28/01/2016
"MERAH" DI KAMPUS ORANGE (UNM)
(Sebuah catatan atas Suksesi Rektor UNM,
2016)
SYAMSU
ALAM
"MERAH"
identik dengan darah, berani, atau secara kelembagaan identik
dengan kampus Unhas atau partai politik atau bahkan aliran ideologi tertentu
(kiri), tidak.. tentu tidak, karena amat sulit kita menemukan
Akademisi (Intelektual) Kiri di UNM (Universitas Negeri Makassar) . Tapi
dikalangan mahasiswa UNM gagasan kiri (sosialisme) bukan hal yang langka.
Salah satu indikatornya pernah ditemukan logo peralatan kerja petani (baca:
palu arit), indikator lainnya seorang penanya mengutip Lenin pada sesi
tanya jawab pada pemaparan Rencana Program Kerja calon Rektor UNM Periode 2016-2020 (27/01/16) di
ruang teater Pinisi UNM. Meskipun demikian UNM tetaplah kampus Orange.
Dalam
persfektif atmosfer akademik tentu berbagai pemikiran "sah dan halal"
dipelajari. Ini, boleh jadi pertanda baik bahwa civitas akademika
(dosen, mahasiswa, pegawai) kampus setengah Oemar Bakri tidak
perlu fobia terhadap aliran pemikiran apapun. Karena salah satu ciri kampus
yang besar dan unggul adalah tempat bersemai dan berdialektikanya berbagai
pemikiran. Bukankah pelangi itu indah karena warna-warninya.
BRANDING VISI MISI
Enam
kandidat calon rektor UNM telah memaparkan rencana-rencananya jika ditakdirkan
oleh Tuhan melalui 97 suara senat UNM disaring menjadi 3 (tiga) calon dan
putusan akhir adalah suara pak Menteri. Seharian pada pemaparan dan tanya
jawab calon Rektor UNM tidak banyak hal baru yang dipaparkan, bahkan
pemaparan program keenam kandidat tidak jauh berbeda dengan Program Rektor
sebelumnya. Setidaknya keenam calon Rektor ada kesepahaman atau kemiripan
gagasan visi misi dalam tiga kosakata. Ketiganya adalah
Kolaborasi, MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) dan World Class
University.
Pada
ketiga kosakata itulah, penulis hendak menyematkan kata
"Merah". Dalam psikologi warna dan kaitanya dengan
branding, Warna "Merah" identik dengan hasrat,
semangat, ambisi, nafsu, passion.
Para
kandidat sepaham untuk meningkatkan daya saing dalam pusaran MEA dan persaingan
menjadi universitas unggulan dengan berbagai predikat yang akan membanggakan
para civitas akademika UNM dengan tidak sekedar mengandalkan pada seorang
Rektor tetapi dengan berkolaborasi. Meskipun belum ada penjelasan lebih jauh
berkolaborasi dengan siapa. Kata Kolaborasi kian populer menjelang Revolusi
Industri keempat versi World Economic Forum (WEF), Sebuah revolusi batu
yang berbasis digital. Pemicu utamanya bergesernya mode of production dari input modal fisik ke input modal non-fisik (ide dan kreativitas) pemanfaatn input
tersbut menjadikan berbagai perusahaan dan organisasi meraih sukses di pentas
regional maupun global. Keberhasilan organisasi menjadi pemenang dengan strategi
"Kolaborasi". Beberapa organisasi diantaranya adalah Wikipedia,
Facebook, Skype, Goldcorp, Linux, P&G dll.
