Read, Write, and Do Something

No Teaching without learning

Menulislah agar abadi

---

Listen, free economic make better

Showing posts with label Esai. Show all posts
Showing posts with label Esai. Show all posts

02/03/2024

Smart City, Fokus Teknologi atau Warga?

SMART CITY, Fokus Teknologi atau Warga? 

(Catatan HUT ke- 416 Kota Makassar) 

Syamsu Alam (Ketua Prodi Bisnis Digital FEB UNM) 

Atraktif, media mengabarkan ribuan warga menyemarakkan peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-416 Kota Makassar, pada 2 November 2023, di kawasan Central Point of Indonesia. Karnaval budaya yang dikemas seperti festival Awa Odori di Jepang yang berusia 400 tahun. Dimana setiap remaja akan menampilkan satu gerakan secara berulang sepanjang rute karnaval. 

Dalam momentum perayaan ini turut diwarnai dengan aksi solidaritas masyarakat Kota Makassar untuk Palestina. Pemerintah Kota Makassar juga akan melakukan pengumpulan dana untuk warga Palestina melalui masjid-masjid yang ada di Makassar. Suasana haru dari panjang puisi dan doa-doa yang disampaikan Danny untuk warga Palestina selanjutnya disambung dengan penampilan dari anak-anak disabilitas menyanyikan lagu 'Atuna Tufuli'. Lagu dengan arti 'beri kami masa kecil itu' menggambarkan curahan bagaimana anak-anak Palestina yang terbelenggu akibat penjajahan. 

Pappasang ‘Kota Dunia’ 

Hari jadi Kota Makassar, tanggal 9 November 1607. Nama Makassar berasal dari sebuah kata dalam bahasa Makassar "Mangkasarak" yang berarti yang menampakkan diri atau ‘mewujud’, bukan bermakna kasar. Meskipun orang-orang Makassar tegas dan kokoh dengan pendiriannya. Pada Logo Kota Makassar, “Sekali Layar Terkembang, Pantang Biduk Surut Ke Pantai,” menunjukkan semangat kepribadian yang pantang mundur. 

Jika melacak sejarah Makassar, ditemukan bahwa sedari dulu warga asing (khususnya Eropa) memiliki koneksi intens dengan warga Makassar. Salah satu buktinya yang diabadikan adalah patung teropong di Pantai Losari. Patung itu hendak mengisahkan bagaimana Karaeng Pattingalloang bertukar benda dan pengetahuan dengan Galileo Galilei. 

‘Bangsa Makassar’ adalah orang-orang pemberani sekaligus ramah, tegas, konsisten, dan dapat dipercaya. Karakter ini yang mendunia, selain daya tarik alam dan rempah-rempah yang menyebabkan banyak warga asing berkunjung ke Makassar di masa lampau. 

‘Pappasang’ dapat diartikan sebagai pesan, nasihat, wasiat para leluhur kepada generasi muda termasuk generasi berikutnya yang berisi petunjuk, amanat, dan menyampaikan ajakan moral dan nilai-nilai yang harus dilaksanakan agar dapat mejalin hidup dengan baik. Setidaknya ada 5 nilai utama dalam Pappasang. Yaitu, Kejujuran, Kepemimpinan, Sirik na pace (Kehormatan), Persatuan dan gotong royong, Usaha dan Kerja Keras. 

Di era digital saat ini, pesan-pesan di atas masih relevan meski mulai langka. Misalnya teknologi terkini blockchain dianggap sebagai ‘The Trust Machine”, Trust adalah pondasi dasar dan utama kesuksesan teknologi berkembang dengan pesat. Bagaimana para programmer membangun ‘kepercayaan dan kejujuran’ dalam membangun suatu aplikasi. Singkatnya, ada banyak Pappasang yang telah terbukti mendunia sejak dulu yang mewujud dalam rupa dan tingkah laku raja dan warganya. Bukan sekadar artefak dan slogan ‘kota dunia’ namun miskin dengan nilai-nilai budaya luhur. 

‘Bahaya’ Transformasi Digital 

Jika kita membaca dengan seksama masterplan Sombere Smart City kota Makassar dari Buku I sampai Buku 3 nampak revisi dan perbaikan Enam dimensi. 1. Smart governance, untuk mengoptimalkan pelayanan publik. 2. Smart branding, meningkatkan kesadaran terhadap karakter kota, terutama pariwisata. 3. Smart economy, membangun ekosistem dan mendorong cashless society. 4. Smart living, kehidupan yang nyaman dan meningkatkan Kesehatan. 5. Smart society, masyarakat yang interaktif dan humanis. 6. Smart environment, mengurangi dan memanfaatkan sampah serta menciptakan sumber energi yang lebih baik. 

Capaian Indeks SPBE (Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik) Kota Makasasar masih pada kategori cukup. Termasuk yang terendah dari semua kota di Sulawesi Selatan. Namun berdasarkan survei Indeks Masyarakat Digital Indonesia (IMDI) komimfo 2022 IMDI merupakan suatu pengukuran tingkat kompetensi dan keterampilan masyarakat dalam penggunaan teknologi digital pada kehidupan sehari-hari maupun terkait pekerjaannya. IMDI Kota Makassar tertinggi dengan poin sebesar 43.44. 

Artinya, indeks warga kota lebih tinggi dan relatif maju dibanding kemampuan pemerintah kota menyediakan layanan pada warga dengan SPBE. Kota Makassar termasuk kota yang agresif dalam membangun ratusan aplikasi. Aplikasi tersebut rata-rata berbasis web. Namun jika ditelurui lebih jauh, tidak semua aplikasi dapat berfungsi dengan baik sebagaimana harapan dalam Smart City yang dapat mengefektifkan pelayanan. 

Salah satu aplikasi yang bermanfaat bagi wisatawan adalah explore.makassar.go.id, bermanfaat untuk wisatawan yang ingin menikmati kuliner dan spot Kota yang menarik. Namun Aplikasi Layanan kesehatan dan pendidikan masih perlu ditingkatkan efektifitas layanannya. Aplikasi di bidang kesehatan seperti Sehattami, simRSUD, Dottoro’ta dapat lebih ditingkatkan efektifitas dan kualiasnya. Bahkan database dari ketiga apliaksi tersebut bisa digunakan untuk peningkatan program yang lebih tepat sasaran, tentu dengan memanfaatkan jasa Data Analyst. 

Smart City sebagai implementasi transformasi digital ibarat pisau bersisi dua. Bersisi baik jika adopsi teknologi dimanfaatkan untuk melayani dan menunjang pekerjaan pemerintah dan warga secara efektif. Bersisi ‘negatif’ karena digitalisasi dapat menghilangkan sejumlah program OPD dan implikasinya adalah serapan anggaran, namun bisa menjadi tantangan agar lebih kreatif membuat program. 

Sebelum transformasi digital, perlu digitisasi dan digitalisasi. Sudah berapa persen data yang terdigitisasi? Berapa data Statistik, keuangan, dan spasial yang telah terintegrasi, Apakah cukup dengan data berbasis web?. Pertanyaan ini patut direnungkan bagi pengusung Smart City. Itulah mengapa McKinsey menyebut, “Transformations are hard, and digital ones are harder.” Dan tentu tidak bisa diselesaikan dalam 1 periode pemerintahan Walikota. 

Inisiasi Kota yang berbasis Warga 

Melibatkan generasi Z dan milenial dalam perayaan budaya sangatlah penting dalam mempersiapkan generasi masa depan. Hal itu dilakukan agar tetap menjaga dan melestarikan warisan budaya Makassar yang hidup di era serba teknologi. 

Peserta festival ini berkarnaval dan bergerak diiringi lagu Makassar untuk Dunia. Mereka menunjukkan kekompakan dengan mengenakan baju tradisional Makassar, menari tarian khas Makassar dan memamerkan kostum karnaval dengan ikon-ikon khas Makassar. Pelibatan disabilitas juga patut diapresiasi. Namun pelibatan warga dalam Smart City jauh lebih dari sekadar pelibatan dalam perayaan. Warga kota kerap lebih melihat tauladan dan praktik. Smart City yang sukses di luar negeri ditandai dengan pelibatan warga kota secara aktif, konsisten dan berkelanjutan. 

Penting menghadirkan perangkat teknologi yang dapat mendukung tercipatanya layanan yang ‘cerdas’ namun jauh lebih baik jika, warga dan pemerintahnya juga cerdas sembari mengintegrasikan nilai-nlia Pappasang di atas. Semoga !

29/07/2023

KAMPUS POLITIK ATAU POLITIK KAMPUS?

