27/02/2019
Chaos dan Mitigasi Krisis Ekonomi
February 27, 2019
No comments
Chaos dan Mitigasi Krisis Ekonomi *)
Syamsu Alam **)
Bisakah kepakan sayap kupu-kupu di
Maros menyebabkan Tsunami di Palu? atau Mungkinkah cuitan Donald Trump di
Twitter menyebabkan krisis ekonomi yang dahsyat di negara emerging market?
itulah sekilas tentang Butterfly Effect
dalam Teori Chaos. Hal yang kecil dapat membawa dampak yang besar.
Pada sesi perdagangan 5/10/2018 rupiah ditutup melemah pada level psikologis 15.177/USD Dollar. Hal ini berpotensi viral dan meluber kemana-mana di linimasa. Sebahagian orang menilai adanya siklus krisis ekonomi 10 tahunan, namun tak harus khawatir. Krisis ekonomi 1998, Krisis keuangan 2008, dan kini 2018. Kekhawatiran ini muncul karena banyaknya negera-negara berkembang yang dilanda krisis, seperti Venezuela, Turki, dan lain-lain. Seberapa pentingkah mitigasi krisis dilakukan? Tindakan sistematis dan terukur perlu diupayakan di tengah ekonomi yang saling berkaitan (Intrelinkage).
Dalam sistem ekonomi global yang saling terkait, dapat memicu terjadinya krisis sistemik. Efek krisis di negara lain dapat memicu krisis di negara lainnya. Sistem ini menyerupai hukum Chaos dalam Teori Chaos Lorenz yang terkenal dengan butterfly effect. Bahwa, kepakan sayap kupu-kupu di Brazil dapat menyebabkan Tsunami di Aceh. Kini, cuitan Donald Trump di Twitter dapat memicu krisis di negara-negara emerging market. Kenapa? karena efek psikologis dapat dengan mudah mengubah keputusan seseorang (investor) dalam sekejap. Portofilo sahamnya dengan seketika dapat dipindahkan dari satu negara ke negara yang lain.
Dalam sistem ekonomi global yang saling terkait, dapat memicu terjadinya krisis sistemik. Efek krisis di negara lain dapat memicu krisis di negara lainnya. Sistem ini menyerupai hukum Chaos dalam Teori Chaos Lorenz yang terkenal dengan butterfly effect. Bahwa, kepakan sayap kupu-kupu di Brazil dapat menyebabkan Tsunami di Aceh. Kini, cuitan Donald Trump di Twitter dapat memicu krisis di negara-negara emerging market. Kenapa? karena efek psikologis dapat dengan mudah mengubah keputusan seseorang (investor) dalam sekejap. Portofilo sahamnya dengan seketika dapat dipindahkan dari satu negara ke negara yang lain.
Itulah mengapa
krisis di negara tertentu dapat memengaruhi kinerja ekonomi negara lain,
apalagi negera-negara berkembang. Karena efek psikologis, disertai bayang-bayang
kepanikan, jikalau krisis merebak lebih luas ke negara-negara yang
berkapitalisasi kecil. Beberapa negara emerging market mengalami pelemahan
nilai tukar terhadap dollar AS. Per periode september 2018, masing-masing negara
mengalami pelemahan terhdap USD year to
date; Won Korea Selatan (-5,02%), Rupiah Indonesia (-8,98%), Rupe India
(-11,18%), Ruble Rusia (-15,49%) Radn Afsel (-19,11%), Real Brazil (-20,10%),
dan Lira Turki (-42,12%) (Kontan, 24/9/2018).
Tahun 1998 versus 2018
Nilai tukar rupiah akhir-akhir ini terus mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat. Seperti diketahui, pada perdagangan periode 5 agustus 2018 rupiah menembus level psikologis Rp15.117 per USD. Melemahnya nilia tukar bukan satu-satunya variabel ekonomi yang dapat menyulut terjadinya krisis. Fundamental makro ekonomi lainnya patut menjadi pertimbangan untuk menilai suatu negara berpotensi krisis atau tidak.
Beberapa indikator fundamental ekonomi kita patut diperhatikan. Indikator tersebut adalah Inflasi, Pertumbuhan ekonomi, Suku bunga, dan Current Account Deficit (CAD), Cadangan Devisa. Jika memerhatikan krisis keuangan 1997/1998 dimana pertumbuhan ekonomi domestik terkontraksi (-13,1%), Biaya yang dikeluarkan untuk penyelamatan perbankan sebasar 50% PDB, Perubahan Indeks Saham (-37) dan Nilai Tukar (-128,7). Inflasi 78 persen, Hampir semua bank kolaps di 1998. Semakin diperparah dengan kondisi politik yang tidak stabil, menjelang lengsernya Suharto.
