Read, Write, and Do Something

No Teaching without learning

Menulislah agar abadi

---

Listen, free economic make better

30/05/2020

Tausiah Aristoteles : Breaking The Habit

Tausiah Aristoteles :  Breaking The Habit
Syamsu Alam

Seberapa sulit kita mengubah habit? Bisakah hanya dengan anjuran, himbauan, atau cambukan?

Sejak massifnya penyebaran info Covid-19 yang mengguncang dunia pada awal tahun 2020. Ia seperti Shock Doctrin, secara psikologis menciptakan ketakutan dan panik. Dalam situasi demikian kita mungkin saja bertindak sporadis bahkan brutal.

Informasi yang lengkap dan memadai serta kematangan berpikir dapat membuat kita bertindak  secara rasional. Rasional dalam artian jelas landasannya tindakannya, cara atau prosedurnya, dan tujuannya. Selainnya adalah tindakan sporadis dan irasional.

Kini hadir istilah baru "New Normal" aka "Kebiasaan Baru".  Apa yang dimaksud normal? Apakah normal adalah kebiasaan yang lazim dan berlaku umum. Rutinitas atau apa? Dan siapa yang memiliki otoritas memberi makna normal dan new normal?


Zizek mengutip Hegel dalam buku Panic, Pandemic, yang mengatakan bahwa manusia pada umumnya tidak pandai belajar pada sejarah, dan karena itu mereka tidak akan lebih bijaksana pasca pandemi Corona.

Terlepas dari kontroversi dari rekomendasi akhir dari buku tersebut yang dapat memicu panik 🙂. Bahwa kehidupan pasca pandemi hanya ada dua, kemenangan komunisme atau barbarisme (Hasil diskusi Nyalakan Lilin di Zoom).

Individu Unggul

Kalaupun kehidupan 'New Normal' itu ada, menurut saya, hanya kesadaran Individu yang dapat menyukseskan implementasinya. Kesadaran individu yang menghargai kehidupan orang lain untuk hidup sehat. Kesadaran individu yang menghargai kebebasan orang lain. 

Selain kutub individu yang sadar, kesuksesan protokol 'new normal' bisa terwujud karena tekanan eksternal dari pihak otoritas. Entah oleh otoritas di rumah, di kantor, atau pemerintah. Persoalannya, bisakah pihak otoritas menegakkan protokol secara konsisten dan berkelanjutan. Mengingat institusi penegak aturan, kerap mereka sendiri yang meruntuhkannya. 

Titik temu antara diri dan institusi di luar diri ada pada konsensus atau kontrak. Sayangnya eksistensi kesadaran diri seringkali kalah atau banyak mengalah pada institusi 'government'. Apalagi kalau kita hanya orang biasa-biasa saja. 

Kesadaran individu yang sudah terkikis oleh tirani mayoritas. Serasional apapun argumentasi kita, kerap harus mengalah atau dipaksa mengalah oleh suara terbanyak. Dan jika kita tetap pada pendirian dan berani berhadapan yang mayoritas, kita dicap tidak normal.

Dampaknya lahir kebiasaan yang manut saja pada suara mayoritas, yang biasanya diwakili oleh otoritas lembaga publik. Syukur-syukur jika lembaga publiknya berkualitas, kalau tidak.

Dampak lebih jauh, kita akan seperti kerbau yang dicocok tali di hidungnya. Bahkan harus dicambuk agar patuh dan disiplin menjalankan tugas atau aturan. Lama kelamaan kita akan mengalami alienasi diri. Keterasingan dengan diri sendiri. Kenapa? Karena kita melakukan aktifitas bukan atas pilihan rasional kita.

Manusia yang berakal (rasional) semestinya bisa mengatur dirinya sekaligus menjaga kehidupan orang lain agar tetap sehat, nyaman dan lestari menjalani kehidupan. Kehadirannya tidak mengancam kehidupan yang lain. Bahkan "manusia unggul' ala "Insan Kamil" bisa menjadi rahmat bagi manusia sebagai individu pada individu yang lain.

