Read, Write, and Do Something

No Teaching without learning

Menulislah agar abadi

---

Listen, free economic make better

05/08/2019

“Hijrah” antara Rahmat untuk Semesta atau Berkah Bisnis Fashion


Syamsu Alam*)

Seberapa ‘kebeletnya’ kita ikutan arus ‘Hijrah Fest’ yang kini ramai dikemas dalam berbagai kegiatan. Mulai dari asosiasi artis ibukota, artis lokal, lembaga-lembaga pemerintahan hingga kelompok ibu-ibu arisan komplek. Apakah ini sebagai sinyal baik kebangkitan Islam atau sinyalemen pasar bahwa umat Islam adalah potensi ekonomi yang luar biasa, sekaligus potensi politik yang bisa membinasakan. Mari kita baca baik-baik sinyal-sinyal ini. 

Iqra (Bacalah) adalah pesan pamungkas Quran. Membaca sejarah, kisah dan hikmah dapat mencerahkan kita. Diantaranya tentang hijrah, mengapa Rasul Saw memilih hijrah ke negeri Habasyah yang Kristen sebagai tujuan hijrah pertama? Apa pesan penting hijrah Nabi ke Madinah? Dan apa kaitannya dengan massifnya fenomena hijrah satu dekade tarakhir.

Akhir-akhir ini, kata ‘hijrah' santer terdengar di berbagai kalangan, di media cetak dan elektronik. Berhijrah amat populer di kalangan urban muda-mudi, selebritis, eksekutif muda, hingga orang biasa, bahkan teman dekat dan saudara kita. Fenomena hijrah pun telah merangsek ke pelosok desa.

Fitur-fitur artifisial yang dapat disaksikan dari mereka yang memutuskan berhijrah biasanya ditandai dengan berubahnya penampilan, hijab syar’i. Sedangkan bagi laki-laki, umumnya ada gejala peningkatan ‘kaki celana’ dari di bawah mata kaki menjadi di atas mata kaki (cingkrang/tidak Isbal), atau berjubah. Mereka memelihara jenggot dan utama memanjangkannya. Fitur suara yang sering  terdengar, mereka akrab dengan kosakata arab:  antum, ana, ukhti, masya Allah, dll. 

Tak hanya itu, mereka yang merasa berhijrah lebih rajin mempelajari ilmu agama dari majelis pengajian hingga majelis group virtual (WAG) dan ‘youtube’. Pun, kerap membagikan ceramah dan meme konten islami yang diperolehnya dari jejaring media atau komunitasnya.

Fenomena di atas lumrah dan biasa saja, yang mengherankan, ketika mereka mulai ‘menghakimi’ orang lain dengan keyakinan barunya. Mereka bergairah tinggi mendakwahi orang lain. Bahkan, tak jarang kita menyaksikan, mereka mengisolasi diri dari ibadah dan kebiasaan masyarakat pada umumnya. Ungkapan yang meneguhkan bahwa ‘keyakinan terbarunyalah’ yang terbenar yang lain mengada-ada dan menyimpang (bid'ah) bahkan sesat adalah fitur ‘horor’ yang menyesakkan bagi kaum yang belum berhijrah. 

“Jasmerah” Hijrah

Sebelum hijrah, Rasul SAW mengamati kondisi dalam negeri dan negeri-negeri tetangga dengan cermat. Beliau memahami bahwa sumber masalah ada di Jazirah Arabia. Di mana dua kubu saling bertikai antara umat Muslim versus kaum kafir Quraisy yang hatinya sudah terbakar rasa benci, tanpa kompromi.

Sedangkan kondisi negeri-negeri tetangga saat tidak kondusif. Kerajaan Persia masih penyembah api abadi. Romawi yang memperbudak rakyatnya. Tentu kedua negeri tersebut bukan tujuan strategis untuk mempertahankan benih-benih keimanan keluarga dan sahabat.