Don
Tapscott penulis The Digital Economy dan Wikinomics,
mengungkapkan bahwa awalnya "Kolaborasi Maya" yang dilakukan
oleh para netizen, programmer, youtuber dan lain-lain adalah
semacam gerakan massif sebagai anti-tesa atas dominasi perusahaan-perusahaan
raksasa yang menguasai media mainstream. Bahkan kerap dikatakan sebagai
"komunisme gaya baru". Tetapi para aktivis "Kolaborasi
Maya" tetap memacu krativitas dan berinovasi tiada henti tanpa terpengaruh
dengan stigma komunisme gaya baru. Misalnya Linux, yang awalnya hanyalah
proyek "gotong-royong" dimana para programer berjejaring,
berbagi source code, sharing pengalaman hingga akhirnya bisa bersaing
dengan Microsoft atau Mac. Padahal tidak ada perusahaan yang menaunginya,
toh, bisa menjadi pemain dalam dunia Sistem Operasi. Hal yang sama
terjadi pada perusahaan dan organisasi yang melakukan "Kolaborasi".
KONSEKUENSI
KOLABORASI
Berdasarkan
sudut pandang perencanaan, kalaborasi identik dengan proses, dimana
inputnya adalah Mahasiswa, Dosen, Pegawai, Satpam,
Stakeholder dan shareholder yang terkait dengan pengguna jasa dan produk
(output) perguruan tinggi. Produk perguruan tinggi bisa berarti lulusan
sarjana dan pascasarjana atau hasil penelitian yang bisa dimanfaatkan oleh
masyarakat, perusahaan, atau pemerintah dalam menyusun kebijakan.
Dimensi dampaknya (impact) adalah apakah produk tersebut dimanfaatkan sesuai
kompetensinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kemandirian bangsa.
Jika Kolaborasi dimaknai seperti ini maka Tri Dharma Perguruan tinggi akan
berjalan sesuai dengan koridornya dan cita mewujudkan kampus menjadi
"Center of Excellence". Tentu dengan berbagai konsekuensi-konsukuensi
dan perbaikan sistem kelembagaan.
Cerita
sukses tentang organisasi yang menerapkan Kolaborasi "Massif" berani
mentransformasikan sistem manajemennya. Organisasi yang awalnya
menerapkan manajemen vertikal, hirarkis yang kaku, berdasarkan
komando, perintah atasan, dan standar operasional yang sangat kaku
dan mekanistik, dapat menyebabkan bawahan terkena penyakit sindrom ABS
(Asal Bos Senang). Dengan Kolaborasi gaya tersebut ditransformasi menjadi
Organisasi dengan sistem manajemen horisontal, terbuka, komunikasi lebih
cair, fleksibel, penuh ruang improvisasi bagi siapapun yang
terlibat dalam kolaborasi. Dengan sistem seperti ini maka jarak antara pejabat
Universitas, Fakultas, Jurusan dan Prodi dengan yang bukan pejabat
seperti dosen, pegawai dan mahasiswa bisa dianggap tidak berjarak.
Konsekuensi
lebih jauh adalah akan menghancurkan tatanan struktural feodalisme, entah
feodalisme keturunan "karaeng", "puan" atau
feodalisme keilmuan "professor" dan bukan professor. Tentu saja
hal ini adalah alamat baik buat atmosfer akademik, dimana setiap civitas
akademika adalah subjek dan ilmu pengetahuan adalah objeknya.
Konsekuensi
selanjutnya, setelah struktur feodal sudah runtuh, maka akan
tercipta kesetaraan, ruang-ruang dialogis antar civitas akademika dan stakeholder
makin luas. Dan pada akhirnya demokratisasi kampus dapat terwujud. Apakah
semudah itu? Tentu tidak. Tapi yang pasti jika Kolaborasi telah
menjadi kosakata pamungkas para kandidat Rektor UNM maka semestinya
prinsip-prinsip kolaborasi harus menjadi tonggak-tonggak pengelolaan perguruan
tinggi.
KOLABORASI:
LIPSING ATAU INISIASI
Harapan
terbesar kita sebagai masyarakat biasa,
atas setiap suksesi para calon pemimpin adalah satunya kata dan perbuatan atau dalam terminologi kampus adalah
“kejujuran ilmiah” para kandidat. Semua
yang dipaparkan seolah-olah adalah energi positif dengan beragam angan-angan
indah. Kata memang adalah senjata, dia bisa memotivasi atau mematikan.
