10/10/2020

MELAWAN KORUPSI KEBIJAKAN

Syamsu Alam*)
Sekadar mengingatkan saja.  Korupsi kebijakan lebh berbahaya dari korupsi uang. Kita kadang lupa pada sesuatu yang pernah kita lalui. Atau bisa juga pura-pura lupa. Caleg, Capres dan Calon Kepala Daerah yang membeli kita dengan sangat murah
Sejak politik sudah jadi komoditas. Sejumlah bisnis yang berkaitan dengannya tumbuh subur. Dari bisnis makeover foto caleg, sampai transaksi pencitraan oleh lembaga survei.

Bukan rahasia lagi. Bagaimana lembaga survei atau tim sukses menawarkan berbagai layanan jasa untuk memenangkan kliennya. Ini bisnis bro. Ini mekanisme pasar. 

Sudah jamak dalam pikiran kita bahwa 1 produk (kepala anggota DPRD) bisa dihargai 3-5 Miliar bahkan lebih tergantung supply-demand,  jika ada yang ingin membelinya atau ditukarkan dengan tiket untuk kontestasi di Pilkada.

Kata MAHAR begitu mulia disematkan pada transaksi demikian. Transaksi yang memicu jamaknya praktik kotor para petinggi partai. Jadi sudahilah para pengamat menggunakan kata tersebut.  Jika ditelusuri aliran dana hasil jual-beli 1 kepala (kursi) anggota dewan dapat dilavk distribusinya pada petinggi partai di pusat dan daerah. 

Praktik dagang dalam politik sekali lagi sudah jamak diketahui publik. Tapi apa yang bisa kita lakukan? Pada setiap pemilihan kejadiannya berulang lagi. 1 suara 20rb, 50rb, ratusan ribu sampai jutaan. Di TPS pemilihan ulang bisa sampi 3-5 jutaan per suara. 

Hasil riset Muhtadi sudah mengungkap dengan gamblang besaran suara per kepala. 

Karena para anggota dewan (Kab/Kota, Provinsi sampai Pusat) bisa dikatakan berperilaku sama, sama-sama membeli suara, maka menjadi wajar kalau mereka berbuat semaunya. Mereka sudah membeli para pemilih. Maaf barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan lagi. 

Hasilnya, mereka akan menjadikan kebijakan sebagai senjata untuk meraup laba yang lebih besar dari modal yang mereka keluarkan. Ataukah menjual kebijakan (regulasi) sekali lagi untuk meraup profit. 

Lalu apa yang bisa kita lakukan setelah sekian banyak kebijakan ketahuan hanya untuk mengokohkan pilar-pilar bisnis mereka? Apakah dengan begitu lalu kita membenci para pebisnis? Membenci pemodal? Merusak fasilitas umum, yang bisa jadi lahan pengadaan korupsi baru. 

Sependek pengetahuan saya tujuan bisnis itu mulia. Menyediakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.  Kapan menjadi tidak baik? Jawabannya bisa beragam. Tapi semua bisa menjadi buruk karena keserakahan. Monopoli adalah ptaktik jahat dalam bisnis bahkan dalam Islam adalah haram, apalagi kalau niatnya untuk menciptakan ketergantungan dan kontrol penuh kebutuhan masyarakat.

Itulah mengapa di negara tertentu sangat peduli pada praktik MONOPOLI. Di AS misalnya setiap pengusaha hanya bisa memiliki usaha maksimal 3 (mohon dikoreksi kalau saya salah 'ingat') di Indonesia tanpa batas. Di Iran lebih tegas lagi, memberikan hukuman mati pada penjahat ekonomi (kasus hukuman mati pada penimbun emas), dan berbagai praktik tegas. China sangat tegas dan keras pada koruptor. Sayangnya kita hanya suka pinjam pada China tetapi tidak meminjam ketegasannya pada para perusak kedaulatan ekonomi.

Sebagaimana dilaporkan kantor berita resmi IRNA dikutip Xinhua, Vahid Mazlumin, yang dikenal sebagai "sultan koin," dan komplotannya Mohammad Ismail Qasemi, dinyatakan bersalah atas kejahatan ekonomi dan divonis hukuman mati oleh pengadilan Iran pada bulan Agustus 2018.

Pertanyaannya, kuatkan pikiran kita menjaga ingatan sampai kontestasi produk hasil polesan tim sukses pada pameran produk berikutnya. Pilkada, Pemilu dan sejenisnya adalah pameran produk. 

Kedepan jika hendak berubah bisa menempuh cara-cara radikal sampai yang gradual. 1). Bubarkan partai politik, mengingat ia adalah sarang siklus underground economy yang sangat merusak. Siapa yang bisa membubarkan partai? Kita semua warga. Bagaimana caranya? Jangan mau dibeli. 2). Mengembalikan memilih sebagai kewajiban dengan syarat menyediakan Kotak atau RUANG GOLPUT DI BILIK SUARA lengkap dengan alasan golput. 3). Bubarkan lembaga-lembaga pencitraan yang merusak cita rasa berdemokrasi yang hakiki. 

Terakhir ke-4). Belum memikirkan ide-ide yang lain...belum ada ide yang bisa memperbaiki keadaan selain anjuran moral..... Seperti Sustainable Mindset. Para pejabat dari pusat sampai daerah hanya sibuk memikirkan periodenya, sibuk membangun monumen dirinya. 

Contoh sederhana di Sulawesi Selatan. Gubernur, Amin Syam membangun GOR Sudiang (tidak tuntas). SYL membangun GOR di Barombong (tidak tuntas). Gubernur sekarang NA entah GOR manalagi... 

Ini hanya satu contoh kasus empirik. Dan berapa banyak uang yang digelontorkan untuk proyek itu. Itu baru satu item paket. 

Pada level pusat mainnya pasti lebih gila. Kata mengutip temannya yang pejabat, "kalau hanya korupsi uang itu biasa, lihat kami korupsi kebijakan". Sembari memperbaiki leher bajunya dan menaikkan alis kirinya. Pilih ka lagi cess...
Saya akhiri cuap-cuap ini dengan mengutip Mark Twain penulis Amerika: "Ketika si kaya memeras si miskin itu bisnis; ketika si miskin melawan, katanya itu kejahatan". 
Salam, jumat sore hujan rintik-rintik.
Alamyin. Makassar 9 okt. 2020.

1 comments:

abnierrus said...

Setuju sekalika kanda, cuma hal mustahil bisa menghapus partai politik, apalagi secara historis partai politik lahir hampir bersamaan dengan negara ini, apalagi jargon negara demokrasi adalah adanya partai politik