Kerajaan Habasyah (Ethiopia), yang terletak di seberang lautan. Kondisi geografis ini dipandang begitu menguntungkan bagi umat Muslim yang berhijrah, karena lebih menjamin keselamatan mereka dari kejaran kaum Quraisy yang saat itu belum mahir menghadapi medan laut. Selain itu, Habasyah merupakan kerajaan yang masih menganut ajaran Nabi Isa AS. Raja selalu ditemani oleh para uskup yang tangan mereka tak lepas dari kitab suci Injil. Ia dikenal sebagai raja yang bijaksana, menjunjung tinggi keadilan dalam mengambil keputusan.

Ragib Al-Isfahani (w. 502 H/1108 M), pakar leksikografi Al-Qur’an berpendapat, istilah hijrah mengacu pada tiga pengertian. Pertama, meninggalkan negeri dimana penduduknya sangat tidak bersahabat menuju negeri yang aman dan damai. Kedua, meninggalkan syahwat, akhlak buruk dan dosa-dosa menuju kebaikan dan kemaslahatan (QS. al-Ankabut, 29:26). Ketiga, meninggalkan semua bentuk kemaksiatan, narsisme dan hedonisme menuju kesadaran kemanusiaan dengan cara mujahadah an nafs (mengontrol hawa nafsu) (Musda M, 2017)

Hijrah seutuhnya

Kini, banyak orang yang hijrah, meninggalkan dunianya yang selama ini digelutinya. Banyak artis berhenti jadi artis, musisi, pegawai bank dll, melakukan migrasi profesi, dengan alasan, profesinya mengandung syubhat (bercampurnya yang haq dan bathil). 

Atas hal di atas Quran dengan bijak mengingatkan. Janganlah kau berpindah dari alam ke alam karena kau akan seperti keledai pengilingan, di mana tujuan yang sedang ditempuhnya adalah titik mula ia berjalan. Tetapi berpindahlah dari alam kepada Penciptanya. Allah berfirman, ‘Hanya kepada Tuhanmu titik akhir tujuan,’ (Surat An-Najm: 42).”

Hijrah sebagai fenomena massif di negeri ini berdampak pada interaksi sosiobudaya kita.  Ada teman sebelum ’Hijrah’ asik ditemani ngobrol, setelah ’Hijrah’ mulai kurang asik, menjaga jarak dan akhirnya mengisolasi diri bersama kaum yang sudah ’Hijrah’ lebih awal. 

Dibalik fenomena ’Hijrah’ seolah-olah bangkit kekuatan ekonomi dan politik baru. Jejaring bisnis kaum ’Hijrah’ dengan label-label syar’i dan syariah. Gerakan politiknya pun dapat kita saksikan pada berbagai perhelatan politik di Nusantara ini. Cukup populer di media massa sejumlah tokoh-tokoh yang berfashion ‘Islami’. Orasi-orasi yang dilantunkan pun kearab-araban. Dari sini saya semakin yakin betapa hebatnya sebuah kata-kata bisa menggerakkan seseorang dan solidaritas identitas para kaum ‘hijrah’. Sekali lagi semoga ini pertanda baik, bukannya sinyalemen pasar yang justeru akan memperkokoh rezim eksploitasi pasar kaum ‘hijrah’.

Beberapa hikmah hijrah yang dilakukan Nabi Saw diantaranya, Pertama, fase revolusi diri, membangun pondasi ketauhidan. Fase ini berlangsung pada level individual dan kolektif. Kedua, setelah Hijrah ke Madinah, Nabi saw memperkenalkan ukhuwah Islamiyah (persaudaraan seiman), Ukhuwah Wathaniyah (persaudaraan sebangsa) dan Ukhuwah Basyariyah (persaudaraan sesama manusia). Ketiga, fase perjalanan menuju Ilahi. Fase peleburan nilai-nilai keegoan dengan nilai keilahian. Jangan sekalikali ada perasaan bangga dan merasa diri lebih beriman dari orang lain. Karena penilaian itu hak mutlak sang Khalik.

Kini, pintu hijrah terbuka lebar. Dalam konteks ini hijrah bermakna melakukan upaya-upaya transformasi diri dan masyarakat menuju kualitas yang lebih beradab bukan makin biadab pada sesama makhluk Tuhan yang boleh jadi tidak sepemahaman dengan keyakinan kita.

[][] *) Ketua Masika ICMI Orda Makassar)

21/07/2019

Kuliah (Sekolah), untuk apa?



