Read, Write, and Do Something

No Teaching without learning

Menulislah agar abadi

---

Listen, free economic make better

27/02/2019

WE, ROCKY GERUNG AND MIDDLE FINGER

Syamsu Alam *)

Pertentangan atau konflik umumnya terjadi disebabkan adanya konsepsi yang menyejarah dalam pikiran kita. Atau pengetahuan masa lalu kitalah yang kerap membuat kita berselisih dengan orang lain. Konsepsi memengaruhi persepsi yang digunakan untuk mengekspresikan tindakan kita, termasuk merespon fenomena.

Respon atas fenomena itulah yang menyebabkan konflik. Kenapa? Karena ada pengetahuan masa lalu yang berbeda dan cenderung dipaksakan. Klaim akalkulah yang sehat, dan yang lain dungu, adalah jenis kedunguan yang sudah lama ada dalam masyarakat yang miskin tradisi literasi. Klaim kelompokku benar, dan kamu salah. Klaim-klaim yang justeru mencederai akal sehat. Apa legitimasi akal sehat? Apakah si Rocky Gerung (RG) yang?

Tidak sesederhana itu, Ferguso.

Mari kita cek ada apa di balik fenomena RG dan middle finger.

Jika ada seseorang mengacungkan middle finger (jari tengah) ke kita, mungkin kita akan merespon dengan emosional. Marah, ngakak, atau balik membalas dengan jari tengah. Kenapa? Karena kita mempunyai pengetahuan sebelumnya tentang jari tengah. Yang bisa diperoleh dari film-film, bacaan, atau dari film spesifik XXX. Ekspresi kita, sekali lagi sangat dipengaruhi oleh konsepsi di kepala kita masing-masing.

Yang berbahaya jika kita terpenjara dalam pengetahuan sebelum tersebut. Dan apakah kita harus marah secara berlebihan? Tergantung jam terbang kita menghadapi ekspresi orang atas diri kita. Jika kita marah mungkin yang kita ketahui tentang jari tengah adalah fuck padahal itu hanya sepenggal arti darinya. Masih banyak makna lain darinya.

Kakek-kakek, nenek-nenek atau siapa pun yang tidak mempunyai pengetahuan sebelumnya tentang middle finger akan bersikap biasa-biasa saja. Ia tidak akan merespon dengan emosional (marah). Dia mungkin akan senyum-senyum saja. Atau bertanya tentang artinya.

Memang benar, kata seperti senjata, bisa membunuh atau bisa menghidupkan. Bisa positif bisa negatif. Dan Kamus, kata Prof. Wim,  tidak bisa menyelesaikan perselisihan arti kata-kata. Menurutku, kamus hanyalah kumpulan arti-arti kata yang subjektif dan bersifat lokalitas (keilmuan, daerah, suku, bangsa, dinasti).

Lalu, apa hubungannya RG dengan jari tengah. Apakah kita akan memberikan predikat middle finger kepadanya. Sekali lagi, tergantung jam terbang menghadapi kenakalan berpikir seseorang. Saya melihat beragam ekspresi muncul di media atas ulah Om RG. Dari yang cacian yang soft sampai yang hard. Dari yang sebelumnya membenci filsafat bahkan mengharamkannya tiba-tiba gemar dan nge-fans dengan orang yang seolah-olah filosof. Entah karena pandangan politik atau apalah.

RG mengingatkan kita pada banyak hal, di antaranya yang berkesan adalah tentang Hoaks. Baginya, Pemerintah adalah pembuat Hoaks paling hebat. Dalam banyak hal dan peristiwa i agree with you, bro. Tetapi tidak dalam hal yang lain. Bahkan banyak hal. Sebut saja di antaranya, saya susah menemukan filosof zaman dulu yang akrab dengan pikiran-pikran seolah-olah  nakal sekaligus piawai mengumbar kata-kata ‘kedunguan’. Bahkan di publik dengan terang menderang menyebut presiden dungu, dst.

