26/03/2015
The Happiness Index: antara Data dan Fakta
The Happiness Index: antara Data dan Fakta
sumber:ashevillehappybody.com |
Setahun yang lalu, blog ini dirawat dengan baik dan rutin dengan sangat bahagia oleh penjaganya. Bahkan menjadi motivasi tersendiri untuk tetap eksis dan aktif di blog kompas (kompasiana). Setidaknya ada tiga hal yang memotivasi untuk menghidupkan marwah blog ini. Pertama, ide-ide berasal dari alam bawah sadar seperti: pendidikan kaum tertindas, adalah tema yang kerap mewarnai setiap propaganda ketika masih aktif di lembaga kemahasiswaan. Kedua, 'neuroscience' yang saya pernah baca dalam buku belajar cerdas karya Kang Jalal, salah satu isinya menyebutkan membaca dan menulis dapat membuat awet muda. Ketiga 'appreciative inquiry', yang bangkit dari alam bawah sadar, ketika pak Madjid Sallatu (pemateri The Happiness Index). Gagasan Appreciative Inquiry (AI) pertama kali saya dengar ketika menjadi tim kreatif PAK (Pertemuan Apresiatif Kabupaten) tahun 2009 silam.
Lalu, apa hubungannya dengan The Happiness Index: antara Data dan Fakta. Nah, Postingan ini tidak dalam hal menjelaskan tentang AI, tetapi sekadar ingin berbagi hasil diskusi provinsi yang dilaksanakan oleh JiKTI (Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia) Sulawesi Selatan 19 maret 2015 yang lalu. Kegiatan ini di koordinir langsung oleh Pak Agussalim (Focal Point JiKTI Sulawesi Selatan). Resume diskusi dalam blog ini adalah rancangan draf yang penulis buat sebelum di verifikasi oleh koordinator JiKTI. Oleh karena itu Resume ini bukan publikasi resmi JiKTI. Resume diskusi Indeks Kebahagiaan di publish di laman ini sebagai sharing informasi bagi siapapun yang tidak sempat hadir dalam diskusi tersebut.
Ukurlah sesuatu yang dapat diukur,
dan buatlah agar dapat diukur segala sesuatu yang
belum dapat diukur
(Galileo Galilei)
Kebahagiaan
bukanlah sesuatu yang mudah diukur dan dinumerikkan.
Karena Kebahagiaan sangat immaterial,
didalamnya ada emosi, psikis dan
spiritualitas. Selain itu Kebahagiaan
juga sangat subjektif yang relatif sulit dikuantifikasi secara akumulatif.
Sehingga jika ada pengukuran tetap memperhatikan aspek validitas dan realibiltas.
Selama
ini ukuran kemajuan secara objektif dominan berbasis ekonomi (Monetary based indicator), pertumbuhan
ekonomi dan penurunan kemiskinan sebagai indikator makro kemajuan dan indikasi kesejahteraan.
Kahagiaan dapat didekati dengan dua, yaitu secara subjektif dengan komponen
kepuasaan hidup dan emosi positif. Cara ini digunakan untuk melengkapai indikator
objektif.
Adanya
Paradoks Pembangunan, dimana belanja pemerintah meningkat, pertumbuhan ekonomi
meningkat tiap tahun sebagai ukuran makro kemajuan. Namun disisi yang lain
peningkatan tindak pidana kejahatan, jumlah perkawinan massal juga meningkat. Bahkan
tingkat bunuh diri dan kekerasan sosial juga melonjak. Fenomena lainnya adalah masih tingginya
ketimpangan antar wilayah, antar
individu, dan antar kelompok. Fenomena ini mengantarkan kita pada paradox
kesejahteraan.
Sampai
saat ini masalah terbesar dalam pembangunan adalah absennya indikator pembangunan sosial. Hal ini dapat dilihat
dari tiadanya perencanaan sosial. Padahal Pembangunan sosial adalah sesuatu
yang terintegrasi dengan pembangunan itu sendiri. Hal ini disebabkan karena selama ini perhatian
sepenuhnya diarahkan pada indikator-indikator ekonomi. Bahkan ada indikasi kuat
para pegiat sosial dan pemerintahan ikut terbawa arus hal-hal yang berkaitan
dengan ekonomi an sich.