Kuliah (Sekolah), untuk apa?[Syamsu Alam]



Sekarang musim pendaftaran kuliah tahun 2019. Hal ini bisa jadi berita gembira ataupun berita yang manyayat hati bagi calon dan keluarga calon mahasiswa. Gembira bagi yang lulus dan mampu membayar biaya kuliah. Derita bagi yang tak lulus SBMPTN atau Bidik Misi, dan jalan satu-satunya untuk kuliah, lewat jalur mandiri atau Perguruan Tinggi swasta. Itupun kalau ada koneksi dan koleksi harta untuk biaya kuliah jalur Mandiri. _Hmmmm, Mandiri.. tapi bukan Bank Mandiri yang hari ini down sistemnya_ 😂. Mandiri adalah salah satu jalur prestise masuk kampus Negeri. Prestise dengan bayar yang lebih aduhai.

Kini, masuk perguruan tinggi ibarat memilih dan memilah menu, sesuaikan dnegan isi otak atau isi kantong. Andiakan saat ini saya baru masuk kuliah, sudah dipastikan tidak akan mampu masuk lewat jalur Mandiri. Maka harus bersaing merebut "Golden Ticket" Bidik Misi agar bisa kuliah. Jalur Bidik Misi adalah harapan bagi kaum yang mumpuni kecerdasan akademik namun kurang beruntung dalam hal finansial. Negara memfasilitasinya lewat jalur ini. Semoga jalur ini tidak dimasuki siluman. Sebagaimana yang terjadi pada jalur Mandiri pada umumnya. 😁



Tahun 2005 silam, saat resmi berstatus Sarjana Sains Matematika. Saya membaca tulisan Bob Black, "Penghapusan Dunia Kerja". Bacaan tersebut yang menyebabkan saya mengurunkan niat ikutan wawancara di salah satu perusahaan raksasa di Makassar. Pada saat kuliah, saya tidak serius-serius amat, kecuali saat menjelang selesai, menjelang persentasi tugas akhir. Saya lulus dengan durasi hampir maksimal 6 tahun 8 bulan. IPK tiga koma sembilan.................

belas. Alhamdulillah. "Baru ka santai-santai kuliah IPKku sudah setinggi itu" Apalagi kalau serius. 😁 Sahutku pada teman2 di bawah beton jamur Matematika UNM. Tempat ngobrol dan bernanung dari penatnya belajar matematika.

Kemarin Lembaga Studi Al Muntazar bekerjasama dengan salah satu Himpunan Mahasiswa di UIN Alauddin Makassar menggelar diskusi tentang Kerja dan Rev. Industri 4.0. Mengingatkanku lagi pada tulisan Bob Black. Pada Diskusi tersebut, saya memulai pembicaraan dengan mengutip sana-sini uraian Bob Black tentang "Penghapusan Dunia Kerja" dan mengaitkannya dengan kondisi kekinian.  Awalnya kukira peserta diskusi akan resisten, ternyata sebagai besar mengamini analisa Bob.

Pada diskusi itu, saya mengambil kasus-kasus yang saya dan teman-teman alami di dunia kerja. Apapun profesi pekerjaannya, yang sok santai (pelapak online) atau pun pekerja kantoran yang sebenarnya bekerja bukan 8 jam perhari atau minimal 35 jam perminggu. Tetapi 24 jam perhari selama seminggu. Sesekali menertawai diri sendiri "sebagai pengamen hasil bacaan dan pelajaran" di salah satu kampus negeri di Makassar.

Dalam diskusi tersebut, saya kemukakan bahwa, akhir-akhir ini kerja telah mengalami reduksi yang sangat dalam. Orang tidak akan dikatakan kerja kalau tidak berkantor, dengan jam kerja paten 08.00-17.00. Paling mutakhir tidak dikatakan kerja kalau bukan PNS. Maka wajar antrian pendaftaran CPNS akan melimpah.