RG, middle finger sama dengan konsep Nabi. Kita memiliki konsepsi tentang nabi. Saya pernah disarankan untuk ‘kembali ke jalan yang lurus’ hanya karena membagikan bacaan, tentang Sokrates adalah Nabi. Kenapa bisa begitu, padahal itu hanya bacaan. Boleh jadi karena pengetahuan sejarahnya tentang Nabi dilokalisasi dalam domain ‘Nabi dan Rasul Islam’ yang 25. Padahal ada riwayat menyebutkan ada sekitar 124.000 Nabi. Pemaknaan atas kata-katalah kerap membuat kita bermusuhan, bertikai hingga perang. Kata-kata ‘dimanakan’ misalnya, dalam terminologi orde baru maknanya bisa ‘horor’.

Oleh karena itu sebelum terlalu dalam menghakimi Om RG, mari kita renungkan sosok Om RG.

Saya teringat suatu pesan mulia, bahwa jika Anda menuduh orang sesat, kafir tetapi ia tidak sesat, kafir maka tuduhan itu sesunghuhnya berbalik pada dirinya sendiri. Boleh jadi ia yang sering menuduh  orang lain dungu mungkinkah akan berbalik pada dirinya sendiri. Wallahu a’lam bissawwab. Kehadiran RG ke ruang publik atas branding media, mengingatkan kita pada kaum Sofis, pada zaman Socrates. Mari kita simak sekilas tentang kaum Sofis.

K.Bertens (1999) mengemukakan bahwa Sofis (sophistes) tidak dipergunakan sebelum abad ke-5 SM. Arti yang tertua adalah “seorang yang bijaksana” atau “seorang yang mempunyai keahlian dalam bidang tertentu”.  Herodotos memakai nama sophistes untuk Pythagoras. Pengarang Yunani yang bernama Androtion (abad ke-4 SM) menggunakan nama ini untuk menunjukkan “ketujuh orang bijaksana” dari abad ke-6 SM dan Sokrates.

Lysias, ahli pidato Yunani yang hidup sekitar permulaan abad ke-4 memakai nama ini untuk Plato. Tetapi dalam abad ke-4 SM nama philosophos menjadi nama yang biasanya dipakai dalam arti sarjana atau cendikiawan, sedangkan nama sophistes khusus dipakai untuk guru-guru yang berkeliling dari kota ke kota dan memainkan peranan penting dalam masyarakat Yunani sekitar paruh kedua abad ke-5. Di sini kita juga menghunakan kata Sofis dalam arti terakhir ini.

Pada kemudian hari nama Sofis tentu tidak harum. Akibatnya masih terlihat dalam bahasa-bahasa modern. Dalam bahasa Inggris misalnya kata sophist menunjukkan seseorang yang menipu orang lain dengan mempergunakan argumentasi-argumentasi yang tidak sah. Cara berargumentasi yang dibuat dengan maksud itu dalam bahasa Inggris disebut sophism atau sophistery. Terutama Sokrates, Plato, dan Aristoteles dengan kritiknya pada kaum Sofis menyebabkan nama Sofis berbau jelek.

Salah satu tuduhan adalah bahwapara Sofis meminta uang untuk pengajaran yang mereka berikan. Dalam dialog Protagoras, Plato mengatakan bahwa para Sofis merupakan “pemilik warung yang menjual barang rohani”. Aristoteles mengarang buku yang berjudul Sophistikoi Elenchoi (cara-cara berargumentasi kaum Sofis); maksudnya, cara berargumentasi yang tidak sah. Demikian para Sofis memeroleh nama jelek.

Kaum Sofis juga dikenal kerap menebarkan keraguan pada khalayak tanpa memberikan keteguhan keyakinan. Ia menafikan hampir segala hal, namun tiada penetapan kebenaran. Maka makin menyatalah, kegaduhan di mana-mana. Sebahagian besar orang agar meragukan banyak hal, celakanya lagi jika tiada standar kebenaran yang diyakini. Hal mana akan menggiring kita pada nihilisme.