Kini 2018, situasinya berbeda, meskipun rupiah menembus level 15 ribuan, namun indikator makroekonomi lainnya dianggap masih tahan guncangan eksternal. Inflasi september 2018 3,5 %, ekonomi masih bertumbuh lebih dari 5 %, suku bunga 5,75 %. Posisi cadangan devisa Indonesia cukup tinggi sebesar USD117,9 miliar pada akhir Agustus 2018. Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,8 bulan impor atau 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor, (BI: 08/2018). CAD meskipun cenderung tergerus, namun dianggap masih mampu membiayai defisit yang sedang terjadi.
Beberapa indikator fundamental ekonomi kita patut diperhatikan. Indikator tersebut adalah Inflasi, Pertumbuhan ekonomi, Suku bunga, dan Current Account Deficit (CAD), Cadangan Devisa. Jika memerhatikan krisis keuangan 1997/1998 dimana pertumbuhan ekonomi domestik terkontraksi (-13,1%), Biaya yang dikeluarkan untuk penyelamatan perbankan sebasar 50% PDB, Perubahan Indeks Saham (-37) dan Nilai Tukar (-128,7). Inflasi 78 persen, Hampir semua bank kolaps di 1998. Semakin diperparah dengan kondisi politik yang tidak stabil, menjelang lengsernya Suharto.
Kini 2018, situasinya berbeda, meskipun rupiah menembus level 15 ribuan, namun indikator makroekonomi lainnya dianggap masih tahan guncangan eksternal. Inflasi september 2018 3,5 %, ekonomi masih bertumbuh lebih dari 5 %, suku bunga 5,75 %. Posisi cadangan devisa Indonesia cukup tinggi sebesar USD117,9 miliar pada akhir Agustus 2018. Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,8 bulan impor atau 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor, (BI: 08/2018). CAD meskipun cenderung tergerus, namun dianggap masih mampu membiayai defisit yang sedang terjadi.
Ekonomi kita memang sedang
mengalami koreksi, pemerintah harus akui itu. Penyebab dominannya karena faktor
eksternal. Kapitalisasi pasar kita sudah tergerus 2,74% dibanding akhir 2017
silam yang sebesar Rp 6.560 triliun. Mengutip Bloomberg, kapitalisasi pasar
saham domestik mencapai Rp 6.380 triliun.
Defisit Transaksi berjalan yang
sehat antara dua hingga 2,5 persen dari PDB. Penting untuk menekankan bahwa
defisit transaksi berjalan tidak selalu buruk. Serupa dengan arus kas negatif
sebuah perusahaan, defisit ini bisa menjadi hal yang positif apabila dana ini
digunakan untuk tujuan-tujuan investasi produktif (yang menghasilkan aliran
pendapatan di masa mendatang) seperti pembangunan industri atau infrastruktur.
Tetapi kalau defisit ini hanya digunakan untuk konsumsi, terjadi
ketidakseimbangan struktural karena defisit tidak menghasilkan aliran
pendapatan di masa mendatang. Utang pemerintah juga lumayan tinggi, batas
psikologis dari Menkeu 30%. Berdasarkan regulasi pasal 12 ayat 3 UU Keuangan
negara maksimum 60% terhadap PDB, 30%
batas psikologis dari Menkeu.
Waspadai Sudden Reverseal
Determinan sudden reverseal, yaitu penurunan aliran modal asing yang disertai
paling tidak dengan salah satu krisis keuangan meliputi krisis nilai tukar,
krisis perbankan, serta krisis hutang. Sudden
Stop/ Reverseal, ibarat orang mengemudi mobil, dan tiba-tiba berhenti. Sudden
reverseal crisis diawali oleh terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap
beberapa mata uang utama sebagai akibat krisis nilai tukar. Kondisi ini
diperparah dengan tingginya suku bunga riil dunia sehingga mempersulit
perusahaan-perusahaan yang mempunyai hutang luar negeri terutama berjangka
pendek dan jatuh tempo.
