Read, Write, and Do Something

No Teaching without learning

Menulislah agar abadi

---

Listen, free economic make better

08/10/2017

PASAR HOAX DAN "SAKAU" KEKUASAAN




Media Sosial (medsos), kini menjadi medan perang kata (wacana). Satu pihak melancarkan serangan kepada pihak lain, yang lainnya pasang kuda-kuda untuk melakukan counter-attack. Medos awalnya adalah media berbagi informasi, diskusi, dan berkolaborasi. Kini bermetamorfosis menjadi alat propaganda yang powerfull. Benturan kepentingan akan menyeret pihak-pihak yang terlibat untuk melakukan apa saja demi mencapai tujuan. Apa, dan siapa yang terlibat dalam transaksi Hoax? Elegankah melawan Hoax dengan Hoax? Dan apa relevansi pesan Agama, telah dibutakan mata, telinga, akal dan hatinya untuk menerima kebenaran? 

Hampir setiap peristiwa, khususnya yang berpotensi menimbulkan konflik selalu disertai dengan pasar Hoax. Kata hoax sendiri muncul pertama kali dari sebuah film yang berjudul  The Hoax, film drama Amerika 2006 yang disutradarai oleh Lasse Hallström. Sederhananya Hoax adalah  kata yang berarti ketidakbenaran suatu informasi, mengandung tipuan dan kebohongan. Kebohongan sendiri sudah ada sejak masa manusia pertama hadir ke bumi. 


Dua Rezim Utama

Saya teringat bulan lalu, perjalanan di Jakarta, dari blok M ke Bundaran HI, sopir moda transportasi online berujar ke saya, "Mas, di Indoneaia ini hanya ada dua perang kekuatan politik, pro keluarga atau ide-ide Sukarno dan pro Suharto". Terkesan reduksionis tapi banyak benarnya. Sembari menyetir, dia melanjutkan ceritanya. Lihat saja mas, mantan-mantan presiden. Pak Habibie, Gusdur, Mega, dan Jokowi lebih pro Sukarno, selainnya pro kubu sebelah. 'Piye kabare, enak jamanku toh'. Demikian pengikut Suharto mereproduksi ‘post power sindrom-nya’.

Ada banyak isu yang dengan mudah membuat kita terbelah dalam dua kutub kekuatan politik. ‘Penggorangan’ isu Sunni-Syiah, Ahok, Suriah vs Koalisi Arab Saudi, hingga persoalan remeh temeh seperti model rambut Jokowi pun tak luput dari perang sosmed. Isu terakhir adalah soal Hoax terbesar Orde Baru film G.30 S/PKI. Isu yang menunjukkan betapa kealpaan pengetahuan pihak anti komunis, hingga membuat meme, Komunis sama dengan Liberal. Sejak kapan komunis jadi liberali? 

Gempuran Hoax melalui produksi dan reproduksi teks tidak tepat diatasi dengan indoktrinasi. Apalagi indoktrinasi sekadar menguatkan status quo. Hal tersebut hanya akan menyebabkan individu dan masyarakat terjerambab dalam lubang sumur kebodohan. Sekaligus sejenis malpraktik. Melawan kebohongan hanya bisa dengan tidak melakukan kebohongan apalagi mereproduksinya. Bagi Rocky Gerung, Hoax adalah tantangan kritis bagi nalar publik. Menurutnya, Hoax hanya dapat dilawan secara efektif melalui Literasi (tradisi baca, diskusi, dan menulis).

Sepertinya perlu direnungkan bahwa, setiap text pasti tidak terlepas dari konteks (peristiwa yang dipengaruhi oleh setting aktor, waktu, tempat dan budaya). Dan terakhir interpretasi atas text dan konteks. Siapa yang paling berhak menafsirkan teks dan konteks? Jangan cari jawabannya pada kubu penguasa. Carilah pada siapa pun yang tidak terlalu ‘menggilai kekuasaan’. Meskipun menafsirkan sesuatu adalah juga sejenis kuasa. Setidaknya ada penguasaan pengetahuan (otoritas keilmuan) bukan atas kekuasaan karena lembaga atau institusi (misalnya Negara). Kenapa? Karena yang berkuasa paling berpeluang membuat hoax dengan piawai.
Tapi kini, di era 'banalitas informasi' kekuasaan bisa menyebar pada siapa saja. Tapi tetap saja negara (penguasa) paling punya potensi terbesar. Nah, atas perang text dan penafsiran yang terjadi. Tuhan telah lebih awal mengantisipasinya, melalui seruan Bacalah. Bacalah dengan panca indera, pahami dengan akal, dan terakhir yakinkan dengan hati, untuk dan atas nama Tuhan. Medan perang kedua Rezim di Indonesia yang makin luas dan kompleks, kerap mengabaikan seruan tersebut.

