18/03/2020
Lockdown, 'Surga' si Kaya dan Neraka Kaum Miskin
March 18, 2020
No comments
BYA *)
Penyebaran virus corona mulai menebarkan kekhawatiran di tengah masyarakat seiring jumlah pasien yang terus mengalami lonjakan. Di Jakarta, pembatasan transportasi publik Transjakarta, dan MRT mulai diberlakukan sebagai langkah antisipasi penyebaran virus corona.
Hal ini sudah dianggap mengganggu aktivitas ekonomi, karena tidak semua pekerja melakukan work from home alias bekerja di rumah. Wacana pembatasan gerak masyarakat pun bergerak liar.
Faktanya hanya ada beberapa negara yang melakukan lockdown seperti Italia, dan China, sementara Jepang dan Singapura memiliki strategi yang berbeda untuk menangkal Covid-19.
Menurut Lindsay Wiley, dari Washington College Law, definisi lockdown sebenarnya tidak dikenal dalam kebijakan kesehatan masyarakat. Dalam pengertian umum definisi lockdown sendiri terlalu luas karena mencakup karantina, pembatasan akses ke ruang publik, meliburkan sekolah, hingga menutup akses satu daerah dalam waktu tertentu.
Lihat juga: Dasco Minta Pemerintah Pertimbangkan 'Lockdown' untuk Corona
Pandangan publik terkait lockdown di Jakarta tentu terpecah, ada yang mengusulkan untuk menutup suatu daerah tertentu seperti Wuhan yakni saat akses keluar masuk ke daerah lainnya ditutup. Pandangan lainnya, melakukan kerja dari rumah dan mengurangi jam operasional transportasi publik.
Apa yang terjadi jika Jakarta lockdown?
Dampak ekonomi di Jakarta tentunya akan sangat besar bagi perekonomian nasional. Jika kebijakan isolasi total Jakarta diberlakukan maka ekonomi nasional bisa masuk dalam jurang krisis lebih cepat dari perkiraan awal.
Sebanyak 70 persen peredaran uang ada di Jakarta, bursa efek dan bank sentral bertempat di DKI Jakarta.
Kepanikan akan terjadi di banyak tempat, membuat orang melakukan penarikan uang di bank untuk membeli barang-barang kebutuhan pokok. Likuiditas bank terancam kering. Sementara panic buying memperparah stok persediaan bahan pangan.
Kita perlu belajar dari pembelian barang bermotif ketakutan yang terjadi di beberapa wilayah Jakarta. Saat pemerintah mengumumkan pasien Corona pertama, terlihat jelas bahwa pemerintah pusat maupun daerah tak bisa melakukan apapun untuk mencegah pembelian gila-gilaan itu.
Apalagi April akan memasuki Ramadan, yakni ketika permintaan bahan kebutuhan pangan musiman naik. Kepanikan masyarakat dalam memborong bahan kebutuhan pokok, dan farmasi (obat-obatan, masker, penyanitasi tangan) menambah panjang risiko terjadinya inflasi yang cukup tinggi.
Perkiraan sederhana inflasi sepanjang tahun 2020 dapat menembus angka 4-6 persen sebagai konsekuensi dari pemberlakuan lockdown di Jakarta. Angka ini belum mempertimbangkan adanya spekulan jahat, penimbun gelap yang memanfaatkan situasi untuk melakukan panic stocking atau sengaja menimbun barang yang dicari orang banyak.
Orang Kaya Jakarta
Siapa yang paling kena dampak dari lockdown? Jelas jawabannya bukan orang-orang kaya di Jakarta.
Orang kaya yang menguasai 46 persen lebih total konsumsi di Jakarta, mampu menimbun barang dalam jumlah yang besar. Apalagi jika harga obat-obatan, masker, penyanitasi tangan melambung tinggi seperti terjadi beberapa waktu lalu.
Siapa yang sanggup membeli harga masker di situs belanja ketika menembus Rp1 juta per boks? Hanya golongan menengah atas yang sanggup. Sementara mereka yang masuk golongan menengah ke bawah harus siap-siap mengencangkan ikat pinggang.