Pada
tingkatan pemerintahan, ada kecenderungan mengutamakan fungsi pemerintahan dan mengabaikan
fungsi pembangunan. Fungsi pemerintahan yang seyogyanya berpikir untuk pembangunan
sosial. Oleh karena itu yang paling esensial adalah pelayanan publik. Sedangkan
fungsi pembangunan adalah memfasilitasi masyarakat, pihak pemerintah sebaiknya
fokus bagaimana fasilitas pelayanan masyarakat berfungsi secara efektif dan efisien. Salah satu tantangan
terbesar adalah meningkatkan indeks pendidikan yang dalam hasil Indeks
kebahagiaan memperoleh indeks terendah.
Capaian
Indeks Kebahagiaan Sulsel bisa dianggap
sebagai kemajuan karena berada di atas
rata-rata nasional. Namun jika dilihat berdasarkan indeks komposit masing-masing
komponen indeks kebahagiaan yang sebagian besar berkaitan dengan pembangunan
sosial. Maka masalah kohesi sosial di Sulsel perlu menjadi perhatian untuk
membangun modal sosial yang lebih baik. Tentu dengan mencoba
pendekatan-pendekatan baru, menghindari cara-cara yang parsial dan lebih
fokus upaya solutif terintegrasi dengan
pembangunan sosial.
Indeks kebahagiaan merupakan indeks komposit yang disusun berdasarkan tingkat kepuasan terhadap 10 aspek kehidupan yang esensial. Kesepuluh aspek tersebut secara substansi dan bersama-sama merefleksikan tingkat kebahagiaan yang meliputi kepuasan terhadap: 1) kesehatan, 2) pendidikan, 3) pekerjaan, 4) pendapatan rumah tangga, 5) keharmonisan rumah tangga, 6) ketersediaan waktu luang, 7) hubungan sosial, 8) kondisi rumah dan aset, 9) keadaan lingkungan, dan 10) kondisi keamanan.
Oleh
karena pengukuran Indeks kebahagian di Sulawesi selatan terhitung baru, maka tantangan
bagi akademisi adalah bagaimana menawarkan indikator kebahagiaan, dan
menawarkan arah-arah jalan baru untuk indeks kebahagiaan di Sulawesi selatan ke
depan.
20/03/2014
In Memorial H.M. Yunus DM
In Memorial H.M.
Yunus DM
Kenduri 7hari.
Tepat malam jumat yang lalu, seorang kakek yang saya
kagumi berpulang kehadirat yang Maha Kuasa.
(Catatan singkat ini, semoga bisa menjadi pengganti
atas kealpaan saya melayat beliau, sekaligus mengenang harmoni pertemuan saya dengan Almarhum)
Pertemuan
pertama dengan beliau ketika secara tak sengaja bertemu di rumah anaknya.
(T.Ros). Bertepatan dengan sehari setelah Launching Buku 'Jejak Dunia yang
Retak'. Saya pun memberikan buku tersebut kepadanya. Ketika itu menjelang
magrib kami masih asik bicara berdua tentang banyak hal, kisahnya merintis
karir, dari menjual es balok, menjadi guru Olahraga hingga menjadi Anggota
Dewan. Beliau sangat akrab dengan tokoh-tokoh HMI senior seperti Cak Nur yang
modernis. Qurais Shihab adalah sosok ulama yang beliau kagumi yang sebagian
besar bukunya dibaca olehnya. Selain itu ada banyak topik yang kami bicarakan,
seolah bersahutan. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah “kesadaran
alam bawah sadar”. Kebetulan topik yang terakhir adalah salah satu tema di
Boot_Camp Training Entrepreneurship Bank Mandiri. Mendengar istilah tersebut
beliau ucapkan, sayapun mengorek lebih jauh tentang jenis kesadaran tersebut.
Beliau pun, menjelaskan secara filosofis hingga praktis. Jenis kesadaran tersebut
ibarat gunung es dalam diri manusia, tapi belum terasah dengan baik, sehingga
perlu latihan untuk mengasah kesadaran tersebut.
