Read, Write, and Do Something

No Teaching without learning

Menulislah agar abadi

---

Listen, free economic make better

08/05/2015

TOKOH INSPIRASI: Out of the Box

TOKOH INSPIRASI: Out of the Box    
Spesial Hari Pencerahan Nasional ala alam-yin.com    
Foto di atas bukanlah kandidat calon gubernur/bupati/walikota. Beliau-beliau adalah inspirator di komunitasnya masing-masing. Pertama, Pak Madjid (Madjid Sallatu) adalah sosok akademisi yang mumpuni ide-ide yang menghentak di bidang perencanaan pembangunan, meskipun secara akademik hingga pensiun tidak menyandang gelar professor di depan namanya namun kapasitasnya melebihi gelar tersebut. Menurutku, salah dua jasa monumental beliau adalah berhasil membangun tim solid peneliti yang kini berkecimpung di P3KM (Pusat Studi Kebijakan dan Manajemen) Unhas dan gagasan tentang ‘memerdekakan’ KTI (Kawasan Timur Indonesia) dari Indonesia Barat.  Kedua, Ka Sul (Sulhan Yusuf) adalah sosok yang akrab dengan buku, gerakan literasi tepatnya pegiat literasi Boetta Ilmoe Kab. Bantaeng,  koes plus dan Arsenal, beliau juga tak jarang digelari sebagai ‘prof’ lebih tepatnya provokator. Meskipun profesi mereka berbeda, namun yang pasti secara fisik dan semangat mereka ada kemiripan dan bahkan kesamaan, salah satu kesamaannya adalah kepala boleh plontos tetapi pikiran kritis kosntruktif harus tetap subur.

Lalu, apa yang menjadikan kedua tokoh ini penting. Tentu bagi siapapun yang sering atau kadang-kadang berinteraksi dan mendengar diskusi-diskusi kedua orang ini akan menemukan semangat dan inspirasi dan harapan baru dari beliau. Setidaknya ada dua momen di awal bulan mei secara sengaja dipertemukan oleh Tuhan di waktu dan tempat yang berbeda dengan topik perbincangan yang berbeda pula.

Senin 3 mei 2015. PSKMP (P3KM) Unhas adalah salah satu rute mingguan saya, dalam seminggu  menyempatkan diri bertandang ke tempat ini. Cerita pak madjid tentang gigi dan reparasi gigi. Dia bercerita tentang pengalamannya konsultasi dengan dokter gigi.Hal yang baru menurut saya adalah tentang implant gigi. Sepengathuan saya teknologi implant biasanya ditanam ke jaringan syaraf. Seperti film mendiang Robbin Williams dalam The Final Cut. Dengan teknologi implant, orang yang sekarat bisa di replay kehidupannya. Prinsipnya sama dengan implant gigi dengan menanamkan besi di tulang. Biaya implant gigi lumayan mahal minimal 10 juta/gigi, belum biaya perawatan. Bisa di bayangkan kalau gigi kita sudah rontok sekitar 10 buah. Tapi apa pesan menarik beliau tentang cerita itu. ‘bagi kalian yang giginya masih bagus, jagalah gigimu baik-baik’.

Tentu, pesan sederhana tersebut penting menjadi perhatian. Kenapa? Pertama. Bisa Anda bayangkan kalau Anda tidak punya gigi. Kita tidak bisa menikmati indahnya senyum dan lezatnya makanan. Kedua, Dampaknya pada pola konsumsi dan cara kita menjalani hidup. Pastilah, kita tidak ingin menghabiskan usai produktif mencari nafkah dan akhirnya terpaksa kita setor ke para dokter.

