Read, Write, and Do Something

No Teaching without learning

Menulislah agar abadi

---

Listen, free economic make better

14/04/2017

Kolaborasi Membangun Kampus WCU, Mungkinkah?

Syamsu Alam

Sejak kapan kosakata ‘Kolaborasi’ menghipnotis berbagai orang? Demikian pula frase World Class  University (WCU) seolah frase ‘wajib’ disampaikan pada setiap sambutan di berbagai kampus? Mungkinkah kampus-kampus di Makassar mampu bersaing dan sejajar dengan kampua-kampus bertaraf internasional seperti UI dan Cambridge? Entahlah, mari dicek kemungkinannya ☺


Tentang mantra Kolaborasi dan WCU

Beberapa tahun terakhir tepatnya akhir 2006, perguruan tinggi di seantero nusantara bahkan di seluruh dunia berpacu mewujudkan WCU. Cita-cita tersebut ibarat ‘piala’ yang bisa direngkuh oleh setiap kampus yang berdaya saing tinggi dan memenuhi berbagai standar-standar sebagai WCU. Diantaranya akreditasi internasional, sebuah pengakuan terhadap kemampuan yang memiliki desain dan kemampuan mencetak lulusan yang berdaya saing internasional; kualitas pendidikan; kualitas pengajaran; dan infrastruktur perguruan tinggi. Para petinggi kampus menilai hal ini tidak mungkin dilakukan sendiri.
Kolaborasi kian populer menjelang Revolusi Industri keempat versi World Economic Forum (WEF),  Sebuah revolusi baru ekonomi yang berbasis dan didorong oleh kemajuan teknologi digital.  Pemicu utamanya bergesernya mode of production dari input modal fisik yang dominan ke input modal non-fisik (ide dan kreativitas), pemanfaatn input tersebut menjadikan berbagai perusahaan dan organisasi meraih sukses di pentas regional maupun global. Keberhasilan beberapa organisasi menjadi pemenang dengan strategi "Kolaborasi".  Organisasi  atau komunitas yang sukese diantaranya adalah Wikipedia, Facebook, Skype, Goldcorp, Linux, P&G dll.

Don Tapscott penulis The Digital Economy  dan Wikinomics,  mengungkapkan bahwa awalnya "Kolaborasi Maya"  yang dilakukan oleh para netizen,  programmer,  youtuber dan lain-lain adalah semacam gerakan massif sebagai anti-tesa atas dominasi perusahaan-perusahaan raksasa yang menguasai media dam teknologi publikasi mainstream. Bahkan kerap dikatakan sebagai "komunisme gaya baru".  Tetapi para aktivis "Kolaborasi Maya" tetap memacu kreativitas dan berinovasi tiada henti tanpa terpengaruh dengan stigma komunisme gaya baru.  Misalnya Linux, yang awalnya hanyalah proyek "gotong-royong" dimana para programer berjejaring,  berbagi source code,  sharing pengalaman hingga akhirnya bisa bersaing dengan Microsoft atau Mac. Padahal tidak ada perusahaan yang menaunginya,  toh,  bisa menjadi pemain dan menguasai pangsa pasar dalam dunia Sistem Operasi. Hal yang sama terjadi pada perusahaan dan organisasi yang melakukan "Kolaborasi".
Dibalik mantra “Kolaborasi” tersirat semangat kemandirian, kerjasama sekaligus semangat berkompetisi melawan dominasi korporasi raksasa. Hal yang lebih penting dalam kolaborasi adalah praktik saling berbagi,  saling percaya, dan transparansi.

Kolaborasi dan Feodalisme di Perguruan Tinggi

Berdasarkan sudut pandang perencanaan,  kalaborasi dapat diidentikkan dengan proses,  dimana inputnya adalah Mahasiswa,  Dosen,  Pegawai,  Satpam, Stakeholder dan shareholder yang terkait dengan pengguna jasa dan produk (output)  perguruan tinggi. Produk perguruan tinggi bisa berarti lulusan sarjana dan pascasarjana atau hasil kajian dan penelitian yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat,  perusahaan,  atau pemerintah dalam menyusun kebijakan. Dimensi dampaknya (impact) adalah apakah produk tersebut dimanfaatkan sesuai kompetensinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kemandirian bangsa. Jika Kolaborasi dimaknai seperti ini maka Tri Dharma Perguruan tinggi: pengajaran berlangsung demokratis, penelitian yang berkualitas karena dikerjakan dengan prinsip-prinsip kolaborasi (kerjasama, saling percaya, dan transparan) dan pengabdian pada masyarakat bisa lebih bermanfaat, dan tepat sasaran.  Kolaborasi akan mampu mewujudkan sinergi antar civitas akademika yang pada akhirnya terwujud kampus  sebagai "Center of Excellence". Tentu dengan berbagai konsekuensi dan perbaikan sistem kelembagaan yang mempraktikkan prinsip-prinsip kolaborasi.