Hal di atas dapat menyebabkan
kredit macet di sektor perbankan karena hutang tersebut sebagian besar
difasilitasi sektor perbankan. Sementara itu, jika pemerintah tidak mempunyai
cukup dana cadangan untuk menyelamatkan sektor perbankan, maka dapat memicu
krisis sistemik. Bagi Keynes, krisis terjadi karena banyak orang ingin hidup di
luar batas kemampuannya? Orang makassar menyebutnya STEPA (Selera Tinggi
Ekonomi Pacce (Lemah).
*) Dimuat di Harian Tribun Timur, Kamis 11 Oktober 2018
**) Dosen FE UNM/Pengurus Masika ICMI Makassar
07/10/2018
Perang Ekonomi dan Bagaimana Menghadapinya
Syamsu Alam*)
Kita, umumnya menyukai barang yang harganya murah dan kualitasnya bagus alias mumpuni. Kita sering menyebutnya "barangnya kompetitif".
Keunggulan kompetitif menurut M. Porter bukan membunuh pesaing (lawan) melainkan kita menunjukkan kinerja lebih baik. Sumber daya yang sama tetapi kita bisa berbuat atau berproduksi lebih berkualitas. Waktu kita sama 24/7 tetapi kita mampu mengoptimalkannya. Media sosial yang kita gunakan sama, namun optimalisasinya beragam. Ada yg manfaatkan untuk jualan, media belajar, media berbagi pengetahuan dan kembangkan skill, hingga cari jodoh, cari duit, dan ada pula yang cari musuh alias pengikut paham "nyiyirianisme".
Kalau kita menang atau untung, untunglah dengan terhormat, tidak dengan cara-cara curang, seperti pembunuhan karakter pihak pesaing. Kalau pun rugi (kalah), rugi dan cut loss lah dengan elegan, kata teman saya🤔. Kalau kita masuk dalam barisan orang-orang rugi, rugilah seminimal mungkin. Itulah kompetitif. Menang dengan Happy, kalah dengan elegan.
Sejumlah analis menilai tekanan yang terjadi di pasar keuangan emerging market menjadi kesempatan investor memburu aset di negara berfundamental kuat. Logikanya, kalau 1$ setara 15 rb berarti bagus untuk investasi. Yang bermasalah kalau kita sudah terlanjur invest di perusahaan atau di negara tersebut. Seandainya saya masih punya stok modal lebih banyak, saya akan beli saham-saham perusahaan yg fundamentalnya bagus. Saya susah cut loss dengan elegan 😂.
Kita memang sedang mengalami krisis, pemerintah harus akui itu. Kapitalisasi pasar kita sudah tergerus 2,74% dibanding akhir 2017 silam yang sebesar Rp 6.560 triliun. Mengutip Bloomberg, kapitalisasi pasar saham domestik mencapai Rp 6.380 triliun. Current Account Deficit, per 2 september 2018 sebesar $-5,7 B (TradingEconomic).
Current Account Deficit yang sehat itu antara dua hingga 2,5 persen dari PDB. Penting untuk menekankan bahwa defisit transaksi berjalan tidak selalu buruk. Serupa dengan arus kas negatif sebuah perusahaan, defisit ini bisa menjadi hal yang positif apabila dana ini digunakan untuk tujuan-tujuan investasi produktif (yang menghasilkan aliran pendapatan di masa mendatang) seperti pembangunan industri atau infrastruktur. Tetapi kalau defisit ini hanya digunakan untuk konsumsi, terjadi ketidakseimbangan struktural karena defisit tidak menghasilkan aliran pendapatan di masa mendatang. Utang pemerintah juga lumayan tinggi, batas psikologis dari Menkeu 30%. Berdasarkan regulaai pasal 12 ayat 3 UU Keuangan negara maksimum 60% terhadap PDB, 30% batas psikologis dari Menkeu. Sekarang sudah 29,%. Data-data makro ini bisa diakses di laman Bank Indonesia atau trading Economics, dll.
Kita masih ingat, Dinamika geopolitik global paling aktual yang layak dicermati bersama ialah currency war alias perang mata uang antara Amerika Serikat (AS) melawan Turki. Dolar versus Lira. AS mengancam TurkI dengan embargo finansial akibat praktik spioanase Paman Sam di Turki dibongkar oleh Erdogan. Secara nasionalisme Turki merupakan prestasi, namun peristiwa tersebut justru aib bagi AS.