Ketika kelas atas melakukan panic buying, masyarakat miskin sebaliknya tidak tahu besoknya mau makan apa.
Ketika karyawan kantoran di perusahaan-perusahaan multinasional memberlakukan cuti dengan tanggungan gaji, atau bekerja dari rumah, driver ojol bingung karena order mendadak sepi dan tidak bisa dikerjakan di rumah. Sementara dari sekitar 2 juta pengemudi ojol, sebagian besar ada di Jabodetabek.
Orang-orang kaya yang tinggal di istana megah-nya, tinggal klik kemudian pesananan makanan jadi via e-commerce sampai di depan pintu. Sementara orang-orang miskin, harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit ketika banyak toko-toko tutup.
Dari sisi kesehatan, asuransi kesehatan dengan fasilitas rumah sakit terbaik merupakan keistimewaan orang kaya Jakarta. Jika tes kesehatan virus corona tak semuanya dibayar negara, orang kaya ini tak perlu khawatir. Apalagi soal defisit BPJS Kesehatan, mereka tak mau peduli.
Sedangkan si miskin merupakan kaum yang paling rentan terhadap turunnya fasilitas kesehatan, terutama saat kondisi krisis.
Sudah jelas bahwa lockdown merupakan situasi neraka bagi kelas bawah. Kerentanan kaum papa hanya akan memperlebar jurang ketimpangan yang selama ini masih terjadi. Dalam kondisi terjepit bukan tidak mungkin konflik horizontal akan pecah.
Bagaimana kesiapan Pemerintah?
Baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah sepertinya memang belum menyiapkan diri jika harus melakukan lockdown untuk saat ini. Terlihat dari kacaunya koordinasi kebijakan pusat dan daerah.
Berebut Panggung Publik
Pola komunikasi yang saling berebut panggung antar kepala daerah, dan gagapnya stimulus ekonomi 1 dan 2 yang diluncurkan oleh pemerintah mengisyaratkan wacana lockdown akan mengarah kepada kekisruhan total.
Ketersediaan rumah sakit, karantina, hingga alat cek virus corona masih belum memadai. Singapura memberikan masker gratis dari rumah ke rumah, Indonesia justru masker dibuat mainan oleh penimbun gelap dan menjadi langka di pasaran.
Kesiapan dari sisi ekonomi lebih memprihatinkan, bahan kebutuhan pokok sebagian bergantung pada impor.
Kejadian wabah virus corona telah merusak rantai pasok impor khususnya dari China, sebut saja bawang putih. Tidak semudah itu mencari substitusi impor, karena memang jalan keluarnya mendadak. Kemandirian pangan Indonesia dipertanyakan.
Berbeda dari China, di mana stok kebutuhan pangan untuk memasok warga yang di karantina dalam apartemen, rumah, dan gedung-gedung dipasok merata oleh Pemerintah China. Di Wuhan, negara hadir menyiapkan kebutuhan warganya.
Bukan cerita aneh ketika ada mahasiswa Indonesia sedang diisolasi dalam kamar asrama nya di Wuhan, dipenuhi kebutuhan makan selama berminggu-minggu oleh pihak kampus.
Selain cara lockdown, adakah cara lain yang lebih berimbang antara mereduksi penularan virus Covid-19 dan tetap mendorong keberlanjutan roda ekonomi?
Singapura mencoba memberi contoh tanpa melakukan lockdown.
PM Singapura Lee Hsien Loong mengungkapkan bahwa fokus penanganan kesehatan adalah warga lansia, karena paling rentan terkena Covid-19. Pembatasan perjalanan dari WNA di banyak negara, dan menunda sementara acara keagamaan juga dilakukan.
Selain itu Singapura juga melakukan bauran kebijakan fiskal dan moneter dengan sangat baik, dengan tegas Pemerintah Singapura mengalokasikan US$4 miliar setara Rp59,2 triliun untuk membantu keuangan perusahaan yang terimbas Covid-19.
Jepang lebih melakukan upaya klaster dan penelusuran riwayat kontak korban, dibandingkan lockdown.
