Read, Write, and Do Something

No Teaching without learning

Menulislah agar abadi

---

Listen, free economic make better

31/05/2020

Perdagangan Bebas yang "Genuine"

Perdagangan Bebas yang "Genuine"
Syamsu Alam *)

Iran dan Venezuela kembali menunjukkan eksistensinya sebagai negara yang merdeka. Kedua negara tersebut kembali mengingatkan kita pada sosok Noam Chomsky yang menggambarkan dunia secara menohok dalam Pirates and Emperor's: International Terrorism in the Real World (1986). Siapa sebenarnya bajak laut? Siapa yang mengancam kebebasan?

World Index Economic Freedom 2020 merilis ranking Iran dan Venezuela pada klaster merah (Opressed) dengan poin masing-masing Iran di posisi 164 dan venezuela 179 kedua terbawah, sebelum Korea Utara. Tapi tindakan kedua negera tersebut akhir-akhir ini justru memberikan makna 'kebebasan' sesungguhnya.


Perdagangan Bebas tidak mungkin terwujud sepanjang ada lembaga-lembaga lintas pemerintahan seperti berikut:

World Trade Organization (WTO), The Trans Pacific Partnership (TPP),  the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), the General Agreement on Trade in Services (GATS), the Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) or more regional agreements like the North American Free Trade Agreement (NAFTA) or the European Economic Area (EEA). ASEAN, dan lain-lain.

Alih-alih mewujudkan Free Trade (Perdagangan Bebas). Lembaga-lembaga di atas justru hanya menjadi konsolidasi monopoli. Perdagangan bebas yang sebenarnya itu seperti kebebasan mengemukakan pendapat, dan kita bertanggung jawab atas pendapat kita. Sesimpel itu kata Murray Rothbar. Tidak perlu terlalu banyak lembaga dan aturan, bahkan termasuk kontrak yang rumit. Cukup bersepakat antara pembeli dan penjual melakukan pertukaran barang dan jasa, selesai.

Sepanjang sejarah manusia, peperangan terjadi karena adanya perebutan medan monopoli. Maka tak jarang negara-negara membentuk persekongkolan atau konsolidasi monopoli untuk melawan upaya monopoli lainnya. Contoh yang paling mutakhir adalah perebutan dominasi global antara AS vs China. Jauh sebelumnya mereka sudah berseteru dalam dua lembaga monopoli TPP vs RCEP.

Meskipun awal terbentuknya TPP adalah kesepakatan antar empat negara (Brunei, New-Zealand, Singapore, and Chile.) Untuk melawan pengaruh perdagangan beberapa negara tetangga khususnya China. Lalu kemudian US bergabung dan mengajak beberapa negara (Australia, Malaysia, Peru, Vietnam, Canada, Mexico, and Japan).

Adapun Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) adalah perjanjian perdagangan bebas yang melibatkan sepuluh negara anggota perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara. ASEAN (Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Thailand, Vietnam, dan lima negara mitranya  (Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru). Pada November 2019, India negara mitra keenam, memutuskan keluar.

Sekadar informaai tambahan TPP didominasi oleh AS dan RCEP didominasi oleh China.

Jadi sekali lagi, alih-alih menciptakan Perdaganhan Bebas yang menyenangkan sebagaimana menyenangkannya kita membeli Jalangkote. Mereka justru menciptakan koalisi mesin pembunuh. Trade War, Financial War, Psy War, mungkin juga Virus War.

(Ulasan di atas sering saya kemukakan dalam Mata Kuliah Ekonomi Internasional, di Prodi Ekomomi Pembangunan FE UNM).

Ungkapan yang sepertinya relevan dengan "Pemberontakan" Iran dan Venezuale terhadap sanksi ekonomi yang dikenakan kepada kedua negara tersebut. Kenapa AS seenaknya memberikan sanksi kepada negara lain? 

