Read, Write, and Do Something

No Teaching without learning

Menulislah agar abadi

---

Listen, free economic make better

30/03/2020

KULIAH ONLINE DAN KITA YANG SEOLAH-OLAH

Syamsu Alam
(Pegiat di Praxis School)

Gara-gara Covid-19 hampir semua orang berubah, tata laksana kehidupannya. Dari model komunikasi sesama keluarga, teman, produksi, distribusi, dan menjual barang dan jasa.  

Dua minggu saya menyaksikan betapa ramai dan sibuknya orang-orang mempromosikan aplikasi atau perangkat lunak yang mereka gunakan untuk menunjukkan mungkin betapa 'canggihnya' mereka berkuliah. Betapa "mewahnya" aplikasi yang digunakan. Mulai dari yang gratis sampai yang berbayar. Saya membayangkan diri saya ketika pertama kali main blog (ngeblog), betapa girang dan bahagianya saya ketika berhasil menedit kode HTML dan CSS template blog, lalu muncul animasi dan running atau scroll text. Sangat wah rasanya, padahal itu hanya hasil kontekan script orang lain. Inilah kenyataan, dunia perayaan.

Kuliah daring (online) begitu ekslusif sebelum Covid-19 datang merusak tatanan kehidupan sosial kita. Ia mengoreksi tatanan sosial kita yang selama ini penuh kepalsuan. Doyan naik haji dan umrah dengan uang yang tak jelas asal usulnya, rajin ke masjid dan majelis ilmu tetapi perilakunya muhammadarrasulullah....  dst. Covid-19 jelas destruktif, tetapi pasti ada hikmah dibaliknya. Kuliah daring salah satunya memaksa bapak/ibu dosen yang gaptek atau yang sok tahu harus benar-benar paham menggunakannya.

Belajar online atau offline esensinya sama,  komunikasi. Online atau offline hanya media. Nah komunikasi apalagi mau kolaborasi, syaratnya dialog dua arah. Dialog bisa teks, bisa video. Chating di group WA, telegram, atau di Classroom sudah memadai, atau upload rekaman penjelasan lalu direspon oleh mahasiswa. Sederhana, namun jika ada interaksi itu sudah powerful sebagai belajar. Tak perlu memaksakan diri video conference, apalagi membanggakannya. Santuy saja.

Menurut UNESCO terdapat empat pilar belajar yaitu : “Learning to know” belajar untuk mengetahui.
Learning to do” belajar untuk aktif. Maksudnya kegiatan belajar harus dilakukan secara sadar, terus menerus, dan aktif sehingga terjadi perubahan diri yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. “Learning to be” belajar untuk menjadi. Maksudnya proses belajar yang dilakukan peserta didik (siswa, mahasiswa) menghasilkan perubahan perilaku individu atau masyarakat terdidik yang mandiri.
Learning to live together” belajar untuk bersama-sama.

Gagne pun mengemukakan  belajar sebagai “suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya akibat suatu pengalaman”. Dalam regulasi kurikulum kita jelas menyebutkan tiga kompetensi dasar, Pengetahuan, Keterampilan, dan Sikap.

Kira-kira apaka mereka yang memamerkan penggunaan Zoom, Teamlink, Duo dan platform video conference lainnya bisa menjamin proses belajar dan hakekat belajar seperti di atas dapat tercipta dan tercapai? Saya barangkali pengguna internet yang biasa-biasa saja yang enggan "memaksakan" mahasiswa menggunakan platform tertentu saja. 

Apalagi aplikasi yang menguras kuota mahasiswa, yang sehari-hari di kelas offline saya sudah tahu buat pre test di classroom atau Socrative saja mereka belum bisa mengakses internet secara merata. Alias akses internet adalah masalah mendasar negara dunia ketiga. Tapi, Indonesia sudah di coret yaah... Kasihan.

KISS - KEEP IT SIMPLE, SILLY.