Tapi pada prinsipnya kerja yang kita pahami selama ini adalah yang ada kantor (ataupun yang online berkantornya cukup bayar kopi di warkop atau cafe),  ada jam kerja, ada bos, ada _jobdesk_, ada target, dst. Prinsip inilah menurut Bob Black yang melanggengkan sistem kerja penindasan kapitalisme a la _fasisme pabrik_. Yang mana setiap orang yang terlibat di dalamnya mengalami dehumanisasi, alieansi diri dan ketertindasan.

Terdehumanisasi karena kita dipaksa diam atau terpaksa diam atas keburukan-keburukan yang terjadi dalam lingkungan kerja. Kita ketahui ada penyelewengan, ada korupsi, ada kebiadaban tetapi apa daya kita memperbaikinya dan mengubahnya. Melawan secara frontal akan memberikan implikasi panjang pada nasib kita.

Nah, kita yang terlanjur larut dan terdehumanisasi dalam dunia kerja. Tanpa berani mempertanyakan apa sebenarnya kerja? Untuk apa dan siapa, tujuannya apa?  Akan diam-diam saja dan merasa semua hal berjalan normal-normal saja. Padahal jika dicermati dengan seksama kerja dan institusinya telah banyak merusak relasi-relasi kemanusiaan kita.

Nilai kemanusiaan yang paling mendasar adalah Kebebasan. Dan dalam dunia kerja tiada lagi kebebasan. Catat, tiada lagi kebebasan. Sejak menandatangani kontrak kerja, maka pada saat itu kita menggadaikan kebebasan kita. Hal paling mungkin kita lakukan adalah mencuri kembali sedikit demi sedikit kebebasan itu yang telah dirampas oleh dunia kerja.

Berapa jam kita bekerja /hari?  8 jam, tidak. Sebenarnya 24 jam per hari.

Seorang bapak yang bekerja bukan hanya dia yang akan terlibat dalam dunia kerja. Istrinya akan menyetrika bajunya, memasak masakan bergizi agar berstamina prima. Pun, istirahat kita di siang hari dan malam hari adalah rangkaian dunia kerja. Agar esok hari, bisa fit and fresh lagi masuk kerja. Demikian seterunsya dan seterusnya berputar. Berlibur pun adalah rangkaian dari merefresh ketegangan kerja. Semua adalah rangkaian dunia kerja.

Lalu buat apa kita Sekolah, Kuliah? Apakah hanya sekadar memperpanjang barisan perbudakan dunia kerja? Atau sesekali menginterupsinya. Interupsi dengan event-event budaya, diskusi, meditasi, atau lainnya.

Sekolah sebenarnya adalah bahan kayu bakar dari "fasisme pabrik". Apalagi sekolah atau kampus yang tujuan tunggalnya sekadar untuk menciptakan 'Worker' bukannya 'Human'. Institusi sekolah lah yang mengajarkan disiplin dan kadang menkondisikan ketaatan total tanpa interupsi pada suatu aturan. Jika sekolah atau kampus sudah demikian, maka tak ada bedanya dengan penjara. Dan para pengelola kampus adalah sipir.

Karena untuk merealisasikan tawaran Bob Black yang begitu radikal butuh perjuangan dan nafas yang panjang.

Saya justru melihat tawaran Bob, dapat ditelusuri pada jejak-jejak kehidupan kaum sufi. Dimana bekerja dan pekerjaan adalah aktifitas ibadah, bekerja dilakukan dengan riang gembira, bukan karena paksaan dan intimidasi. Kerja yang bermartabat adakah kerja yang dilakukan dengan riang gembira ibarat dunia permainan yang didalamnya ada konsensus yang sifatnya sukarela. Dimana, apabila ada teman bermain yang "curang" atau menyalahi konsensus bersama bisa kita tegur ramai-ramai dengan santai dan tanpa dendam.

Singkat cerita....

Pada sesi penutup diskusi saya bertanya pada audience. Yang bekerja ataupun yang berniat bekerja, Anda sebenarnya mencari apa dipekerjaan, uang atau rejeki? Kekayaan atau kesejahteraan?