KAMPUS POLITIK ATAU POLITIK KAMPUS? 

Syamsu Alam 

Di dalam kelas sebuah SD inpres, dua murid ditanya gurunya. Guru: A, kamu mau jadi apa? A: Jadi dosen !, Guru: Mengapa?, A: Supaya bisa jadi professor. Guru: Ok. B kamu mau jadi apa?, B: Politisi, Guru: Mengapa? Supaya tidak sengsara seperti A dan tetap bakal jadi professor (Cerita fiksi, Mati Ketawa Cara profesor  NKRI, karya Prof. Arief Anshory)

Sependek pengetahuan saya, ada 11 pejabat publik yang telah dianugerahi gelar Profesor Kehormatan. Mantan Presiden Megawati (unhan RI), Mantan presiden Susilo Bambang Yudonoyo (Unhan RI-2014), Terawan Agus Putranto (Unhan RI, 2022), Muhammad Syarifuddin (UNDIP, 2021), Zainudin Amali (UNNES, 2022), Siti Nurbaya Bakar (UB, 222), Fahmi Idris (UNP, 2022), Edi Slamet Irianto (Unissula, 2022), Syahrul Yasin Limpo (UNHAS, 2022), Jafar Hafsah (UNM,2022) dan  Nurdin Halid (UNM, 2023).

Dasar penetapan pemberian profesor  kehormatan adalah Permendikbudristek nomor 38 tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan. Deretan nama-nama yang akan bergelar professor kehormatan akan bertambah. Meskipun Masa jabatan Profesor Kehormatan paling singkat 3 tahun dan paling lama 5 tahun dapat diperpanjang dengan mempertimbangkan kinerja dan kontribusi dalam melaksanakan Tridharma dan batas usia paling tinggi 70 (tujuh puluh) tahun.

Sebelas orang di atas dominan politis. Penetapannya tentu alot di Senat Akademik di kampus masing-masing. Universitas Gajah Mada (UGM) adalah kampus yang paling tegas menolak pemberian gelar tersebut, padahal prestasi dan kepakaran Perry Warjiyo (Gubernur BI) sangat mumpuni. Bagaimana civitas akademika kampus-kampus lain? Bagaimana atmosfer akademik, apaka kritis pada politisi atau menyemai praktik-praktik politik sumbu pendek di kampus?

Kampus: Benteng Akal Sehat dan Peradaban

Alwi Rahman menilai Kampus atau perguruan tinggi adalah benteng terakhir peradaban. Bisa juga kita sebut ia cerminan keadaban suatu masyarakat. Kata Prof Sigit, Universitas adalah benteng akal sehat dan keberadaban. Nilai dan tradisi yang dikembangkan adalah pemikiran yang jernih, etis, dan beradab; pertaruhannya adalah kebenaran, kejujuran dan kemaslahatan.

Sebagai orang yang pernah merasakan kuliah di kampus besar di Makassar, UNM dan UNHAS. Kedua kampus itu terasa perbedaannya memperlakukan mahasiswa atau akademisi yang kritis. Kultur kampus lain, bisa dipelajri dari oknum dan alumninya. Pengalaman studi banding dan Short Course di kampus lain menunjukkan kampus unggul adalah yang tradisi akademiknya kuat, tradisi yang menjamin kebebasan berpikir dan berpendapat lestari tanpa harus takut kehilangan rezeki dari TYME. 

Prof Sigit (UGM) menganggap pengangkatan profesor kehormatan memuat kepentingan pragmatis individu maupun kelompok. Mengabaikan prinsip kesetaraan dan keadilan tentu mengkhianati pengorbanan para dosen menggapai guru besar. Para dosen di perguruan tinggi harus berjuang keras puluhan tahun untuk mencapai posisi profesor dengan berbagai beban kinerja, belitan regulasi dan birokrasi.

Apabila otoritas perguruan tinggi memihak pada kepentingan pragmatis maka kebenaran dan akal sehat akan tergadaikan. Tentu juga merendahkan martabat perguruan tinggi dan sivitas yang ada. Pengangkatan profesor kehormatan yang tak berkontribusi pada pencapaian misi utama perguruan tinggi, justru merendahkan martabat dan reputasi, merusak ekosistem, dan tata kelola PT. 

Politik Kampus

Sedari dulu politik dan kampus selalu hadir dalam perbincangan di ruang publik. Evolusinya juga semakin kompleks. Mengurainya seperti mencari jerami dalam tumpukan jarum. Masalahnya rumit dan pelik dengan sejumlah variabel yang mempengaruhinya.

UNM dan UNHAS dua tahun terakhir ikutan tren memberikan gelar kehormatan pada tokoh politisi. SYL di Unhas dan NH di UNM. Keduanya sebenarnya adalah 'rival' politik.  Salah satu perbedaannya adalah polemik penolakan anggota Senat Universitas. SA Unahs menolak, Di UNM nyaris tak ada riak, kecuali beberapa dosen UNM di sudut-sudut pojokan dan warung kopi yang kaget dan bersikap kritis bahkan tidak setuju. Dua tahun polemik pemberian gelar pada SYL dan Senat tetap mangajukan ketidak sepakatannya, namun ‘hak veto’ Rektor Unhas tetap memberikan gelar pada SYL.

Kekuasaan memang sangat membuai manusia karena pada dasarnya menurut Nietzsche manusia tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan karena keinginan untuk berkuasa ada pada tiap individu. Bicara kekuasaan tidak hanya pada ranah makro – institusi politik semata. Pada skala mikro juga ada. Relasi kuasa dalam diri, keluarga, komunitas, dan lain-lain.

Ketika praktik kekuasaan mewujud secara totaliter maka kebebasan dan kebahagian terancam pada setiap individu di bawah institusi. Tan Malaka (1926) mengingatkan “Seluruh insan kampus seperti dosen dan mahasiswa berhak memperoleh ruang dan kebebasan untuk mengembangkan, mengaplikasikan ilmu pengetahuan serta mengabdikan diri untuk kepentingan rakyat supaya tidak ditindas oleh rezim kekuasaan”.

Sepertinya sivitas kampus membutuhkan penting menggiatkan kembali kajian-kajian kritis pada sindikasi-sindikasi skala mikro yang terdesentralisasi, sehingga kekuasaan yang sentrallistik tidak semena-mena pada hak kebebasan berpikir dan berpendapat setiap individu.

Politik adalah tindakan. Setiap tindakan sadar selalu di awali proses berpikir. Politik adalah cara untuk mencapai tujuan. Berdasarkan definisi ini, sesungguhnya semua orang berpolitik. Tentu dengan ideologi dan nilai yang dianutnya. 

Sebelum berbondong-bondong mengikuti tren pemberian gelar profesor kehormatan, perguruan tinggi Indonesia perlu fokus untuk membangun mutu, keunggulan, serta program studi yang unik dengan cara-cara bermartabat.

Oxford University Sejak berdiri pada 1096, konsisten berkomitmen untuk unggul di setiap bidang pengajaran dan penelitian. Meski punya sejarah sebagai universitas bagi bangsawan Inggris, Oxford modern telah menginisiasi transformasi jangka panjang untuk mewujudkan budaya yang lebih inklusif, misal dengan menerima mahasiswa dari berbagai latar belakang.

Mungkin membandingkan kampus kita dengan Oxford, seperti membandingkan langit dan sumur. Namun setidaknya memberikan pencerahan bahwa unggul tidak direngkuh dengan cara-cara instan dan jangka pendek, sebagaimana gelar profesor kehormatan. Wallahu a’lam bissawab.

 


Dimuat di Harian Tribun Timur Makassar.

02/12/2022

'Digital Storytelling': Doa dan Air mata, Kekuatan Kami

"Bercerita dan mendengar cerita dapat meningkatkan Imajinasi dan kreativitas"

Abad ke-21 telah memperkuat suara user dalam hal bercerita dan bebas mengekpresikan idenya. Sekarang, setiap orang tidak hanya dapat berbagi cerita dengan bahasa lisan mereka, tetapi juga dengan alat digital yang memungkinkan mereka merancang, menggambar, dan menciptakan apa yang mereka ingin dengar. Dengan menggunakan alat storytelling (bercerita secara digital) seperti StoryBird, My Story, Cloud Stop Motion, Book Creator, dan Sock Puppets, kita (pelajar) dapat menemukan alat teknologi yang tepat yang memungkinkan imajinasi kita (mereka) menjadi hidup dan pengalaman mereka didengar.