Pesan lainnya yang serap adalah bahwa dunia kedokteran memang tak ubahnya seperti bengkel otomotif. Saya curiga ungkapan Ivan Illich semakin nyata benarnya, bahwa salah satu yang bisa merusak dunia pendidikan kesehatan adalah ‘bisnis rumah sakit’. Praktik kedokteran dan bisnisnya kadang dan pada umumnya memposisikan pasien layaknya ‘mesin rusak’, yang jika suatu organ tidak berfungsi normal atau menunjukkan gejala disfungsi, maka solusinya adalah ‘amputasi’. Ibarat motor jika onderdilnya rusak ganti sparepartnya, atau seperti amputasi ala orde baru dimana para pembangkang/kritikus harus diculik  atau bahkan dibunuh persis seperti Adam Suttler dalam film V for Vendetta. Saya curiga ada persekongkolan paradigmatik antara dunia pendidikan, kedokteran, otomotif, dan para diktator pada setiap tingkatan.

Sepintas, hidup di dunia memang penuh biaya. Namun pastilah ada dunia yang lain yang tidak selalu bicara soal biaya. Kita masih bisa memandangi cahaya rembulan di malam hari bersama kekasih dengan free. Atau tertawa bahagia di warung kopi lostcost karena ditraktir teman yang baik hati J. Dan salah satu tokoh dan pegiat komunitas, yang mencoba memandang dunia tidak dengan dasar biaya seperti yang ada dalam cerita berikut.

Rabu 6 mei 2015, sekitar pukul 12.30 saya menyambangi Toko Buku Papirus (pusat dakwah Muhammadiyah/ depan Unhas), dari jauh senyum sumringah ka Sul begitu menggoda, sapaan khasnya yang kadang sedikit ‘membully’ saya ketika memasuki ruang Toko Bukunya. Secara sengaja (Takdir) Tuhan mempertemukan juga dengan Ka Herman Pabau (salah seorang guru spiritual, yang sempat bekerjasama apim dalam training spiritual tentang penyembuhan dengan teknis meditasi ala sufi ketika saya masih sangat muda J dan aktif di LK UNM). Tentu ketemu dengan kedua guru ini, kita akan hanyut dalam diskusi yang tak berkesudahan. Diskusi tentang dari yang kiri hingga yang paling kanan, dari yang materil bahkan yang immateri, hal vulgar hingga sakral, organisasi profit dan non profit, pengalaman spiritual pribadi hingga pergumulan rekayasa sosial. Pokoknya banyak, dan ini tidak mungkin sya dapat di ruang-ruang kuliah.

Di penghujung perbincangan (sekitar pukul 16.50 wita) dengan beliau, dengan sesekali perhatian kami dialihkan oleh pengunjung Toko Buku. Ada hal yang menarik dan menghentak dalam benak saya ketika beliau berbagi pengalaman di Boetta Ilmoe tentang “MANAJEMEN ORANG MATI”. Apa itu manajemen orang mati?

Manajemen orang mati adalah praktik langsung dari apa yang orang anggap baru adalah “mass collaboration”. Dalam kolaborasi komunikasi berlangsung cair dan mengalir, tanpa hirarki, tanpa administrasi, dan semua orang tergerak dan bergerak melakukan pekerjaan masing-masing sesuai bidangnya hingga mayat masuk di liang lahat. Cukup dengan pengumuman kedukaan, orang-orang pun berdatangan secara sukarela. Ada yang mengurusi nisannya, kerandanya, kainnya, tendanya, persiapan shalat jenasahnya dan seterusnya. Sebuah kolaborasi yang digerakkan atas dasar tolong menolong dan mensukseskan suatu ‘event kematian’. Tentu, kolaborasi seperti ini tidak bisa terwujud jika tidak ada kohesi sosial yang kuat atau modal sosial yang kokoh dalam suatu komunitas/masyarakat.

Metode di atas coba beliau praktikkan dalam mengelola event ulang tahun Boetta Ilmoe. Tanpa manajemen yang rigid yang berdasar pada hubungan hirarki yang kuat, administrasi yang ketat tetap mensukseskan kegiatan tersebut. Tentu, itu bukan kali pertama daeng  Sulhan bereksperimen melawan arus mainstream. Dan tentu pula kita tidak serta merta bisa menduplikasi kesuksesan beliau bereksperimen tanpa melihat latar sejarah terbangunnya kohesi sosial dan pandangan politik di komunitasnya. Sebuah komunitas yang berbasis modal sosial yang kuat pasti dapat mewujudkan ‘mass collaboration’ yang apik, elegan dan menarik.