Pada titik ekstrim, manusia (individu) yang rasional tidak terlalu membutuhkan pengaturan aka paksaan dari pihak lain (misal dari penguasa). Jika manusia tersebut memiliki kesadaran eksistensial diri yang mantap. Jika setiap kita menyadari pentingnya semacam protokol hidup yang menghargai kebebasan.

Sayangnya pendidikan pribadi unggul yang bebas-merdeka dan bertanggung jawab tidak terwadahi dengan baik dalam institusi pendidikan kita. Lembaga pendidikan kerap melestarikan 'Tirani Mayoritas" dan menganggap abnormal individu yang berani berpikir bebas.

Kisah Lama bersemi Kembali

Berikut ada e-book New Normal. Begitu siap lembaga ini membuat panduan 'new normal'. Mari kita baca dan pelajari baik-baik dan diterapkan, tanpa menunggu cambukan dari pihak lain.


The Survival of the fittest, yang kuat yang bertahan. Istilah kekiniannya Herd Immunity. Kita, pada umumnya menyebut sebagai "Hukum Rimba". Hukum Rimba umumnya diasosiasikan negatif. Bahwa di dalam hutan rimba terjadi hukum makan-memakan, bunuh-membunuh. Apakah bisa dikatakan itu barbarianisme atau hanya siklus makhluk hidup. 

Kuat dugaan berdasarkan data-data sejarah, menusia lebih agresif membunuhi manusia lainnya. Entah dengan cara perang, dengan cara meracuninya, atau mengkondisikan sistem yang memungkinkan manusia lain kelaparan, hingga kini dalam bentuk "perang ekonomi" dan boleh jadi "perang virus".

Hewan yang digerakkan oleh instingnya bisa mendeteksi bahaya dini bagi dirinya. Meskipun tidak semuanya memiliki sistem deteksi dini atas bahaya yang sama.

Selain sistem deteksi dini kemampuan beradaptasi dengan segala potensi yang dimiliki hewan memungkinkan mereka bisa tetap bertahan hingga kini. Misalnya Semut dengan berbagai jenisnya, dapat tetap eksis hingga kini. Sementara Dinosaurus kini hanya dipamerkan dalam museum dan film-film. Dinasaurus yang jumawa nan perkasa dikabarkan pernah hidup pada ratusan juta yang lalu. Wallahu a'lam.

Manusia dengan potensi Indera, Akal, insting, hati, dan imajinasi saya yakin bisa bertahan hidup menghadapi segala tantangan. Tentu hanya yang memiliki kemampuan adaptasi. Peluang bernasib seperti dinosaurus tetap ada. Semuanya bergantung pada kita (manusia), berani berubah, atau punah.

ATAUKAH mempercepat kepunahan dengan perilaku barbar. Tidak memedulikan pihak lain, sembari merasa diri yang paling hebat, paling jago, paling sehat, dll. Merasa paling superior adalah bibit-bibit barbarianisme. Mari deteksi diri masing-masing, seberapa potensial kita menjadi barbar, apakah lingkungan kita relatif aman dari perilaku barbar?

Di hutan belantara pun, dimana Singa adalah Raja hutan, memiliki habit yang tidak barbar. The Lion King, bukan hewan terbesar dan terkuat tetapi ia memiliki habit yang mengagumkan. Makanya disebut sebagai raja hutan.  Googling saja The Habit of Lion. Kita akan temukan, jika Singa hanya brutal saat lapar sekali, dan habit yang lain.

Sayangnya secara empiris manusia kadang brutal bukan saat dia kelaparan, namun saat mereka berhasrat menumpuk-numpuk "makanan" dan harta.

Apakah kita dapat begitu mudah beradaptasi dengan "kebiasaan baru"? Filosof empiris-rasional, Aristoteles memberikan tausiah "we are what we repeatedly do. Excellence, then is not an act, but a habit.