Jauh sebelum hingar-bingar kuliah daring saya dan beberapa teman telah menerapkannya secara terbatas. Hanya karena persoalan negara ketiga di atas, tidak bisa dilaksanakan secara full. Pada mata kuliah ICT4D (ICT for Development) for self and society. Saya berpikir sederhana saja, memasukkan mereka dalam satu drive, didalamnya mereka bisa mengedit, membuat folder sendiri, mengupload tugas, saling belajar, merevisi hasil pekerjaannya, sembari bisa melihat pekerjaan mahasiswa yang lain.  Bagaimana mereka memanfaatkan fasilitas draw.io, mind map, sampai membuat algoritma aktifitasnya. Hasil pekerjaannya saya komentari dan mereka merivisi lagi hingga sampai pertemuan terakhir lahirlah tugas terbaiknya. Mata kuliah Ekonomi Politik, dan Kewirausahaan juga demikian.

Nyaris tidak pernah video call atau video conference, kenapa? Saya sudah mengetahui tidak semua mahasiswa ada alokasi dana untuk beban kuota. Saya bertanya terlebih dahulu apakah memungkinkah kita Video conference. Sekali lagi nasib negara berkembang.

MENGHADAPI MALAPETAKA

Covid-19 mewabah yang memaksa semua dosen harus melaksanakan kuliah daring. Bahkan kampus tertentu menyebutkan secara spesifik platform yang digunakan (seperti LMS, SPADA) sayang platform itu tidak andal mengkover kebutuhan belajar online. Itu sudah persoalan. Persoalan lain adalah tidak semua guru atau dosen siap dengan full daring, akibatnya apa? Sudah bisa ditebak, malapetaka Proses Belajar Mengajar. 

Ada dosen yang hanya memberikan tugas, ada dosen yang semuanya review jurnal saja. Bahkan ada yang dengan bangga mengatakan saya absen video call di awal dan di akhir sesi perkuliahan. Lalu, kira-kira apa hasilnya? Adakah interaksi belajar? Tercapaikah hakekat belajar di atas. Hipotesis saya, kita (dosen) kadang lebih polisi daripada polisi di ruang kelas offline ataupun online daripada polisi itu sendiri. 

Kampus adalah benteng terakhir peradaban, kata ka" Alwi Rahman. Kalau didalamnya yang tercipta adalah relasi kuasa menguasai, mengontrol dan menjinakkan peserta didik. Sekadar menciptakan kepatuhan seperti dalam film pendek 2+2=5  maka pertanda peradaban akan runtuh. 

Dalam sebuah perADABan ada tatanan. Ada konsensus, konsesnsus kita di kampus adalah spirit SCIENTIFIC TEMPER. Spirit yang memuliakan pengetahuan. Semangat yang siap meninggalkan argumentasi, teori, jika ada argumentasi atau teori yang lebih sahih. Tidak usah "bergaya seolah-olah" dan merasa paling hebat, paling WAH platformnya, paling adaptif mengadopsi rev.industri 4.0. Padahal, masih gagap  mengoptimalkan Cloud Computing, membedakan Tacit dan explicit knowledge, memahami rantai nilai Data-Information-Knowledge-Wisdom belum optimal, maka setidaknya jangan membebani mahasiswa yang sifatnya hanya seremoni, apalagi kalau hanya menguras kuota tanpa tujuan dan target yang jelas. Kasihan, sebentar lagi kita akan 'Lockdown terbatas' mengisolasi diri, mereka bisa makin tertekan. 

Apalagi muncul lagi gagasan menteri baru, bukan gagasan baru, Merdeka Belajar. Hemat saya yang kita butuhkan di dalam PBM adalah merdeka dari rasa takut, takut error, takut diintimidasi, dst. Sesungguhnya kita lebih membutuhkan BELAJAR MERDEKA. Oiya, OK., ayoo... kuliah Darling. 😊

Alamyin. 25 Maret 2020 Jam 00:11

18/03/2020

Lockdown, 'Surga' si Kaya dan Neraka Kaum Miskin

BYA *)

Penyebaran virus corona mulai menebarkan kekhawatiran di tengah masyarakat seiring jumlah pasien yang terus mengalami lonjakan. Di Jakarta, pembatasan transportasi publik Transjakarta, dan MRT mulai diberlakukan sebagai langkah antisipasi penyebaran virus corona. 