Panjang umur Pak Madjid dan Ka Sulhan. Dua tokoh dari dua kampus yang berbeda yang menginspirasi dan berjasa membangun budaya kritis dan mendorong tradisi intelektual yang “out of the box”. Semoga kampus merah UNHAS dan Kampus Orange UNM bersinergi membangun tradisi tersbut dan menjadi ‘center of excellent’ di Indonesia.
Selamat Hari Pendidikan Nasional 2015

@alamyin, makassar mei 2015

26/03/2015

The Happiness Index: antara Data dan Fakta

The Happiness Index: antara Data dan Fakta

sumber:ashevillehappybody.com
Setahun yang lalu, blog ini dirawat dengan baik dan rutin dengan sangat bahagia oleh penjaganya. Bahkan menjadi motivasi tersendiri untuk tetap eksis dan aktif di blog kompas (kompasiana). Setidaknya ada tiga hal yang memotivasi untuk menghidupkan marwah blog ini. Pertama, ide-ide  berasal dari alam bawah sadar seperti: pendidikan kaum tertindas, adalah tema yang kerap mewarnai setiap propaganda ketika masih aktif di lembaga kemahasiswaan. Kedua, 'neuroscience' yang saya pernah baca dalam buku belajar cerdas karya Kang Jalal, salah satu isinya menyebutkan membaca dan menulis dapat membuat awet muda. Ketiga 'appreciative inquiry', yang bangkit dari alam bawah sadar, ketika pak Madjid Sallatu (pemateri The Happiness Index). Gagasan Appreciative Inquiry (AI) pertama kali saya dengar ketika menjadi tim kreatif PAK (Pertemuan Apresiatif Kabupaten) tahun 2009 silam.


Lalu, apa hubungannya dengan The Happiness Index: antara Data dan Fakta. Nah, Postingan ini tidak dalam hal menjelaskan tentang AI, tetapi sekadar ingin berbagi hasil diskusi provinsi yang dilaksanakan oleh JiKTI (Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia) Sulawesi Selatan 19 maret 2015 yang lalu. Kegiatan ini di koordinir langsung oleh Pak Agussalim (Focal Point JiKTI Sulawesi Selatan). Resume diskusi dalam blog ini adalah rancangan draf yang penulis buat sebelum di verifikasi oleh koordinator JiKTI. Oleh karena itu Resume ini bukan publikasi resmi JiKTI. Resume diskusi Indeks Kebahagiaan di publish di laman ini sebagai sharing informasi bagi siapapun yang tidak sempat hadir dalam diskusi tersebut.


Ukurlah sesuatu yang dapat diukur,
dan buatlah agar dapat diukur segala sesuatu yang belum dapat diukur
(Galileo Galilei)