Alamyin, 26 Mei 2020

15/04/2020

Dengarlah Begawan Ekonomi

Dengarlah Begawan Ekonomi
13 April 2020 di Media Indonesia

DALAM penerbangan pulang dengan Swissair Flight 128 ke Washington, seusai pertemuan internasional para bankir di Swiss, Chairman the Fed Alan Greenspan dihampiri Bob Agnew, kepala keamanan yang mengawalnya selama melawat ke luar negeri. Kata Agnew, pilot ingin bicara dengan Mr. Chairman di kokpit. Dua pesawat terbang menabrak World Trade Center. Wajah Alan tampak aneh. “Saya tidak bercanda,” kata sang pengawal.


Di kokpit dengan nervous pilot menyampaikan berita buruk bahwa sejumlah pesawat dibajak. Dua pesawat terbang menabrak gedung World Trade Center. Satu lagi ke Pentagon. Pesawat lainnya hilang. Hanya itu informasi yang dimiliki pilot. “Sekarang pesawat kembali ke Zurich,” ujar pilot, tapi dia tidak mengumumkan alasannya kepada penumpang lainnya.

Alan menawarkan untuk mendarat di Kanada. Pilot bilang dia diperintahkan kembali ke Zurich. Di kepala Alan, Chairman Bank Sentral AS, terbayang kemungkinan terburuk robohnya sistem keuangan. The Federal Reserve menangani sistem pembayaran elektronik lebih US$4 triliun sehari berupa uang dan surat-surat berharga untuk seluruh AS dan juga dunia.

Alan menghubungi Andy Card, Kepala Staf Gedung Putih, minta angkutan membawanya balik ke AS. Alan dijemput pesawat tanker United States Air Force KC-10, satu-satunya pesawat yang mungkin masih tersedia.

Semua itu terjadi pada 11 September 2001 (kemudian dikenal sebagai Serangan 9/11). Cuplikan cerita itu hanya lah sebuah episode untuk melukiskan betapa sangat pentingnya kehadiran seorang gubernur bank sentral di dalam menghadapi krisis.

Alan ialah ekonom yang sekalipun sampai dua kali membaca buku The General Theory of Employment, Interest and Money, karya cemerlang John Maynard Keynes, dia tetap tidak tertarik pada Keynes. Dia mengagumi dua ekonom, Adam Smith, yang katanya paling dalam memengaruhinya secara intelektual, dan Joseph Schumpeter yang konsep destruksi kreatifnya berperan dalam perubahan teknologi di sebuah masyarakat kapitalis modern.

Dia juga dipengaruhi John Locke, filsuf moral Inggris. Di tengah amat sibuk sekalipun, Alan setiap hari menyempatkan diri untuk tenang belajar dan berefleksi.

Dengan bekerja di rumah, tergambarlah dampak ekonomi akibat pandemi korona yang dapat membawa kita ke dalam krisis terberat. Penulis tergerak membaca buku autobiografi Alan Greenspan, yang lama tersimpan di rak buku. Berjudul The Age of Turbulence, buku itu terbit 13 tahun lalu (2007). Isinya mengesankan, antara lain, tak hanya sekali dalam riwayat hidup Alan, Kepala Staf Gedung Putih sampai perlu mengirim pesawat khusus untuk menjemputnya.

The Fed ialah lembaga independen. Pandangan Alan sangat didengarkan Gedung Putih. Bank Indonesia juga independen, yang sebagian sayap kekuasaannya diambil oleh atau diberikan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Bersama Menteri Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan, mereka berempat bersatu di dalam tubuh yang bernama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

Berkaitan dengan dampak pandemi korona, KSSK pekan lalu rapat dengan Komisi XI DPR. Rapat itu antara lain menghasilkan kesimpulan pelebaran defi sit dari 1,76% menjadi 5,07% dari PDB. Defi sit yang lebih lebar memang diperlukan, tetapi semua itu baru berupa kesimpulan rapat sebuah komisi di parlemen. Rasanya belum menjadi keputusan legislatif, keputusan negara.