Hal ini sudah dianggap mengganggu aktivitas ekonomi, karena tidak semua pekerja melakukan work from home alias bekerja di rumah. Wacana pembatasan gerak masyarakat pun bergerak liar. 

Faktanya hanya ada beberapa negara yang melakukan lockdown seperti Italia, dan China, sementara Jepang dan Singapura memiliki strategi yang berbeda untuk menangkal Covid-19. 

Menurut Lindsay Wiley, dari Washington College Law, definisi lockdown sebenarnya tidak dikenal dalam kebijakan kesehatan masyarakat. Dalam pengertian umum definisi lockdown sendiri terlalu luas karena mencakup karantina, pembatasan akses ke ruang publik, meliburkan sekolah, hingga menutup akses satu daerah dalam waktu tertentu. 

Lihat juga: Dasco Minta Pemerintah Pertimbangkan 'Lockdown' untuk Corona

Pandangan publik terkait lockdown di Jakarta tentu terpecah, ada yang mengusulkan untuk menutup suatu daerah tertentu seperti Wuhan yakni saat akses keluar masuk ke daerah lainnya ditutup. Pandangan lainnya, melakukan kerja dari rumah dan mengurangi jam operasional transportasi publik.

Apa yang terjadi jika Jakarta lockdown?

Dampak ekonomi di Jakarta tentunya akan sangat besar bagi perekonomian nasional. Jika kebijakan isolasi total Jakarta diberlakukan maka ekonomi nasional bisa masuk dalam jurang krisis lebih cepat dari perkiraan awal. 

Sebanyak 70 persen peredaran uang ada di Jakarta, bursa efek dan bank sentral bertempat di DKI Jakarta. 

Kepanikan akan terjadi di banyak tempat, membuat orang melakukan penarikan uang di bank untuk membeli barang-barang kebutuhan pokok. Likuiditas bank terancam kering. Sementara panic buying memperparah stok persediaan bahan pangan. 

Kita perlu belajar dari pembelian barang bermotif ketakutan yang terjadi di beberapa wilayah Jakarta. Saat pemerintah mengumumkan pasien Corona pertama, terlihat jelas bahwa pemerintah pusat maupun daerah tak bisa melakukan apapun untuk mencegah pembelian gila-gilaan itu. 

Apalagi April akan memasuki Ramadan, yakni ketika permintaan bahan kebutuhan pangan musiman naik. Kepanikan masyarakat dalam memborong bahan kebutuhan pokok, dan farmasi (obat-obatan, masker, penyanitasi tangan) menambah panjang risiko terjadinya inflasi yang cukup tinggi. 

Perkiraan sederhana inflasi sepanjang tahun 2020 dapat menembus angka 4-6 persen sebagai konsekuensi dari pemberlakuan lockdown di Jakarta. Angka ini belum mempertimbangkan adanya spekulan jahat, penimbun gelap yang memanfaatkan situasi untuk melakukan panic stocking atau sengaja menimbun barang yang dicari orang banyak. 

Orang Kaya Jakarta

Siapa yang paling kena dampak dari lockdown? Jelas jawabannya bukan orang-orang kaya di Jakarta. 

Orang kaya yang menguasai 46 persen lebih total konsumsi di Jakarta, mampu menimbun barang dalam jumlah yang besar. Apalagi jika harga obat-obatan, masker, penyanitasi tangan melambung tinggi seperti terjadi beberapa waktu lalu.

Siapa yang sanggup membeli harga masker di situs belanja ketika menembus Rp1 juta per boks? Hanya golongan menengah atas yang sanggup. Sementara mereka yang masuk golongan menengah ke bawah harus siap-siap mengencangkan ikat pinggang. 

Ketika kelas atas melakukan panic buying, masyarakat miskin sebaliknya tidak tahu besoknya mau makan apa. 