Kebahagiaan bukanlah  sesuatu yang mudah diukur dan dinumerikkan. Karena  Kebahagiaan sangat immaterial, didalamnya ada  emosi, psikis dan spiritualitas. Selain itu  Kebahagiaan juga sangat subjektif yang relatif sulit dikuantifikasi secara akumulatif. Sehingga jika ada pengukuran tetap memperhatikan aspek validitas dan realibiltas.
Selama ini ukuran kemajuan secara objektif dominan berbasis ekonomi (Monetary based indicator), pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan sebagai indikator  makro kemajuan dan indikasi kesejahteraan. Kahagiaan dapat didekati dengan dua, yaitu secara subjektif dengan komponen kepuasaan hidup dan emosi positif. Cara ini digunakan untuk melengkapai indikator objektif.
Adanya Paradoks Pembangunan, dimana belanja pemerintah meningkat, pertumbuhan ekonomi meningkat tiap tahun sebagai ukuran makro kemajuan. Namun disisi yang lain peningkatan tindak pidana kejahatan, jumlah perkawinan massal juga meningkat. Bahkan tingkat bunuh diri dan kekerasan sosial juga melonjak.  Fenomena lainnya adalah masih tingginya ketimpangan antar wilayah,  antar individu, dan antar kelompok. Fenomena ini mengantarkan kita pada paradox kesejahteraan.
Sampai saat ini masalah terbesar dalam pembangunan adalah absennya indikator  pembangunan sosial. Hal ini dapat dilihat dari tiadanya perencanaan sosial. Padahal Pembangunan sosial adalah sesuatu yang terintegrasi dengan pembangunan itu sendiri.  Hal ini disebabkan karena selama ini perhatian sepenuhnya diarahkan pada indikator-indikator ekonomi. Bahkan ada indikasi kuat para pegiat sosial dan pemerintahan ikut terbawa arus hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi an sich.
Pada tingkatan pemerintahan, ada kecenderungan mengutamakan fungsi pemerintahan dan mengabaikan fungsi pembangunan. Fungsi pemerintahan yang seyogyanya berpikir untuk pembangunan sosial. Oleh karena itu yang paling esensial adalah pelayanan publik. Sedangkan fungsi pembangunan adalah memfasilitasi masyarakat, pihak pemerintah sebaiknya fokus bagaimana fasilitas pelayanan masyarakat berfungsi secara  efektif dan efisien. Salah satu tantangan terbesar adalah meningkatkan indeks pendidikan yang dalam hasil Indeks kebahagiaan memperoleh indeks terendah.
Capaian Indeks Kebahagiaan  Sulsel bisa dianggap sebagai kemajuan  karena berada di atas rata-rata nasional. Namun jika dilihat berdasarkan indeks komposit masing-masing komponen indeks kebahagiaan yang sebagian besar berkaitan dengan pembangunan sosial. Maka masalah kohesi sosial di Sulsel perlu menjadi perhatian untuk membangun modal sosial yang lebih baik. Tentu dengan mencoba pendekatan-pendekatan baru, menghindari cara-cara yang parsial dan lebih fokus  upaya solutif terintegrasi dengan pembangunan sosial.
Indeks kebahagiaan merupakan indeks komposit yang disusun berdasarkan tingkat kepuasan terhadap 10 aspek kehidupan yang esensial. Kesepuluh aspek tersebut secara substansi dan bersama-sama merefleksikan tingkat kebahagiaan yang meliputi kepuasan terhadap: 1) kesehatan, 2) pendidikan, 3) pekerjaan, 4) pendapatan rumah tangga, 5) keharmonisan rumah tangga, 6) ketersediaan waktu luang, 7) hubungan sosial, 8) kondisi rumah dan aset, 9) keadaan lingkungan, dan 10) kondisi keamanan.
Oleh karena pengukuran Indeks kebahagian di Sulawesi selatan terhitung baru, maka tantangan bagi akademisi adalah bagaimana menawarkan indikator kebahagiaan, dan menawarkan arah-arah jalan baru untuk indeks kebahagiaan di Sulawesi selatan ke depan.

20/03/2014

In Memorial H.M. Yunus DM

In Memorial H.M. Yunus DM

Kenduri 7hari.


Tepat malam jumat yang lalu, seorang kakek yang saya kagumi berpulang kehadirat yang Maha Kuasa. 


(Catatan singkat ini, semoga bisa menjadi pengganti atas kealpaan saya melayat beliau, sekaligus mengenang harmoni pertemuan saya dengan Almarhum)


