk pada Open Society yang dipromosikan oleh pendukung liberal, penyokong kapitalisme yang mengidealisasi lahirnya sebuah Open Society. Bukan yayasan Open Society sebagai nama  justru berpotensi menjadi institusi pengatur. Seperti bikinan Soros.

Potensi Sama, Nasib Berbeda

Kemajuan atau keterbelakangan indibidu atau masyarakat berkorelasi kuat dengan keterbukaan. Keterbukaan akses pengetahuan, dan keterbukaan mengakses dan memanfaatkan aset yang dimiliki oleh diri dan organisasi. Kapabilitas kita sangat ditentukan oleh dua hal ini: akses dan aset.

Kemampuan menemukenali kedua hal di atas dapat menuntun pada kesuksesan di bidang apa pun. Sayangnya, keduanya kerap kali diselimuti oleh kabut hitam. Apa detail akses? Apa detail aset? Ini ceritanya panjang. Bisa dibaca pada gagasan-gagasan Amartya Sen. Salah satu yang menarik adalah 'Development as Freedom'. Baginya pembangunan sejatinya dirayakan dengan bahagia, bukan malah sebaliknya sebagaimana yang sering kita saksikan.

Amartya awalnya adalah seorang ekonom, namun dalam pencariannya terus menerus ia sampai pada titik menjadi sosok filosof. Pandangannya yang liberal namun terikat pada nilai-nilai kemanusiaan. 

Beliau juga yang pernah mengkritik dengan keras di World Social Forum (WSF). Sebuah forum yang didirikan untuk menandingi World Economic Forum (WEF). Beliau pernah mengatakan di WSF yang dihelat di India, kurang lebih mengatakan, kenapa kita senang berhadap-hadapan dengan slogan-slogan. WEF vs WSF, mengapa kita tidak meningkatkan kapasitas dan kapabilitas, lalu masuk ke institusi-institusi ekokomi global (misal World Bank) lalu bersaing dengan ide-ide brilian disana. Bukan hanya berteriak-teriak dengan slogan-slogan heroik nan revolusioner namun jauh dari aksi langsung yang dapat memengaruhi kebijakan global. 

Tentu ungkapan Sen tidak persis dikatakan demikian. Tetapi spiritnya, bagaimana agar para pengkrtitik bisa terlibat langsung dalam apa yang dikritik. Senantiasa meningkatkan kapabilitas, bukan sekadar slogan. Karena kerap kelemahan tersembunyi dibalik slogan-slogan heroik. Sebagaimana setan anggaran sering bahkan pada umumnya bersembunyi dibalik detail angka-angka.

Pentingnya OPEN SOCIETY

Masyarakat terbuka adalah masyarakat modern, liberal dan demokratis. Masyarakat ini menitik beratkan pada konsep persaingan, kebebasan dan kesadaran individu sebagai pondasinya. 

Kesadaran individu banyak kita temui pada frase-frase klasik hingga modern. 

Ungkapan Sokrates "Gnothi Seauton kai meden agan", artinya "kenalilah dirimu sendiri, dan jangan berlebihan". Tulisan yang terdapat pada Kuil orakel terkenal di Delphi Dewa Apollo dalam tradisi Yunani Kuno. 

Kebelakang Sabda Nabi Muhammad Saw, Man ‘Arafa Nafsahu, Faqad Arafa Rabbahu. “Siapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Rabb-nya”.

Dua ungkapan manusia agung di atas menekankan pentingnya pengenalan pada diri, kesadaran diri. Jadi jika ada yang mengatakan Kesadaran individu adalah doktrin Kapitalisme, adalah kesesatan yang nyata. 😁 Jauh sebelum Adam Smith memprotes model ekonomi yang dikontrol dan dikuasai oleh para kongsi dagang dan kerajaan di era Merkantilis. 

Sokrates bahkan memberikan 'rambu' kenalilah dirimu, dan jangan berlebihan. Sejalan dengan ungkapan para liberalis seperti Von Mises. Bahwa kebebasan individu justru dibatasi oleh kebebasan individu yang lain. Kita bebas merokok, tapi pada saat yang sama kita bertanggungjawab menjaga kebebasan orang lain menikmati udara segar tanpa asap rokok kita. Kecuali jika ada konsensus diantara yang merokok dan tidak merokok.

Bahkan Sabda Nabi Muhamamd Saw di atas menggaransi, siapa yang mengenal dirinya, pasti mengenal Tuhannya. 

Tuhan mahabaik tentu menginginkan realitas yang baik. Jadi kalau realitas yang kita hadapi tidak baik, mungkin kita belum mengenalNYA. Tidak mengenalNYA, Boleh jadi, kita tidak mengenali diri kita sendiri.