Menurutku, nihilisme (meragukan segala hal, tanpa satu tujuan) hanyalah titik awal menuju keyakinan, sebagaimana yang diikrarkan oleh kaum Muslim. Lailaha, Tiada Tuhan, Illallah Kecuali Allah. Kata pertama adalah pengingkaran segala hal, setelahnya harus ada penetapan (tasdiq) keyakinan. Kisah Nabi Ibrahim mencari Tuhan adalah contoh yang paling tepat untuk hal pengangkaran-penetapan keyakinan.

Semestinya, fenomena RG ditanggapi seadanya saja. Orang-orang yang mencibirnya berlebihan, tak ada bedanya dengan kaum fanatiknya yang mengelu-elulannya dengan takbir. Bagi saya, hadirnya RG hanyalah fenomena standar yang mengajarkan keraguan-raguan untuk senantiasa memperbaharui keyakinan dan kebiasaan. Menurut Muthahhari, keragu-raguan adalah tahap awal menuju keyakinan.

Namun, jangan berlama-lama sampai menetap pada keragu-raguan tersebut. Bahkan, sejatinya kita senantiasa memperbaharui keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebiasaan kita. Karena sabda Sokrates mengingatkan bahwa hidup yang tidak pernah dikritisi atau (dipertanyakan/diragukan) adalah hidup yang tak layak dihidupi.

Namun perlu diingat bahwa hadirnya RG tak seindah kisah Sokrates atau pun Syekh Siti Jenar yang menjadi tumbal penguasa zalim. Karena mempertahankan keyakinan akan keesaan Tuhan. Adakah RG mengajarkan hal itu, sejauh ini, belum. Ia baru sampai pada tahap awal keragu-raguaan. Dan jika kukuh diposisi itu, hakkul yaqin pada kegenitan intelektual, mengobrak-abrik apa pun yang ia hadapi, itulah senyata-nyatanya kedunguan. Wallahau a’lam Bisshawwab.

Esai ini pernah dimuat di Kalaliterasi.com
*) Pegiat di Praxis Community

Chaos dan Mitigasi Krisis Ekonomi

Chaos dan Mitigasi Krisis Ekonomi *)
Syamsu Alam **)

Image result for butterfly effect and chaos

Bisakah kepakan sayap kupu-kupu di Maros menyebabkan Tsunami di Palu? atau Mungkinkah cuitan Donald Trump di Twitter menyebabkan krisis ekonomi yang dahsyat di negara emerging market? itulah sekilas tentang Butterfly Effect dalam Teori Chaos. Hal yang kecil dapat membawa dampak yang besar.

Pada sesi perdagangan 5/10/2018 rupiah ditutup melemah pada level psikologis 15.177/USD Dollar. Hal ini berpotensi viral dan meluber kemana-mana di linimasa. Sebahagian orang menilai adanya siklus krisis ekonomi 10 tahunan, namun tak harus khawatir. Krisis ekonomi 1998, Krisis keuangan 2008, dan kini 2018. Kekhawatiran ini muncul karena banyaknya negera-negara berkembang yang dilanda krisis, seperti Venezuela, Turki, dan lain-lain. Seberapa pentingkah mitigasi krisis dilakukan? Tindakan sistematis dan terukur perlu diupayakan di tengah ekonomi yang saling berkaitan (Intrelinkage).

Dalam sistem ekonomi global yang saling terkait, dapat memicu terjadinya krisis sistemik. Efek krisis di negara lain dapat memicu krisis di negara lainnya. Sistem ini menyerupai hukum Chaos dalam Teori Chaos Lorenz yang terkenal dengan butterfly effect. Bahwa, kepakan sayap kupu-kupu di Brazil dapat menyebabkan Tsunami di Aceh. Kini, cuitan Donald Trump di Twitter dapat memicu krisis di negara-negara emerging market. Kenapa? karena efek psikologis dapat dengan mudah mengubah keputusan seseorang (investor) dalam sekejap. Portofilo sahamnya dengan seketika dapat dipindahkan dari satu negara ke negara yang lain.