Digital Storytelling adalah membuat cerita (story) dengan memadukan video, audio, gambar, dan teks untuk menyampaikan cerita dan informasi. Digital Storytelling adalah sesuatu yang mungkin (dan kemungkinan besar) sudah kita lakukan di berbagai aktivitas tanpa menyadarinya. Pada kontek pembelajaran, Digital Storytelling adalah cara yang ampuh untuk menghubungkan pelajar ke semua bidang keaksaraan dan literasi.

Digital stories push students to become creators of content, rather than just consumers. Weaving together images, music, text, and voice, digital stories can be created in all content areas and at all grade levels while incorporating the 21st century skills of creating, communicating, and collaborating. (https://edtechteacher.org)

Menurut Pepih Nugraha (mantan wartawan senior kompas), yang memiliki moto Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif.

Menurutnya Suatu topik akan dianggap menarik, jika topik itu:

  • PENTING bagi khalayak, yaitu berpengaruh  terhadap kehidupan sosial dan ekonomi mereka
  • Mampu MEMBANGKITKAN EMOSI khalayak,  yaitu bisa membuat mereka senang, marah,  dongkol, sedih, dan atau nelangsa.

Catatan: Jika penulis mampu mendapatkan topik yang  menarik, maka separuh tugasnya sudah terlaksana.  Kalau topiknya sudah menarik, meski disajikan  secara acak-acakan, pasti akan dibaca orang.  

Bang Pepih berbagi tips seperti berikut:

Tips memilih Judul

1. Rahasia
2. Dramatis
3. Lugas
4. Unik
5. Tonjolkan Konteks
6. Deskriptif
7. Sedikit lebay/ bombastis

Kedua, LEAD atau intro atau alinea pertama tulisan harus merupakan:

1. bagian paling penting karena akan berpengaruh terhadap kehidupan khalayak
2. bagian paling menarik karena berpotensi membangkitkan emosi mereka

SYARAT PENULISAN LEAD
  1. Diawali unsur 5W+1H (what, who, where, when, why, how) yang paling menarik,
  2. Ditulis secara singkat dan padat yaitu maksimal tiga kalimat dan 35 kata,
  3. menggunakan bahasa sederhana dan menarik.
Catatan: Pemilihan materi dan cara penyajian lead harus diupayakan agar membangkitkan penasaran khalayak untuk membaca tulisan lebih lanjut.

Digital Storytelling dapat digunakan sebagai sarana pembelajaran, literasi, mengasah imajinasi, dan juga marketing ide atau produk.

Setidaknya ada 8 tahap untuk membuat Digital Storytelling yang hebat.
1. Start with an Idea
2. Research/Explore/Learn
3. Write/Script
4. Storyboard/Plan
5. Gather and Create Images, Audio and Video
6. Put It All Together
7. Share
8. Reflection and Feedback


Kesemua instrumen digital lainnya sangat tergantung pada kemampuan mengolah fakta: data, informasi menjadi pengetahuan dan pencerahan dan akhirnya dapat mengambil keputusan secara bijak dan tepat. Data-data pendukung seperti gambar, audio dan video adalah pendukung dan penguat sebuah cerita. Hal lain yang penting adalah moment atau timing dari sebuah tulisan dibagikan.

Berikut adalah salah satu contoh tulisan sederhana yang penulis alami secara langsung. Mungkin tidak sepenuhnya mengikuti tahap Digital Storytelling, namun kekuatan ceritanya dapat menjadi pelajaran bersama.

31/10/2022

PEMUDA ‘LATAH DIGITAL’ DAN SMART CITY

HARI SUMPAH PEMUDA baru saja dirayakan dengan beragam cara. Dari seremoni upacara dengan fitur batik khas Aparat Sipil Negara sampai pakain khas Nusantara. Perayaan di media sosial dengan beragam konten Sumpah Pemuda 28 Oktober tak kalah heboh. Mulai dari yang heroik, narsis, kritis, sampai hanya sekadar lelucon sarkas. 

Ada banyak cara, metode, dan ekspresi perayaan Hari Sumpah Pemuda. Misalnya yang kusimak pagi tadi adalah bisakah memberikan sumpah serapah pada pemuda yang membuang sampah sembarang tempat. ‘Sumpah saya masih Muda’, dan lain-lain.

Sebenarnya apa itu pemuda? Siap sebenarnya yang berhak disebut pemuda? Dan peran apa yang dapat dilakukan di tengah era digital dan maraknya ‘latah digitalisasi’? Benarkah usia pemuda rentang 16 tahun sampai 30 tahun benar-benar muda secara hakiki? Pemuda akan menghuni banyak kota di Indonesia, bagaimana Kota berbenah memanfaatkan bonus demografi yang tidak cukup hanya dengan slogan.


Tugas Kaum Muda

Jika kita perhatikan geliat pemuda dan organisasi pemuda di Indonesia lumayan progresif. Sampai ada organisasi yang diangap pemuda, terpecah menjadi dua atau tiga kepengurusan. Entah apa sebabnya, dugaan saya karena perbedaan pilihan politik para elit atau donator elitnya, entahlah.

Berdasarkan UU RI Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan dan Perpres RI Nomor 66 Tahun 2017 tentang Koordinasi Strategis Lintas Sektor Penyelenggaraan Kepemudaan, mendefinisikan Pemuda  adalah  warga  negara  Indonesia  yang memasuki   periode   penting   pertumbuhan   dan perkembangan yang berusia 16 sampai 30 tahun.

Jika menggunakan definisi di atas maka banyak organisasi ‘tidak layak’ menyandang organisasi pemuda, termasuk organisasi yang saya tekuni saat ini, Pemuda ICMI (sebelumnya Masika ICMI).

Berbeda dengan UU di atas Soe Hok Gie mengatakan Generasi kita (muda) ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua,….. Kitalah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia. 

Siapa yang dimaksud generasi tua, siapa kaum muda? Apa saja karakteristiknya?

Henry Ford (pendiri pabrikan mobil Ford Motor Company) berpendapat tentang orang muda atau tua. Ia mengatakan ‘Siapapun yang berhenti belajar adalah kaum tua, baik di dua puluh atau delapan puluh. Siapapun yang terus belajar tetap muda. Hal terbesar dalam hidup adalah untuk menjaga pikiran Anda tetap muda.

Jadi jika disimpulkan berdasarkan dua pandangan tokoh di atas Gie dan Henry Ford Tugas utama ‘kaum muda’ adalah belajar dan ‘memberantas generasi tua yang mengacau’. Nah, ukuran belajar dan membarantas itu apa?

Belajar Sepanjang Masa 

Berdasarkan data sejarah Peran pemuda begitu vital dalam proses menuju Indonesia merdeka. Pemuda memegang peran penting dalam masa perjuangan melawan penjajahan, baik melalui perlawanan fisik juga perlawanan diplomatik. Kebangkitan pemuda berawal sejak mereka mulai berorganisasi pada era kebangkitan nasional pada 1908.

Buku Indonesia dalam Arus Sejarah (2013) menjelaskan, perubahan radikal yang dilakukan organisasi pemuda mendorong mereka untuk bersatu dan berkumpul dalam satu wadah. Ada banyak tokoh pemuda yang terlibat dalam upaya perumusan Sumpah Pemuda yang intinya, ikrar pemuda Indonesai tentang satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa.

Pada saat reformasi  lahir Sumpah Mahasiswa Indonesia yang berbunyi:

10/10/2020

MELAWAN KORUPSI KEBIJAKAN

Syamsu Alam*)
Sekadar mengingatkan saja.  Korupsi kebijakan lebh berbahaya dari korupsi uang. Kita kadang lupa pada sesuatu yang pernah kita lalui. Atau bisa juga pura-pura lupa. Caleg, Capres dan Calon Kepala Daerah yang membeli kita dengan sangat murah
Sejak politik sudah jadi komoditas. Sejumlah bisnis yang berkaitan dengannya tumbuh subur. Dari bisnis makeover foto caleg, sampai transaksi pencitraan oleh lembaga survei.

Bukan rahasia lagi. Bagaimana lembaga survei atau tim sukses menawarkan berbagai layanan jasa untuk memenangkan kliennya. Ini bisnis bro. Ini mekanisme pasar. 

Sudah jamak dalam pikiran kita bahwa 1 produk (kepala anggota DPRD) bisa dihargai 3-5 Miliar bahkan lebih tergantung supply-demand,  jika ada yang ingin membelinya atau ditukarkan dengan tiket untuk kontestasi di Pilkada.