KSSK punya protokol keuangan menghadapi krisis. Namun, krisis kali ini berwatak jauh lebih kejam. Pandemi menyebar luar biasa cepat melampaui batas-batas negara, menembus semua sistem politik dan berjangkit di semua sistem perekonomian. Ribuan manusia mati, jutaan manusia tinggal di rumah, jutaan manusia kehilangan pekerjaan.

Korona tak mengenal ideologi. Bukan hanya Italia remuk, juga Inggris, bahkan boleh jadi AS. Rusia pun dihajar korona. Oleh karena itu, selain mendengar KSSK dan pembantunya di kabinet, kiranya Istana, gedung (bercat) putih di Jakarta ataupun di Bogor tempat Presiden bermukim, perlulah juga mendengarkan pandangan para begawan ekonomi.

Suatu hari di tengah serangan publik terhadap perubahan undang-undang yang mengatur KPK, Presiden mengundang intelektual dan pakar hukum. Presiden begitu peka terhadap isu politik menyangkut KPK. Kini akibat pandemi terhadap perekonomian, kiranya Presiden perlu kepekaan yang jauh lebih sensible.

Kabinet kering ekonom. Menko Perekonomian bukan ekonom. Menko Maritim dan Investasi bukan ekonom. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas bukan ekonom. Menteri Perdagangan bukan ekonom. Menteri Perindustrian bukan ekonom. Menteri Tenaga Kerja bukan ekonom. Menteri ESDM bukan ekonom. Menteri Koperasi dan UKM bukan ekonom. Menteri Perhubungan bukan ekonom. Yang ekonom ialah Menteri Keuangan yang sangat mumpuni dan seorang lagi yang ditempatkan sebagai menteri riset dan teknologi.

Daftar dapat diperpanjang ke sekitar Presiden. Menteri Sekretaris Negara bukan ekonom. Sekretaris Kabinet bukan ekonom. Kepala Staf Kepresidenan bukan ekonom. Di lingkaran terdalam di Istana itu, yang boleh diduga pembisik presiden, tak seorang pun ekonom. Wakil Presiden juga bukan ekonom. Berbeda di masa SBY. Di kabinet SBY jilid 2, Wapres seorang profesor ekonomi yang berjam terbang sangat tinggi sebagai eksekutif puncak di bidang ekonomi di kabinet dan Gubernur BI.

Presiden ialah jabatan politik. Kabinet kini bertabur orang politik. Miskin ekonom. Karena itu, seyogianya Istana membuka pintu pikiran untuk mendengarkan sejumlah ekonom dari yang paling senior seperti Boediono sampai yang lebih muda seperti M Chatib Basri. Dengarkanlah begawan ekonomi, penyeimbang (begawan) politik.

Kepemimpinan mengandung makna berkemampuan membuat batas-batas baru. Terlebih di dalam krisis, pemimpin perlu menunjukkan segi-segi terbaiknya. Sejujurnya penulis mengkhawatirkan tidak hanya miskinnya ekonom dan berlimpahnya politikus di kabinet, tetapi juga keringnya intelektualisme di kabinet.

Kenapa dalam tulisan ini perlu dikutip bahwa seorang Alan Greenspan dipengaruhi filsuf John Locke? Kenapa pula perlu disebut dia tiap hari perlu menyediakan waktu tenang untuk belajar dan berefleksi? Jawabnya karena, ‘Pada umumnya’, demikian tulis Henry A Kissinger, ‘suatu ketika dalam kedudukan tinggi menghabiskan modal intelektual; bukan menciptakannya’.