Itulah mengapa krisis di negara tertentu dapat memengaruhi kinerja ekonomi negara lain, apalagi negera-negara berkembang. Karena efek psikologis, disertai bayang-bayang kepanikan, jikalau krisis merebak lebih luas ke negara-negara yang berkapitalisasi kecil. Beberapa negara emerging market mengalami pelemahan nilai tukar terhadap dollar AS. Per periode september 2018, masing-masing negara mengalami pelemahan terhdap USD year to date; Won Korea Selatan (-5,02%), Rupiah Indonesia (-8,98%), Rupe India (-11,18%), Ruble Rusia (-15,49%) Radn Afsel (-19,11%), Real Brazil (-20,10%), dan Lira Turki (-42,12%) (Kontan, 24/9/2018).

Tahun 1998 versus 2018

Nilai tukar rupiah akhir-akhir ini terus mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat. Seperti diketahui, pada perdagangan periode 5 agustus 2018 rupiah menembus level psikologis Rp15.117 per USD. Melemahnya nilia tukar bukan satu-satunya variabel ekonomi yang dapat menyulut terjadinya krisis. Fundamental makro ekonomi lainnya patut menjadi pertimbangan untuk menilai suatu negara berpotensi krisis atau tidak.

Beberapa indikator fundamental ekonomi kita patut diperhatikan. Indikator tersebut adalah Inflasi, Pertumbuhan ekonomi, Suku bunga, dan Current Account Deficit (CAD), Cadangan Devisa. Jika memerhatikan krisis keuangan 1997/1998 dimana pertumbuhan ekonomi domestik terkontraksi (-13,1%), Biaya yang dikeluarkan untuk penyelamatan perbankan sebasar 50% PDB, Perubahan Indeks Saham (-37) dan Nilai Tukar (-128,7). Inflasi 78 persen, Hampir semua bank kolaps di 1998. Semakin diperparah dengan kondisi politik yang tidak stabil, menjelang lengsernya Suharto.

Kini 2018, situasinya berbeda, meskipun rupiah menembus level 15 ribuan, namun indikator makroekonomi lainnya dianggap masih tahan guncangan eksternal. Inflasi september 2018 3,5 %, ekonomi masih bertumbuh lebih dari 5 %, suku bunga 5,75 %. Posisi cadangan devisa Indonesia cukup tinggi sebesar USD117,9 miliar pada akhir Agustus 2018. Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,8 bulan impor atau 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor, (BI: 08/2018). CAD meskipun cenderung tergerus, namun dianggap masih mampu membiayai defisit yang sedang terjadi.

Ekonomi kita memang sedang mengalami koreksi, pemerintah harus akui itu. Penyebab dominannya karena faktor eksternal. Kapitalisasi pasar kita sudah tergerus 2,74% dibanding akhir 2017 silam yang sebesar Rp 6.560 triliun. Mengutip Bloomberg, kapitalisasi pasar saham domestik mencapai Rp 6.380 triliun.

Defisit Transaksi berjalan yang sehat antara dua hingga 2,5 persen dari PDB. Penting untuk menekankan bahwa defisit transaksi berjalan tidak selalu buruk. Serupa dengan arus kas negatif sebuah perusahaan, defisit ini bisa menjadi hal yang positif apabila dana ini digunakan untuk tujuan-tujuan investasi produktif (yang menghasilkan aliran pendapatan di masa mendatang) seperti pembangunan industri atau infrastruktur. Tetapi kalau defisit ini hanya digunakan untuk konsumsi, terjadi ketidakseimbangan struktural karena defisit tidak menghasilkan aliran pendapatan di masa mendatang. Utang pemerintah juga lumayan tinggi, batas psikologis dari Menkeu 30%. Berdasarkan regulasi pasal 12 ayat 3 UU Keuangan negara maksimum 60% terhadap PDB, 30%  batas psikologis dari Menkeu.