Anda bebas menyanyikan lagu dangdut koplo, musik rock, asalkan suaranya tidak mengganggu tetangga yang sedang sakit gigi. Jika kesadaran individu yang demikian terinternalisasi dengan baik, saya yakin tidak akan ada penyerobotan jalan di jalan raya. Kita tidak akan menemukan para Bikers dengan sepeda mahal mengambil lebih dari separuh jalan raya. Yang jika hal tersebut membudaya maka cita ideal Open Society bisa terwujud.

Open Society, adalah masyarakat terbuka yang jujur, dan transparan. Jika semua individu bisa mengatakan kepentingannya dengan jujur, maka kehadiran pemerintah hanya menjadi mediator agar  siklus hidup yang transparan tetap lestari. 

Bahkan pada titik radikal, Kapitalis bisa berdamai dengan pemerintah dengan dua syarat. Satu, pemerintah yang dapat dipercaya. Kedua, pemerintah mengeksplore pelaku-pelaku ekonomi yang melakulan tindakan fraud (kebohongan, kecurangan, pengrusakan). Sebagaimana para aktivis Open Source yang senantiasa mempublish bug (kelemahan) dari program open source yang dibuatnya.

Saya yakin dan percaya kedua syarat di atas adalah juga diharapkan oleh setiap individu yang menginginkan kehidupan yang lebih baik dan berkualitas.

Adapun ciri utama masyarakat terbuka adalah mengedepankan informasi yang bisa diakses dimana saja bahkan dipolosok negeri ini sehingga terbentuk kesadaran akan adanya perbedaan dan pendangan yang sifatnya global. 

Aksesibilitas adalah satu kunci dan pengenalan dan pemanfaatan aset (sumber daya) diri dapat menggerus ptaktik feodalisme dan ketergantungan hang tinggi pada penguasa. Kita punya sumber daya pikiran untuk berpikir, ada sumber daya halaman yang bisa ditanami bibit sayur, kita memiliki aset keluarga dan teman yang bisa diajak bekerja bersama. Ingat bekerja bersama. Bukan menjadi mandor a la feodal.

https://www.alamyin.com/2020/06/era-digital-mindset-feodal.html?m=1

Open Society merujuk pada kebebasan mengakses hal-hal yang semestinya diketahui publik. Open Society adalah Mindset sekaligus tindakan. 



Open Society menyerupai Open Source. Dimana para programmer Developer dapat mengakses source code untuk membangun program atau aplikasi yang lebih baik. Open Source, kita sama-sama tahu adalah teknologi yang menyebabkan Nokia tumbang di pasar handphone (gadget), atau BB yang dikudeta oleh WA,  Karena mempertahankan rezim Close Source

Nah, apakah pemerintah tidak belajar dari itu semua yang jatuh karena tidak adaptaif dengan "Open Source". Yang masih kerap menyembunyikan praktik korup dibalik detail angka-angka akuntansi. Teknologi memungkinkan masyarakat makin transparan, tetapi sayangnya masih ada setan yang masih tetap menghalanginya. Korban lagi setan. 😁.

Makassar, 24 Juni 2020
Alam Yin

Esai ini ditulis dan disarikan dari pengalaman berinteraksi dengan pengelolah keuangan gakde-gakde atau kios-kios tetangga.

18/06/2020

ERA DIGITAL, MINDSET FEODAL

ERA DIGITAL, MINDSET FEODAL
Syamsu Alam*)

Akhi-akhir ini kita menyaksikan, bagaimana info media massa dan sosial media mengarahkan perilaku kita. Bahkan bernafas pun, kini sudah ada protokolnya. Semua karena "dominannya" informasi dan pengetahuan (Covid-19) yang kita konsumsi. Hampir sebahagian besar perubahan digerakkan dari faktor eksternal diri kita. Ancaman social unrest hingga chaos, membayangi kehidupan kita karena tiadanya transparansi.
Sebentar lagi tahun ajaran baru, pengalaman belajar daring kurang lebih 5 bulan sudah cukup untuk mendorong perubahan-perubahan dalam proses belajar mengajar.

Perubahan adalah keniscayaan, kalimat kunci yang masih kita yakini kebenarannya secara universal. Segala sesuatu berubah, kecuali perubahan itu sendiri. Knowledge is Power adalah frase yang dilekatkan pada filosof Inggris abad-14, Francis Bacon. Jejak kata tersebut juga ditemukan pada abad ke-10 M dalam Nahjul Balaghah Imam Ali, Knowledge is power and it can command obedience. Pengetahuan adalah kekuatan yang dapat menuntun pada ketaatan. Jadi bagi Imam Ali, pengetahuan masih potensial untuk mewujudkan amalan 'ketaatan'.

Era digital memungkinkan seorang murid mengetahui banyak hal daripada gurunya. Demikian pula seorang anak bisa lebih berpengetahuan dari orang tuanya. Jika mengikuti sudut pandang Hobbesian, maka murid dan anak akan lebih berkuasa daripada guru dan orang tuanya.