Cerita sukses tentang organisasi/komunitas yang menerapkan Kolaborasi "Massif" sudah sangat banyak. Komunitas tersebut berani mentransformasikan sistem manajemennya.  Organisasi yang awalnya menerapkan manajemen vertikal,  model hirarkis yang ketat,  berdasarkan komando,  perintah atasan,  dan standar operasional yang sangat kaku dan mekanistik,  dapat menyebabkan bawahan terkena sindrom ABS (Asal Bos Senang). Dengan Kolaborasi, gaya tersebut ditransformasi menjadi Organisasi dengan sistem manajemen horisontal,  terbuka, komunikasi lebih cair,   fleksibel,  penuh ruang improvisasi bagi siapapun yang terlibat didalamnya. Dalam konteks perguruan tinggi, sistem seperti ini membuat jarak antara pejabat Universitas,  Fakultas,  Jurusan dan Prodi dengan yang bukan pejabat seperti dosen (pengajar semata),  pegawai dan mahasiswa bisa dianggap tidak berjarak dan lebih terbuka.

Konsekuensi lebih jauh akan menghancurkan tatanan struktural feodalisme,  entah feodalisme keturunan "karaeng",  “raja”,  "puan", “andi” atau feodalisme keilmuan "professor" dan bukan professor yang kerap menjangkiti perguruan tinggi.  Tentu saja hal ini adalah alamat baik buat atmosfer akademik,  dimana setiap civitas akademica adalah subjek dan ilmu pengetahuan adalah objeknya.

Konsekuensi selanjutnya,  setelah struktur feodal runtuh,  maka akan tercipta kesetaraan,  ruang-ruang dialogis antar civitas akademika dan stakeholder makin luas.  Dan pada akhirnya demokratisasi kampus dapat terwujud. Apakah semudah itu?  Tentu tidak.  Tapi yang pasti jika Kolaborasi telah menjadi kosakata pamungkas bagi sebagian besar petinggi kampus, maka semestinya prinsip-prinsip kolaborasi menjadi tonggak-tonggak pengelolaan perguruan tinggi.

Kolaborasi:  Lipsing atau Inisiasi Masa Depan

Harapan terbesar kita sebagai masyarakat biasa pada para pemimpin perguruan tinggi dan kementerian pendidikan tinggi adalah satunya kata dan perbuatan atau dalam terminologi kampus adalah “kejujuran ilmiah”. Kolaborasi laiknya diperlakukan tidak seperti liberalisasi pasar,  karena dalam liberalisasi menyimpan potensi laten ketimpangan dan penindasan bagi yang tidak punya akses dan asset pada sumber daya dan kekuasaan.  Apalagi Negara kita adalah Negara berkembang dengan berbagai universitas masih terbelakang. Hayward (2008) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa di Negara-negara berkembang diperlukan perubahan yang mendasar, yaitu perubahan mental atas keinginan mewujudkan WCU. Yaa, perubahan mental. Merubah mental para pemimpin yang hirarkis dan kaku menjadi horisontal yang lebih terbuka bukan perkara mudah. Kolaborasi tentulah memuat prinsip  pro-konsumer, tersedianya perpustakaan besar untuk berbagi sumber-sumber pengetahuan, terciptanya transparansi sebagaimana "kolaborasi maya"  berbagi source code. Prasarat utama membangun kampus adalah menyuburkan pikiran kolaboratif bukan pikiran kolutif dan koruptif.