Waspadai Sudden Reverseal

Determinan sudden reverseal, yaitu penurunan aliran modal asing yang disertai paling tidak dengan salah satu krisis keuangan meliputi krisis nilai tukar, krisis perbankan, serta krisis hutang. Sudden Stop/ Reverseal, ibarat orang mengemudi mobil, dan tiba-tiba berhenti. Sudden reverseal crisis diawali oleh terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap beberapa mata uang utama sebagai akibat krisis nilai tukar. Kondisi ini diperparah dengan tingginya suku bunga riil dunia sehingga mempersulit perusahaan-perusahaan yang mempunyai hutang luar negeri terutama berjangka pendek dan jatuh tempo.

Hal di atas dapat menyebabkan kredit macet di sektor perbankan karena hutang tersebut sebagian besar difasilitasi sektor perbankan. Sementara itu, jika pemerintah tidak mempunyai cukup dana cadangan untuk menyelamatkan sektor perbankan, maka dapat memicu krisis sistemik. Bagi Keynes, krisis terjadi karena banyak orang ingin hidup di luar batas kemampuannya? Orang makassar menyebutnya STEPA (Selera Tinggi Ekonomi Pacce (Lemah).

*)  Dimuat di Harian Tribun Timur, Kamis 11 Oktober 2018
**) Dosen FE UNM/Pengurus Masika ICMI Makassar


07/10/2018

Perang Ekonomi dan Bagaimana Menghadapinya

Syamsu Alam*)

Kita, umumnya menyukai barang yang harganya murah dan kualitasnya bagus alias mumpuni. Kita sering menyebutnya "barangnya kompetitif". 

Keunggulan kompetitif menurut M. Porter bukan membunuh pesaing (lawan) melainkan kita menunjukkan kinerja lebih baik. Sumber daya yang sama tetapi kita bisa berbuat atau berproduksi lebih berkualitas. Waktu kita sama 24/7 tetapi kita mampu mengoptimalkannya. Media sosial yang kita gunakan sama, namun optimalisasinya beragam. Ada yg manfaatkan untuk jualan, media belajar, media berbagi pengetahuan dan kembangkan skill, hingga cari jodoh, cari duit, dan ada pula yang cari musuh alias pengikut paham "nyiyirianisme".

Kalau kita menang atau untung, untunglah dengan terhormat, tidak dengan cara-cara curang, seperti pembunuhan karakter pihak pesaing. Kalau pun rugi (kalah), rugi dan cut loss lah dengan elegan, kata teman saya🤔. Kalau kita masuk dalam barisan orang-orang rugi,  rugilah seminimal mungkin. Itulah kompetitif. Menang dengan Happy, kalah dengan elegan.

Sejumlah analis menilai tekanan yang terjadi di pasar  keuangan emerging market menjadi kesempatan investor memburu aset di negara berfundamental kuat. Logikanya, kalau 1$ setara 15 rb berarti bagus untuk investasi. Yang bermasalah kalau kita sudah terlanjur invest di perusahaan atau di negara tersebut. Seandainya saya masih punya stok modal lebih banyak, saya akan beli saham-saham perusahaan yg fundamentalnya bagus. Saya susah cut loss dengan elegan 😂.

Kita memang sedang mengalami krisis, pemerintah harus akui itu. Kapitalisasi pasar kita sudah tergerus 2,74% dibanding akhir 2017 silam yang sebesar Rp 6.560 triliun. Mengutip Bloomberg, kapitalisasi pasar saham domestik mencapai Rp 6.380 triliun. Current Account Deficit, per 2 september 2018 sebesar $-5,7 B (TradingEconomic). 

Current Account Deficit yang sehat itu antara dua hingga 2,5 persen dari PDB. Penting untuk menekankan bahwa defisit transaksi berjalan tidak selalu buruk. Serupa dengan arus kas negatif sebuah perusahaan, defisit ini bisa menjadi hal yang positif apabila dana ini digunakan untuk tujuan-tujuan investasi produktif (yang menghasilkan aliran pendapatan di masa mendatang) seperti pembangunan industri atau infrastruktur. Tetapi kalau defisit ini hanya digunakan untuk konsumsi, terjadi ketidakseimbangan struktural karena defisit tidak menghasilkan aliran pendapatan di masa mendatang. Utang pemerintah juga lumayan tinggi, batas psikologis dari Menkeu 30%. Berdasarkan regulaai pasal 12 ayat 3 UU Keuangan negara maksimum 60% terhadap PDB, 30%  batas psikologis dari Menkeu. Sekarang sudah 29,%. Data-data makro ini bisa diakses di laman Bank Indonesia atau trading Economics, dll.