Dikutip dari data John Hopkins University, rasio kasus Covid-19 di Jepang adalah 0,5 per 100.000 orang lebih rendah dari negara OECD lainnya. Sebagai perbandingan rasio China adalah 5,81 dan Italia 20,6 kasus per 100.000 orang.
Maka, melihat kondisi dan kesiapan Indonesia, sebaiknya skenario lockdown dipikirkan secara matang. Jangan sampai ikut-ikutan dengan negara lain yang struktur ekonominya lebih kuat dari Indonesia.
Dan paling penting, harga paling mahal bisa jadi akan ditebus pengusaha UMKM, driver online, karyawan rendahan, dan kaum miskin yang tak pernah memiliki bekal cukup saat krisis.(asa).
*) Bhima Yudhistira Adhinegara.
Note: Pengelola webblog Alamyin.com sependapat dengan uraian dalam artikel di atas.
Note: Pengelola webblog Alamyin.com sependapat dengan uraian dalam artikel di atas.
08/02/2020
Pemerintah Daerah dan Ilusi Pembangunan Berkelanjutan
Syamsu Alam *)
Reformasi di korupsi.
Demikian 'tagline' yang disuarakan
para pegiat demokrasi sejati. Era reformasi memberikan perubahan paradigma
secara lebih adil dan berimbang. Perubahan
paradigma dapat dilaksanakan melalui kebijakan otonomi daerah dan
perimbangan keuangan pusat dan daerah. Mungkinkah perubahan paradigma itu
diikuti oleh para aktor pembangunan?
Mulai dari UU no. 22
tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU no. 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang telah diubah
menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Terakhir UU
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dikeluarkan untuk menggantikan
UU sebelumnya.
Diberlakukanya
undang-undang di atas dapat memberikan peluang bagi daerah untuk menggali
potensi lokal demi terwujudnya kemandirian keuangan daerah, sekaligus
mendekatkan pelayanan kepada masyarakat yang berkelanjutan, benarkah demikian?
Media online dan media
sosial bisa menjadi input bagi para anggota Dewan (Prov/Kab/Kota) di Sulsel.
Ada banyak laporan warga yang mudah kita monitoring dan tindak lanjuti.
Khususnya proyek fasilitas publik. Misalnya, beredarnya foto proyek pemecah
ombak di Kab. Takalar, Aspal yang tipis di Kab. Bone, Warga miskin yang
meninggal karena tidak bisa memenuhi kebutuhan dasarnya. Dan banyak lagi berita-berita
layanan publik yang berseliweran di jagad maya.
Fakta di atas
mengantarkan saya pada sebuah pernyataan hipotetik bahwa Pembangunan
Berkelanjutan hanya ilusi. Ilusi adalah sesuatu yang hanya ada dalam
angan-angan, tetapi tidak dapat diinderai atau tidak empiris (adaptasi KBBI).
Kenapa ilusi? Tujuan dan target-target indah dalam MDGs (Milenium Development
Goal, 2000-2015) lalu dilanjutkan dengan SDGs (Sustainable Development Goals,
2015-2030). SDGs memiliki 17 tujuan dan 196 target atau sasaran yang harus
dicapai pada tahun 2030.
Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan 2030 (TPB-2030) adalah pembangunan yang berorientasi pada
penguatan ekomomi, sosial,dan lingkungan yang saling mendukung dan melengkapi.
Secara spesifik dapat dilihat pada laman sdg2030indonesia.org. Ke-17 tujuan
sangat ideal. Tujuan 1, Mengakhiri
kemiskinan dalam segala bentuk dimanapun, sampai tujuan 17:. Menguatkan ukuran
implementasi dan merevitalisasi kemitraan global untuk pembangunan yang berkelanjutan.
TPB-2030 ini telah
diperkuat dalam berbagai paket Undang-undang, Permen, sampai surat edaran. Pada
level Pemerintah Daerah dalam penyusunan Perencanaan Pembangunan, monitoring
sampai penetapan target dan sasaran pembangunan harus merujuk pada Permendagri
86 Tahun 2017. Jika ada dokumen perencanaan yang belum mengintegrasikan
regulasi tersebut maka harus direvisi.