Seruan untuk tidak menggunakan Dollar sebagai transaksi global utama menarik dicermati. Namun butuh nyali dan 'kuda-kuda" yang kokoh. Beberapa negara yang tidak sepenuhnya memakai US Dollar dalam traksaksi perdagangannya adalah Rusia, China, Iran, Jepang (?) dan kali ini Turki. Awalnya mungkin sakit, tapi jika kokoh maka bisa bangkit menjadi negara mandiri.
Kita memang harus bisa bangkit. Optimisme tetap ada asal jangan keterlaluan. Pelemahan rupiah 2018 amat jauh berbeda dengan 97/98. Kondisi politiknya berbeda, tren kenaikannya berbeda, dan tentu orang-orang yang menghadapinya juga beda. Mestinya cara pandang dan tindakan menghadapinya juga sedikit lebih maju.
Pada setiap kasus pasti ada sisi positif dan negatif, termasuk krisis. Rupiah anjlok tetap saja ada yang cuan besar. Bayangkan saja kalau mereka beli dollar di harga 10.000/usd, dan memiliki 1 juta dollar. Cuannya lumayan banyak, untuk sekadar cetak stiker kampanye, atau membiayai lomba makan kerupuk se-kabupaten. Barang-barang ekspor sudah tentu untung besar. Tapi derita bagi importir.
Pemerintah (yang serius) tangani krisis ini sudah pasti otak-atik strategi. Dari resep leluhur sampai resep milenial. Mainkan suku bunga, jual SBN, batasi impor barang-barang konsumsi, "rupiahnisasi" DHE (Dana Hasil Ekspor), Aksi BI membeli Surat berharga yang dijual asing, sembari menjaga psikologis investor, masyarakat, dan tentu lawan-lawan politik yang terjebak dalam paham 'Nyinyirisme'. Kritis boleh, asal tapi jangan lupa memberi apresiasi pada selebrasi Jojo 😂.
Currency War
Setidaknya ada 3 Alasan mengapa Negara mendevaluasi mata uangnya. Pertama, Meningkatkan Ekspor. Currency War (Perang mata Uang) dalam perekonomian terbuka hampir tidak bisa dihindari. Era kapitalisme lanjut, membuat negara-negar berkapitalisasi kecil rentan guncangan eksternal. Entah arus modal yang masuk, atau pun arus modal yang keluar. Itulah mengapa negara-negara berkembang amat rentan krisis. Apalagi negara-negara yang senyatanya melakukan perlawanan terhadap Dollar AS.
Beberapa hal yang mungkin bisa kita upayakan adalah, Pertama, kepemimpinan yang kuat diperlukan pada sebuah bangsa agar tidak dipermainkan oleh negara adidaya. Kuat, tidak dinilai dari fisik yang 'aduhai', tetapi nyali melawan para komprador dan egresor, sejauh kamampuan kita. Termasuk nyali menanggung risiko atas kebijakan yang diterapkan.
Kedua, Nasionalisme, mutlak harus tetap ditanamkan kepada setiap warga negara pada semua level umur, pada setiap profesi, agar bila menghadapi situasi (darurat) tertentu ---dari perspektif geopolitik--- mampu menjadi "amunisi dahsyat" bagi kedaulatan sebuah bangsa. Meskipun ajakan nasionalisme menyimpan 'potensi ilusi', tetapi jika pengelolah negara mampu memberi tauladan, mengapa tidak. Cina, Jepang, dan Iran bisa menjadi contoh model Nasionalisme yang baik.
Ketiga, aksi nyata melalui pikiran, ide dan tindakan nyata. Mengencangkan ikat pinggang saat krisis adalah salah satu resep leluhur yang tak lekang dimakan zaman.
Berkaitan dengan poin ketiga, Itulah mengapa saya menunda membeli mobil impor sekelas Lamborghini :P. Sebagai salah satu kontribusi saya pada negara. Ingin menukar dollar tapi apa daya, dollar tak punya 😂.
Berikut saya kutip hasil diskusi dengan teman saya (Moh. Zaki Amami) yang tinggal di Iran. Beliau menuturkan bagaimana Iran dapat bertahan di tengah badai Perang yang dihadapinya. Embargo ekonomi yang dideritanya, bahkan menurut perhitungan Prof. H. Hanke dari John Hopkins University sebagaimana berikut.