Syamsu Alam, Pegiat di Praxis School

28/03/2019

MEMBACA PENEMBAKAN DI NEW ZEALAND DARI PERSPEKTIF GEOPOLITIK


M. Arief Pranoto *)

Geopolitik modern mengisyaratkan bahwa tidak ada perang agama, atau tak ada konflik antarmazhab, perang suku, ras, dan lain-lain melainkan karena faktor geoekonomi. Perang agama, suku dan seterusnya hanya sebuah geostrategi dari si pemilik hajatan guna "memasuki" wilayah dan/atau negara target belaka. Kenapa? Biasanya bagi wilayah atau kawasan yang ditarget memiliki kepentingan entah implikasi maupun kontribusi terkait geoekonomi negeri pemilik hajatan, dan narasi geoekonomi tersebut kerap disebut "national interest" atau kepentingan nasional. 

Selanjutnya terkait asumsi global "If you would understand world geopolitics today, follow the oil" (Deep Stoat), bila ingin paham geopolitik hari ini, ikuti aliran minyak, kita coba memakai teori Deep Stoat sebagai salah satu pisau bedah untuk menguak kasus penembakan masjid di New Zealand (NZ) yang menelan korban tewas 40-an orang lebih.


Pertanyaan pertama, apakah NZ produsen minyak? Ternyata tidak. Tidak ada minyak di NZ, bahkan sejak 2000-an ia mencanangkan go north demi mencari minyak ke utara.

Pertanyaan kedua, apakah di NZ ada sejarah konflik ataupun teroris? Juga tidak. Bahkan menurut PBB di awal 2018, NZ termasuk 10 besar negara paling bahagia karena aspek destinasi, maskapai, dan brand terbaik, dll di bawah Finlandia, Norwegia, Denmark, Islandia, Swiss, Belanda, dan Kanada, tetapi masih di atas Swedia dan Australia. 

Kesimpulan awal, faktor minyak sesuai asumsi Stoat pun gugur, karena selain NZ bukan produsen minyak, juga tak ada sejarah konflik dan teroris di sana. Adanya dugaan bahwa para pelaku penembakan ialah teroris impor merupakan hal logis. Niscaya pelaku bukan warga negara NZ.

Pertanyaan berikutnya, lantas geoekonomi apa yang hendak diraih si pemilik hajatan melalui pintu masuk penembakan liar di masjid kuat diduga ada kepentingan asing di NZ? Ini yang hendak diurai.

Naik dahulu ke isu global. Tak dapat dipungkiri, memasuki Abad ke 21 ada dua isu aktual yang menggejala di dunia geopolitik. Isu dimaksud antara lain:

  1. Pergeseran geopolitik (geopolitical shift) dari Atlantik ke Asia Pasifik. Entah akibat pertumbuhan ekonomi, atau faktor konsumsi, entah karena pasar yang potensial, dan seterusnya. Yang jelas, ada geopolitical shift dan para adidaya berbondong-bondong ke Asia Pasifik. Kajian Jala Sutra ---air yang paling halus--- pergeseran tersebut merupakan ujud keseimbangan alam. Bila kemarin orang melihat Barat, wajar kini menengok ke Timur. Jika Barat adalah era ketenggelaman (matahari) sebab bergerak dari atas ke bawah, maka Timur adalah masa keterbitan (matahari), bergerak tumbuh dari bawah ke atas. Jadi cuma masalah keseimbangan belaka;
  2. Ada perubahan "power concept" dari militer ke power ekonomi. Power cöncept itu sendiri adalah politik kekuatan dalam dunia geopolitik dimana untuk memenuhi tujuan serta cita-cita dilandasi oleh power politik, militer dan power ekonomi. Agaknya tren yang berkembang kini adalah power ekonomi di depan ketimbang dua power (militer dan politik) lainnya. Maka frasa perang dagang lebih disukai daripada lobi politik dan invasi militer yang biaya tinggi serta perlu restu internasional;  
Terkait topik di muka, pertanyaannya adalah, ada apa di negeri-negeri kepulauan (polinesia) di Pasifik terkait geopolitik? 

Tak boleh dipungkiri, kawasan polinesia terutama negara-negara di Pasifik Selatan telah jatuh dalam debt trap (jebakan utang) Cina seperti Fiji, Vanuatu, Kaledonia Baru dan seterusnya. Metode debt trap ala invasi senyap Cina bermodus ekonomi melalui pembangunan infrastruktur relatif efektif terutama di lintasan One Belt One Road (OBOR) atau Jalur Sutra Abad ke 21.