Dalam filosofi
memandikan mayat seseorang tidak mungkin bisa menyucikan kalau dia sendiri
tidak suci. Makanya yang akan memandikan mayat harus suci (berwudhu) terlebih dahulu.
Dalam fiqh sosial, seseorang tidak mungkin bisa memberi jika, ia tidak
memiliki. Ini adalah falsafah dasar berinteraksi atau lebih khusus pelayanan
sosial pada orang lain (masyarakat secara umum).
Nah, berangkat dari
filosofi dasar di atas dapat dijadikan pisau analisa melihat praktik
pembangunan pada level pemerintah (khususnya daerah). Bagaimana mungkin
pemerintah bisa mengakhiri kemiskinan (TPB-2030 Tujuan1), jika mereka sendiri
masih merasa miskin. Bagaimana mungkin mereka bisa memberi kalau mereka sendiri
merasa tidak cukup. Tujuan 2-17 dapat diuji proses pencapaiannya pada ranah
empiris.
Beberapa hasil
penelitian mahasiswa bimbingan kami di kampus (FE UNM, 2019) menunjukkan betapa
tidak mandirinya pemerintah Daerah di Sulsel. Sampel penelitian daerah
AJATAPPARENG, MAMINASATA, dan Beberapa Kabupaten di Sulsel menunjukkan
tingginya ketergantungan keuangan pemerintah daerah pada pemerintah pusat.
Pengukurannya dengan melihat rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan bantuan
pemerintah dan pinjaman.
Sedangkan Rasio
efektivitas keuangan daerah menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam
merealisasikan PAD yang direncanakan dibandingkan
dengan target yang ditetapkan
berdasarkan potensi riil daerah (Halim, 2007).
Sayangnya kemandirian
keuangan daerah masih rata-rata berpola hubungan instruktif, yaitu
peran Pemerintah Pusat
sangat dominan dari pada kemandirian Pemerintah Daerah. Demikian pula, pada
dominan efektivitas Keuangan Pemerintah Daerah, masih kurang efektif.
Hal ini diperparah
dengan model pengukuran kinerja pemerintah yang hanya melihat tingkat serapan
anggaran. Aneh, regulasi memerintahkan pembangunan berbasis kinerja, artinya
mengukur dimensi outcome (hasil) dan impact (dampak). Namun prioritas
penilaiannya masih berbasis anggaran (input).
Lalu, sampai kapan
kita terilusii dengan doktrin-doktrin model kebijakan pembangunan yang
kedengarannya indah, memesona dibicarakan, namun sulit bahkan amat berat
direalisasikan. Kenapa? Karena pembangunan tidak berbasis pada kewilayahan,
tidak bersesuaian dengan norma adat (Suitability) yang ada di daerah kita
(Sulsel). Menurut hemat kami Pembangunan selain harus Sustainability (keberlanjutan) juga harus Suitability (Kesesuaian) (Alam & Rumi, 2020). Pembangunan yang
bertumpu pada filosofi Sulapa APPA.
Sulapa APPA, Model
kosmos dihubungkan dengan adanya harmoni empat unsur alam, yaitu: udara, air,
api, dan tanah, yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Keempat unsur
ini adalah empat jenis sifat yang dimiliki oleh "manusia yang berbicara", keberanian, kebangsawanan, kekayaan,
keelokan.
Dengan memerhatikan
kondisi kewilayahan beserta nilai-nilai budaya luhur yang ada di dalamnya, ia dapat
menghindarkan kita dari ilusi pembangunan. Hal ini membutuhkan political will yang solid.
Masa pemerintah daerah
hanya 5 tahun, jika hanya sibuk membangun citra dan monumen diri, pertanda
bapak-bapak belum selesai dengan dirinya. Mungkin para pejabat kita perlu
membuka kembali pesan "Renaisance
Man' Karaeng Pattingalloang, yang menyatukan sains dan nilai-nilai
kebijaksanaan dalam memgelola daerah (negara). Istilah sekarang, Pembangunan
yang berdasar pada Based Policy Evidence
plus nilai-nilai kearifan lokal.