Kolaborasi
layaknya diperlakukan tidak seperti liberalisasi pasar regional ASEAN dalam
MEA, karena dalam liberalisasi menyimpan
potensi laten ketimpangan dan menindas Negara yang tidak punya akses dan
aset. Kolaborasi tentu memuat prinsip pro-konsumer, tersedianya perpustakaan
besar untuk berbagi sumber-sumber pengetahuan, terciptanya transparansi
sebagaimana "kolaborasi maya" berbagi source code, menyuburkan pikiran kolaboratif bukan pikiran
kolutif dan koruptif. Semoga UNM tetap
Jaya dalam Tantangan.
05/12/2015
SEBERAPA 'KAYA' KITA MEMAHAMI KEMISKINAN?
Syamsu Alam *)
Sumber Gambar: http://guardianlv.com/2014/04/poverty- |
Sesungguhnya kemiskinan mendekatkan diri pada kekufuran
Darimanakah
kemiskinan berasal? Pertanyaan klasik nan sederhana tersebut tidak sesederhana
menjawabanya apalagi hendak menyelesaikannya. Karena dari jawaban atas
pertanyaan tersebut akan menimbulkan pertanyaan turunan. Kemiskinan boleh jadi
akan selalu ada sepanjang sejarah umat manusia. Sepanjang logika perbandingan
masih mendominasi pemikiran manusia. Konsepsi kemiskinan dan penanganannya
bahkan “proyek kemiskinan” adalah cerita lama yang paling dinamis dan terseksi
dibahas diberbagai tingkatan. Pinggiran kota hingga ibukota Negara, trotoar
hingga hotel berbintang, korban kebijakan hingga penentu kebijakan, diskusi
lesehan di kampus, riset akademik hingga janji politisi yang selalu didaur
ulang agar terkesan peduli pada kemiskinan di si miskin. Sejak zaman manusia pertama hingga kini, terma kemiskinan masih diperdebatkan;
definisi, ukuran/indikator hingga cara mengatasinya, yang kesemua dimensinya
tersebut berkaitan erat dengan sejauhmana pengetahuan kita tentang terma
tersebut.
Abad 21
menghadirkan kembali pentingnya rezim pengetahuan. Dimana pengetahuan (termasuk
kreatifitas) adalah salah satu faktor produksi yang penting dalam pandangan
kaum neoklasik. Knowledge is Power,
kata Francis Bacon. Bahkan jauh sebelumnya pesan revolusioner pertama al Quran
‘Bacalah’ merupakan diktum pertama Tuhan kepada Nabi Muhammad akan pentingnya
membaca sebagai basis utama memperoleh pengetahuan. Sebelumnya lagi hadirnya
kita di dunia karena ulah Nabi Adam yang mengkonsumsi buah huldi, buah
‘pengetahuan’. Namun pengetahuan apa dan bagaimana yang dapat mereduksi
kemiskinan? Atau jangan-jangan kemiskinan konsepsi yang membuat kita masih
terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan.
Mainstream Pendekatan Kemiskinan
Sejak
1950-an ketika pendapatan nasional mulai dijadikan indikator pembangunan. Pada
umumnya ilmuan sosial merujuk pada
pendekatan tersebut ketika berbicara masalah kemiskinan satu negara. Pengukuran
kemiskinan kemudian sangat dipengaruhi oleh perspektif income poverty yang menggunakan indikator pendapatan sebagai
satu-satunya indikator “kemiskinan”.