Dan dalam banyak hal, orang awam kerap lebih ahli daripada pakar. Viralnya suatu berita, dapat mengeliminasi suara kebenaran yang minoritas. Hingga bisa saja pimpinan negara diktator, dicitrakan welas asih di media-media.

Rezim Algoritma

Baragam definisi Algoritma, salah satu yang sederhana adalah definisi Marvin Munsky, algoritma adalah seperangkat aturan yang memberitahukan kepada kita dari waktu ke waktu, bagaimana bertindak. Dalam suatu algoritma pasti terdapat: input, proses, output, instruksi, dan tujuan. Jadi kalau suatu media sosial beralgoritma berdasarkan ekspresi emosi, maka mesin (aplikasi) akan mengarahkan user pada emosi yang cenderung sama. Para user akan dirahkan berdasarkan instruksi algoritma.

Algoritma dan Era digital ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Era digital akan mendekonstruksi banyak hal, pekerjaan, tata nilai, termasuk kepakaran. Kecenderungan user media sosial yang dipersatukan oleh sebuah rezim algoritma lalu menjadi viral akan menjadi 'tsunami informasi' yang sulit disaring kebenarannya. Hatta pun ia adalah Hoax, lalu dengan mudahnya diklarifikasi.

Krisis pandemi COVID-19 yang berdampak pada segala sendi kehidupan, dari acara arisan sampai bisnis global. Kemajuan teknologi dan ruang digital memaksa para pelaku bisnis untuk mengubah model bisnis. Dari bagaimana memproduksi sampai cara baru berinteraksi dengan pelanggan. Untuk mengidentifikasi dan merespons secara efektif peluang dan ancaman digital di masa depan, penting untuk mengembangkan pola pikir digital (digital mindset).

Dalam rezim algoritma yang massif yang ditawarkan oleh berbagai platform. Pilihannya tetap ada di tangan kita sendiri: berubah, adaptasi atau tereliminasi. Namun sayangnya, tidak mudah merubah mindset menghadapai era yang serba cepat, tak menentu, kompleks, dan ambigu.

Digital mindset bukanlah kemampuan untuk mengoperasikan teknologi. Melainkan sikap dan perilaku yang memungkinkan orang atau organisasi untuk memahami suatu peluang. Media sosial, Big Data, Cloud, AI (Artificial Intelligence) dan robot dll, sebagai beberapa kekuatan besar mendisurpsi segala lini kehidupan.

Kita boleh saja mendengar para pejabat berpidato tentang pentingnya Growth Mindset, Abundance Mindset, Collaborative Approach. Namun kerap para pendengar menggerutu dalam hatinya. Karena fakta empiris, perilaku si pejabat tidak seindah yang disampaikan di podium pidato. Meski demikian, hal tersebut sudah baik, sebagai tahap awal kepedulian pada transformasi Digital.

Sebuah Mindset adalah juga perilaku (behaviour) yang memiliki pendekatan kolaboratif dan kooperatif, open-mind, dan kepercayaan adalah indikasi dari dunia digital yang terhubung, transparan, dan hampir sebenarnya kita tak dapat bersembunyi dari jangakauan admin/superuser/ provider.

Digital Mindset memungkinkan kehidupan yang lebih jujur, transparan, dan bertanggung jawab. Oleh karena semua jejak digital bisa ditracking. Ia ibarat kitab catatan amal dan dosa di jagad maya.

Tembok Raksasa

Berbeda dengan Francis Bacon di atas. Napoleon Hill, mengatakan Knowledge is Potential Power. Pengetahuan hanyalah potensi kekuatan, ia dapat menjadi kekuatan yang riil, jika kita mengorganisasikan ke dalam rencana tindakan yang jelas untuk mencapai tujuan.

Pentingnya mentransformasikan mindset ke digital mindset yang serba transparan, memiliki spirit keterbukaan, kesiapan berkolaborasi dengan siapa pun dan penuh aspirasi, yang biasa diistilahkan dengan abundance mindset.

Mindset lainnya yang juga akan menjadi sangat penting di era digital adalah growth mindset yaitu pola pikir untuk selalu berkembang. Seseorang dengan pola pikir growth ini akan mencurahkan energinya untuk selalu mencari dan mempelajari hal baru, melihat tantangan baru dalam kehidupan.

Namun, semua angan-angan di atas bisa ambyar sesaat, jika tembok raksasa bernama Feodalisme masih kokoh. Dalam paham feodal, kekuasaan absolut berada di tangan Raja Diraja yang berkoalisi dengan kroni-kroni bawahannya.

Bukan hanya dalam ranah kekuasaan (politik), masih adanya kelompok akademisi yang mengaku bidang ilmunya lebih superior di banding yang lain, adalah juga praktik feodalisme dalam akademik. Praktik anti kritik para sepuh akademik, dan para pemangku jabatan, adalah tembok raksasa transformasi digital.

*) Pegiat di Praxis School.