Ketika karyawan kantoran di perusahaan-perusahaan multinasional memberlakukan cuti dengan tanggungan gaji, atau bekerja dari rumah, driver ojol bingung karena order mendadak sepi dan tidak bisa dikerjakan di rumah. Sementara dari sekitar 2 juta pengemudi ojol, sebagian besar ada di Jabodetabek. 

Orang-orang kaya yang tinggal di istana megah-nya, tinggal klik kemudian pesananan makanan jadi via e-commerce sampai di depan pintu. Sementara orang-orang miskin, harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit ketika banyak toko-toko tutup.

Dari sisi kesehatan, asuransi kesehatan dengan fasilitas rumah sakit terbaik merupakan keistimewaan orang kaya Jakarta. Jika tes kesehatan virus corona tak semuanya dibayar negara, orang kaya ini tak perlu khawatir. Apalagi soal defisit BPJS Kesehatan, mereka tak mau peduli. 

Sedangkan si miskin merupakan kaum yang paling rentan terhadap turunnya fasilitas kesehatan, terutama saat kondisi krisis.

Sudah jelas bahwa lockdown merupakan situasi neraka bagi kelas bawah. Kerentanan kaum papa hanya akan memperlebar jurang ketimpangan yang selama ini masih terjadi. Dalam kondisi terjepit bukan tidak mungkin konflik horizontal akan pecah. 

Bagaimana kesiapan Pemerintah?

Baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah sepertinya memang belum menyiapkan diri jika harus melakukan lockdown untuk saat ini. Terlihat dari kacaunya koordinasi kebijakan pusat dan daerah.

Berebut Panggung Publik

Pola komunikasi yang saling berebut panggung antar kepala daerah, dan gagapnya stimulus ekonomi 1 dan 2 yang diluncurkan oleh pemerintah mengisyaratkan wacana lockdown akan mengarah kepada kekisruhan total. 

Ketersediaan rumah sakit, karantina, hingga alat cek virus corona masih belum memadai. Singapura memberikan masker gratis dari rumah ke rumah, Indonesia justru masker dibuat mainan oleh penimbun gelap dan menjadi langka di pasaran. 

Kesiapan dari sisi ekonomi lebih memprihatinkan, bahan kebutuhan pokok sebagian bergantung pada impor.

Kejadian wabah virus corona telah merusak rantai pasok impor khususnya dari China, sebut saja bawang putih. Tidak semudah itu mencari substitusi impor, karena memang jalan keluarnya mendadak. Kemandirian pangan Indonesia dipertanyakan. 

Berbeda dari China, di mana stok kebutuhan pangan untuk memasok warga yang di karantina dalam apartemen, rumah, dan gedung-gedung dipasok merata oleh Pemerintah China. Di Wuhan, negara hadir menyiapkan kebutuhan warganya. 

Bukan cerita aneh ketika ada mahasiswa Indonesia sedang diisolasi dalam kamar asrama nya di Wuhan, dipenuhi kebutuhan makan selama berminggu-minggu oleh pihak kampus.

Selain cara lockdown, adakah cara lain yang lebih berimbang antara mereduksi penularan virus Covid-19 dan tetap mendorong keberlanjutan roda ekonomi? 

Singapura mencoba memberi contoh tanpa melakukan lockdown. 

PM Singapura Lee Hsien Loong mengungkapkan bahwa fokus penanganan kesehatan adalah warga lansia, karena paling rentan terkena Covid-19. Pembatasan perjalanan dari WNA di banyak negara, dan menunda sementara acara keagamaan juga dilakukan. 

Selain itu Singapura juga melakukan bauran kebijakan fiskal dan moneter dengan sangat baik, dengan tegas Pemerintah Singapura mengalokasikan US$4 miliar setara Rp59,2 triliun untuk membantu keuangan perusahaan yang terimbas Covid-19.

Jepang lebih melakukan upaya klaster dan penelusuran riwayat kontak korban, dibandingkan lockdown. 