Hoax alat Indoktrinasi
Perang text bisa mencerdaskan asalkan di dalamnya ada proses berpikir, ada dialektika dalam diri, yang bisa berakhir pada saling membijaksanai perbedaan.  Pada titik ini, perbedaan akan menjadi rahmat. Selainnya adalah bencana dan malapetaka. Bencana terbesar manusia adalah ketiadaan pengetahuan, kealpaan belajar pada diri yang akan menyeret pada fanatisme tak berkesudahan, ibarat sinetron yang sulit menemukan episode akhir yang elegan.

Perang wacana dalam era 'banalitas informasi' adalah sejenis ideologisasi. Entah ideologi A, B, C, 1, 2 hingga 2019. Ideologisasi penting untuk menjaga kepatuhan. Slavoj Zizek telah memberikan formula, bahwa ideologisasi selalu terjadi tiga hal. Indoktrinasi, Kepercayaan (belief), dan ritual. Perang wacana adalah tahap awal membangun indoktrinasi, memberikan informasi secara berulang agar melekat dalam alam bawah sadar. Yang setiap saat mudah dipanggil. Jika sudah demikian maka kepercayaan akan terbangun dan akhirnya seluruh ritual akan diarahkan untuk menyokong doktrin-doktrin yang sudah tersimpan rapi dalam alam bawah sadar. Efek lebih jauh dan tragis adalah kecanduan akan doktrin tersebut dan akhirnya 'sakau' kekuasaan. 

Setidaknya Hoax mengajarkan kita sejenis gejala penyimpangan berpikir yang anti kausalitas. Model beripikir atas dasar dalil Pokok, pokoknya kalau bukan ‘anu’ salah. Pokoknya semua salah jokowi. Jika Anda menemukan ciri-ciri tersebut, mungkin telah overdosis pil c-PCC atau sejenis calon Presiden Cuma Cumi. Si penderita 'Sakau' kekuasaan akan mencari, mengakumulasi dan memanfaatkan informasi apa saja untuk memuaskan kesakauannya. Waspadalah.

*) Tulisan ini pernah dimuat di Tribun Timur Edisi Jumat 29 September 2017
**) Staf pengajar di Fakultas Ekonomi UNM Makassar

Sumber gambar: Visualcapitalist.com   Fallacy

09/07/2017

ADA APA DENGAN ISTILAH "PARENTA" KANDA?

ADA APA DENGAN ISTILAH "PARENTA" KANDA?
Seminggu terakhir, tepatnya usai lebaran 25 Juni 2017. Kosakata "parenta" seperti virus  yang menggejala di kepalaku, bahkan sebagian besar pikiran 'kaum muda". Setidaknya 5 orang yang saya say hei.. dalam rentang tersebut, mereka membalas sapaan yang memuat kosakata ada 'PARENTA (Perintah)', siaaap menunggu "PARENTA". Rentangan usia teman saya itu berkisar 25-30an tahun lebih 😃. Masa ranum-ranumnya, masa aggresifnya, mestinya.

Saya pun kadang imut-imutan, amit-amitan dan ikut-ikutan menjadikannya lelucon menggunakan istilah tersebut. Meskipun tanggapan saya pada kelima teman tersebut berseberangan dengannya. Saya hanya tanya kabar ko', ada yg balas ADA PARENTA. Spontan sy jawab sejak kapan ko sy pernah perintah. Ujar saya pada kawan lama yang pernah tidur se-sofa di PKM kampus UNM Parang Tambung. Entah alam sadar atau alam bawah sadar yang memengaruhi pita suaranya atau jempolnya untuk mengeluarkan ekspresi spontan "PARENTA".