Kata MAHAR begitu mulia disematkan pada transaksi demikian. Transaksi yang memicu jamaknya praktik kotor para petinggi partai. Jadi sudahilah para pengamat menggunakan kata tersebut.  Jika ditelusuri aliran dana hasil jual-beli 1 kepala (kursi) anggota dewan dapat dilavk distribusinya pada petinggi partai di pusat dan daerah. 

Praktik dagang dalam politik sekali lagi sudah jamak diketahui publik. Tapi apa yang bisa kita lakukan? Pada setiap pemilihan kejadiannya berulang lagi. 1 suara 20rb, 50rb, ratusan ribu sampai jutaan. Di TPS pemilihan ulang bisa sampi 3-5 jutaan per suara. 

Hasil riset Muhtadi sudah mengungkap dengan gamblang besaran suara per kepala. 

Karena para anggota dewan (Kab/Kota, Provinsi sampai Pusat) bisa dikatakan berperilaku sama, sama-sama membeli suara, maka menjadi wajar kalau mereka berbuat semaunya. Mereka sudah membeli para pemilih. Maaf barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan lagi. 

Hasilnya, mereka akan menjadikan kebijakan sebagai senjata untuk meraup laba yang lebih besar dari modal yang mereka keluarkan. Ataukah menjual kebijakan (regulasi) sekali lagi untuk meraup profit. 

Lalu apa yang bisa kita lakukan setelah sekian banyak kebijakan ketahuan hanya untuk mengokohkan pilar-pilar bisnis mereka? Apakah dengan begitu lalu kita membenci para pebisnis? Membenci pemodal? Merusak fasilitas umum, yang bisa jadi lahan pengadaan korupsi baru. 

Sependek pengetahuan saya tujuan bisnis itu mulia. Menyediakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.  Kapan menjadi tidak baik? Jawabannya bisa beragam. Tapi semua bisa menjadi buruk karena keserakahan. Monopoli adalah ptaktik jahat dalam bisnis bahkan dalam Islam adalah haram, apalagi kalau niatnya untuk menciptakan ketergantungan dan kontrol penuh kebutuhan masyarakat.

Itulah mengapa di negara tertentu sangat peduli pada praktik MONOPOLI. Di AS misalnya setiap pengusaha hanya bisa memiliki usaha maksimal 3 (mohon dikoreksi kalau saya salah 'ingat') di Indonesia tanpa batas. Di Iran lebih tegas lagi, memberikan hukuman mati pada penjahat ekonomi (kasus hukuman mati pada penimbun emas), dan berbagai praktik tegas. China sangat tegas dan keras pada koruptor. Sayangnya kita hanya suka pinjam pada China tetapi tidak meminjam ketegasannya pada para perusak kedaulatan ekonomi.

24/06/2020

Mengapa Open Source dan Open Society Penting?


Open Source kerap dituduh sebagai gerakan neo komunisme. Open Society dipromosikan oleh para kapitalis. Benarkah Gerakan Open Source adalah komunisme baru? Atau ia justru menjadi media menuju terwujudnya tatanan Open Society.


Meskipun George Soros mendirikan Open Society Foundations (OSF), sebelumnya disebut Open Society Institute, adalah jaringan hibah internasional yang didirikan oleh tokoh bisnis George Soros. Open Society Foundations merupakan bagian dari jaringan Soros Foundation dan membantu kelompok masyarakat sipil di seluruh dunia secara finansial. Yayasan ini aktif di bidang kehakiman, pendidikan, kesehatan publik, dan media independen. OSF didirikan oleh Soros untuk mebendung pengaruh ide-ide Komunisme. 

Tulisan sederhana ini merujuk pada Open Society yang dipromosikan oleh pendukung liberal, penyokong kapitalisme yang mengidealisasi lahirnya sebuah Open Society. Bukan yayasan Open Society sebagai nama  justru berpotensi menjadi institusi pengatur. Seperti bikinan Soros.

Potensi Sama, Nasib Berbeda

Kemajuan atau keterbelakangan indibidu atau masyarakat berkorelasi kuat dengan keterbukaan. Keterbukaan akses pengetahuan, dan keterbukaan mengakses dan memanfaatkan aset yang dimiliki oleh diri dan organisasi. Kapabilitas kita sangat ditentukan oleh dua hal ini: akses dan aset.

Kemampuan menemukenali kedua hal di atas dapat menuntun pada kesuksesan di bidang apa pun. Sayangnya, keduanya kerap kali diselimuti oleh kabut hitam. Apa detail akses? Apa detail aset? Ini ceritanya panjang. Bisa dibaca pada gagasan-gagasan Amartya Sen. Salah satu yang menarik adalah 'Development as Freedom'. Baginya pembangunan sejatinya dirayakan dengan bahagia, bukan malah sebaliknya sebagaimana yang sering kita saksikan.

Amartya awalnya adalah seorang ekonom, namun dalam pencariannya terus menerus ia sampai pada titik menjadi sosok filosof. Pandangannya yang liberal namun terikat pada nilai-nilai kemanusiaan. 

Beliau juga yang pernah mengkritik dengan keras di World Social Forum (WSF). Sebuah forum yang didirikan untuk menandingi World Economic Forum (WEF). Beliau pernah mengatakan di WSF yang dihelat di India, kurang lebih mengatakan, kenapa kita senang berhadap-hadapan dengan slogan-slogan. WEF vs WSF, mengapa kita tidak meningkatkan kapasitas dan kapabilitas, lalu masuk ke institusi-institusi ekokomi global (misal World Bank) lalu bersaing dengan ide-ide brilian disana. Bukan hanya berteriak-teriak dengan slogan-slogan heroik nan revolusioner namun jauh dari aksi langsung yang dapat memengaruhi kebijakan global. 

Tentu ungkapan Sen tidak persis dikatakan demikian. Tetapi spiritnya, bagaimana agar para pengkrtitik bisa terlibat langsung dalam apa yang dikritik. Senantiasa meningkatkan kapabilitas, bukan sekadar slogan. Karena kerap kelemahan tersembunyi dibalik slogan-slogan heroik. Sebagaimana setan anggaran sering bahkan pada umumnya bersembunyi dibalik detail angka-angka.

Pentingnya OPEN SOCIETY

Masyarakat terbuka adalah masyarakat modern, liberal dan demokratis. Masyarakat ini menitik beratkan pada konsep persaingan, kebebasan dan kesadaran individu sebagai pondasinya. 

Kesadaran individu banyak kita temui pada frase-frase klasik hingga modern. 

Ungkapan Sokrates "Gnothi Seauton kai meden agan", artinya "kenalilah dirimu sendiri, dan jangan berlebihan". Tulisan yang terdapat pada Kuil orakel terkenal di Delphi Dewa Apollo dalam tradisi Yunani Kuno. 

Kebelakang Sabda Nabi Muhammad Saw, Man ‘Arafa Nafsahu, Faqad Arafa Rabbahu. “Siapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Rabb-nya”.

Dua ungkapan manusia agung di atas menekankan pentingnya pengenalan pada diri, kesadaran diri. Jadi jika ada yang mengatakan Kesadaran individu adalah doktrin Kapitalisme, adalah kesesatan yang nyata. 😁 Jauh sebelum Adam Smith memprotes model ekonomi yang dikontrol dan dikuasai oleh para kongsi dagang dan kerajaan di era Merkantilis. 

Sokrates bahkan memberikan 'rambu' kenalilah dirimu, dan jangan berlebihan. Sejalan dengan ungkapan para liberalis seperti Von Mises. Bahwa kebebasan individu justru dibatasi oleh kebebasan individu yang lain. Kita bebas merokok, tapi pada saat yang sama kita bertanggungjawab menjaga kebebasan orang lain menikmati udara segar tanpa asap rokok kita. Kecuali jika ada konsensus diantara yang merokok dan tidak merokok.

Bahkan Sabda Nabi Muhamamd Saw di atas menggaransi, siapa yang mengenal dirinya, pasti mengenal Tuhannya. 

Tuhan mahabaik tentu menginginkan realitas yang baik. Jadi kalau realitas yang kita hadapi tidak baik, mungkin kita belum mengenalNYA. Tidak mengenalNYA, Boleh jadi, kita tidak mengenali diri kita sendiri.

Anda bebas menyanyikan lagu dangdut koplo, musik rock, asalkan suaranya tidak mengganggu tetangga yang sedang sakit gigi. Jika kesadaran individu yang demikian terinternalisasi dengan baik, saya yakin tidak akan ada penyerobotan jalan di jalan raya. Kita tidak akan menemukan para Bikers dengan sepeda mahal mengambil lebih dari separuh jalan raya. Yang jika hal tersebut membudaya maka cita ideal Open Society bisa terwujud.