Sosok yang cerdas dan bijaksana
Pada Usia
yang terhitung tua kira2 lebih 70 tahun, beliau masih rajin membaca dan menulis. Dua buku karya
beliau dihadiahkan kepadaku bulan muharram yang lalu, Salah satu judulnya “Menyelam di kedalaman Samudra Ilmu Allah”.
Buku yang diterbitkan secara mandiri oleh anak2nya, tidak terlalu tebal tetapi
merupakan intisari dari perjalanan umat manusia mengenali Tuhannya. Seperti biasa, setiap bertemu dengannya kami
hanyut dalam diskusi yang beragam. Tetapi yang paling saya suka dari beliau, ketika
mengulas tentang 'Makrifat' dan 'Kesadaran alam bawah sadar', yang menurut
sebagian besar anak dan cucunya adalah tema-tema yang berat. Makanya dua topik
tersebut menjadi mainstream dalam kedua bukunya tersebut. Amat sangat jarang orang tua yang menulis buku
dan dihadiahkan kepada anak dan cucunya. Uniknya lagi setiap buku sudah ada
namanya, yang menjadikannya spesial untuk si penerima. Menurutku, itu adalah
warisan yang terbaik dan termulia, sebagaimana Nabi mewariskan Al Quran kepada
umatnya.
Di usia
beliau yang melebihi Usia Nabi. Sejauh pengetahuan saya, beliau tidak pernah mengeluh,
dan selalu berusaha mengerjakan dan berusaha memenuhi sendiri kebutuhannya,
amat jarang menyusahkan orang-orang disekitarnya.
Pecinta Ilmu yang sejati.
Pernah, suatu
waktu di tengah bincang-bincang yang serius dengannya tentang tingkatan
kecerdasan manusia ( di BTN Graha Alauddin), tiba-tiba azan ashar di masjid.
Saya berkata, "mungkin mauq shalat Aji?",
beliau menjawab. Ini juga kita sedang shalat. Indah benar jawaban beliau.
Jawaban yang tidak biasa saya dengar dari seorang kakek. Hal ini menunjukkan
ketinggian cintanya terhadap ilmu pengetahuan.
Pertemuan
kami yang terakhir adalah ketika beliau terbaring di rumah sakit Bayangkara. Saya hanya
memijitnya sejenak, dan menyalami tangannya. Tidak sepertin pertemuan yang yang sebelumnya, dimana kami bercenkraman dalam diskusi yang melangit. Dan, ternyata hari itu adalah pertemuan saya yang terkahir dengan beliau, semoga kita bertemu lagi dikehidupan yang lebih indah dan lapang.
Hari itu, saya ditemani ngobrol istri beliau, perjumpaan yang singkat namun mengesankan.
Hari itu, saya ditemani ngobrol istri beliau, perjumpaan yang singkat namun mengesankan.
Tentu, masih
banyak kepribadian beliau yang tidak saya ketahui dan perlu diteladani,
Sisi-sisi kedermawanan, kesederhanaan dan kecintaan pada ilmu adalah mutiara
yang selalu bersinar di setiap zaman.
Saya yakin,
beliau adalah salah satu hamba Allah yang dirindukan oleh penciptaNYA.
Wassalam, Al
Fatihah.
Syamsu Alam
Makassar, 20.03, 2014
27/11/2013
RUMAH PENGETAHUAN WARGA DAN REDUKSI KEMISKINAN
Syamsu Alam*)
Saat ekonomi Global mengalami
kontraksi. Ekonomi Indonesia justru tumbuh mengesankan, pertumbuhan ekonomi
Indonesia justru meningkat mencapai 6,5 persen. Tahun 2014, Indonesia
diprediksi masuk jajaran 15 negara dengan PDB di atas satu trilyun dollar.
Bahkan, lembaga pemeringkat ekonomi Fitch percaya bahwa akhir tahun 2013,
Indonesia yang selama ini dikenal sebagai negara penghutang, bisa menjadi
negara pemberi hutang. Hal serupa juga terjadi di Sulawesi Selatan, laju pertumbuhan ekonomi di Provinsi
Sulawesi Selatan mengalami peningkatan cukup signifikan melebihi 8 persen, atau
di atas angka pertumbuhan ekonomi rata-rata secara nasional. Namun pertumbuhan
ini dinilai belum berkualitas, khususnya dalam mereduksi kemiskinan.