20/02/2017

Analisis Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan dan Dampaknya terhadap Kemiskinan di Sulawesi Selatan


Analisis Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan Dan Dampaknya Terhadap Kemiskinan di Sulawesi Selatan

ABSTRAK

Syamsu Alam. Analisis Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan dan Dampaknya terhadap Kemiskinan di Sulawesi Selatan
(dibimbing oleh Madris dan Sultan Suhab)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengeluaran pemerintah pusat dan daerah bidang pendidikan terhadap kemiskinan di Sulawesi Selatan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui mutu SDM dan pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini dilaksanakan di Sulawesi Selatan dengan unit analisis Kab/kota. Pengumpulan data dilakukan melalui survey literature berupa data sekunder (panel data) tentang pengeluaran pemerintah (pusat, provinsi, kab/kota) di sektor pendidikan, Mutu Sumberdaya Manusia (SDM), Pertumbuhan Ekonomi, dan kemiskinan, tahun 2006-2012. Data dianalisis secara deskriptif dan bersifat kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan hubungan fungsional,  mutu SDM berpengaruh lebih besar  daripada  pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan kemiskinan dan pengeluaran pemerintah kab/kota lebih berpengaruh melalui mutu SDM daripada melalui pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan. Dari sisi pengeluaran pemerintah (pusat, provinsi dan kab/kota) bidang pendidikan. Pengeluaran pemerintah kab/kota bidang pendidikan yang lebih besar dan cenderung meningkat lebih memberikan efek terhadap peningkatan mutu SDM dan pertumbuhan ekonomi serta mereduksi kemiskinan daripada pengeluaran pemerintah (pusat dan provinsi) yang fluktuatif.

Kata Kunci: Pengeluaran pemerintah bidang Pendidikan, mutu SDM,  Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan

"Download : Tesis_Alam: Analisis Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan dan Dampaknya Terhadap Kemiskinan di Sulawesi Selatan"

Thanks to:
  1. Dr. Madris, DPS., SE.,M.Si dan Dr. Sultan Suhab, SE.,M.Si. Selaku pembimbing yang senantiasa memberi bimbingan di waktu senggang ataupun sibuk, senantiasa mengoreksi dan mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini.
  2. Bapak Dr. Paulus Uppun, SE.,MA., Dr. Abd. Rahman Razak, SE.,MS dan  Dr. Agussalim, SE.,M.Si selaku penguji yang telah banyak memberikan koreksi dan saran yang konstruktif demi kesempurnaan tesis ini.
  3. Bapak Dr. Agussalim, SE.,M.Si selaku ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan yang senantiasa memberikan motivasi bagi penulis untuk dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
  4. Bapak/Ibu Dosen Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan (EPP) UNHAS yang senantiasa melibatkan kegiatan di P3KM Unhas diantaranya Bapak Abdul Majid Sallatu, Dr. Agussalim, SE.,M.Si., Dr. Sultan Suhab, SE.,M.Si, dan Dr. Nursini, SE.,MA yang senantiasa memberi tauladan disiplin, pelajaran praktis dan teoretis serta pengalaman melalui berbagai kegiatan dan penelitian.
  5. Bapak Prof. Dr. H.M Idris Arif. M.S selaku Ketua Yayasan STIEM Bongaya, senantiasa memberi saran dan nasihat agar tetap fokus pada studi.
  6. LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan)  Kemeterian Kemuangan Republik Indonesia yang telah memberikan biaya penelitian Tesis.
  7. Kepada Bapak Kepala badan Penelitian dan Pengembangan Keuangan Daerah Sulawesi Selatan, Kepala BPKD Sulawesi Selatan, Kepala Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan, dan Kepala BPPS Sulawesi Selatan, yang telah memberikan izin dan akses terhadap data-data penelitian yang penulis butuhkan.
  8. Kapada kedua orang tua, saudara-saudara yang senantiasa mendoakan agar tetap sehat dan dikarunia kekuatan melakukan setiap aktifitas.
  9. Teman-teman seperjuangan di Program  Studi Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan Angkatan 2011, kalian adalah teman diskusi yang baik dan bersahaja.
  10. Rekan-rekan di P3KM Unhas, Afif, Chali, Wahyu, Tami, Indra, dan spesial untuk ka’ Gego yang telah sharing pengetahuan ”Vibrant Presentation”.
  11. Teman-teman Studi Klub, Smart English Camp; Andi Karman, Fandi, dll.
  12. Semua kru di Titik9 Desain Printing, atas doa dan kebersamaannya dalam proses penyelesaian tesis ini.
  13. Akhirnya ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian tesis ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih perlu penyempurnaan. Oleh karena itu, penulis mangharapkan masukan dari seganap pembaca dengan prinsip 3K. Kritis, Konstruktif, dan disampaikan dengan Kasih sayang.  Wallahu A’lam Bissawab.