Open Society, adalah masyarakat terbuka yang jujur, dan transparan. Jika semua individu bisa mengatakan kepentingannya dengan jujur, maka kehadiran pemerintah hanya menjadi mediator agar  siklus hidup yang transparan tetap lestari. 

Bahkan pada titik radikal, Kapitalis bisa berdamai dengan pemerintah dengan dua syarat. Satu, pemerintah yang dapat dipercaya. Kedua, pemerintah mengeksplore pelaku-pelaku ekonomi yang melakulan tindakan fraud (kebohongan, kecurangan, pengrusakan). Sebagaimana para aktivis Open Source yang senantiasa mempublish bug (kelemahan) dari program open source yang dibuatnya.

Saya yakin dan percaya kedua syarat di atas adalah juga diharapkan oleh setiap individu yang menginginkan kehidupan yang lebih baik dan berkualitas.

Adapun ciri utama masyarakat terbuka adalah mengedepankan informasi yang bisa diakses dimana saja bahkan dipolosok negeri ini sehingga terbentuk kesadaran akan adanya perbedaan dan pendangan yang sifatnya global. 

Aksesibilitas adalah satu kunci dan pengenalan dan pemanfaatan aset (sumber daya) diri dapat menggerus ptaktik feodalisme dan ketergantungan hang tinggi pada penguasa. Kita punya sumber daya pikiran untuk berpikir, ada sumber daya halaman yang bisa ditanami bibit sayur, kita memiliki aset keluarga dan teman yang bisa diajak bekerja bersama. Ingat bekerja bersama. Bukan menjadi mandor a la feodal.

https://www.alamyin.com/2020/06/era-digital-mindset-feodal.html?m=1

Open Society merujuk pada kebebasan mengakses hal-hal yang semestinya diketahui publik. Open Society adalah Mindset sekaligus tindakan. 



Open Society menyerupai Open Source. Dimana para programmer Developer dapat mengakses source code untuk membangun program atau aplikasi yang lebih baik. Open Source, kita sama-sama tahu adalah teknologi yang menyebabkan Nokia tumbang di pasar handphone (gadget), atau BB yang dikudeta oleh WA,  Karena mempertahankan rezim Close Source

Nah, apakah pemerintah tidak belajar dari itu semua yang jatuh karena tidak adaptaif dengan "Open Source". Yang masih kerap menyembunyikan praktik korup dibalik detail angka-angka akuntansi. Teknologi memungkinkan masyarakat makin transparan, tetapi sayangnya masih ada setan yang masih tetap menghalanginya. Korban lagi setan. 😁.

Makassar, 24 Juni 2020
Alam Yin

Esai ini ditulis dan disarikan dari pengalaman berinteraksi dengan pengelolah keuangan gakde-gakde atau kios-kios tetangga.

30/05/2020

Tausiah Aristoteles : Breaking The Habit

Tausiah Aristoteles :  Breaking The Habit
Syamsu Alam

Seberapa sulit kita mengubah habit? Bisakah hanya dengan anjuran, himbauan, atau cambukan?

Sejak massifnya penyebaran info Covid-19 yang mengguncang dunia pada awal tahun 2020. Ia seperti Shock Doctrin, secara psikologis menciptakan ketakutan dan panik. Dalam situasi demikian kita mungkin saja bertindak sporadis bahkan brutal.

Informasi yang lengkap dan memadai serta kematangan berpikir dapat membuat kita bertindak  secara rasional. Rasional dalam artian jelas landasannya tindakannya, cara atau prosedurnya, dan tujuannya. Selainnya adalah tindakan sporadis dan irasional.

Kini hadir istilah baru "New Normal" aka "Kebiasaan Baru".  Apa yang dimaksud normal? Apakah normal adalah kebiasaan yang lazim dan berlaku umum. Rutinitas atau apa? Dan siapa yang memiliki otoritas memberi makna normal dan new normal?


Zizek mengutip Hegel dalam buku Panic, Pandemic, yang mengatakan bahwa manusia pada umumnya tidak pandai belajar pada sejarah, dan karena itu mereka tidak akan lebih bijaksana pasca pandemi Corona.

Terlepas dari kontroversi dari rekomendasi akhir dari buku tersebut yang dapat memicu panik 🙂. Bahwa kehidupan pasca pandemi hanya ada dua, kemenangan komunisme atau barbarisme (Hasil diskusi Nyalakan Lilin di Zoom).

Individu Unggul

Kalaupun kehidupan 'New Normal' itu ada, menurut saya, hanya kesadaran Individu yang dapat menyukseskan implementasinya. Kesadaran individu yang menghargai kehidupan orang lain untuk hidup sehat. Kesadaran individu yang menghargai kebebasan orang lain. 

Selain kutub individu yang sadar, kesuksesan protokol 'new normal' bisa terwujud karena tekanan eksternal dari pihak otoritas. Entah oleh otoritas di rumah, di kantor, atau pemerintah. Persoalannya, bisakah pihak otoritas menegakkan protokol secara konsisten dan berkelanjutan. Mengingat institusi penegak aturan, kerap mereka sendiri yang meruntuhkannya. 

Titik temu antara diri dan institusi di luar diri ada pada konsensus atau kontrak. Sayangnya eksistensi kesadaran diri seringkali kalah atau banyak mengalah pada institusi 'government'. Apalagi kalau kita hanya orang biasa-biasa saja. 

Kesadaran individu yang sudah terkikis oleh tirani mayoritas. Serasional apapun argumentasi kita, kerap harus mengalah atau dipaksa mengalah oleh suara terbanyak. Dan jika kita tetap pada pendirian dan berani berhadapan yang mayoritas, kita dicap tidak normal.

Dampaknya lahir kebiasaan yang manut saja pada suara mayoritas, yang biasanya diwakili oleh otoritas lembaga publik. Syukur-syukur jika lembaga publiknya berkualitas, kalau tidak.

Dampak lebih jauh, kita akan seperti kerbau yang dicocok tali di hidungnya. Bahkan harus dicambuk agar patuh dan disiplin menjalankan tugas atau aturan. Lama kelamaan kita akan mengalami alienasi diri. Keterasingan dengan diri sendiri. Kenapa? Karena kita melakukan aktifitas bukan atas pilihan rasional kita.

Manusia yang berakal (rasional) semestinya bisa mengatur dirinya sekaligus menjaga kehidupan orang lain agar tetap sehat, nyaman dan lestari menjalani kehidupan. Kehadirannya tidak mengancam kehidupan yang lain. Bahkan "manusia unggul' ala "Insan Kamil" bisa menjadi rahmat bagi manusia sebagai individu pada individu yang lain.

Pada titik ekstrim, manusia (individu) yang rasional tidak terlalu membutuhkan pengaturan aka paksaan dari pihak lain (misal dari penguasa). Jika manusia tersebut memiliki kesadaran eksistensial diri yang mantap. Jika setiap kita menyadari pentingnya semacam protokol hidup yang menghargai kebebasan.

Sayangnya pendidikan pribadi unggul yang bebas-merdeka dan bertanggung jawab tidak terwadahi dengan baik dalam institusi pendidikan kita. Lembaga pendidikan kerap melestarikan 'Tirani Mayoritas" dan menganggap abnormal individu yang berani berpikir bebas.

Kisah Lama bersemi Kembali

Berikut ada e-book New Normal. Begitu siap lembaga ini membuat panduan 'new normal'. Mari kita baca dan pelajari baik-baik dan diterapkan, tanpa menunggu cambukan dari pihak lain.


The Survival of the fittest, yang kuat yang bertahan. Istilah kekiniannya Herd Immunity. Kita, pada umumnya menyebut sebagai "Hukum Rimba". Hukum Rimba umumnya diasosiasikan negatif. Bahwa di dalam hutan rimba terjadi hukum makan-memakan, bunuh-membunuh. Apakah bisa dikatakan itu barbarianisme atau hanya siklus makhluk hidup. 

Kuat dugaan berdasarkan data-data sejarah, menusia lebih agresif membunuhi manusia lainnya. Entah dengan cara perang, dengan cara meracuninya, atau mengkondisikan sistem yang memungkinkan manusia lain kelaparan, hingga kini dalam bentuk "perang ekonomi" dan boleh jadi "perang virus".

Hewan yang digerakkan oleh instingnya bisa mendeteksi bahaya dini bagi dirinya. Meskipun tidak semuanya memiliki sistem deteksi dini atas bahaya yang sama.