Berbagai fakta empirik yang mengiris
hati masih menghiasi etalase media.
Misalnya di Pontianak seorang Ibu membakar diri bersama anaknya karena tidak
mampu lagi membeli beras untuk sekadar makan. Kasus kelaparan yang
menewaskan seorang ibu dan anaknya di Makassar. Praktik bullying di sekolah-sekolah juga kerap
menimpah siswa-siswi miskin hingga ada yang gantung diri karena sering diejek
oleh temannya menunggak uang sekolah, serta jutaan anak kehilangan kesempatan
belajar karena harus menanggung beban ekonomi keluarga. Potret sosial tersebut
jika dibiarkan berlangsung lama, bukan tidak mungkin berpotensi menyebabkan
kekacauan sosial.
Permasalahan kemiskinan bersifat multi
dimensional dan bukan hanya sekedar
masalah ekonomi yang berkaitan dengan kemampuan untuk memperoleh pendapatan
maupun kemampuan membeli barang dan jasa.
Paul Shaffer (2008), perkembangan pemikiran dan perhatian terhadap aspek
kemiskinan menunjukkan perubahan mendasar dimana konsep kemiskinan semakin
luas (bukan hanya physiological
deprivations, tetapi juga mencakup social deprivations), penyebab
kemiskinan semakin luas (termasuk sosial, politik, budaya, kekerasan dan sumber
daya alam), dan fokus kemiskinan semakin dalam (mencakup hingga strategi
perlindungan sosial, mitigasi dan pengurangan resiko). Hal tersebut selaras dengan pemikiran peraih
Nobel Amartya Sen yang mengungkapkan bahwa seseorang yang miskin menderita
akibat keterbatasan kemampuan (capabilities), kesempatan (opportunities)
dan kebebasan (freedoms). Bahkan secara sederhana kemiskinan juga disebabkan
karena adanya kesenjangan pengetahuan.
Pemerintah berupaya mereduksi kesmiskinan dengan triple track strategy yang disempurnakan menjadi four track strategy pada kabinet Indonesia Bersatu II, Pro-poor, Pro-job, Pro-Growth, dan Pro-environment. Sebuah niat baik untuk mengatasi suatu meta-masalah kemiskinan. Untuk itu maka anggaran yang dialokasi untuk program pengentasan kemiskinan tersebut terus meningkat dari Rp. 35,1 trilyun (2005) menjadi Rp. 66,2 trilyun (2009) dan 94 trilyun (2012), serta telah dialokasikan sebesar Rp 106,8 trilyun pada APBN TA 2013. Namun niat saja tidak cukup, karena sebuah strategi yang jitu semestinya teruji efektif dan efisien secara empirik.
Pemerintah berupaya mereduksi kesmiskinan dengan triple track strategy yang disempurnakan menjadi four track strategy pada kabinet Indonesia Bersatu II, Pro-poor, Pro-job, Pro-Growth, dan Pro-environment. Sebuah niat baik untuk mengatasi suatu meta-masalah kemiskinan. Untuk itu maka anggaran yang dialokasi untuk program pengentasan kemiskinan tersebut terus meningkat dari Rp. 35,1 trilyun (2005) menjadi Rp. 66,2 trilyun (2009) dan 94 trilyun (2012), serta telah dialokasikan sebesar Rp 106,8 trilyun pada APBN TA 2013. Namun niat saja tidak cukup, karena sebuah strategi yang jitu semestinya teruji efektif dan efisien secara empirik.
Pemerintah daerah di seluruh Indonesia
mencoba menerjemahkan ke dalam setiap visi daerah. Sulawesi Selatan
menerjemahkan dengan "pemenuhan hak dasar" yang ingin tampil menjadi
sepuluh besar dalam pemenuhan hak dasar dengan program andalan Pendidikan dan
Kesehatan Gratis di Sulawesi Selatan (RPJMD 2008-2013).