Kelompok negara di lintasan OBOR termasuk negara polinesia digelontar utang dalam jumlah besar yang tak akan sanggup mereka bayar. The Sun melansir, beberapa negara yang menunggak utang dipaksa menyerahkan aset negara, harus mengizinkan Cina membuat pangkalan militer, hingga pemberlakuan mata uang Cina (Yuan) di negara tersebut, dan seterusnya. Salah satu negara di lintasan Jalur Sutra Baru adalah Sri Lanka. Ia menyerahkan pelabuhannya ke Cina dengan konsesi 99 tahun karena gagal bayar. Belum lagi Djibouti yang telah bercokol pangkalan militer Cina, ataupun Zimbabwe dan Angola yang telah memakai Yuan sebagai alat transaksi sehari-hari, dan seterusnya.


Tampaknya geliat OBOR melalui invasi senyapmya telah mengusik hegemoni Barat di Pasifik Selatan karena kelompok negara polinesia mulai "jatuh" satu persatu dalam debt trap Cina. Hanya soal waktu saja (jatuh tempo) untuk mengakuisisinya.

Dalam pola asymmetric warfare (perang asimetris), usai 'isu' ditebar ke publik, akan digulirkan 'tema atau agenda' sebagai lanjutan isu, setelah itu akan ditancapkan 'skema.' Istilahnya ITS (Isu-Tema-Skema). 

Pola yang kerap berulang, isu dan agenda bisa berubah-ubah menyesuaikan waktu dan ruang, tetapi skema hampir tak berubah sepanjang masa yakni mencaplok geoekonomi, atau frasa lainnya ialah mengamankan kepentingan nasional, atau dalam dunia geopolitik sering diistilahkan what lies beneath the surface. Apa yang terkandung di bawah permukaan.

Dari perspektif pola perang asimetris, peristiwa penembakan masjid di NZ, tatarannya hanya isu. Niscaya akan ada tema/agenda lanjutan, kemudian ditancapkan skema. Terpulang dari mens rea si pemilik hajatan. Jika isu dimaksud sebagai pola, niscaya bakal ada lanjutan agenda dan skema. Tetapi jika isu tersebut sebagai modus, maka sifatnya hanya test the water. Memancing reaksi publik. Melihat sikap, reaksi, kekuatan solidaritas dan seterusnya. 

Tuduhan Sadam Hussein menyimpan senjata pemusnah massal, contohnya, itu hanya isu belaka. Pintu masuk saja. Apa agendanya? Serbuan militer koalisi pimpinan Paman Sam. Lantas, setelah agenda sukses, apa skemanya? Ternyata kavling-kavling sumur-sumur minyak di Irak. Ini hanya contoh bekerjanya pola ITS, isu-tema-skema dalam perilaku geopolitik di tingkat global.

Harus diakui, dibanding para adidaya Barat yang terlebih dahulu menancapkan hegemoni di negara-negara polinesia, bahwa agresivitas Cina di Pasifik Selatan melalui silent invasion bermodus utang infrastruktur, sungguh tidak terbendung. Jangankan negara kecil di Lautan Pasifik, bahkan negara sekelas Australia sendiri hampir kebobolan dirembes dari sisi politik, budaya, real estate, pertanian bahkan sampai ke sekolah dasar oleh silent invasion. Invasi senyap ala Cina. Seandainya Sheri Yan ---diduga mata-mata Cina---  yang ditangkap oleh FBI di New York pada Oktober 2015 masih berkeliaran, kemungkinan Australia pun bisa "jatuh" di tangan Cina, sebab target silent invasion adalah elit-elit politik dan para pengambil kebijakan di Australia.