Menurut hemat saya, tidak susah untuk menelisik memvirusnya istilah tersebut. Saya sepakat dengan teman saya Jalaluddin Rumi Prasad, apakah benar kita yang menggunakan facebook (jejaring sosial lainnya) atau kah mereka yang telah berhasil memanfaatkan kita? Pertanyaan filosofis yang ringan, tapi susah dijawab dengan jawaban yang menyehatkan pikiran. Karena faktanya setiap sistem pasti dibangun dengan algoritma. Inilah salah satu sumbangan terbesar Al khawarizmi, lidah orang barat memplesetkannya jadi algorithm. Apakah istilah 'parenta' adalah sebuah bangunan kesadaran atau alam bawah sadar kolektif yang telah menginvasi pikiran-pikiran kita.

Well, istilah tersebut sudah pasti lahir dari suatu sistem komunikasi pada suatu komunitas tertentu. Biasanya pada komunitas yang sangat hirarkis-lah yang sangat akrab dengan kosakata "perintah". Institusi militer, bahasa mesin (pemrograman) dll. Intinya mempertegas adanya relasi kuasa dan menguasai. Bagi Foucalt, kontrol kekuasaan berdasarkan pada kuasa wacana atau kuasa pengetahuan. Tidak jauh berbeda dengan Filosof Francis Bacon Knowledge is Power. Lewat pengetahuan kekuasaan dapat menyebar dengan cepat pada setiap tingkatan. Siapa yang menguasai wacana dialah yg sesungguhnya berkuasa.

Mari kita cek, kira-kira siapa-siapa dan pada komunitas apa yang amat akrab dengan kosakata 'Parenta'. Sedekat pemantauan saya, istilah tersebut populer dilantunkan oleh antek2 kekuasaan lapis kedua-lapis paling bawah. Ring satu tim sukses sampai tukang pasang spanduk dan baliho para kandidat-kandidat penguasa.Yaa istilah ini populer pada segerombolan tim sukses bakal calon kandidat. Ini subjektivitas saya, suatu istilah yang diadaptasi dari model kekuasaan yang cenderung absolut, dan tentulah kita hampir sepakat penuh pada Lord Acton, Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut sudah pasti korup. Saya sepakat 100 persen dengan Lord.

Menurut hemat saya, fenomena ini tidak berdiri sendiri. Fenomena latah meniru tanpa koreksi terhadap hal apapun termasuk 'kosakata' sekalipun adalah wujud betapa tidak kreatif dan progresifnya kita. Otak kita seolah didesain seperti mengikuti perintah algoritma facebook untuk membagikan apa yang kita pikirkan. Berdasar pada kecenderungan2 itulah orang cenderung diberikan sugesti pertemanan yang kira2 hampir sama dengan kecenderungan kita, selaku user. Maka apa jadinya kalau hampir semua teman kita adalah se-ide, se-kosakata, se-iya dan se-tidak. Dunia kita pasti akan sempit. Itu itu tonji dibicarakan, itu-itu saja yang di bahas. Akibat lebih jauh kita amat gampang tersulut emosi , terbawa perasaan. Oleh karena sebuah sistem telah berhasil menyempitkan cara pandang kita. Media sosial yang semestinya meluaskan cara pandang tapi terperangkap dalam sumur paling dalam kesempitan "PARENTA KANDA".

JADI, amat sangat wajar jika konflik, mobilisasi, dan memobilisasi konflik dan kerusuhan begitu mudah kita jumpai. Lihatlah konflik2 di sekitar kita berada, di sekolah, di kampus, di kantor, di pangkalan ojek, di tempat hiburan, di pusat keramaian. Senggol sedikit 'Bacot'. Berbeda sedikit 'musuh' ' bunuh' dan seterusnya. Mental kita sudah hampir terpola pada kanal-kanal yang sempit, yang kadang lebih rendah dari otak reptil. Otak reptil, ibarat oposisi biner, reptil yang kagetan hanya punya dua pilihan, menyerang atau kabur.

Sehingga apa yang terjadi, kita lebih sibuk membicara orang, calon, kandidat (1), membicarakan peristiwa-peristiwa (2), dan membicarakan ide-ide besar (3). Kalimat penutup di atas saya adaptasi dari Eleanor Rosevelt. Poin 1,2, 3 adalah hirarki kekuatan berpikir kita. Kualitas berpikir yang paling tinggi, tentu membicarakan ketiganya sekaligus. Membicarakan orangnya, peristiwa, plus ide-ide besar yang dibangunnya. Dan menunggu perintah boleh jadi ada pada poin (-9). 
Wallahu A'lam Bissawab.