Inflasi Iran yang meningkat sampai 267% selama kurun waktu 4 bulan. Andaikan hal tersebut terjadi di Negara kita, saya bisa memprediksi hampir semua netizen akan berubah profesi sesaat menjadi pakar Inflasi. Pakar yang akan menyalahkan pihak otoritas, dan bahkan akan memprovokasi warga untuk melakukan demonstrasi massif yang justru akan melumpuhkan perekonmian. Lalu, apa resepnya sehingga Iran dapat bertahan di tengah badai embargo ekonomi dan serangan meiliter dari pihak musuh.
Dukungan negara sekutu dan kondisi politik domestik turut membantu Iran dalam menghadapi berbagai guncangan ekonomi politik dan keamanan negara. Beberapa poin positif yang dapat dipelajari dari kemampuan daya tahan dan saya saing Republik Islam Iran adalah sebagai berikut:
Kesuksesan Iran, setidaknya hingga saat ini menghadapi embargo ekonomi dan serangan militer membuat Mahatir Muhammad bertandang beberapa kali ke Iran. Mahatir Muhammad mengetahui betul, Geopolitik global yang terjadi dan bagaimana harus bersikap dan kepada siapa harus belajar. Tuntutlah Ilmu sampai ke Negeri Iran. Pepatah zaman Now.
*) Pegiat di Praxis School
Keunggulan kompetitif menurut M. Porter bukan membunuh pesaing (lawan) melainkan kita menunjukkan kinerja lebih baik. Sumber daya yang sama tetapi kita bisa berbuat atau berproduksi lebih berkualitas. Waktu kita sama 24/7 tetapi kita mampu mengoptimalkannya. Media sosial yang kita gunakan sama, namun optimalisasinya beragam. Ada yg manfaatkan untuk jualan, media belajar, media berbagi pengetahuan dan kembangkan skill, hingga cari jodoh, cari duit, dan ada pula yang cari musuh alias pengikut paham "nyiyirianisme".
Kalau kita menang atau untung, untunglah dengan terhormat, tidak dengan cara-cara curang, seperti pembunuhan karakter pihak pesaing. Kalau pun rugi (kalah), rugi dan cut loss lah dengan elegan, kata teman saya🤔. Kalau kita masuk dalam barisan orang-orang rugi, rugilah seminimal mungkin. Itulah kompetitif. Menang dengan Happy, kalah dengan elegan.
Sejumlah analis menilai tekanan yang terjadi di pasar keuangan emerging market menjadi kesempatan investor memburu aset di negara berfundamental kuat. Logikanya, kalau 1$ setara 15 rb berarti bagus untuk investasi. Yang bermasalah kalau kita sudah terlanjur invest di perusahaan atau di negara tersebut. Seandainya saya masih punya stok modal lebih banyak, saya akan beli saham-saham perusahaan yg fundamentalnya bagus. Saya susah cut loss dengan elegan 😂.
Kita memang sedang mengalami krisis, pemerintah harus akui itu. Kapitalisasi pasar kita sudah tergerus 2,74% dibanding akhir 2017 silam yang sebesar Rp 6.560 triliun. Mengutip Bloomberg, kapitalisasi pasar saham domestik mencapai Rp 6.380 triliun. Current Account Deficit, per 2 september 2018 sebesar $-5,7 B (TradingEconomic).
Current Account Deficit yang sehat itu antara dua hingga 2,5 persen dari PDB. Penting untuk menekankan bahwa defisit transaksi berjalan tidak selalu buruk. Serupa dengan arus kas negatif sebuah perusahaan, defisit ini bisa menjadi hal yang positif apabila dana ini digunakan untuk tujuan-tujuan investasi produktif (yang menghasilkan aliran pendapatan di masa mendatang) seperti pembangunan industri atau infrastruktur. Tetapi kalau defisit ini hanya digunakan untuk konsumsi, terjadi ketidakseimbangan struktural karena defisit tidak menghasilkan aliran pendapatan di masa mendatang. Utang pemerintah juga lumayan tinggi, batas psikologis dari Menkeu 30%. Berdasarkan regulaai pasal 12 ayat 3 UU Keuangan negara maksimum 60% terhadap PDB, 30% batas psikologis dari Menkeu. Sekarang sudah 29,%. Data-data makro ini bisa diakses di laman Bank Indonesia atau trading Economics, dll.