Padahal sebelum ada organisasi perdagangan Internasional GATT (1947-1994). WTO resmi berdiri 1 Januari 1995. Negara-negara berdagang dengan bebas berdasarkan kontrak yang disepakti dan dipatuhi bersama. Ada yang mencoba monopoli, ada juga.

Mungkin, sebaiknya WTO dibubarkan saja. Toh, dia lebih banyak melestarikan monopoli negara-negara berpengaruh di lembaga ini. WTO adalah sejenis pemerintahan global yang justru menghambat 'perdagangan bebas'. Jadi kalau ada yang bilang WTO adalah instrumen pasar bebas itu omong kosong 😁.

Semakin banyak aturan (governmentality) semakin berpotensi pemerintahan atau lembaga lintas pemerintajan korup. Sama juga di WTO dan lembaga internasional lainnya yang sudah dibeli oleh "Paman Monopoli". Paman Sam yang selalu mau top memonopoli segala hal.

Pemberontakan atau lebih tepatnya upaya mengebalilan ruh perdagangan yang bebas adil (Iran dan Venezuela) tersebut sejatinya menginspirasi kita semua (khususnya para akademisi) untuk memberontak pula pada referensi-referensi ekonomi mainstream yang selama ini dijadikan rujukan utama dalam pembelajaran ekonomi (khususnya) dan mungoin juga pada bidang studi yang lain.

Hatta termasuk berupaya membebaskan jarangan otak kita dari dominasi-dominasi pengukuran (indeks) yang begitu banyak. Yang kerap kita terima sebagai sebuah "doktrin" daripada memosisikannya sebagai sekadar pengatahuan saja. Atau lebih rendah sekadar data atau informasi saja. 

Coba kita perhatikan publikasi World Index Economic Freedom 2020. Dimana Iran di posisi 164 dan venezuela 179 kedua terbawah. Kedua negara ini ada pada zona merah (Repressed). Btw, apapun indikator yang digunakan oleh lembag heritage ini sangat tidak bisa mencerminkan kebebasan ekonomi.


Apalagi kalau kita merujuk pada ungkapan Murray Rothbar di atas. Berdagang sebagai salah satu aktifitas ekonomi, semestinya tidak menggunakan kontrak yang rumit. Berdagang itu sederhana, hanya pertukaran barang dan jasa. Para intervensionislah yang memberikan sejumlah indikator yang ribet. Termasuk penggunaan indikator GDP (PDB/ produk Domestik Bruto) yang sudah banyak dikritik karena tidak mencerminkan kesejahteraan sesungguhnya suatu negara.

Jadi kalau tujuan bernegara mewujudkan kesejahteraan warga negara, lalu mengapa harus repot-repot ikut pada aturan atau lembaga-lembaga di atas yang justru menjadi sumber pemicu perang. Bebaskan saja negara memilih, mau berdagang dengan siapa pun.

Mengakhiri tulisan sederhana ini saya akhiri dengan mengutip Vilfredo Federico Damaso Pareto, merupakan ahli ekonomi, insinyur, ahli sosiologi, pengamat politik, sekaligus seorang filsuf kebangsaan Italia.

Vilfredo Pareto stated in the article “Traités de commerce of the Nouveau Dictionnaire d’Economie Politique” (1901):

If we accept free trade, treaties of commerce have no reason to exist as a goal. There is no need to have them since what they are meant to fix does not exist anymore, each nation letting come and go freely any commodity at its borders. This was the doctrine of J.B. Say and of all the French economic school until Michel Chevalier. It is the exact model Léon Say recently adopted. It was also the doctrine of the English economic school until Cobden. Cobden, by taking the responsibility of the 1860 treaty between France and England, moved closer to the revival of the odious policy of the treaties of reciprocity, and came close to forgetting the doctrine of political economy for which he had been, in the first part of his life, the intransigent advocate.