AROMA EMPIRISME PARA PEMBELA AJARAN (T)UHAN



Berselancar di media sosial, setidaknya memberikan beberapa manfaat. Diantaranya dapat bersilaturrahmi dengan teman lama dan berbagi cerita suka dan derita dengan daftar teman. Selain itu dapat melatih kesabaran menahan diri, tetap hening dan terjaga dalam keriuhan "Bom Informasi". Manfaat lebih jauh dapat menggambarkan REFERENSI, PREFERENSI, dan INTERPRETASI yang diikuti (dipilih) oleh seseorang.

Tulisan ini adalah refleksi diri dan teman-teman yang di ruang-ruang komentarnya dijejali dengan aroma-aroma interogasi. Interogasi atas status dan tweet yang berujung pada pemaksaan kesepahaman serta pilihan keyakinan si interogator. Mereka seperti pasukan pemusnah, yang bisa datang kapan saja di status-status atau postingan kita. Tiba-tiba datang dengan secuil referensi di otak kanan dan kirinya serta  kosakata yang sangat terbatas di tangannya.

Si interogator memburu dengan pertanyaan-ertanyaan yang kadang OUT OF CONTEXT. Kalaupun dalam konteks variasinya tidak banyak, tidak menantang dan prematur. Kesannya pun cenderung memaksakan pemahamannya. Isu minoritas kaum Syiah, pendukung Ahok yang dilabeli kafir, hingga tokoh-tokoh ulama sekaliber Prof. Qurais Shihab pun tak luput dari cercaan "Liberal" dan "Syiah". Saya jadi ingat ungkapan satire. Apakah ketika kita memegang palu semua tampak seperti paku? Si interogator sudah tidak bisa membedakan sekadar "have fun" dengan komentar-komentar, diskusi ringan, bahkan penghormatan pada yang lebih tua: kakak, bapak tidak dibaikan. Upaya untuk saling memahami perbedaan seolah ditutup dengan kebencian. Oleh karena kebenciannya itu saya curiga, jangan-jangan mereka sudah seperti si pemegang palu itu.

Inilah era BANALITAS informasi. Yaa sekadar informasi yang liar hingga tak terkontrol, fasenya seperti fase kapitalisme lanjut, yang bercirikan tua renta tapi liar. Padahal di atas tahap informasi masih ada dua tingkatan, yaitu pengetahuan dan kebijaksanaan. Atas semua data dan  informasi yang diperoleh dari berbagai sumber dan perspektif yang beragam, kemudian diolah menjadi PENGETAHUAN. Artinya dalam pengetahuan, ada proses BERPIKIR. Contoh, dulu ketika masih kuliah S1 dengan doktrin-doktrin gereja ortodoks yang menghambat kemajuan ilmu pengetahuan...OOPS Sorry, salah. Maksud saya, Doktrin-doktrin lembaga dakwah kampus (Sebagai derivasi dari induknya- Wahabisme) dengan ciri khas yang nyentrik: panggilan antum/akhi, celana khas puntung, rutin hafal hadis dst, doyan menyesatkan dan mengkafirkan. Sy meyakini dengan haqqul yaqien, siapapun di luar Islam, Kafir. Hingga pada suatu ketika saya membaca buku, yang membahas tentang Kafir dengan persfektif yang beda dengan definisi kafir di atas. Ringkasnya seperti berikut yang sadur dari tulisan kanda Kama. Kafir dalam terminologi adalah menolak, mengingkari, mengingkari kenyataan, kebenaran, kebaikan dll. Seirama dengan hal tersebut, dari makna terminologi ini para ulama membagi kafir menjadi dua. Kafir hakiki dan kafir fikhih. Kafir hakiki hampir sama (klo tidak persis) dgn makna terminologi: tapi kafir fikhih adalah kafir menurut pandangan kaum Islam yg mengatakan yg tidak mengucapkan syahadatain, dalam artian bahwa siapapun yg tidak mengucapkan syahadatain, maka ia kafir. pertanyaannya: apakah Islam hanya sekedar mengucapkan syahadatain lalu melakukan apa saja yg ia inginkan untuk menolak org yg mungkin dia tdk kafir secara hakiki. Berdasar pada berbagai REFERENSI itu,  saya mendapat tambahan pengetahuan, yang berdampak pada cara pamdang terhadap orang di luar apa yang saya yakini selama ini. 