Di bawah
kepemimpinan Mahbub Ul Haq (ekonom asal Pakistan) pada tahun 1990an, UNDP
memperkenalkan pendekatan Human Development yang diformulasikan dalam bentuk
Indeks Pembangunan Manusia (Human
Development Index) dan Indeks Kemiskinan Manusia. Dibandingkan dengan
pendekatan yang dipakai Bank Dunia, pendekatan UNDP relatif lebih komprehensif
karena mencakup beberapa dimensi, yaitu dimensi ekonomi (pendapatan), dimensi
pendidikan (angka melek huruf), dan dimensi kesehatan (angka harapan hidup).
Pendekatan kemiskinan versi UNDP berporos pada paradigma pembangunan
populis/kerakyatan yang memadukan konsep pemenuhan kebutuhan dasar dari Paul
Streeten dan teori kapabilitas yang dikembangkan Amartya Sen.
Mainstream
pendekatan modernisasi ala Bank Dunia
dan pendekatan populis UNDP masih melihat kemiskinan sebagai kemiskinan
individu dan kurang memperhatikan kemiskinan struktural. Sistem pengukuran dan
indikator yang digunakannya terfokus pada “kondisi” atau “keadaan” kemiskinan
didasarkan pada faktor-faktor ekonomi yang dominan. Orang miskin hanya
dipandang sebagai “orang yang serba tidak memiliki”, tidak memiliki pendapatan
tinggi, tidak terdidik, tidak sehat, tidak mempunyai faktor-faktor produksi dan
sebagainya. Pun, ukuran-ukuran ‘ketidak memiliki sesuatu’ di tentukan dan
diberlakukan secara general oleh
lembaga-lembaga tertentu kepada setiap kelompok masyarakat/Negara.
Kedua
pendekatan di atas adalah referensi utama lembaga/kementerian di Negara dalam
merumuskan kebijakan berkaitan dengan penduduk miskin, yang secara
statistik setiap tahun menurun namun
anggaran untuk mengatasi kemiskinan meningkat setiap tahun yang tersebar di
beberapa kementerian atau dinas.
Pentingnya Perspektif Komunitas
Kemiskinan
akan selalu hadir ditengah-tengah kita, ketika relasi ketergantungan antara satu
orang/komunitas masih terlembagakan baik secara formal maupun informal.
Pendekatan kelembagaan secara formal kerap kali dilakukan oleh pemerintah
sebagai bentuk kontrol terhadap warga seperti Raskin, bantuan siswa miskin, dan
program lainnya yang melanggengkan ketergantungan warga Negara terhadap Negara.
Sedangkan kelembagaan secara informal dapat ditelusuri dari berbagai mitos yang
mengilusi kerja kreatif masyarakat, himbauan-himbauan, ceramah-ceramah agamawan
yang tidak mencerahkan/ menggerakkan individu dan masyarakat.
Konsep Patron-Klien dalam
konseptualisasi pikiran materiil dan individualis adalah sebuah bentuk
eksploitasi dari patron ke klien, namun lembaga seperti ini adalah hubungan yang saling
menjamin seperti antara pemilik tanah luas dan tak bertanah. James C.
Scott mengatakan bahwa keduanya saling
memiliki kewajiban moral, seperti orang yang numpang tinggal ditanah orang
kaya memiliki kewajiban moral terhadap
yang ditumpangi, demikian sebaliknya.
Di beberapa tempat di senatero dunia
masih kita temui aksi kolektif komunitas
semacam “Manajemen ala orang mati” yang dipraktin di Boetta Ilmoe Bantaneg. Misalnya kematian, sekarang ini orang mati pun harus
membayar ketika hendak dikuburkan. Biaya yang dikeluarkan oleh sanak keluarga mulai dari
menggali kuburan sampai dengan menjamu para pelayat tidak bisa lepas dari biaya ekonomi dari
para keluarga. Namun orang yang meninggal tatkala mereka masih hidup telah mengasuransikan
hidupnya kepada komunitas dengan cara ikut menyumbang ketika ada tetangganya yang meninggal. Ini
lah yang disebut dengan community insurance
(Banerjee). Hal seperti masih
sering ditemui pada masyarakat yang masih memegang teguh modal sosial mereka,
khususnya di desa-desa yang kekerabatan dan solidaritasnya belum tergerus oleh
masyarakat modern yang individualis.