Akhirnya, bisakah kita
membangun dan menata daerah yang berani melawan imperialis, berperangai
kebangsawanan yang beradab, dan kalau kaya tidak akan merampok anggaran daerah
secara terstruktur sistematis dan massif.
Wallahu A'lam
Bisshawwab.
*) Dosen Ekonomi Pembangunan FE UNM
Terbit di media cetak Tribun Timur, 07 Februari 2020.
02/12/2019
MERETAS JALAN MENGHADAPI RESESI EKONOMI 2020
December 02, 2019
No comments
Syamsu Alam
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap individu,
organisasi atau negara pernah mengalami pasang surut. Setiap individu pernah
bahagia, khawatir, murung, dan sedih. Bahkan orang sukses dan terkaya di dunia
pun pernah mangalami keterpurukan, lalu bangkit menuju puncak kejayaan. Organisasi
mengalami fluktuatif. Demikianlah hidup, seperti roda kehidupan. Berada di titik
terendah atau pun berada di puncak, adalah pertanda bahwa ada gerak, ada
kehidupan yang dinamis dan bukti ada perubahan.
Lalu, bagaimana dengan kondisi ekonomi kita, Indonesia?
Akhir-akhir ini diprediksi akan terkena imbas pelemahan ekonomi global. Efek
perang dagang, Brexit di Eropa, Krisis Timur Tengah hingga Hongkong, yang sudah
tentu berdampak secara langsung atau tidak langsung pada perkeonomian kita. Ada pula yang melihatnya dari sisi domestik,
bahwa fundamental ekonomi kita sebenarnya tidak begitu tahan menghadapi
guncangan eksternal. Namun kilah pemerintah tetap optimis menghadapi situasi
tersebut. Faktor manakah yang dominan dan bagaimana meretas jalan menghadapi
resesi?
Data: Fact or Fallacy
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis
pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2019 sebesar 5,02% secara tahunan. Angka
ini sebenarnya melambat dibanding kuartal sebelumnya sebesar 5,05% maupun
periode yang sama tahun lalu sebesar 5,17%. Perlambatan ini relatih lebih baik
jika dibandingkan dengan negara se-kawasan. Pada periode Q1-2018 sampai Q2-2019 Indonesia, India, Thailand,
Singapura masing-masing mengalami penurunan sebesar (-0,2%), (-3,0%), (-2,4%),
(-3,1%). Meski melambat, sejumlah ekonom asing meragukan data yang dilansir
BPS. Menurut mereka, perekonomian Indonesia seharusnya tumbuh lebih lambat dari
data BPS.
Gareth Leather (Ekonom Capital Economics, London) meragukan
data yang dilansir BPS. Ia menyebut, indikator bulanan menunjukkan pertumbuhan
ekonomi Indonesia telah melambat tajam selama setahun terakhir. “Kami tak
memiliki kepercayaan pada angka PDB resmi Indonesia, yang telah stabil selama
beberapa tahun terakhir,"
Ekonom Natixis Hongkong juga
mengemukakan hal serupa, "Saya tidak tahu bagaimana ekonomi dapat tumbuh
pada tingkat yang sama untuk waktu yang lama dan ini dimiliki Indonesia. Padahal
pengeluaran pemerintah lemah dan investasi melambat, neraca impor juga
mengalami tekanan. (Trinh Nguyen, 2019).
Pemerintah
mengakui perlambatan ekonomi, Namun, tertolong oleh konsumsi rumah tangga yang
masih kuat. Sementara komponen lain, sesuai rilis BPS, sebenarnya mencatatkan
perlambatan pertumbuhan yang cukup dalam. Misalnya Pembentukan Modal Tetap
Bruto (PMTB) atau investasi pada kuartal III 2019 hanya tumbuh 4,21% dibanding
periode yang sama tahun lalu. Pertumbuhan tersebut melambat dibandingkan
kuartal III 2018 sebesar 6,96%. Pelemahan investasi ini menjadi pertanda nyata
bahwa ekonomi memang lesu.