*) Pegiat Praxis School. Pengajar di FE UNM. Ketua Masika ICMI Kota Makassar 2018-2022.
Makassar, 31 Mei 2020

30/05/2020

Tausiah Aristoteles : Breaking The Habit

Tausiah Aristoteles :  Breaking The Habit
Syamsu Alam

Seberapa sulit kita mengubah habit? Bisakah hanya dengan anjuran, himbauan, atau cambukan?

Sejak massifnya penyebaran info Covid-19 yang mengguncang dunia pada awal tahun 2020. Ia seperti Shock Doctrin, secara psikologis menciptakan ketakutan dan panik. Dalam situasi demikian kita mungkin saja bertindak sporadis bahkan brutal.

Informasi yang lengkap dan memadai serta kematangan berpikir dapat membuat kita bertindak  secara rasional. Rasional dalam artian jelas landasannya tindakannya, cara atau prosedurnya, dan tujuannya. Selainnya adalah tindakan sporadis dan irasional.

Kini hadir istilah baru "New Normal" aka "Kebiasaan Baru".  Apa yang dimaksud normal? Apakah normal adalah kebiasaan yang lazim dan berlaku umum. Rutinitas atau apa? Dan siapa yang memiliki otoritas memberi makna normal dan new normal?


Zizek mengutip Hegel dalam buku Panic, Pandemic, yang mengatakan bahwa manusia pada umumnya tidak pandai belajar pada sejarah, dan karena itu mereka tidak akan lebih bijaksana pasca pandemi Corona.

Terlepas dari kontroversi dari rekomendasi akhir dari buku tersebut yang dapat memicu panik 🙂. Bahwa kehidupan pasca pandemi hanya ada dua, kemenangan komunisme atau barbarisme (Hasil diskusi Nyalakan Lilin di Zoom).

Individu Unggul

Kalaupun kehidupan 'New Normal' itu ada, menurut saya, hanya kesadaran Individu yang dapat menyukseskan implementasinya. Kesadaran individu yang menghargai kehidupan orang lain untuk hidup sehat. Kesadaran individu yang menghargai kebebasan orang lain. 

Selain kutub individu yang sadar, kesuksesan protokol 'new normal' bisa terwujud karena tekanan eksternal dari pihak otoritas. Entah oleh otoritas di rumah, di kantor, atau pemerintah. Persoalannya, bisakah pihak otoritas menegakkan protokol secara konsisten dan berkelanjutan. Mengingat institusi penegak aturan, kerap mereka sendiri yang meruntuhkannya. 

Titik temu antara diri dan institusi di luar diri ada pada konsensus atau kontrak. Sayangnya eksistensi kesadaran diri seringkali kalah atau banyak mengalah pada institusi 'government'. Apalagi kalau kita hanya orang biasa-biasa saja. 

Kesadaran individu yang sudah terkikis oleh tirani mayoritas. Serasional apapun argumentasi kita, kerap harus mengalah atau dipaksa mengalah oleh suara terbanyak. Dan jika kita tetap pada pendirian dan berani berhadapan yang mayoritas, kita dicap tidak normal.

Dampaknya lahir kebiasaan yang manut saja pada suara mayoritas, yang biasanya diwakili oleh otoritas lembaga publik. Syukur-syukur jika lembaga publiknya berkualitas, kalau tidak.

Dampak lebih jauh, kita akan seperti kerbau yang dicocok tali di hidungnya. Bahkan harus dicambuk agar patuh dan disiplin menjalankan tugas atau aturan. Lama kelamaan kita akan mengalami alienasi diri. Keterasingan dengan diri sendiri. Kenapa? Karena kita melakukan aktifitas bukan atas pilihan rasional kita.

Manusia yang berakal (rasional) semestinya bisa mengatur dirinya sekaligus menjaga kehidupan orang lain agar tetap sehat, nyaman dan lestari menjalani kehidupan. Kehadirannya tidak mengancam kehidupan yang lain. Bahkan "manusia unggul' ala "Insan Kamil" bisa menjadi rahmat bagi manusia sebagai individu pada individu yang lain.