Kita masih ingat, Dinamika geopolitik global paling aktual yang layak dicermati bersama ialah currency war alias perang mata uang antara Amerika Serikat (AS) melawan Turki. Dolar versus Lira. AS mengancam TurkI dengan embargo finansial akibat praktik spioanase Paman Sam di Turki dibongkar oleh Erdogan. Secara nasionalisme Turki merupakan prestasi, namun peristiwa tersebut justru aib bagi AS.
Seruan untuk tidak menggunakan Dollar sebagai transaksi global utama menarik dicermati. Namun butuh nyali dan 'kuda-kuda" yang kokoh. Beberapa negara yang tidak sepenuhnya memakai US Dollar dalam traksaksi perdagangannya adalah Rusia, China, Iran, Jepang (?) dan kali ini Turki. Awalnya mungkin sakit, tapi jika kokoh maka bisa bangkit menjadi negara mandiri.
Kita memang harus bisa bangkit. Optimisme tetap ada asal jangan keterlaluan. Pelemahan rupiah 2018 amat jauh berbeda dengan 97/98. Kondisi politiknya berbeda, tren kenaikannya berbeda, dan tentu orang-orang yang menghadapinya juga beda. Mestinya cara pandang dan tindakan menghadapinya juga sedikit lebih maju.
Pada setiap kasus pasti ada sisi positif dan negatif, termasuk krisis. Rupiah anjlok tetap saja ada yang cuan besar. Bayangkan saja kalau mereka beli dollar di harga 10.000/usd, dan memiliki 1 juta dollar. Cuannya lumayan banyak, untuk sekadar cetak stiker kampanye, atau membiayai lomba makan kerupuk se-kabupaten. Barang-barang ekspor sudah tentu untung besar. Tapi derita bagi importir.
Pemerintah (yang serius) tangani krisis ini sudah pasti otak-atik strategi. Dari resep leluhur sampai resep milenial. Mainkan suku bunga, jual SBN, batasi impor barang-barang konsumsi, "rupiahnisasi" DHE (Dana Hasil Ekspor), Aksi BI membeli Surat berharga yang dijual asing, sembari menjaga psikologis investor, masyarakat, dan tentu lawan-lawan politik yang terjebak dalam paham 'Nyinyirisme'. Kritis boleh, asal tapi jangan lupa memberi apresiasi pada selebrasi Jojo 😂.
Currency War
Setidaknya ada 3 Alasan mengapa Negara mendevaluasi mata uangnya. Pertama, Meningkatkan Ekspor. Currency War (Perang mata Uang) dalam perekonomian terbuka hampir tidak bisa dihindari. Era kapitalisme lanjut, membuat negara-negar berkapitalisasi kecil rentan guncangan eksternal. Entah arus modal yang masuk, atau pun arus modal yang keluar. Itulah mengapa negara-negara berkembang amat rentan krisis. Apalagi negara-negara yang senyatanya melakukan perlawanan terhadap Dollar AS.
Beberapa hal yang mungkin bisa kita upayakan adalah, Pertama, kepemimpinan yang kuat diperlukan pada sebuah bangsa agar tidak dipermainkan oleh negara adidaya. Kuat, tidak dinilai dari fisik yang 'aduhai', tetapi nyali melawan para komprador dan egresor, sejauh kamampuan kita. Termasuk nyali menanggung risiko atas kebijakan yang diterapkan.
Kedua, Nasionalisme, mutlak harus tetap ditanamkan kepada setiap warga negara pada semua level umur, pada setiap profesi, agar bila menghadapi situasi (darurat) tertentu ---dari perspektif geopolitik--- mampu menjadi "amunisi dahsyat" bagi kedaulatan sebuah bangsa. Meskipun ajakan nasionalisme menyimpan 'potensi ilusi', tetapi jika pengelolah negara mampu memberi tauladan, mengapa tidak. Cina, Jepang, dan Iran bisa menjadi contoh model Nasionalisme yang baik.
Ketiga, aksi nyata melalui pikiran, ide dan tindakan nyata. Mengencangkan ikat pinggang saat krisis adalah salah satu resep leluhur yang tak lekang dimakan zaman.
Berkaitan dengan poin ketiga, Itulah mengapa saya menunda membeli mobil impor sekelas Lamborghini :P. Sebagai salah satu kontribusi saya pada negara. Ingin menukar dollar tapi apa daya, dollar tak punya 😂.