Dikutip dari data John Hopkins University, rasio kasus Covid-19 di Jepang adalah 0,5 per 100.000 orang lebih rendah dari negara OECD lainnya. Sebagai perbandingan rasio China adalah 5,81 dan Italia 20,6 kasus per 100.000 orang.

Maka, melihat kondisi dan kesiapan Indonesia, sebaiknya skenario lockdown dipikirkan secara matang. Jangan sampai ikut-ikutan dengan negara lain yang struktur ekonominya lebih kuat dari Indonesia. 

Dan paling penting, harga paling mahal bisa jadi akan ditebus pengusaha UMKM, driver online, karyawan rendahan, dan kaum miskin yang tak pernah memiliki bekal cukup saat krisis.(asa).

*) Bhima Yudhistira Adhinegara.
Note: Pengelola webblog Alamyin.com sependapat dengan uraian dalam artikel di atas.

08/02/2020

Pemerintah Daerah dan Ilusi Pembangunan Berkelanjutan


Syamsu Alam *)

Reformasi di korupsi. Demikian 'tagline' yang disuarakan para pegiat demokrasi sejati. Era reformasi memberikan perubahan paradigma secara lebih adil dan berimbang. Perubahan  paradigma dapat dilaksanakan melalui kebijakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Mungkinkah perubahan paradigma itu diikuti oleh para aktor pembangunan?

Mulai dari UU no. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU no. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang telah diubah menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Terakhir UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dikeluarkan untuk menggantikan UU sebelumnya.

Diberlakukanya undang-undang di atas dapat memberikan peluang bagi daerah untuk menggali potensi lokal demi terwujudnya kemandirian keuangan daerah, sekaligus mendekatkan pelayanan kepada masyarakat yang berkelanjutan, benarkah demikian?

Media online dan media sosial bisa menjadi input bagi para anggota Dewan (Prov/Kab/Kota) di Sulsel. Ada banyak laporan warga yang mudah kita monitoring dan tindak lanjuti. Khususnya proyek fasilitas publik. Misalnya, beredarnya foto proyek pemecah ombak di Kab. Takalar, Aspal yang tipis di Kab. Bone, Warga miskin yang meninggal karena tidak bisa memenuhi kebutuhan dasarnya. Dan banyak lagi berita-berita layanan publik yang berseliweran di jagad maya.

Fakta di atas mengantarkan saya pada sebuah pernyataan hipotetik bahwa Pembangunan Berkelanjutan hanya ilusi. Ilusi adalah sesuatu yang hanya ada dalam angan-angan, tetapi tidak dapat diinderai atau tidak empiris (adaptasi KBBI). Kenapa ilusi? Tujuan dan target-target indah dalam MDGs (Milenium Development Goal, 2000-2015) lalu dilanjutkan dengan SDGs (Sustainable Development Goals, 2015-2030). SDGs memiliki 17 tujuan dan 196 target atau sasaran yang harus dicapai pada tahun 2030.

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030 (TPB-2030) adalah pembangunan yang berorientasi pada penguatan ekomomi, sosial,dan lingkungan yang saling mendukung dan melengkapi. Secara spesifik dapat dilihat pada laman sdg2030indonesia.org. Ke-17 tujuan sangat ideal. Tujuan 1,  Mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk dimanapun, sampai tujuan 17:. Menguatkan ukuran implementasi dan merevitalisasi kemitraan global untuk pembangunan yang berkelanjutan.

TPB-2030 ini telah diperkuat dalam berbagai paket Undang-undang, Permen, sampai surat edaran. Pada level Pemerintah Daerah dalam penyusunan Perencanaan Pembangunan, monitoring sampai penetapan target dan sasaran pembangunan harus merujuk pada Permendagri 86 Tahun 2017. Jika ada dokumen perencanaan yang belum mengintegrasikan regulasi tersebut maka harus direvisi.

Dalam filosofi memandikan mayat seseorang tidak mungkin bisa menyucikan kalau dia sendiri tidak suci. Makanya yang akan memandikan mayat harus suci (berwudhu) terlebih dahulu. Dalam fiqh sosial, seseorang tidak mungkin bisa memberi jika, ia tidak memiliki. Ini adalah falsafah dasar berinteraksi atau lebih khusus pelayanan sosial pada orang lain (masyarakat secara umum).