Dalam struktur masyarakat modern
yang berbasis pada kepentingan individu, kegiatan seperti ini ditangkap sebagai
kegiatan pemborosan. Orang ketika dilihat dari ukuran materiil adalah miskin
namun dalam kehidupan sosialnya masih membagi-bagikan apa yang dimiliki untuk
menjamin keberlangsungan komunitas (shared
poverty). Konsep membagi kemiskinan dikemukakan oleh salah satu
Indonesianis, yakni Clifford Geertz yang menyoroti tentang perkembangan
masyarakat Indonesia saat memasuki modernisasi dimana perubahan itu ditunjukkan
ada perkembangan namun perkembangan itu tidak menunjukkan peningkatan. Tentu,
kerangka konseptualnya untuk menyebutkan shared
poverty terhadap perkembangan masyarakat Indonesia karena ia melihatnya dari
cara pandang capitalist mode of
production.
Di belahan dunia yang lain, seperti,
Di Sardinia Itali, di Okinawa Jepang dan di Loma Linda California AS,
adalah contoh dimana terdapat penduduk yang rata-rata hidupnya berumur panjang
di atas 80 tahun (National Geographic).
Dari beberapa wilayah yang terpisah ini umumnya terdapat kebiasaan yang serupa,
meskipun ada perbedaan latar belakang dan keyakinannya. Rata-rata rahasia hidup
berumur panjang itu karena gaya hidup (lifestyle)
mereka. Pada umumnya mereka hidup dengan gaya tradisional, mengutamakan
keluarga, berkomunitas, melaksanakan event-event
budaya, ramah dengan orang lain, menghargai antar sesama dan mengutamakan
pergaulan dalam kehidupan, selain itu juga tidak pernah menggerutu. Pada
umumnya mereka gemar berolahraga dan berkegiatan. Merawat dan memelihara orang
tua dalam satu keluarga dan bukan mengirimkannya ke rumah jompo.
Pentingnya menghadirkan konsepsi dan
perspektif kemiskinan berbasis kemunitas adalah wujud membangun kemandirian politik
maupun finansial. Kemandirian secara politik akan mengantarkan si subjek untuk
lebih berani bersikap, bahkan terhadap konsep yang mainstream sekalipun.
Kemandirian secara finansial dapat diupayakan dengan memanfaatkan ‘apa’ yang
dimiliki (potensi), apakah potensi non-materi berupa ide (pengetahuan), akses,
keterampilan, pertemanan (modal sosial) atau potensi materi yang dimiliki
individu/komunitas. Kedua jenis kemandirian ini dapat dikembangkan dan dirawat
melalui semangat saling berbagi (share),
yang bahkan dalam pandang mode of
production capitalism, kemiskinan (_kekurangan menurut cara pandang
mainstream_) dapat kita share. Yaa… shared
poverty tepatnya. Karena dalam doktrin agama saya, kita tidak akan miskin
dengan membagikan apa yang kita miliki kepada yang lain meskipun orang menilai
kita kekurangan.
Sedekah: Jalan Alternatif yang Sunyi
Kemiskinan
dapat mendekatkan kepada kekufuran. Bukan berarti bahwa kekayaan dapat
menjauhkan dari kekufuran. Karena kenyataannya banyak juga yang kufur karena
berlimpahan nikmat atau rezeki. Istilah teman saya, banyak orang bisa survive
dengan ‘penderitaan dan serba kekurangan’ tapi tak jarang banyak yang tumbang
dan lupa diri justru dengan ‘angin sepoi-sepoi’.