Selain sistem deteksi dini kemampuan beradaptasi dengan segala potensi yang dimiliki hewan memungkinkan mereka bisa tetap bertahan hingga kini. Misalnya Semut dengan berbagai jenisnya, dapat tetap eksis hingga kini. Sementara Dinosaurus kini hanya dipamerkan dalam museum dan film-film. Dinasaurus yang jumawa nan perkasa dikabarkan pernah hidup pada ratusan juta yang lalu. Wallahu a'lam.

Manusia dengan potensi Indera, Akal, insting, hati, dan imajinasi saya yakin bisa bertahan hidup menghadapi segala tantangan. Tentu hanya yang memiliki kemampuan adaptasi. Peluang bernasib seperti dinosaurus tetap ada. Semuanya bergantung pada kita (manusia), berani berubah, atau punah.

ATAUKAH mempercepat kepunahan dengan perilaku barbar. Tidak memedulikan pihak lain, sembari merasa diri yang paling hebat, paling jago, paling sehat, dll. Merasa paling superior adalah bibit-bibit barbarianisme. Mari deteksi diri masing-masing, seberapa potensial kita menjadi barbar, apakah lingkungan kita relatif aman dari perilaku barbar?

Di hutan belantara pun, dimana Singa adalah Raja hutan, memiliki habit yang tidak barbar. The Lion King, bukan hewan terbesar dan terkuat tetapi ia memiliki habit yang mengagumkan. Makanya disebut sebagai raja hutan.  Googling saja The Habit of Lion. Kita akan temukan, jika Singa hanya brutal saat lapar sekali, dan habit yang lain.

Sayangnya secara empiris manusia kadang brutal bukan saat dia kelaparan, namun saat mereka berhasrat menumpuk-numpuk "makanan" dan harta.

Apakah kita dapat begitu mudah beradaptasi dengan "kebiasaan baru"? Filosof empiris-rasional, Aristoteles memberikan tausiah "we are what we repeatedly do. Excellence, then is not an act, but a habit.

Alamyin, 26 Mei 2020

30/03/2020

KULIAH ONLINE DAN KITA YANG SEOLAH-OLAH

Syamsu Alam
(Pegiat di Praxis School)

Gara-gara Covid-19 hampir semua orang berubah, tata laksana kehidupannya. Dari model komunikasi sesama keluarga, teman, produksi, distribusi, dan menjual barang dan jasa.  

Dua minggu saya menyaksikan betapa ramai dan sibuknya orang-orang mempromosikan aplikasi atau perangkat lunak yang mereka gunakan untuk menunjukkan mungkin betapa 'canggihnya' mereka berkuliah. Betapa "mewahnya" aplikasi yang digunakan. Mulai dari yang gratis sampai yang berbayar. Saya membayangkan diri saya ketika pertama kali main blog (ngeblog), betapa girang dan bahagianya saya ketika berhasil menedit kode HTML dan CSS template blog, lalu muncul animasi dan running atau scroll text. Sangat wah rasanya, padahal itu hanya hasil kontekan script orang lain. Inilah kenyataan, dunia perayaan.

Kuliah daring (online) begitu ekslusif sebelum Covid-19 datang merusak tatanan kehidupan sosial kita. Ia mengoreksi tatanan sosial kita yang selama ini penuh kepalsuan. Doyan naik haji dan umrah dengan uang yang tak jelas asal usulnya, rajin ke masjid dan majelis ilmu tetapi perilakunya muhammadarrasulullah....  dst. Covid-19 jelas destruktif, tetapi pasti ada hikmah dibaliknya. Kuliah daring salah satunya memaksa bapak/ibu dosen yang gaptek atau yang sok tahu harus benar-benar paham menggunakannya.

Belajar online atau offline esensinya sama,  komunikasi. Online atau offline hanya media. Nah komunikasi apalagi mau kolaborasi, syaratnya dialog dua arah. Dialog bisa teks, bisa video. Chating di group WA, telegram, atau di Classroom sudah memadai, atau upload rekaman penjelasan lalu direspon oleh mahasiswa. Sederhana, namun jika ada interaksi itu sudah powerful sebagai belajar. Tak perlu memaksakan diri video conference, apalagi membanggakannya. Santuy saja.

Menurut UNESCO terdapat empat pilar belajar yaitu : “Learning to know” belajar untuk mengetahui.
Learning to do” belajar untuk aktif. Maksudnya kegiatan belajar harus dilakukan secara sadar, terus menerus, dan aktif sehingga terjadi perubahan diri yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. “Learning to be” belajar untuk menjadi. Maksudnya proses belajar yang dilakukan peserta didik (siswa, mahasiswa) menghasilkan perubahan perilaku individu atau masyarakat terdidik yang mandiri.
Learning to live together” belajar untuk bersama-sama.

Gagne pun mengemukakan  belajar sebagai “suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya akibat suatu pengalaman”. Dalam regulasi kurikulum kita jelas menyebutkan tiga kompetensi dasar, Pengetahuan, Keterampilan, dan Sikap.

Kira-kira apaka mereka yang memamerkan penggunaan Zoom, Teamlink, Duo dan platform video conference lainnya bisa menjamin proses belajar dan hakekat belajar seperti di atas dapat tercipta dan tercapai? Saya barangkali pengguna internet yang biasa-biasa saja yang enggan "memaksakan" mahasiswa menggunakan platform tertentu saja. 

Apalagi aplikasi yang menguras kuota mahasiswa, yang sehari-hari di kelas offline saya sudah tahu buat pre test di classroom atau Socrative saja mereka belum bisa mengakses internet secara merata. Alias akses internet adalah masalah mendasar negara dunia ketiga. Tapi, Indonesia sudah di coret yaah... Kasihan.

KISS - KEEP IT SIMPLE, SILLY.

Jauh sebelum hingar-bingar kuliah daring saya dan beberapa teman telah menerapkannya secara terbatas. Hanya karena persoalan negara ketiga di atas, tidak bisa dilaksanakan secara full. Pada mata kuliah ICT4D (ICT for Development) for self and society. Saya berpikir sederhana saja, memasukkan mereka dalam satu drive, didalamnya mereka bisa mengedit, membuat folder sendiri, mengupload tugas, saling belajar, merevisi hasil pekerjaannya, sembari bisa melihat pekerjaan mahasiswa yang lain.  Bagaimana mereka memanfaatkan fasilitas draw.io, mind map, sampai membuat algoritma aktifitasnya. Hasil pekerjaannya saya komentari dan mereka merivisi lagi hingga sampai pertemuan terakhir lahirlah tugas terbaiknya. Mata kuliah Ekonomi Politik, dan Kewirausahaan juga demikian.

Nyaris tidak pernah video call atau video conference, kenapa? Saya sudah mengetahui tidak semua mahasiswa ada alokasi dana untuk beban kuota. Saya bertanya terlebih dahulu apakah memungkinkah kita Video conference. Sekali lagi nasib negara berkembang.

MENGHADAPI MALAPETAKA

Covid-19 mewabah yang memaksa semua dosen harus melaksanakan kuliah daring. Bahkan kampus tertentu menyebutkan secara spesifik platform yang digunakan (seperti LMS, SPADA) sayang platform itu tidak andal mengkover kebutuhan belajar online. Itu sudah persoalan. Persoalan lain adalah tidak semua guru atau dosen siap dengan full daring, akibatnya apa? Sudah bisa ditebak, malapetaka Proses Belajar Mengajar. 

Ada dosen yang hanya memberikan tugas, ada dosen yang semuanya review jurnal saja. Bahkan ada yang dengan bangga mengatakan saya absen video call di awal dan di akhir sesi perkuliahan. Lalu, kira-kira apa hasilnya? Adakah interaksi belajar? Tercapaikah hakekat belajar di atas. Hipotesis saya, kita (dosen) kadang lebih polisi daripada polisi di ruang kelas offline ataupun online daripada polisi itu sendiri. 

Kampus adalah benteng terakhir peradaban, kata ka" Alwi Rahman. Kalau didalamnya yang tercipta adalah relasi kuasa menguasai, mengontrol dan menjinakkan peserta didik. Sekadar menciptakan kepatuhan seperti dalam film pendek 2+2=5  maka pertanda peradaban akan runtuh. 