Nah, berangkat dari filosofi dasar di atas dapat dijadikan pisau analisa melihat praktik pembangunan pada level pemerintah (khususnya daerah). Bagaimana mungkin pemerintah bisa mengakhiri kemiskinan (TPB-2030 Tujuan1), jika mereka sendiri masih merasa miskin. Bagaimana mungkin mereka bisa memberi kalau mereka sendiri merasa tidak cukup. Tujuan 2-17 dapat diuji proses pencapaiannya pada ranah empiris.

Beberapa hasil penelitian mahasiswa bimbingan kami di kampus (FE UNM, 2019) menunjukkan betapa tidak mandirinya pemerintah Daerah di Sulsel. Sampel penelitian daerah AJATAPPARENG, MAMINASATA, dan Beberapa Kabupaten di Sulsel menunjukkan tingginya ketergantungan keuangan pemerintah daerah pada pemerintah pusat. Pengukurannya dengan melihat rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan bantuan pemerintah dan pinjaman.

Sedangkan Rasio efektivitas keuangan daerah menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan PAD yang direncanakan  dibandingkan dengan target yang  ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah (Halim, 2007).

Sayangnya kemandirian keuangan daerah masih rata-rata berpola hubungan instruktif, yaitu
peran Pemerintah Pusat sangat dominan dari pada kemandirian Pemerintah Daerah. Demikian pula, pada dominan efektivitas Keuangan Pemerintah Daerah, masih kurang efektif.

Hal ini diperparah dengan model pengukuran kinerja pemerintah yang hanya melihat tingkat serapan anggaran. Aneh, regulasi memerintahkan pembangunan berbasis kinerja, artinya mengukur dimensi outcome (hasil) dan impact (dampak). Namun prioritas penilaiannya masih berbasis anggaran (input).

Lalu, sampai kapan kita terilusii dengan doktrin-doktrin model kebijakan pembangunan yang kedengarannya indah, memesona dibicarakan, namun sulit bahkan amat berat direalisasikan. Kenapa? Karena pembangunan tidak berbasis pada kewilayahan, tidak bersesuaian dengan norma adat (Suitability) yang ada di daerah kita (Sulsel). Menurut hemat kami Pembangunan selain harus Sustainability (keberlanjutan) juga harus Suitability (Kesesuaian) (Alam & Rumi, 2020). Pembangunan yang bertumpu pada filosofi Sulapa APPA.

Sulapa APPA, Model kosmos dihubungkan dengan adanya harmoni empat unsur alam, yaitu: udara, air, api, dan tanah, yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Keempat unsur ini adalah empat jenis sifat yang dimiliki oleh "manusia yang berbicara",  keberanian, kebangsawanan, kekayaan, keelokan. 

Dengan memerhatikan kondisi kewilayahan beserta nilai-nilai budaya luhur yang ada di dalamnya, ia dapat menghindarkan kita dari ilusi pembangunan. Hal ini membutuhkan political will yang solid.

Masa pemerintah daerah hanya 5 tahun, jika hanya sibuk membangun citra dan monumen diri, pertanda bapak-bapak belum selesai dengan dirinya. Mungkin para pejabat kita perlu membuka kembali pesan "Renaisance Man' Karaeng Pattingalloang, yang menyatukan sains dan nilai-nilai kebijaksanaan dalam memgelola daerah (negara). Istilah sekarang, Pembangunan yang berdasar pada Based Policy Evidence plus nilai-nilai kearifan lokal.

Akhirnya, bisakah kita membangun dan menata daerah yang berani melawan imperialis, berperangai kebangsawanan yang beradab, dan kalau kaya tidak akan merampok anggaran daerah secara terstruktur sistematis dan massif.

Wallahu A'lam Bisshawwab.

*) Dosen Ekonomi Pembangunan FE UNM

Terbit di media cetak Tribun Timur, 07 Februari 2020.