Tahapan selanjutnya setelah data dan informasi diolah dan menghasilkan pengetahuan baru adalah KEBIJAKSANAAN. Bijak menghadapi orang yang beda keyakinan, beda pacar, beda istri, beda suami, baju, makanan, status sosial, tingkat pendidikan dan masih banyak lagi contoh-contoh nyata yang Tuhan hamparkan di seantero semesta, tentang betapa perbedaan nyata adanya.

Pada dasarnya perbedaan ada karena tiga hal. Yaitu, Referensi, Preferensi, dan Interpretasi (Tafsiran). Prinsip Logika mengajarkan. TIDAK ADA  SESUATU YANG SAMA SELAIN SESUATU ITU SENDIRI. X hanya sama dengan X. Lalu, mengapa kalian (penebar kebencian) harus mengenterogasi siapapun yang berbeda dengan pilihan, dan cenderung memaksakan pemahaman. Dan jika berbeda, atribut 'Sesat" 'Liberal" Syiah" adalah kata kunci penutup diskusi (debat).

Teks pertama Al Quran, IQRA (arti BACALAH),  cara pandang terhadap TEKS 'BACALAH' setiap orang pasti berbeda. Tafsir tergantung Referensi dan Preferensi (Kecenderungan). Kalau kecenderungan kita sekadar membaca dengan indera (mata, telinga, peraba) semata, maka ayat itu ditafsitkan secara inderawi. Tetapi kalau membaca berdasarkan potensi yang dimiliki manusia maka tingkatannya tentu bukan hanya indera, tapi dengan akal, dan hati. 

Membaca dengan  akal, berarti proses berpikir atas tanda-tanda baca yang Tuhan titipkan di alam raya. Ayat tertulis dan tercipta. Perbedaan hadir sudah tentu sebagai pelajaran bagi manusia, bagi yang mau belajar dan mengambil hikmah atas hal tersebut. Penemuan teori gravitasi, penemuan Archimedes, dan sejumlah penemuan-penemuan lainnya yang telah bermanfaat bagai semua umat manusia. Meskipun sejarah mengajarkan, kadang ilmuan berseteru dengan kaum agamawan. Dan, Einstein, memformulasi agama dan sains dengan sangat apik lewat ungkapan. "Agama tanpa ilmu buta, Ilmu tanpa agam lumpu". Sehingga, semestinyalah rasionalitas bersenyawa dengan doktrin agama.

Kekuatan mengolah hati, melakukan perenungan dan kontemplasi atas seluruh gerak sebab akibat alam semesta. Kemampuan mengasah hati dengan praktik-praktik spiritual, telah melahirkan banyak ajaran-ajaran 'kearifan".  Banyak hal yang terjadi di luar jangkauan nalar dan indera, dan hanya penyerahan pada yang Kuasa yang dapat menenangkan diri. Inilah, pertautan potensi manusia yang semestinya sling menguatkan indera-akal-hati, bukan saling mematikan. Sebagaimana para penganut Empirisme yang menolak gagasan-gagasan kaum Rasionalisme, terlebih pada pengetahuan yang bersifat non-inderawi.

Mereka (para interogator) biasanya membenci logika dan filsafat. Meskipun tak sadar mereka menerapkan prinsip-prinsip keduanya. Atas semua hal yang saya lihat, pikir atas perilaku kelompok-kelompok yang sering digelari "Takfiri" ini menyerupai kaum Emipirisme dalam beragama.  Mereka yang tekstual dan abai dengan konteks, mereka sibuk mempercantik fitur-fitur diri yang nampak secara inderawi (materi), pakaian, jidat, hafalan quran dan hadis. Lihai mengenakan aksesoris fikh lainnya dan mengabaikan dimensi ruh (spiritual). Dimensi immateri akan mewujud dalam bentuk perilaku seperti kebijaksanaan, kearifan dan cinta kasih selaku sesama makhluk ciptaan TYME, hatta termasuk yang beda dengan kita.


#Ditulis setelah diinterogasi oleh seorang bocah mahasiswa Al Birr Makassar dan teman FB tentang kekafiran di Indonesia. Maaf pada  'bocah' puber pembela (T)UHAN itu sy block untuk menjaga kewarasan saya.