Sumber tulisan Saur Hutabarat Dewan Redaksi Media Group

Sombayya ri Gowa Hadapi Ancaman Resesi Akibat Wabah

Sombayya ri Gowa Hadapi Ancaman Resesi Akibat Wabah
Syamsu Alam *)

Ulasan tentang Corona persfektif sains ilmiah sampai nir-sains (hoax) sudah sangat banyak, melimpah berseliweran di media sosial dan group-group. Ia telah menjadi infodemik (bahkan melampaui pandemi itu sendiri). Soal penyakit, apakah harus selalu ilmiah? Fakta sejarah menunjukkan, tidak. Ada orang bisa sembuh hanya dengan ditiup ubun-ubunnya, atau hanya diusap dengan air *idah. Bagaimana dengan Corona yang seperti hantu.

Dalam Sinrilik Daeng Tutu yang berdurasi 51 detik yang viral, ia menyampaikan pesan-pesan agar tetap menjaga diri dan menjaga keluarga seisi rumah agar terhindar dari Virus Korona.

Terjemahan bebasnya sinriliknya kira-kira begini "Tidak ada tanda-tanda awal, tidak jelas asalnya, tiba-tiba ada penyakit yang namanya Virus Corona. Membawa penyakit tak ubahnya 'Garring Pua'. Ia seperti hantu. Oleh karena itu, kepada warga, dengarkan himbauan pemerintah, menjaga kesehatan dan menjaga keluarga agar tetap di rumah saja".

Gara-gara Corona saya mengetahui apa itu "Garring Pua". Istilah yang biasa dilontarkan orang tua kalau melihat anak-anak yang nakal dan tidak mau mendengar orang tuanya. "Na alle laloko Garring Pua", semoga 'Garring Pua" menimpamu. Kata-kata itu masih terekam dalam alam bawah sadar, dan baru seminggu ini saya tahu kalau "Garring Pua"  adalah sejenis wabah/penyakit yang menjangkiti seluruh wilayah. Bahkan, kalau saya bertanya, apa itu "Garring Pua" Orang tua kesulitan memberikan jawaban yang memuaskan.

Dulu dan Kini

Wabah 'Garring Pua' tercatat dalam Lontara Bilang Gowa (Prof. Mukhlis Paeni). Wabah ini terjadi pada pemerintahan Raja Gowa Sultan Alauddin Raja Gowa ke-14 yang pertama menerima Islam. Wabah ini hampir menyeluruh di bawah daerah kekuasaannya hingga tercatat puluhan ribu korban rakyat dari wabah ini.

Wabah ini sangat menakutkan dan membuat panik rakyat dan terutama Sultan, karena kejadiannya sangat aneh dan tiba tiba. Sekiranya rakyat terkena sakit pagi hari, sore sudah meninggal dan begitupun sebaliknya diserang sore pagi pun meninggal. Sehingga wabah seperti hantu yg akan mengambil nyawa mereka hingga rakyat sangat takut dan mengurung diri dirumah.

Kini, Virus Corona meskipun tingkat kematiannya sekitar 2-3%. Namun kepanikan telah menghipnotis manusia sejagad. Jejaring internet memudahkan penyebaran informasi beserta reduksinya. Koneksi transportasi dan interaksi global mempercepat penyebaran virusnya. Derasnya informasi dan transportasi di fase-fase awal penyebaran virus Corona diperparah dengan teror statistik yang disajikan seperti balapan.

Di Indonesia sendiri dua kegiatan agama yang menjadi media penyebaran yang massfi adalah Ijtima Jamaah Tabligh di Gowa dan penahbisan uskup di Ruteng NTT. Padahal pemerintah sudah memberi peringatan bahkan larangan untuk tidak melakukan acara yang melibatkan banyak orang.

Belajar dari Sombayya ri Gowa

Semua negara di dunia, semua daerah di Nusantara gagap menghadapinya. Ini sejarah baru bagaimana seluruh dunia disibukkan dengan mahluk mikro yang tak kasat mata. Bahkan beredar di media menteri kesehatan mengaku tidak mempunyai cara mengatasi pandemi ini.