Dan hari ini, agaknya supremasi dan hegemoni Barat di Pasifik mulai  meredup. Bukan karena geliat Cina, namun Jala Sutra mengisyaratkan, niscaya matahari akan  kembali terbit dari Timur meski ia tengah mengurai dimana titik epicentrumnya. Tentang gerak laju Cina di lintasan OBOR, agaknya mulai ada geliat perlawanan dari bangsa-bangsa pada negara dimana invasi senyap Cina beroperasi di Jalur Sutra (baru) Abad ke 21. Ini poin pokok atas kondisi geopolitik di Asia Pasifik. Lantas, siapa pemilik hajatan atau pemilik skema di baik isu penembakan jamaah masjid pada Jumat, 15 Maret 2019 di NZ? 

Ketika tulisan ini terbit, lanjutan agenda memang belum terlihat. Bacaan geopolitik masih gelap. Jika yang dimainkan adalah isu sebagai modus. Selesai sudah, karena sifatnya test the water. Tak ada kelanjutan agenda. Nah, catatan ini mengendus kondisi bahwa yang dimainkan ialah isu sebagai pola. Kendati masih gelap, ada dua kemungkinan siapa di balik isu dimaksud, antara lain:

  • Kemungkinan I adalah Barat. Apa mens rea dan motivasi Barat di belakang isu penembakan? Kharakter perilaku geopolitik ala Barat cenderung membendung gerak siapapun yang berpotensi menggerus supremasi dan hegemoni. Makanya, apapun elemen penguat hegemoni harus dijamin keamanannya. Irak misalnya, ia digempur secara militer pimpinan Amerika Serikat (AS) karena Saddam Hussen berencana mengubah alat transaksi minyak dan cadangan devisa Irak dari US Dollar ke Euro. Demikian pula Libya. Tatkala Kadhafi hendak membuat uang emas/Dirham dan mewajibkan semua piutangnya dibayar dengan Dirham seketika Libya pun dibuat luluh lantak oleh Barat. Itulah skenario "utang dibayar bom" yang pernah berlangsung di Jalur Sutra.
Dan geliat Cina di lintasan OBOR terutama kawasan Pasifik Selatan bukan hanya mengganggu  unsur-unsur supremasinya tetapi sudah menggerus hegemoni. Kenapa harus di NZ tidak di Fiji, atau bukan di Vanuatu? Sebagaimana diketahui bersama, bahwa NZ masuk dalam ANZUS, sebuah pakta pertahanan di Pasifik yang beranggotakan Australia, New Zealand dan AS. Menyentuh salah satu anggota identik menyentuh semuanya. Ada solidaritas dalam ANZUS. Maka jika "Kemungkinan I" yang tengah berlangsung, nanti akan ada pergeseran pasukan ---entah dari Darwin, atau dari Kawasan Komando di sekitarnya--- bergerak ke NZ dengan alasan keamanan kawasan. Itulah agenda lanjutan. Lantas, apa skemanya? Tak lain dan tak bukan guna membendung gerak laju Cina di Pasifik Selatan. 

Pertanyaannya adalah, bagaimana dengan Kemungkinan II?

Ya, Kemungkinan II adalah Cina. Mengapa Cina, lantas apa motivasinya? Ada beberapa alasan, antara lain misalnya: 
  1. Terungkapnya Sheri Yan ---ratu sosialita Australia--- yang kuat diduga adalah agen atau mata-mata Cina. Ia ditangkap oleh agen FBI pada Oktober 2015 di New York;
  2. Ditangkapnya Weng Wanzhou, FCO Huawei oleh otoritas Kanada atas order Paman Sam;
  3. Terbit dan beredarnya buku-buku yang mengurai model "silent invasion" ala Cina yang ditulis oleh Gart Alexander dan Clive Hamilton; dan
  4. Munculnya kesadaran serta penolakan rakyat di Vietnam dan seterusnya, selain akibat tsunami TKA Cina yang merebut lapangan kerja warga lokal, juga faktor jebakan utang dengan segala konsekuensi ketika jatuh tempo. Kedaulatan negara minimal berkurang akibat akuisisi aset-aset strategis, dan seterusnya. 
Hal-hal di atas, setidak-tidaknya menginspirasi beberapa negara ingin berlepas diri dari gelombang invasi senyap Cina yang bermodus utang infrastruktur, atau ingin mengungkap siapa "sosok boneka"-nya seperti halnya kasus  di Thailand (Thaksin), atau di Australia (Sheri Yan) dan seterusnya