Niat dan upaya baik pemerintah perlu
direspon positif dan proporsional. Terlepas dari capaian kualitas pendidikan
Sul-Sel, setidaknya program tersebut telah berhasil menyelamatkan beberapa
keluarga miskin tidak putus sekolah. Para kepala daerah berlomba berinovasi
program untuk mendekatkan pelayanan ke masyarakat. Ide dan inovasi kepala
daerah seharusnya mampu diterjemahkan oleh setiap aparatur pemerintahan, bahkan
setiap elemen dalam masyarakat. Disinilah pentingnya sinkronisasi antara
pemerintah, masyarakat dan swasta untuk berinovasi mengatasi masalah kemiskinan.
Inovasi saja tdk cukup. Berbagai
jurnal, buku dan laporan hasil penelitian tentang Inovasi strategi mereduksi
kemiskinan telah dipublikasikan secara luas. Baik melalui media cetak, media
online dan elektronik, namun belum banyak komunitas warga yang bisa mengimitasi
secara baik praktik cerdas yang dilakukan oleh berbagai kolektif warga
dibelahan dunia lain. Misalnya BUMDes yang seyogyanya mampu menjadi lokomotif
ekonomi warga desa, justru ada gejala tersandera oleh proses demokrasi lokal
yang salah kaprah.
Oleh karena itu semestinya Perguruan
Tinggi memberi kontribusi riil yang bukan hanya menggelar seminar untuk
kepala-kepala daerah dan LSM sebagai salah satu pilar demokrasi dapat berperan
secara proaktif untuk mendampingi warga bukan hanya sekedar menjadikan semacam
"proyeknisasi kesmiskinan" sebagaimana gejala-gejala yang banyak menjangkitii
kondisi intenal LSM-LSM lokal (Desa/Kecamatan/Kabupaten). Jika gejala ini kian
merebak dan menghinggapi sebagian besar para agen yang merasa "pejuang
demokrasi" maka bukan hanya warga yang perlu audit sosial tetapi LSM juga
perlu masuk bengkel untuk mereorientasi visi ber-LSM.
Hal di atas menjadi penting karena ada
falsafah yang mengatakan bahwa "jika Anda tidak memiliki, maka pasti Anda
tidak mungkin bisa memberi". Bagaimana mungkin kita (baca:NGO) berupaya
memperjuangkan tegaknya demokrasi (kesetaraan dalam mengakses fasilitas publik,
transparansi dan keadilan) kalau kita sendiri mencederai asas-asas demokrasi.
Disinilah pentingnya ruang berbagi pengetahuan antar warga, ruang belajar
menjadi subjek dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Praktik langsung (Learning by doing) adalah intisari Rumah Pengetahuan Warga. Inovasi
praktik cerdas warga daerah yang disosialisasikan dan direproduksi oleh
berbagai aktor pro-demokrasi (Misalnya Perguruan tinggi, NGO, dll) sebisa
mungkin fesiable/dapat diterapkan
secara langsung. Disinilah peran penting pendampingan warga. Bagaimana setiap
aktor dapat mengaktifkan kembali pusat-pusat pengetahuan di Desa-desa. Kenapa
di desa? Karena jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan banyak tersebar di
desa-desa. Membangun relasi sosial yang lebih baik yang telah direduksi oleh
lembaga-lembaga struktural/non-struktural yang dibentuk oleh pemerintah yang kerap
bersifat "anti-kritik", empati sosial yang tergerus oleh 'kebablasan' menghadapi kemajuan teknologi dan
informasi. Mengembalikan peran sekolah sebagai tempat belajar warga. Penting
pula untuk mentransformasi masjid-masjid yang sekuler menjadi pusat-pusat
keilmuan, sebagai tempat belajar menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan,
masalah-masalah yang dihadapi petani, masalah pendidikan anak, bahkan boleh
jadi sharing seputar teknologi
bertani, pembiayaan bercocok tanam dan lain-lain. Dengan intervensi dari berbagai
pihak membangun ruang-ruang berbagi informasi dan pusat pengetahuan warga desa
akan terbangun solidaritas dan empati sosial yang kini menjadi barang langka. Dengan
mendekatkan pusat-pusat pengetahuan dengan warga bukan tidak mungkin masalah
yang seusia umur umat manusia dapat direduksi.
*) |@alamyin