Berikut saya kutip hasil diskusi dengan teman saya (Moh. Zaki Amami) yang tinggal di Iran. Beliau menuturkan bagaimana Iran dapat bertahan di tengah badai Perang yang dihadapinya. Embargo ekonomi yang dideritanya, bahkan menurut perhitungan Prof. H. Hanke dari John Hopkins University sebagaimana berikut.
Inflasi Iran yang meningkat sampai 267% selama kurun waktu 4 bulan. Andaikan hal tersebut terjadi di Negara kita, saya bisa memprediksi hampir semua netizen akan berubah profesi sesaat menjadi pakar Inflasi. Pakar yang akan menyalahkan pihak otoritas, dan bahkan akan memprovokasi warga untuk melakukan demonstrasi massif yang justru akan melumpuhkan perekonmian. Lalu, apa resepnya sehingga Iran dapat bertahan di tengah badai embargo ekonomi dan serangan meiliter dari pihak musuh.
Dukungan negara sekutu dan kondisi politik domestik turut membantu Iran dalam menghadapi berbagai guncangan ekonomi politik dan keamanan negara. Beberapa poin positif yang dapat dipelajari dari kemampuan daya tahan dan saya saing Republik Islam Iran adalah sebagai berikut:
- Dukungan penuh rakyat pada pemerintah dan Ulama.
- Optimisme masyarakat pada keadaan yang pasti membaik
- Mengkonsumsi produk dalam negeri mulai sabun, hingga mobil.
- Dari turunnya nilai mata uang, Negara memberikan kompensasi berupa gratisnya listrik, air atau Gas. berbeda (beda tiap kota) bahkan untuk gas di Iran cukup bayar Rp 10.000 (untuk 2 bulan).
- Regulasi jelas untuk pasar gelap (Seperti mata uang, barang Impor) jika ketahuan pelakunya pasti ditindak tegas.
- Oposisi membantu pemerintah dalam memerangi musuh bersama (Amerika Serikat) dengan cara berbeda, karena mereka juga mengetahui makar musuh.
- Kesederhanaan rakyat dan gaya hidup minimalis dan sederhana. (Misalnya. Warga Iran makan nasi cukup 1x sehari, Orang-orang kaya pun rela antri beli roti kering di pinggir jalan).
- Membatasi Impor dengan sangat ketat bahkan mengenakan pajak hingga 300% bagi mereka yang sengaja Impor (mis. mobil Hyundai harga di Indonesia sktr 150jt, di Iran bisa sampe 800jt, karena pajaknya sangat tinggi. Masyarkatpun berbondong2 beli mobil nasional/motor yg dibuat oleh Iran seperti Saipa DLL (kualitas ekspor).
- Terakhir, ikhtiar harus terus diupayakan sekecil apapun, sembari berdoa kehadirat Tuhan YME.
Kesuksesan Iran, setidaknya hingga saat ini menghadapi embargo ekonomi dan serangan militer membuat Mahatir Muhammad bertandang beberapa kali ke Iran. Mahatir Muhammad mengetahui betul, Geopolitik global yang terjadi dan bagaimana harus bersikap dan kepada siapa harus belajar. Tuntutlah Ilmu sampai ke Negeri Iran. Pepatah zaman Now.
*) Pegiat di Praxis School
16/09/2018
Pendidikan Tinggi dan Disruption Era
(Dedikasi untuk Dies Natalis UNM ke-57)
Syamsu Alam*)
Awal agustus merupakan masa penting bagi mahasiswa baru (maba).
Fase awal transformasi dari pendidikan anak/remaja menjadi dewasa. Hal mendasar
dan pertama yang sebaiknya dilakukan oleh Perguruan Tinggi (PT) adalah
bagaimana membawa dunia mereka masuk ke dunia kampus, dan memperkenalkan dunia
kampus kepada mereka secara manusia. Pada zaman dahulu, kegiatan ini disebut
OSPEK, Pesmab, dan sejumkah nama lainnya, yang intinya dalam kegiatan ini
sebagai Hub (penghubung), antara dua dunia yang relatif berbeda. Bagaimana
memperkenalkan roh Tri Dharma PT pada mereka dengan cerdas dan elegan?
Sedemikian sehingga Maba bisa adaptif dengan budaya intelektual.
Fase awal ini sejatinya bersifat radikal dan dapat memberikan efek
kejut pada Maba. Istilah kekiniannya adalah ‘distruption’. PT seharusnya dapat
mendistrupsi girah belajar, sifat kekanak-kanakan, mental ‘kerupuk’, dll,
menjadi lebih nilai-nilai baru sesuai dengan zaman yang mereka hadapi.