#Salam, dari lubuk hati Alam yang paling dalam, yang masih belajar untuk tidak ma'parenta'.
Syamsu Alam.

14/04/2017

Kolaborasi Membangun Kampus WCU, Mungkinkah?

Syamsu Alam

Sejak kapan kosakata ‘Kolaborasi’ menghipnotis berbagai orang? Demikian pula frase World Class  University (WCU) seolah frase ‘wajib’ disampaikan pada setiap sambutan di berbagai kampus? Mungkinkah kampus-kampus di Makassar mampu bersaing dan sejajar dengan kampua-kampus bertaraf internasional seperti UI dan Cambridge? Entahlah, mari dicek kemungkinannya ☺


Tentang mantra Kolaborasi dan WCU

Beberapa tahun terakhir tepatnya akhir 2006, perguruan tinggi di seantero nusantara bahkan di seluruh dunia berpacu mewujudkan WCU. Cita-cita tersebut ibarat ‘piala’ yang bisa direngkuh oleh setiap kampus yang berdaya saing tinggi dan memenuhi berbagai standar-standar sebagai WCU. Diantaranya akreditasi internasional, sebuah pengakuan terhadap kemampuan yang memiliki desain dan kemampuan mencetak lulusan yang berdaya saing internasional; kualitas pendidikan; kualitas pengajaran; dan infrastruktur perguruan tinggi. Para petinggi kampus menilai hal ini tidak mungkin dilakukan sendiri.
Kolaborasi kian populer menjelang Revolusi Industri keempat versi World Economic Forum (WEF),  Sebuah revolusi baru ekonomi yang berbasis dan didorong oleh kemajuan teknologi digital.  Pemicu utamanya bergesernya mode of production dari input modal fisik yang dominan ke input modal non-fisik (ide dan kreativitas), pemanfaatn input tersebut menjadikan berbagai perusahaan dan organisasi meraih sukses di pentas regional maupun global. Keberhasilan beberapa organisasi menjadi pemenang dengan strategi "Kolaborasi".  Organisasi  atau komunitas yang sukese diantaranya adalah Wikipedia, Facebook, Skype, Goldcorp, Linux, P&G dll.

Don Tapscott penulis The Digital Economy  dan Wikinomics,  mengungkapkan bahwa awalnya "Kolaborasi Maya"  yang dilakukan oleh para netizen,  programmer,  youtuber dan lain-lain adalah semacam gerakan massif sebagai anti-tesa atas dominasi perusahaan-perusahaan raksasa yang menguasai media dam teknologi publikasi mainstream. Bahkan kerap dikatakan sebagai "komunisme gaya baru".  Tetapi para aktivis "Kolaborasi Maya" tetap memacu kreativitas dan berinovasi tiada henti tanpa terpengaruh dengan stigma komunisme gaya baru.  Misalnya Linux, yang awalnya hanyalah proyek "gotong-royong" dimana para programer berjejaring,  berbagi source code,  sharing pengalaman hingga akhirnya bisa bersaing dengan Microsoft atau Mac. Padahal tidak ada perusahaan yang menaunginya,  toh,  bisa menjadi pemain dan menguasai pangsa pasar dalam dunia Sistem Operasi. Hal yang sama terjadi pada perusahaan dan organisasi yang melakukan "Kolaborasi".
Dibalik mantra “Kolaborasi” tersirat semangat kemandirian, kerjasama sekaligus semangat berkompetisi melawan dominasi korporasi raksasa. Hal yang lebih penting dalam kolaborasi adalah praktik saling berbagi,  saling percaya, dan transparansi.