Islam
sebagai agama yang mulia dan agung, senyatanya sudah mempunyai solusi-solusi,
bahkan upaya pencegahan atas penyakit-penyakit sosial yang muncul. Sedekah
adalah salah satu konsep yang masih sunyi dari hiruk pikuknya aktifitas manusia
sejagad. Sedekah tentu merupakan doktrin Islam untuk mengatasi kesenjangan
sosial dan mewujudkan pemerataan ekonomi.
Sedekah
(Shodaqoh) adalah segala yang dikeluarkan sesorang dari hartanya dengan niat
mendekatkan diri kepada Tuhan. Atau apa yang diberikan secara sukarela kepada
orang lain dengan niat meraih ridha Ilahi, selain hadiyah. Termasuk kategori
sedekah adalah Zakat, Nazar, Kafarah, dan lain sebaginya.
Berdasarkan
definisi di atas, dapat kita jadikan acuan dasar untuk menilai maraknya slogan,
seminar, dan ajakan sedekah. Mengajak orang bersedekah adalah mulia, sepanjang
untuk mendepatkan ridhaNYA. Persoalan muncul ketika, beberapa agamawan,
mengajak kita bersedekah agar harta kita makin bertambah, semakin dilapangkan
resekinya, dan bla..bla..bla. Padahal definisi di atas jelas untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan, bukan agar terjadi akumulasi harta, apalagi agar dipilih
dalam pemilihan caleg, kades, bupati, gubernur, hingga ketua RT J. Menurut hemat saya, ajakan tersebut adalah sebentuk
‘kapitalisasi sedekah’ melalui iklan-iklan yang bombastis, heboh, dan
menggiurkan.
Begitu
fenomena kemiskinan di Negeri yang kaya raya ini. Hendak hati memberantasnya
apa daya terjebak dalam memiskinkan diri dalam memahaminya.
Wallahu
A’lam. @alamyin
*) CA di FE UNM
26/09/2015
Robot, Manusia dan Ekonomi Baru
Syamsu Alam
Source: vividscreen. info/pic/chappie.jpg |
Apa jadinya
jika robot mampu mengkudeta peran manusia? Robot bisa saja merupakan The Future of Employment, atau wakil
manusia dimuka bumi. Robot bisa saja menggantikan polisi yang tidak bisa
memberi rasa aman di kota ini, dimana rasa takut kepada jambret dan begal menggantikan
malam-malam kita yang asik ngerumpi di warung kopi.
RoboCop
adalah salah satu robot superhero yang paling populer di hampir semua tingkatan
usia. Robot polisi penumpas kejahatan dan penegak keadilan. Ada banyak film
dengan genre teknologi AI (Artificial
Intelegence) atau populer dengan istilah kecerdasan buatan yang beredar di
pasaran. Dan boleh jadi adalah bidang yang sangat berkembang dengan pesat. Ada
film yang mengeksplorasi bagaimana transformasi peran antara manusia dengan robot, bahkan dalam
film-film AI terbaru seperti Transendence (2014), Lucy (2014), Exmachine
(2015), Chappie (2015) dan lain-lain lebih jauh melampaui versi-versi robot sebelumnya.
Sang sutradara seolah-olah hendak menyampaikan pesan kegagalan manusia
mengelola dan memakmurkan kehidupannya sendiri.
Pergantian
peran antara robot dan manusia bukan sekedar pergantian tenaga kerja tetapi
mereka bisa melakukan transeksual hingga perpindahan atau pertukaran alam sadar
(alam rasional) atau kecerdasan. Apa yang terjadi jika suatu saat manusia bisa
mencipta robot yang bisa belajar sendiri yang memungkinkan kecerdasannya
melampaui penciptanya? Pertanyaan tersebut menyerupai pertanyaan para penggila
pengetahuan yang mempertanyakan bisakah tuhan menciptakan batu, dan batu
tersebut tidak bisa diangkatnya sendiri?