Dalam sebuah perADABan ada tatanan. Ada konsensus, konsesnsus kita di kampus adalah spirit SCIENTIFIC TEMPER. Spirit yang memuliakan pengetahuan. Semangat yang siap meninggalkan argumentasi, teori, jika ada argumentasi atau teori yang lebih sahih. Tidak usah "bergaya seolah-olah" dan merasa paling hebat, paling WAH platformnya, paling adaptif mengadopsi rev.industri 4.0. Padahal, masih gagap  mengoptimalkan Cloud Computing, membedakan Tacit dan explicit knowledge, memahami rantai nilai Data-Information-Knowledge-Wisdom belum optimal, maka setidaknya jangan membebani mahasiswa yang sifatnya hanya seremoni, apalagi kalau hanya menguras kuota tanpa tujuan dan target yang jelas. Kasihan, sebentar lagi kita akan 'Lockdown terbatas' mengisolasi diri, mereka bisa makin tertekan. 

Apalagi muncul lagi gagasan menteri baru, bukan gagasan baru, Merdeka Belajar. Hemat saya yang kita butuhkan di dalam PBM adalah merdeka dari rasa takut, takut error, takut diintimidasi, dst. Sesungguhnya kita lebih membutuhkan BELAJAR MERDEKA. Oiya, OK., ayoo... kuliah Darling. 😊

Alamyin. 25 Maret 2020 Jam 00:11

05/08/2019

“Hijrah” antara Rahmat untuk Semesta atau Berkah Bisnis Fashion


Syamsu Alam*)

Seberapa ‘kebeletnya’ kita ikutan arus ‘Hijrah Fest’ yang kini ramai dikemas dalam berbagai kegiatan. Mulai dari asosiasi artis ibukota, artis lokal, lembaga-lembaga pemerintahan hingga kelompok ibu-ibu arisan komplek. Apakah ini sebagai sinyal baik kebangkitan Islam atau sinyalemen pasar bahwa umat Islam adalah potensi ekonomi yang luar biasa, sekaligus potensi politik yang bisa membinasakan. Mari kita baca baik-baik sinyal-sinyal ini. 

Iqra (Bacalah) adalah pesan pamungkas Quran. Membaca sejarah, kisah dan hikmah dapat mencerahkan kita. Diantaranya tentang hijrah, mengapa Rasul Saw memilih hijrah ke negeri Habasyah yang Kristen sebagai tujuan hijrah pertama? Apa pesan penting hijrah Nabi ke Madinah? Dan apa kaitannya dengan massifnya fenomena hijrah satu dekade tarakhir.

Akhir-akhir ini, kata ‘hijrah' santer terdengar di berbagai kalangan, di media cetak dan elektronik. Berhijrah amat populer di kalangan urban muda-mudi, selebritis, eksekutif muda, hingga orang biasa, bahkan teman dekat dan saudara kita. Fenomena hijrah pun telah merangsek ke pelosok desa.

Fitur-fitur artifisial yang dapat disaksikan dari mereka yang memutuskan berhijrah biasanya ditandai dengan berubahnya penampilan, hijab syar’i. Sedangkan bagi laki-laki, umumnya ada gejala peningkatan ‘kaki celana’ dari di bawah mata kaki menjadi di atas mata kaki (cingkrang/tidak Isbal), atau berjubah. Mereka memelihara jenggot dan utama memanjangkannya. Fitur suara yang sering  terdengar, mereka akrab dengan kosakata arab:  antum, ana, ukhti, masya Allah, dll. 

Tak hanya itu, mereka yang merasa berhijrah lebih rajin mempelajari ilmu agama dari majelis pengajian hingga majelis group virtual (WAG) dan ‘youtube’. Pun, kerap membagikan ceramah dan meme konten islami yang diperolehnya dari jejaring media atau komunitasnya.

Fenomena di atas lumrah dan biasa saja, yang mengherankan, ketika mereka mulai ‘menghakimi’ orang lain dengan keyakinan barunya. Mereka bergairah tinggi mendakwahi orang lain. Bahkan, tak jarang kita menyaksikan, mereka mengisolasi diri dari ibadah dan kebiasaan masyarakat pada umumnya. Ungkapan yang meneguhkan bahwa ‘keyakinan terbarunyalah’ yang terbenar yang lain mengada-ada dan menyimpang (bid'ah) bahkan sesat adalah fitur ‘horor’ yang menyesakkan bagi kaum yang belum berhijrah. 

“Jasmerah” Hijrah

Sebelum hijrah, Rasul SAW mengamati kondisi dalam negeri dan negeri-negeri tetangga dengan cermat. Beliau memahami bahwa sumber masalah ada di Jazirah Arabia. Di mana dua kubu saling bertikai antara umat Muslim versus kaum kafir Quraisy yang hatinya sudah terbakar rasa benci, tanpa kompromi.

Sedangkan kondisi negeri-negeri tetangga saat tidak kondusif. Kerajaan Persia masih penyembah api abadi. Romawi yang memperbudak rakyatnya. Tentu kedua negeri tersebut bukan tujuan strategis untuk mempertahankan benih-benih keimanan keluarga dan sahabat.

Kerajaan Habasyah (Ethiopia), yang terletak di seberang lautan. Kondisi geografis ini dipandang begitu menguntungkan bagi umat Muslim yang berhijrah, karena lebih menjamin keselamatan mereka dari kejaran kaum Quraisy yang saat itu belum mahir menghadapi medan laut. Selain itu, Habasyah merupakan kerajaan yang masih menganut ajaran Nabi Isa AS. Raja selalu ditemani oleh para uskup yang tangan mereka tak lepas dari kitab suci Injil. Ia dikenal sebagai raja yang bijaksana, menjunjung tinggi keadilan dalam mengambil keputusan.

Ragib Al-Isfahani (w. 502 H/1108 M), pakar leksikografi Al-Qur’an berpendapat, istilah hijrah mengacu pada tiga pengertian. Pertama, meninggalkan negeri dimana penduduknya sangat tidak bersahabat menuju negeri yang aman dan damai. Kedua, meninggalkan syahwat, akhlak buruk dan dosa-dosa menuju kebaikan dan kemaslahatan (QS. al-Ankabut, 29:26). Ketiga, meninggalkan semua bentuk kemaksiatan, narsisme dan hedonisme menuju kesadaran kemanusiaan dengan cara mujahadah an nafs (mengontrol hawa nafsu) (Musda M, 2017)

Hijrah seutuhnya

Kini, banyak orang yang hijrah, meninggalkan dunianya yang selama ini digelutinya. Banyak artis berhenti jadi artis, musisi, pegawai bank dll, melakukan migrasi profesi, dengan alasan, profesinya mengandung syubhat (bercampurnya yang haq dan bathil). 

Atas hal di atas Quran dengan bijak mengingatkan. Janganlah kau berpindah dari alam ke alam karena kau akan seperti keledai pengilingan, di mana tujuan yang sedang ditempuhnya adalah titik mula ia berjalan. Tetapi berpindahlah dari alam kepada Penciptanya. Allah berfirman, ‘Hanya kepada Tuhanmu titik akhir tujuan,’ (Surat An-Najm: 42).”

Hijrah sebagai fenomena massif di negeri ini berdampak pada interaksi sosiobudaya kita.  Ada teman sebelum ’Hijrah’ asik ditemani ngobrol, setelah ’Hijrah’ mulai kurang asik, menjaga jarak dan akhirnya mengisolasi diri bersama kaum yang sudah ’Hijrah’ lebih awal. 

Dibalik fenomena ’Hijrah’ seolah-olah bangkit kekuatan ekonomi dan politik baru. Jejaring bisnis kaum ’Hijrah’ dengan label-label syar’i dan syariah. Gerakan politiknya pun dapat kita saksikan pada berbagai perhelatan politik di Nusantara ini. Cukup populer di media massa sejumlah tokoh-tokoh yang berfashion ‘Islami’. Orasi-orasi yang dilantunkan pun kearab-araban. Dari sini saya semakin yakin betapa hebatnya sebuah kata-kata bisa menggerakkan seseorang dan solidaritas identitas para kaum ‘hijrah’. Sekali lagi semoga ini pertanda baik, bukannya sinyalemen pasar yang justeru akan memperkokoh rezim eksploitasi pasar kaum ‘hijrah’.

Beberapa hikmah hijrah yang dilakukan Nabi Saw diantaranya, Pertama, fase revolusi diri, membangun pondasi ketauhidan. Fase ini berlangsung pada level individual dan kolektif. Kedua, setelah Hijrah ke Madinah, Nabi saw memperkenalkan ukhuwah Islamiyah (persaudaraan seiman), Ukhuwah Wathaniyah (persaudaraan sebangsa) dan Ukhuwah Basyariyah (persaudaraan sesama manusia). Ketiga, fase perjalanan menuju Ilahi. Fase peleburan nilai-nilai keegoan dengan nilai keilahian. Jangan sekalikali ada perasaan bangga dan merasa diri lebih beriman dari orang lain. Karena penilaian itu hak mutlak sang Khalik.