Kolaborasi dan Feodalisme di Perguruan Tinggi

Berdasarkan sudut pandang perencanaan,  kalaborasi dapat diidentikkan dengan proses,  dimana inputnya adalah Mahasiswa,  Dosen,  Pegawai,  Satpam, Stakeholder dan shareholder yang terkait dengan pengguna jasa dan produk (output)  perguruan tinggi. Produk perguruan tinggi bisa berarti lulusan sarjana dan pascasarjana atau hasil kajian dan penelitian yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat,  perusahaan,  atau pemerintah dalam menyusun kebijakan. Dimensi dampaknya (impact) adalah apakah produk tersebut dimanfaatkan sesuai kompetensinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kemandirian bangsa. Jika Kolaborasi dimaknai seperti ini maka Tri Dharma Perguruan tinggi: pengajaran berlangsung demokratis, penelitian yang berkualitas karena dikerjakan dengan prinsip-prinsip kolaborasi (kerjasama, saling percaya, dan transparan) dan pengabdian pada masyarakat bisa lebih bermanfaat, dan tepat sasaran.  Kolaborasi akan mampu mewujudkan sinergi antar civitas akademika yang pada akhirnya terwujud kampus  sebagai "Center of Excellence". Tentu dengan berbagai konsekuensi dan perbaikan sistem kelembagaan yang mempraktikkan prinsip-prinsip kolaborasi.

Cerita sukses tentang organisasi/komunitas yang menerapkan Kolaborasi "Massif" sudah sangat banyak. Komunitas tersebut berani mentransformasikan sistem manajemennya.  Organisasi yang awalnya menerapkan manajemen vertikal,  model hirarkis yang ketat,  berdasarkan komando,  perintah atasan,  dan standar operasional yang sangat kaku dan mekanistik,  dapat menyebabkan bawahan terkena sindrom ABS (Asal Bos Senang). Dengan Kolaborasi, gaya tersebut ditransformasi menjadi Organisasi dengan sistem manajemen horisontal,  terbuka, komunikasi lebih cair,   fleksibel,  penuh ruang improvisasi bagi siapapun yang terlibat didalamnya. Dalam konteks perguruan tinggi, sistem seperti ini membuat jarak antara pejabat Universitas,  Fakultas,  Jurusan dan Prodi dengan yang bukan pejabat seperti dosen (pengajar semata),  pegawai dan mahasiswa bisa dianggap tidak berjarak dan lebih terbuka.

Konsekuensi lebih jauh akan menghancurkan tatanan struktural feodalisme,  entah feodalisme keturunan "karaeng",  “raja”,  "puan", “andi” atau feodalisme keilmuan "professor" dan bukan professor yang kerap menjangkiti perguruan tinggi.  Tentu saja hal ini adalah alamat baik buat atmosfer akademik,  dimana setiap civitas akademica adalah subjek dan ilmu pengetahuan adalah objeknya.

Konsekuensi selanjutnya,  setelah struktur feodal runtuh,  maka akan tercipta kesetaraan,  ruang-ruang dialogis antar civitas akademika dan stakeholder makin luas.  Dan pada akhirnya demokratisasi kampus dapat terwujud. Apakah semudah itu?  Tentu tidak.  Tapi yang pasti jika Kolaborasi telah menjadi kosakata pamungkas bagi sebagian besar petinggi kampus, maka semestinya prinsip-prinsip kolaborasi menjadi tonggak-tonggak pengelolaan perguruan tinggi.

Kolaborasi:  Lipsing atau Inisiasi Masa Depan

Harapan terbesar kita sebagai masyarakat biasa pada para pemimpin perguruan tinggi dan kementerian pendidikan tinggi adalah satunya kata dan perbuatan atau dalam terminologi kampus adalah “kejujuran ilmiah”. Kolaborasi laiknya diperlakukan tidak seperti liberalisasi pasar,  karena dalam liberalisasi menyimpan potensi laten ketimpangan dan penindasan bagi yang tidak punya akses dan asset pada sumber daya dan kekuasaan.  Apalagi Negara kita adalah Negara berkembang dengan berbagai universitas masih terbelakang. Hayward (2008) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa di Negara-negara berkembang diperlukan perubahan yang mendasar, yaitu perubahan mental atas keinginan mewujudkan WCU. Yaa, perubahan mental. Merubah mental para pemimpin yang hirarkis dan kaku menjadi horisontal yang lebih terbuka bukan perkara mudah. Kolaborasi tentulah memuat prinsip  pro-konsumer, tersedianya perpustakaan besar untuk berbagi sumber-sumber pengetahuan, terciptanya transparansi sebagaimana "kolaborasi maya"  berbagi source code. Prasarat utama membangun kampus adalah menyuburkan pikiran kolaboratif bukan pikiran kolutif dan koruptif.