Pada titik ekstrim, manusia (individu) yang rasional tidak terlalu membutuhkan pengaturan aka paksaan dari pihak lain (misal dari penguasa). Jika manusia tersebut memiliki kesadaran eksistensial diri yang mantap. Jika setiap kita menyadari pentingnya semacam protokol hidup yang menghargai kebebasan.

Sayangnya pendidikan pribadi unggul yang bebas-merdeka dan bertanggung jawab tidak terwadahi dengan baik dalam institusi pendidikan kita. Lembaga pendidikan kerap melestarikan 'Tirani Mayoritas" dan menganggap abnormal individu yang berani berpikir bebas.

Kisah Lama bersemi Kembali

Berikut ada e-book New Normal. Begitu siap lembaga ini membuat panduan 'new normal'. Mari kita baca dan pelajari baik-baik dan diterapkan, tanpa menunggu cambukan dari pihak lain.


The Survival of the fittest, yang kuat yang bertahan. Istilah kekiniannya Herd Immunity. Kita, pada umumnya menyebut sebagai "Hukum Rimba". Hukum Rimba umumnya diasosiasikan negatif. Bahwa di dalam hutan rimba terjadi hukum makan-memakan, bunuh-membunuh. Apakah bisa dikatakan itu barbarianisme atau hanya siklus makhluk hidup. 

Kuat dugaan berdasarkan data-data sejarah, menusia lebih agresif membunuhi manusia lainnya. Entah dengan cara perang, dengan cara meracuninya, atau mengkondisikan sistem yang memungkinkan manusia lain kelaparan, hingga kini dalam bentuk "perang ekonomi" dan boleh jadi "perang virus".

Hewan yang digerakkan oleh instingnya bisa mendeteksi bahaya dini bagi dirinya. Meskipun tidak semuanya memiliki sistem deteksi dini atas bahaya yang sama.

Selain sistem deteksi dini kemampuan beradaptasi dengan segala potensi yang dimiliki hewan memungkinkan mereka bisa tetap bertahan hingga kini. Misalnya Semut dengan berbagai jenisnya, dapat tetap eksis hingga kini. Sementara Dinosaurus kini hanya dipamerkan dalam museum dan film-film. Dinasaurus yang jumawa nan perkasa dikabarkan pernah hidup pada ratusan juta yang lalu. Wallahu a'lam.

Manusia dengan potensi Indera, Akal, insting, hati, dan imajinasi saya yakin bisa bertahan hidup menghadapi segala tantangan. Tentu hanya yang memiliki kemampuan adaptasi. Peluang bernasib seperti dinosaurus tetap ada. Semuanya bergantung pada kita (manusia), berani berubah, atau punah.

ATAUKAH mempercepat kepunahan dengan perilaku barbar. Tidak memedulikan pihak lain, sembari merasa diri yang paling hebat, paling jago, paling sehat, dll. Merasa paling superior adalah bibit-bibit barbarianisme. Mari deteksi diri masing-masing, seberapa potensial kita menjadi barbar, apakah lingkungan kita relatif aman dari perilaku barbar?

Di hutan belantara pun, dimana Singa adalah Raja hutan, memiliki habit yang tidak barbar. The Lion King, bukan hewan terbesar dan terkuat tetapi ia memiliki habit yang mengagumkan. Makanya disebut sebagai raja hutan.  Googling saja The Habit of Lion. Kita akan temukan, jika Singa hanya brutal saat lapar sekali, dan habit yang lain.

Sayangnya secara empiris manusia kadang brutal bukan saat dia kelaparan, namun saat mereka berhasrat menumpuk-numpuk "makanan" dan harta.

Apakah kita dapat begitu mudah beradaptasi dengan "kebiasaan baru"? Filosof empiris-rasional, Aristoteles memberikan tausiah "we are what we repeatedly do. Excellence, then is not an act, but a habit.