Menanggapi Wabah yang sangat mencemaskan itu Raja Gowa Sultan Alauddin (1593-1639) juga melakukan sejenis “Self Quarantine” pada tanggal 4 Agustus 1636. Ia pun meninggalkan istana di Somba Opu dan mengisolasi diri di Istana yang lebih kecil di Bontoala. (Prof. Mukhlis Paeni).

Melihat wabah "Garring Pua" Sombayya ri Gowa mengumpulkan seluruh perangkat kerajaan dengan istilah memanggil untuk "akkusiang" sejenis rapat bersama. Mencari langkah mengatasi bencana ini. Khadi kerajaan Gowa waktu adalah Datuk Ri Bandang. Ia penyebar agama Islam di kerajaan gowa. Meminta kepada Sombayya Sultan Gowa untuk melakukan ritual agama dalam hal ini di awali dengan tobat bersama dan melakukan pengamalan ritual Rate Juma.

Lazimnya Rate jumat atau populernya "Zikkiri Jumat" di laksanakan malam jumat setelah Isya di Balla Lompoa, Istana Somba Opu, yang sebelumnya lepas Magrib di tabuhlah gendang tunrung pabballe.  Majelis zikir di ambil dari kelompok Anrong Guru Mokkinga Taeng dengan jumlah empat puluh orang di samping itu sultan perintahkan juga para Tupanrita, Tabib untuk mencari "tambara pa'bballe" (obat) untuk mecegah wabah ini.

Sombayya Sultan juga memerintahkan para menteri untuk bersama sama membuka persedian negeri untuk rakyat Gowa. Seluruh simpanan padi dan beras dalam rumah penyimpanan padi palampang dibuka dan disalurkan ke seluruh rakyat Gowa.

Sekilas terlintas bagaimana Sombayya bersama Ulama (Khadi), Tupanrita, Tabib, Anrong Guru, Para Menteri, dan juga Warga melawan wabah "Garring Pua".  Nampak pula organisasi dan orkestrasi kolaborasi melibatkan pihak-pihak utama. Sementara dari rapat-rapat yang dilaksanakan oleh pemerintah saat ini cenderung sangat terbatas pada pihak keamanan yang dominan. Apakah warga saat ini demikian sulit didisiplinkan? ataukah tidak ada ulama se-Zuhud Datuk Ri Bandang yang didengar oleh Pemerintah dan warga sekaligus.

Saran pertama Datok Ri Bandang pada Sombayya diawali dengan pertobatan. lalu dilanjutkan dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan. Jika dulu Kerajaan membagikan pangan yang ada di lumbung pangan. Mungkin saat ini adalah relokasi anggara. Tupanrita dan Tabib tetap pada keahliannya. Semua berkontribusi berdasarkan keahlian dan kapasitas.

Kolaborasi Sombayya, Ulama (Khadi), Tupanrita (Termasuk Tabib), dan Para Pejabat kerajaan. Masyarakat kita sepertinya cukup patuh pada pemimpin yang bsai ditauladani. Asal jangan seperti pagar makan tanaman. Seperti Larangan Polisi melaksanakan pesta, namun ternyata petinggi polisi berpesta di tengah merebaknya Corona. Masyarakat kita membutuhkan kejujuran, keberanian, integritas dari pemimpinnya, serta kedermawanan bangsawan.

Jika diringkas kira-kira, menghadapai resesi akibat wabah kita membutuhkan kolaborasi apik antara pemerintahan yang berintegritas, agamawan yang Zuhud, Orang kaya yang dermawan, dan Aparat keamanan yang pemberani dan bermoral. Siapa yang bisa mengorkestrasi? Kita memiliki kekuatan lokal spirit Sulapa Appa, yang semoga saja tidak tergerus oleh politik transaksional dan kepentingan pragmatis. Semoga.

*) Pegiat di Praxis School

Dimuat di Harian Tribun TImur "Sombayya ri Gowa"