Tampaknya top manajemen OBOR membaca atmosfer dan fenomena ini. Adakah operasi senyap telah bocor? Entahlah. Tetapi setidaknya sudah tercium muncul kesadaran bangsa-bangsa di Jalur Sutra Baru di satu sisi, sedang anak panah OBOR telah dilepas dari busurnya pada sisi lain. Selain sulit untuk ditarik kembali, OBOR tak bisa ditarik kembali. Artinya, tak mungkin OBOR dihentikan, namun kesadaran publik yang harus segera digerus atau dialihkan agar tidak mengendala bagi kelanjutan program di kemudian hari. Memang terbaca meski samar, usai AS meninggalkan ruang konflik di Suriah, isu ISIS pun hambar. Kurang laku. Publik global perlu "permainan baru" agar kesadaran yang muncul kembali (tergerus) teralihkan.


All warfare is deception, kata Sun Tzu, semua peperangan adalah tipuan. Butuh strategi dan taktik 'mengecoh langit menyeberangi lautan'. Persepsi dan logika publik perlu dikocok-kocok kembali. Contohnya, bila opini publik selama ini tergiring pada stigma bahwa terorisme identik dengan Islam (radikal), maka isu di NZ telah menimbulkan ruang diskusi baru, isu-isu baru, dialog dan asumsi-asumsi baru. Seperti isu bangkitnya supremasi ras putih, misalnya, atau dialog sentimen perang salib, radikalisme agama dan ras semodel Ku Klux Klan, dan seterusnya. Kondisi semacam ini justru diharapkan oleh Cina terus menggelombang (snowball process). Sekali lagi, opini dan persepsi publik kembali diaduk-aduk, dikocok-kocok. Pelaku teror dipilih ras kulit putih (nonmainstream) menyerang jamaah masjid, ini merupakan kontra isu atas kelaziman subjek dan objek terorisme selama ini yakni "muslim menyerang gereja".


Sampailah pada ujung catatan ini. Meski masih prematur namun dapat dijadikan simpul awal melihat kasus di NZ, yaitu: 


Pertama, bila yang berlangsung adalah Kemungkinan I, niscaya agenda lanjutan usai isu ditebar adalah pergeseran pasukan ke NZ dengan skema kuno: "Membendung gerak laju Cina" di Pasifik Selatan; dan

Kedua, bila yang berlangsung adalah Kemungkinan II, maka agenda lanjutan ialah deception atau penyesatan, pengalihan secara terus menerus, dan seterusnyasedang skemanya adalah: "OBOR berjalan sesuai tahapan".  

Barangkali, inilah bacaan sementara geopolitik atas isu penembakan di NZ. Kendati sentimen ras dan agama itu hidup serta berkembang di publik global, namun isu sentimen tidak menjadi bahasan utama, karena selain untuk menghindari trap geostrategi ala Barat yang selama ini bermain-main di ranah persepsi publik, juga bahasan sentimen nantinya malah bisa menyulut kegaduhan baru berbasis persepsi yang justru menjauhkan dari akurasi kajian.

Apa boleh buat. Tulisan ini cuma analisa, bukan text book. Artinya masih akan muncul kemungkinan-kemungkinan lain selain Kemungkinan I dan II di atas. Dan penulis sangat menyadari keterbatasan fakta, data serta informasi yang berkembang terutama keterbatasan kemampuan serta wawasan, sehingga analisa ini belumlah final. Karena minimnya data, analisa ini hanya berpijak pada pola-pola yang kerap terjadi di panggung geopolitik global.

Dan sesungguhnya kebenaran apapun sifatnya cuma nisbi, relatif dan bergerak sesuai tuntutan zaman. Tesis akan memunculkan antitesis, dan antitesis membidani sintesis dan seterusnya. Tak ada maksud menggurui siapapun terutama pihak-pihak yang berkompeten dibidangnya. Hanya sharing pemikiran tentang apa yang telah terjadi berbasis kredo geopolitik guna mendekati kebenaran sejati, yakni kebenaran-Nya.


Terima kasih.

*) Peneliti Global Institute
Sumber Gsmbar : https://meic.cfainstitute.org