Bagaimana pula jika robot-robot tersebut bisa diinstall semacam stimulus
emosi, simpati dan empati yang memungkinkan si robot lebih berempati dan
mempunyai simpati dibanding penciptanya sendiri. Atau jangan-jangan ini adalah
penanda terjadinya revolusi industri baru atau penanda bahwa siapapun yang
menguasai kecerdasan mengolah besi maka dialah yang akan menguasai dunia,
entahlah !
Dalam
literature ekonomi kecerdasan adalah faktor produksi yang paling utama, tanpa
mengabaikan peran penting faktor tanah, tenaga kerja dan modal. Kecerdasan rasional
(alam sadar) adalah ukuran kemuliaan manusia modern. Rasionalitas adalah kunci
model ekonomi lama, dimana pikiran rasionallah yang membimbing produsen,
konsumen, rumah tangga, pemerintah untuk memenuhi self-interest mereka.
Self-interest bukanlah kosakata baru. Plato memposisikan Self-interest sebagai sesuatu yang negatif. Menurutnya self-interest merupakan biang kejahatan
dan dosa. Baginya hanya akan mendorong individu berlaku tidak adil terhadap
orang lain. Sementara Aristoteles memandang self-interest
secara ambigu. Menurutnya, self-interest
tidak selalu negatif, melainkan juga positif. Menurutnya self-interest pada dasarnya terbagi menjadi dua: bad self-interest dan good self-interest. Bagi Aristoteles good self-interest terjadi ketika
individu mengutamakan pula kepentingan umum (common
interest). Perdebatan tentang self-interest
bukan hanya terjadi dikalangan filosof, bahkan ditingkatan praktis tidak
kalah sengtinya.
Dinamika self-interest
seolah betul- bentul menemukan kediriannya (the
self). Ketika Bentham yang melihat self-
interest sebagai perkara psikologis individual. Menurutnya meskipun selain
self- interest terhubung dengan kepentingan masyarakat, namun self-interest
dianggap lebih utama. Selanjutnya Nietzsche, yang melihat self interest sebagai afirmasi diri dari kehendak will to power. Begitu juga dengan Ayn
Rand, yang melihat self-interest
sebagai tindakan individu rasional yang penuh integritas. Di dalam ekonomi,
pengertian self-interest sudah
dianggap barang jadi yang stabil dan tidak bisa diganggu-gugat, pun kalau ada
yang menyalahi prinsip dasar self-interest,
bisa di atasi dengan berbagai asumsi. Di hal ini, self-interest diyakini sebagai satu-satunya dasar bagi rasionalitas
tindakan manusia, maksimalisasi utility (kepuasan) oleh konsumen, dan
maksimisasi profit bagi produsen. Menurut Hirschman, dalam ilmu ekonomi konsep self-interest begitu cepat berkembang
sehingga menjadi suatu doktrin dan praktik dalam kehidupan sehari-hari. Pada
titik inilah Armatya Sen memandang Ilmu ekonomi sangat egois.
Bagi Sen, sifat egois yang disandarkan pada
mementingkan dan mengutamakan kepentingan diri semata tidak realistik, karena
dalam banyak hal tindakan manusia tidak murni egois, melainkan kombinasi dengan
utilitarian. Artinya pada derajat tertentu manusia akan selalu memikirkan
kepentingan orang banyak. Namun utilitarianisme tidak juga membantu menutupi
pekatnya egoisme. Sebab kepentingan semua orang pada dasarnya adalah
penjumlahan dari kepentingan masing-masing (self-interest)
atas nama keluarga, teman, kelompok, kelas sosial, dst. Hal ini berpotensi
terjadinya diktator mayoritas, ketika individu-individu yang menguasai koin dan
kekuasaan bahu-membahu membangun dinasti untuk memenuhi hasrat self-interest tanpa mempedulikan
keseimbangan semesta.