Pertemuan pertama dengan beliau ketika secara tak sengaja bertemu di rumah anaknya. (T.Ros). Bertepatan dengan sehari setelah Launching Buku 'Jejak Dunia yang Retak'. Saya pun memberikan buku tersebut kepadanya. Ketika itu menjelang magrib kami masih asik bicara berdua tentang banyak hal, kisahnya merintis karir, dari menjual es balok, menjadi guru Olahraga hingga menjadi Anggota Dewan. Beliau sangat akrab dengan tokoh-tokoh HMI senior seperti Cak Nur yang modernis. Qurais Shihab adalah sosok ulama yang beliau kagumi yang sebagian besar bukunya dibaca olehnya. Selain itu ada banyak topik yang kami bicarakan, seolah bersahutan. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah “kesadaran alam bawah sadar”. Kebetulan topik yang terakhir adalah salah satu tema di Boot_Camp Training Entrepreneurship Bank Mandiri. Mendengar istilah tersebut beliau ucapkan, sayapun mengorek lebih jauh tentang jenis kesadaran tersebut. Beliau pun, menjelaskan secara filosofis  hingga praktis. Jenis kesadaran tersebut ibarat gunung es dalam diri manusia, tapi belum terasah dengan baik, sehingga perlu latihan untuk mengasah kesadaran tersebut.


Sosok yang cerdas dan bijaksana 


Pada Usia yang terhitung tua kira2 lebih 70 tahun, beliau  masih rajin membaca dan menulis. Dua buku karya beliau dihadiahkan kepadaku bulan muharram yang lalu, Salah satu judulnya “Menyelam di kedalaman Samudra Ilmu Allah”. Buku yang diterbitkan secara mandiri oleh anak2nya, tidak terlalu tebal tetapi merupakan intisari dari perjalanan umat manusia mengenali Tuhannya.  Seperti biasa, setiap bertemu dengannya kami hanyut dalam diskusi yang beragam. Tetapi yang paling saya suka dari beliau, ketika mengulas tentang 'Makrifat' dan 'Kesadaran alam bawah sadar', yang menurut sebagian besar anak dan cucunya adalah tema-tema yang berat. Makanya dua topik tersebut menjadi mainstream dalam kedua bukunya tersebut.  Amat sangat jarang orang tua yang menulis buku dan dihadiahkan kepada anak dan cucunya. Uniknya lagi setiap buku sudah ada namanya, yang menjadikannya spesial untuk si penerima. Menurutku, itu adalah warisan yang terbaik dan termulia, sebagaimana Nabi mewariskan Al Quran kepada umatnya.


Di usia beliau yang melebihi Usia Nabi. Sejauh pengetahuan saya, beliau tidak pernah mengeluh, dan selalu berusaha mengerjakan dan berusaha memenuhi sendiri kebutuhannya, amat jarang menyusahkan orang-orang disekitarnya.


Pecinta Ilmu yang sejati.


Pernah, suatu waktu di tengah bincang-bincang yang serius dengannya tentang tingkatan kecerdasan manusia ( di BTN Graha Alauddin), tiba-tiba azan ashar di masjid. Saya berkata, "mungkin mauq shalat  Aji?", beliau menjawab. Ini juga kita sedang shalat. Indah benar jawaban beliau. Jawaban yang tidak biasa saya dengar dari seorang kakek. Hal ini menunjukkan ketinggian cintanya terhadap ilmu pengetahuan.


Pertemuan kami yang terakhir adalah ketika beliau terbaring di rumah sakit Bayangkara. Saya hanya memijitnya sejenak, dan menyalami tangannya. Tidak sepertin pertemuan yang yang sebelumnya, dimana kami bercenkraman dalam diskusi yang melangit. Dan, ternyata hari itu adalah pertemuan saya yang terkahir dengan beliau, semoga kita bertemu lagi dikehidupan yang lebih indah dan lapang.
Hari itu, saya ditemani ngobrol istri beliau, perjumpaan yang singkat namun mengesankan.


Tentu, masih banyak kepribadian beliau yang tidak saya ketahui dan perlu diteladani, Sisi-sisi kedermawanan, kesederhanaan dan kecintaan pada ilmu adalah mutiara yang selalu bersinar di setiap zaman.


Saya yakin, beliau adalah salah satu hamba Allah yang dirindukan oleh penciptaNYA.

Wassalam, Al Fatihah.



Syamsu Alam

Makassar, 20.03, 2014