Alamyin, 26 Mei 2020

15/04/2020

Dengarlah Begawan Ekonomi

Dengarlah Begawan Ekonomi
13 April 2020 di Media Indonesia

DALAM penerbangan pulang dengan Swissair Flight 128 ke Washington, seusai pertemuan internasional para bankir di Swiss, Chairman the Fed Alan Greenspan dihampiri Bob Agnew, kepala keamanan yang mengawalnya selama melawat ke luar negeri. Kata Agnew, pilot ingin bicara dengan Mr. Chairman di kokpit. Dua pesawat terbang menabrak World Trade Center. Wajah Alan tampak aneh. “Saya tidak bercanda,” kata sang pengawal.


Di kokpit dengan nervous pilot menyampaikan berita buruk bahwa sejumlah pesawat dibajak. Dua pesawat terbang menabrak gedung World Trade Center. Satu lagi ke Pentagon. Pesawat lainnya hilang. Hanya itu informasi yang dimiliki pilot. “Sekarang pesawat kembali ke Zurich,” ujar pilot, tapi dia tidak mengumumkan alasannya kepada penumpang lainnya.

Alan menawarkan untuk mendarat di Kanada. Pilot bilang dia diperintahkan kembali ke Zurich. Di kepala Alan, Chairman Bank Sentral AS, terbayang kemungkinan terburuk robohnya sistem keuangan. The Federal Reserve menangani sistem pembayaran elektronik lebih US$4 triliun sehari berupa uang dan surat-surat berharga untuk seluruh AS dan juga dunia.

Alan menghubungi Andy Card, Kepala Staf Gedung Putih, minta angkutan membawanya balik ke AS. Alan dijemput pesawat tanker United States Air Force KC-10, satu-satunya pesawat yang mungkin masih tersedia.

Semua itu terjadi pada 11 September 2001 (kemudian dikenal sebagai Serangan 9/11). Cuplikan cerita itu hanya lah sebuah episode untuk melukiskan betapa sangat pentingnya kehadiran seorang gubernur bank sentral di dalam menghadapi krisis.

Alan ialah ekonom yang sekalipun sampai dua kali membaca buku The General Theory of Employment, Interest and Money, karya cemerlang John Maynard Keynes, dia tetap tidak tertarik pada Keynes. Dia mengagumi dua ekonom, Adam Smith, yang katanya paling dalam memengaruhinya secara intelektual, dan Joseph Schumpeter yang konsep destruksi kreatifnya berperan dalam perubahan teknologi di sebuah masyarakat kapitalis modern.

Dia juga dipengaruhi John Locke, filsuf moral Inggris. Di tengah amat sibuk sekalipun, Alan setiap hari menyempatkan diri untuk tenang belajar dan berefleksi.

Dengan bekerja di rumah, tergambarlah dampak ekonomi akibat pandemi korona yang dapat membawa kita ke dalam krisis terberat. Penulis tergerak membaca buku autobiografi Alan Greenspan, yang lama tersimpan di rak buku. Berjudul The Age of Turbulence, buku itu terbit 13 tahun lalu (2007). Isinya mengesankan, antara lain, tak hanya sekali dalam riwayat hidup Alan, Kepala Staf Gedung Putih sampai perlu mengirim pesawat khusus untuk menjemputnya.

The Fed ialah lembaga independen. Pandangan Alan sangat didengarkan Gedung Putih. Bank Indonesia juga independen, yang sebagian sayap kekuasaannya diambil oleh atau diberikan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Bersama Menteri Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan, mereka berempat bersatu di dalam tubuh yang bernama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

Berkaitan dengan dampak pandemi korona, KSSK pekan lalu rapat dengan Komisi XI DPR. Rapat itu antara lain menghasilkan kesimpulan pelebaran defi sit dari 1,76% menjadi 5,07% dari PDB. Defi sit yang lebih lebar memang diperlukan, tetapi semua itu baru berupa kesimpulan rapat sebuah komisi di parlemen. Rasanya belum menjadi keputusan legislatif, keputusan negara.