Kita masih ingat, Dinamika geopolitik global paling aktual yang layak dicermati bersama ialah currency war alias perang mata uang antara Amerika Serikat (AS) melawan Turki. Dolar versus Lira. AS mengancam TurkI dengan embargo finansial akibat praktik spioanase Paman Sam di Turki dibongkar oleh Erdogan. Secara nasionalisme Turki merupakan prestasi, namun peristiwa tersebut justru aib bagi AS.

Seruan untuk tidak menggunakan Dollar sebagai transaksi global utama menarik dicermati. Namun butuh nyali dan 'kuda-kuda" yang kokoh. Beberapa negara yang tidak sepenuhnya memakai US Dollar dalam traksaksi perdagangannya adalah Rusia, China, Iran, Jepang (?) dan kali ini Turki. Awalnya mungkin sakit, tapi jika kokoh maka bisa bangkit menjadi negara mandiri.

Kita memang harus bisa bangkit. Optimisme tetap ada asal jangan keterlaluan. Pelemahan rupiah 2018 amat jauh berbeda dengan 97/98. Kondisi politiknya berbeda, tren kenaikannya berbeda, dan tentu orang-orang yang menghadapinya juga beda. Mestinya cara pandang dan tindakan menghadapinya juga sedikit lebih maju.

Pada setiap kasus pasti ada sisi positif dan negatif, termasuk krisis. Rupiah anjlok tetap saja ada yang cuan besar. Bayangkan saja kalau mereka beli dollar di harga 10.000/usd, dan memiliki 1 juta dollar. Cuannya lumayan banyak, untuk sekadar cetak stiker kampanye, atau membiayai lomba makan kerupuk se-kabupaten. Barang-barang ekspor sudah tentu untung besar. Tapi derita bagi importir.

Pemerintah (yang serius) tangani krisis ini sudah pasti otak-atik strategi. Dari resep leluhur sampai resep milenial. Mainkan suku bunga, jual SBN, batasi impor barang-barang konsumsi, "rupiahnisasi" DHE (Dana Hasil Ekspor), Aksi BI membeli Surat berharga yang dijual asing, sembari menjaga psikologis investor, masyarakat, dan tentu lawan-lawan politik yang terjebak dalam paham 'Nyinyirisme'. Kritis boleh, asal tapi jangan lupa memberi apresiasi pada selebrasi Jojo 😂.

Currency War

Setidaknya ada 3 Alasan mengapa Negara mendevaluasi mata uangnya. Pertama, Meningkatkan Ekspor.  Currency War (Perang mata Uang) dalam perekonomian terbuka hampir tidak bisa dihindari. Era kapitalisme lanjut, membuat negara-negar berkapitalisasi kecil rentan guncangan eksternal. Entah arus modal yang masuk, atau pun arus modal yang keluar. Itulah mengapa negara-negara berkembang amat rentan krisis. Apalagi negara-negara yang senyatanya melakukan perlawanan terhadap Dollar AS.

Beberapa hal yang mungkin bisa kita upayakan adalah,  Pertama, kepemimpinan yang kuat diperlukan pada sebuah bangsa agar tidak dipermainkan oleh negara adidaya. Kuat, tidak dinilai dari fisik yang 'aduhai', tetapi nyali melawan para komprador dan egresor, sejauh kamampuan kita. Termasuk nyali menanggung risiko atas kebijakan yang diterapkan. 

Kedua,  Nasionalisme, mutlak harus tetap ditanamkan kepada setiap warga negara pada semua level umur, pada setiap profesi, agar bila menghadapi situasi (darurat) tertentu ---dari perspektif geopolitik--- mampu menjadi "amunisi dahsyat" bagi kedaulatan sebuah bangsa. Meskipun ajakan nasionalisme menyimpan 'potensi ilusi', tetapi jika pengelolah negara mampu memberi tauladan, mengapa tidak. Cina, Jepang, dan Iran bisa menjadi contoh model Nasionalisme yang baik.