Bahkan yang lebih mengkhawatirkan di era keterbukaan saat ini
adalah semakin menipisnya nilai kearifan lokal dan nilai kebijaksanaan leluhur
yang mulia. Maba sebagai gen Z (Milenialis) boleh menyatu dengan gadget yang
canggih tanpa mengabaikan nilai ‘Sipakatau’ (Saling memanusiakan). Kita boleh
menggunakan perangkat robot dan semacamnya tanpa harus menjadi robot. Bermain
game dan berbisnis lintas negara namun tetap punya waktu menyapa tetangga.
Usai melewati berbagai jalur seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri
(PTN) dari yang gratis hingga yang berbayar. Fase awal memasuki pendidikan
tinggi yang relatif sedikit berbeda dengan pendidikan dasar dan menengah.
Perbedaan mendasar terletak pada filosofi, kebijakan, dan praktik. Filosofi ada
pada kebebasan akademik, kebijakannya lebih komprehensif memadukan fitur
pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dan praktiknya dipandu oleh Tri Dharma PT,
pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Mengembalikan
Roh Pendidikan Tinggi
Sokoguru utama kampus adalah Tri Dharma PT, Pendidikan dan
pengajaran, Penelitian, Pengabdian pada Masyarakat. Ketiganya mengandung
nilai-nilai mulia. Secara normatif, pendidikan mengajarkan prinsip egaliter dan
demokratis. Pendidikan tujuannya adalah memerdekakan manusia. Merdeka dari rasa
takut, rasa lapar, kebodohan dan penindasan. Penelitian mengajarkan pentingnya
rasionalitas, kejujuran dan konsistensi. Kita tidak dibenarkan mengutip
pendapat orang tanpa melampirkan sumbernya. Disitulah kita belajar jujur, dari
awal kata hingga akhir karya ilmiah mengajarkan pentingnya rasionalitas dan
konsistensi. Pengabdian pada masyarakat mengajarkan keikhlasan dan semangat
berbagi pada sesama makhluk ciptaan Tuhan.
Operasionalisasi nilai-nilai di atas tidaklah mudah. Belajar pada hal apapun adalah hal utama, termasuk pada kasus-kasus konflik ‘fungsionaris mahasiswa’ vs birokrasi kampus. Kampus memang bukan ‘pegadaian’, slogannya tidak realistis. Mangatasi masalah pasti selalu ada masalah baru, tapi masalah baru sedini mungkin lebih kecil dan lebih mudah di atasi.
Lalu apa Solusinya? Pada setiap masalah pasti ada solusi. Secara
matematis, Solusinya bisa satu, belum (tidak) menemukan atau banyak. Solusi
ibarat ramuan obat, bisa mujarab jika diagnosanya tepat. Tulisan ini hanya
refleksi dan keresahan, moga-moga dari sejumput keresahan bisa mengantar pada
solusi 3-K. Kritis, Konstruktif, dan penuh Kasih Sayang. Tiga hal yang kini
mulai langka ditemui di aras sosial maya dan nyata.
Disruption:
Jalan Merengkuh Peluang
Menurut Rhenald Kasali, akhir-akhir ini banyak kalangan keliru
memahami disruption. Diantaranya, yang membatasi hanya berkaitan dengan
teknologi Informasi, ada yang mengaitkan dengan training motivasi yang berujung
pada hipnosis, cara kerja bisnis Multilevel Marketing (MLM) yang sering
merugikan masyarakat. Bahkan ada yang membatasinya sebagai trading.
Bisnis percaloan. Seakan-akan disruption melulu soal bisnis aplikasi yang
digerakkan untuk mempertemukan supply dengan demand.
Anggapan seperti itu jelas kurang pas. Sebab disruption sejatinya
mengubah bukan hanya "cara" berbisnis, melainkan juga fundamental
bisnisnya. Mulai dari struktur biaya sampai ke budaya, dan bahkan ideologi
industri. Misalnya yang dulunya sangat menekankan owning (kepemilikan)
menjadi sharing (saling berbagi peran, kolaborasi resources). Sebagaimana yang banyak dicontohkan oleh Don Tapscott
dalam bukunya Wikinomics.
*) (Dosen FE UNM/Pengurus Masika ICMI Makassar)