Meskipun
kontribusi konsumsi rumah tangga menyumbang 56,52% dari pembentukan Produk
Domestik Bruto (PDB) nasional pada periode yang sama, Namun sektor ini
diprediksi akan mengalami koreksi. Penurunan konsumsi barang durable (barang tahan lama) memgalami
penurunan, meskipun nilainya masih di atas 100. Potensi penurunan konsumsi juga
terlihat dari setoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Penerimaan PPN
menggambarkan seberapa besar transaksi di perekonomian. Ketika PPN turun, artinya
aktivitas jual-beli lesu. Data
menunjukan pada Januari-Agustus 2019, penerimaan PPN dalam negeri tercatat Rp
167,63 trilun. Turun 6,47% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Lalu, bagaimana kondisi
konsumen yang dominan namun tak begitu kuasa menghadapi gejolak ekonomi ke
depan.
Power of Powerless
Vaclav
Havel, sastrawan dan mantan presiden Czech pernah mengemukakan tentang kekuatan
(kekuasaan) dari yang tak berkuasa. Havel menawarkan masyarakat yang hidup
dalam kebenaran (Living within the truth),
kehidupan individu yang bebas. Kehidupan yang menyangkal kedustaan dan
kepura-puraan, melainkan hidup yang merdeka dengan tingkat emasipasi diri yang
tinggi. Konsep ini sedikit menyerupai prinsip dalam kapitalisme, yaitu Self-regulating.
Resesi atau krisis adalah kondisi
dinamis dimana pasar mencari keseimbangan baru, dan kita tidak perlu panik
menghadapinya. Tetap berpikir rasional, menahan diri maka kita bias melewati
‘dengan santai’, demikian kata ekonom pro pasar. Namun tentu tidak sesederhana
itu, krisis ekonomi yang disertai krisis politik akan berdampak lebih parah dan
masyarakat lemah akan semakin merana.
Kontribusi
Konsumsi yang tinggi tadi sesaat bisa amblas, dan ekonomi akan terkoreksi cukup
dalam. Perlu menelisik lebih jauh struktur konsumsi tersebut. Jika konsumsi ditopang
oleh komoditas impor maka pada saat resesi akan menyulitkan masyarakat dan
pengusaha lokal, yang selama ini menikmati barang impor impor Yang pada saat
resesi akan mengalami lonjakan harga. Hal ini dikonfirmasi oleh defisit
transaksi perdagangan yang masih minus, mendekati batas aman -3%. Belanja
pemerintah yang tidak produktif menghasilkan produk berdaya saing. Penurunan laba BUMN bahkan ada yang rugi.
Utang swasta dan pemerintah yang tinggi, dll. Jika variabel ekonomi tersebut
bersamaan dengan instabilitas dalam negeri, maka syarat terjadinya resesi
menemukan momentum.
Lalu apa yang dapat diupaya
menghadapi momentum di atas. Pengalaman adalah guru terbaik. Sepanjang sejarah
manusia krisis sehebat apa pun dapat dilalui. Daya tahan the power of powerless,
berpotensi kuat melawan badai resesi. Masyarakat yang hanya kuasa atas dirinya
sendiri membutuhkan sinergi, empati dan trust. Sinergi dapat dirajut antar
lembaga atau antar kebijakan (fiskal-moneter). Empati dapat dipupuk dengan
tauladan. Sedangkan, Trust harus dijaga dengan kejujuran. Jika "mengetatkan
ikat pinggang" adalah cara menghadapi resesi, maka masyarakat sudah
terbiasa dengan hal seperti itu, bagaimana dengan para Tuan dan Puan yang
selama ini menikmati 'kue ekonomi' bangsa ini lebih benyak, sudikah kiranya
mereka mengetatkan ikan pinggang juga atau berbagi sepiring nasi dengan warga
yang powerless.[][]
*) Dimuat di harian Tribun Timur, Senin 25 November 2019.