Ketiga, aksi nyata melalui pikiran, ide dan tindakan nyata. Mengencangkan ikat pinggang saat krisis adalah salah satu resep leluhur yang tak lekang dimakan zaman.

Berkaitan dengan poin ketiga, Itulah mengapa saya menunda membeli mobil impor sekelas Lamborghini :P. Sebagai salah satu kontribusi saya pada negara. Ingin menukar dollar tapi apa daya, dollar tak punya 😂.


Berikut saya kutip hasil diskusi dengan teman saya (Moh. Zaki Amami) yang tinggal di Iran. Beliau menuturkan bagaimana Iran dapat bertahan di tengah badai Perang yang dihadapinya. Embargo ekonomi yang dideritanya, bahkan menurut perhitungan Prof. H. Hanke dari John Hopkins University sebagaimana berikut.



Inflasi Iran yang meningkat sampai 267% selama kurun waktu 4 bulan. Andaikan hal tersebut terjadi di Negara kita, saya bisa memprediksi hampir semua netizen akan berubah profesi sesaat menjadi pakar Inflasi. Pakar yang akan menyalahkan pihak otoritas, dan bahkan akan memprovokasi warga untuk melakukan demonstrasi massif yang justru akan melumpuhkan perekonmian. Lalu, apa resepnya sehingga Iran dapat bertahan di tengah badai embargo ekonomi dan serangan meiliter dari pihak musuh.

Dukungan negara sekutu dan kondisi politik domestik turut membantu Iran dalam menghadapi berbagai guncangan ekonomi politik dan keamanan negara. Beberapa poin positif yang dapat dipelajari dari kemampuan daya tahan dan saya saing Republik Islam Iran adalah sebagai berikut:

  1. Dukungan penuh rakyat pada pemerintah dan Ulama.
  2. Optimisme masyarakat pada keadaan yang pasti membaik
  3. Mengkonsumsi produk dalam negeri mulai sabun, hingga mobil.
  4. Dari turunnya nilai mata uang, Negara memberikan kompensasi berupa gratisnya listrik, air atau Gas. berbeda (beda tiap kota) bahkan untuk gas di Iran cukup bayar Rp 10.000 (untuk 2 bulan). 
  5. Regulasi jelas untuk pasar gelap (Seperti mata uang, barang Impor) jika ketahuan pelakunya pasti ditindak tegas.
  6. Oposisi membantu pemerintah dalam memerangi musuh bersama (Amerika Serikat) dengan cara berbeda, karena mereka juga mengetahui makar musuh. 
  7. Kesederhanaan rakyat dan gaya hidup minimalis dan sederhana. (Misalnya. Warga Iran makan nasi cukup 1x sehari, Orang-orang kaya pun rela antri beli roti kering di pinggir jalan).
  8. Membatasi Impor dengan sangat ketat bahkan mengenakan pajak hingga 300% bagi mereka yang sengaja Impor (mis. mobil Hyundai harga di Indonesia sktr 150jt, di Iran bisa sampe 800jt, karena pajaknya sangat tinggi. Masyarkatpun berbondong2 beli mobil nasional/motor yg dibuat oleh Iran seperti Saipa DLL (kualitas ekspor).
  9. Terakhir, ikhtiar harus terus diupayakan sekecil apapun, sembari berdoa kehadirat Tuhan YME.

Kesuksesan Iran, setidaknya hingga saat ini menghadapi embargo ekonomi dan serangan militer membuat Mahatir Muhammad bertandang beberapa kali ke Iran. Mahatir Muhammad mengetahui betul, Geopolitik global yang terjadi dan bagaimana harus bersikap dan kepada siapa harus belajar. Tuntutlah Ilmu sampai ke Negeri Iran. Pepatah zaman Now.


*) Pegiat di Praxis School