KSSK punya protokol keuangan menghadapi krisis. Namun, krisis kali ini berwatak jauh lebih kejam. Pandemi menyebar luar biasa cepat melampaui batas-batas negara, menembus semua sistem politik dan berjangkit di semua sistem perekonomian. Ribuan manusia mati, jutaan manusia tinggal di rumah, jutaan manusia kehilangan pekerjaan.

Korona tak mengenal ideologi. Bukan hanya Italia remuk, juga Inggris, bahkan boleh jadi AS. Rusia pun dihajar korona. Oleh karena itu, selain mendengar KSSK dan pembantunya di kabinet, kiranya Istana, gedung (bercat) putih di Jakarta ataupun di Bogor tempat Presiden bermukim, perlulah juga mendengarkan pandangan para begawan ekonomi.

Suatu hari di tengah serangan publik terhadap perubahan undang-undang yang mengatur KPK, Presiden mengundang intelektual dan pakar hukum. Presiden begitu peka terhadap isu politik menyangkut KPK. Kini akibat pandemi terhadap perekonomian, kiranya Presiden perlu kepekaan yang jauh lebih sensible.

Kabinet kering ekonom. Menko Perekonomian bukan ekonom. Menko Maritim dan Investasi bukan ekonom. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas bukan ekonom. Menteri Perdagangan bukan ekonom. Menteri Perindustrian bukan ekonom. Menteri Tenaga Kerja bukan ekonom. Menteri ESDM bukan ekonom. Menteri Koperasi dan UKM bukan ekonom. Menteri Perhubungan bukan ekonom. Yang ekonom ialah Menteri Keuangan yang sangat mumpuni dan seorang lagi yang ditempatkan sebagai menteri riset dan teknologi.

Daftar dapat diperpanjang ke sekitar Presiden. Menteri Sekretaris Negara bukan ekonom. Sekretaris Kabinet bukan ekonom. Kepala Staf Kepresidenan bukan ekonom. Di lingkaran terdalam di Istana itu, yang boleh diduga pembisik presiden, tak seorang pun ekonom. Wakil Presiden juga bukan ekonom. Berbeda di masa SBY. Di kabinet SBY jilid 2, Wapres seorang profesor ekonomi yang berjam terbang sangat tinggi sebagai eksekutif puncak di bidang ekonomi di kabinet dan Gubernur BI.

Presiden ialah jabatan politik. Kabinet kini bertabur orang politik. Miskin ekonom. Karena itu, seyogianya Istana membuka pintu pikiran untuk mendengarkan sejumlah ekonom dari yang paling senior seperti Boediono sampai yang lebih muda seperti M Chatib Basri. Dengarkanlah begawan ekonomi, penyeimbang (begawan) politik.

Kepemimpinan mengandung makna berkemampuan membuat batas-batas baru. Terlebih di dalam krisis, pemimpin perlu menunjukkan segi-segi terbaiknya. Sejujurnya penulis mengkhawatirkan tidak hanya miskinnya ekonom dan berlimpahnya politikus di kabinet, tetapi juga keringnya intelektualisme di kabinet.

Kenapa dalam tulisan ini perlu dikutip bahwa seorang Alan Greenspan dipengaruhi filsuf John Locke? Kenapa pula perlu disebut dia tiap hari perlu menyediakan waktu tenang untuk belajar dan berefleksi? Jawabnya karena, ‘Pada umumnya’, demikian tulis Henry A Kissinger, ‘suatu ketika dalam kedudukan tinggi menghabiskan modal intelektual; bukan menciptakannya’.

Sumber tulisan Saur Hutabarat Dewan Redaksi Media Group