Kini, pintu hijrah terbuka lebar. Dalam konteks ini hijrah bermakna melakukan upaya-upaya transformasi diri dan masyarakat menuju kualitas yang lebih beradab bukan makin biadab pada sesama makhluk Tuhan yang boleh jadi tidak sepemahaman dengan keyakinan kita.

[][] *) Ketua Masika ICMI Orda Makassar)

21/07/2019

Kuliah (Sekolah), untuk apa?



Kuliah (Sekolah), untuk apa?[Syamsu Alam]



Sekarang musim pendaftaran kuliah tahun 2019. Hal ini bisa jadi berita gembira ataupun berita yang manyayat hati bagi calon dan keluarga calon mahasiswa. Gembira bagi yang lulus dan mampu membayar biaya kuliah. Derita bagi yang tak lulus SBMPTN atau Bidik Misi, dan jalan satu-satunya untuk kuliah, lewat jalur mandiri atau Perguruan Tinggi swasta. Itupun kalau ada koneksi dan koleksi harta untuk biaya kuliah jalur Mandiri. _Hmmmm, Mandiri.. tapi bukan Bank Mandiri yang hari ini down sistemnya_ 😂. Mandiri adalah salah satu jalur prestise masuk kampus Negeri. Prestise dengan bayar yang lebih aduhai.

Kini, masuk perguruan tinggi ibarat memilih dan memilah menu, sesuaikan dnegan isi otak atau isi kantong. Andiakan saat ini saya baru masuk kuliah, sudah dipastikan tidak akan mampu masuk lewat jalur Mandiri. Maka harus bersaing merebut "Golden Ticket" Bidik Misi agar bisa kuliah. Jalur Bidik Misi adalah harapan bagi kaum yang mumpuni kecerdasan akademik namun kurang beruntung dalam hal finansial. Negara memfasilitasinya lewat jalur ini. Semoga jalur ini tidak dimasuki siluman. Sebagaimana yang terjadi pada jalur Mandiri pada umumnya. 😁



Tahun 2005 silam, saat resmi berstatus Sarjana Sains Matematika. Saya membaca tulisan Bob Black, "Penghapusan Dunia Kerja". Bacaan tersebut yang menyebabkan saya mengurunkan niat ikutan wawancara di salah satu perusahaan raksasa di Makassar. Pada saat kuliah, saya tidak serius-serius amat, kecuali saat menjelang selesai, menjelang persentasi tugas akhir. Saya lulus dengan durasi hampir maksimal 6 tahun 8 bulan. IPK tiga koma sembilan.................

belas. Alhamdulillah. "Baru ka santai-santai kuliah IPKku sudah setinggi itu" Apalagi kalau serius. 😁 Sahutku pada teman2 di bawah beton jamur Matematika UNM. Tempat ngobrol dan bernanung dari penatnya belajar matematika.

Kemarin Lembaga Studi Al Muntazar bekerjasama dengan salah satu Himpunan Mahasiswa di UIN Alauddin Makassar menggelar diskusi tentang Kerja dan Rev. Industri 4.0. Mengingatkanku lagi pada tulisan Bob Black. Pada Diskusi tersebut, saya memulai pembicaraan dengan mengutip sana-sini uraian Bob Black tentang "Penghapusan Dunia Kerja" dan mengaitkannya dengan kondisi kekinian.  Awalnya kukira peserta diskusi akan resisten, ternyata sebagai besar mengamini analisa Bob.

Pada diskusi itu, saya mengambil kasus-kasus yang saya dan teman-teman alami di dunia kerja. Apapun profesi pekerjaannya, yang sok santai (pelapak online) atau pun pekerja kantoran yang sebenarnya bekerja bukan 8 jam perhari atau minimal 35 jam perminggu. Tetapi 24 jam perhari selama seminggu. Sesekali menertawai diri sendiri "sebagai pengamen hasil bacaan dan pelajaran" di salah satu kampus negeri di Makassar.

Dalam diskusi tersebut, saya kemukakan bahwa, akhir-akhir ini kerja telah mengalami reduksi yang sangat dalam. Orang tidak akan dikatakan kerja kalau tidak berkantor, dengan jam kerja paten 08.00-17.00. Paling mutakhir tidak dikatakan kerja kalau bukan PNS. Maka wajar antrian pendaftaran CPNS akan melimpah.

Tapi pada prinsipnya kerja yang kita pahami selama ini adalah yang ada kantor (ataupun yang online berkantornya cukup bayar kopi di warkop atau cafe),  ada jam kerja, ada bos, ada _jobdesk_, ada target, dst. Prinsip inilah menurut Bob Black yang melanggengkan sistem kerja penindasan kapitalisme a la _fasisme pabrik_. Yang mana setiap orang yang terlibat di dalamnya mengalami dehumanisasi, alieansi diri dan ketertindasan.

Terdehumanisasi karena kita dipaksa diam atau terpaksa diam atas keburukan-keburukan yang terjadi dalam lingkungan kerja. Kita ketahui ada penyelewengan, ada korupsi, ada kebiadaban tetapi apa daya kita memperbaikinya dan mengubahnya. Melawan secara frontal akan memberikan implikasi panjang pada nasib kita.

Nah, kita yang terlanjur larut dan terdehumanisasi dalam dunia kerja. Tanpa berani mempertanyakan apa sebenarnya kerja? Untuk apa dan siapa, tujuannya apa?  Akan diam-diam saja dan merasa semua hal berjalan normal-normal saja. Padahal jika dicermati dengan seksama kerja dan institusinya telah banyak merusak relasi-relasi kemanusiaan kita.

Nilai kemanusiaan yang paling mendasar adalah Kebebasan. Dan dalam dunia kerja tiada lagi kebebasan. Catat, tiada lagi kebebasan. Sejak menandatangani kontrak kerja, maka pada saat itu kita menggadaikan kebebasan kita. Hal paling mungkin kita lakukan adalah mencuri kembali sedikit demi sedikit kebebasan itu yang telah dirampas oleh dunia kerja.

Berapa jam kita bekerja /hari?  8 jam, tidak. Sebenarnya 24 jam per hari.

Seorang bapak yang bekerja bukan hanya dia yang akan terlibat dalam dunia kerja. Istrinya akan menyetrika bajunya, memasak masakan bergizi agar berstamina prima. Pun, istirahat kita di siang hari dan malam hari adalah rangkaian dunia kerja. Agar esok hari, bisa fit and fresh lagi masuk kerja. Demikian seterunsya dan seterusnya berputar. Berlibur pun adalah rangkaian dari merefresh ketegangan kerja. Semua adalah rangkaian dunia kerja.

Lalu buat apa kita Sekolah, Kuliah? Apakah hanya sekadar memperpanjang barisan perbudakan dunia kerja? Atau sesekali menginterupsinya. Interupsi dengan event-event budaya, diskusi, meditasi, atau lainnya.

Sekolah sebenarnya adalah bahan kayu bakar dari "fasisme pabrik". Apalagi sekolah atau kampus yang tujuan tunggalnya sekadar untuk menciptakan 'Worker' bukannya 'Human'. Institusi sekolah lah yang mengajarkan disiplin dan kadang menkondisikan ketaatan total tanpa interupsi pada suatu aturan. Jika sekolah atau kampus sudah demikian, maka tak ada bedanya dengan penjara. Dan para pengelola kampus adalah sipir.

Karena untuk merealisasikan tawaran Bob Black yang begitu radikal butuh perjuangan dan nafas yang panjang.

Saya justru melihat tawaran Bob, dapat ditelusuri pada jejak-jejak kehidupan kaum sufi. Dimana bekerja dan pekerjaan adalah aktifitas ibadah, bekerja dilakukan dengan riang gembira, bukan karena paksaan dan intimidasi. Kerja yang bermartabat adakah kerja yang dilakukan dengan riang gembira ibarat dunia permainan yang didalamnya ada konsensus yang sifatnya sukarela. Dimana, apabila ada teman bermain yang "curang" atau menyalahi konsensus bersama bisa kita tegur ramai-ramai dengan santai dan tanpa dendam.

Singkat cerita....

Pada sesi penutup diskusi saya bertanya pada audience. Yang bekerja ataupun yang berniat bekerja, Anda sebenarnya mencari apa dipekerjaan, uang atau rejeki? Kekayaan atau kesejahteraan?





Syamsu Alam, Pegiat di Praxis School