Armatya Sen mengususlkan pentingnya persentuhan
antara the self dan others
dengan menghadirkan simpati dan komitmen. Sen Mengilustrasikan begini, jika
kita mengetahui orang lain disiksa, lalu kita ikut merasakan sakitnya siksaan
itu, inilah yang disebut simpati. Jika penyiksaan terhadap orang lain, secara
personal tidak memberikan dampak buruk bagi kita, namun kita sadari bahwa
penyiksaan itu salah, lalu kita siap untuk menghentikan tindakan penyiksaan
tersebut, maka ini yang disebut komitmen.
Dengan kata lain, simpati merupakan suatu upaya
menempatkan perasaan dan perhatian (self)
kita kepada situasi apa dan bagaimana yang dirasakan orang lain. Sedangkan
komitmen adalah suatu kehendak yang muncul untuk melibatkan diri guna melakukan
perubahan positif terhadap situasi orang lain. Dari perbedaan pengertian di
atas, nampak bahwa simpati adalah suatu bentuk tindakan yang “minimalis”, pasif
dan masih membawa nuansa egoistiknya. Sedangkan komitmen merupakan tindakan
aktif, antisipatif dan ada keterlibatan aktif dengan yang lain.
Dalam imajinasi saya, jika simpati dan komitmen
hadir dalam interaksi dalam kehidupan (sosioekonomi dan politik) maka mungkin kita
tidak menemukan pasien yang mati di rumah sakit karena tidak ada biaya
pengobatan. Penyerobotan lampu merah di ‘traffict light’, mark-up dan korupsi
anggaran belanja publik, intimidasi mahasiswa yang kadang tidak rasional hanya
karena protes soal keadaan yang dianggapnya timpang. Rasisme dalam berbagai
bentuknya bisa di reduksi, kesalahan sosial yang dipicu oleh ketimpangan
sosioekonomi bisa diminimalisir.
Chappie (plesetan Happy) robot ciptaan Deon (Pemain
Slumdog Milionaire), boleh jadi menjadi representasi imajinasi saya. Chappie
adalah robot cerdas yang memiliki alam sadar, kecerdasannya bisa melampaui
kecerdasan manusia jika dilatih dengan baik dan benar. Chappie bisa menjadi
budak self-interest para gangster,
atau menjadi hero bagi warga yang
tertindas.
Robot boleh jadi adalah representasi manusia super
yang bisa menggantikan peran manusia dalam banyak hal. Pilihannya adalah apakah
robot akan menjadi komplemen (pelengkap) kehidupan manusia atau ia akan
mensubtitusi manusia. Jika robot adalah komplemen untuk kehidupan manusia
berarti kontrol masih ditangan manusia, namun jika sebaliknya yang terjadi maka
sangat mungkin perang dimasa depan adalah perang antara robot versus manusia.
Atau mungkin saja telah terjadi robotisasi (dalam arti mekanisasi) massif disebabkan
karena tiadanya pilihan lain selain menjadi budak koin dan kekuasaan.
Alternatif lainnya robot bisa mensubtitusi peran manusia dengan asumsi bahwa
robot sebagai karya kecerdasan buatan mampu melampaui kecerdasan penciptanya,
dan mempunyai simpati dan komitmen untuk melindungan yang lemah, mendistribusikan
kekayaan, maka mungkin ekonomi baru dan kehidupan baru benar-benar akan lahir, entahlah
Chappie !
@alamyin.
(Edisi lengkap tulisan dimuat di projek ebook "cyber dan tradisi literasi" :)
Readmore: Armatya Zen: Economic Development. Filsafat Moral Adam Smith (LIPI) Movie: Chappie (2015), Transendence (2014), Lucy (2014), Exmachine (2015),
(Edisi lengkap tulisan dimuat di projek ebook "cyber dan tradisi literasi" :)
Readmore: Armatya Zen: Economic Development. Filsafat Moral Adam Smith (LIPI) Movie: Chappie (2015), Transendence (2014), Lucy (2014), Exmachine (2015),