Read, Write, and Do Something

No Teaching without learning

Menulislah agar abadi

---

Listen, free economic make better

17/02/2012

Illiteracy doesn't mean can't read sms


Hi, friends

I hope you enjoy today ! I need a bityour time for read my short note :)
In this letter, I want to shared myanxious to all of you.
as so far we know, world in your, it islike a small village, where everyone very easy to communicate withother, Especially foreigner, in your real life or virtual life[social network], some of best book in english text. We saw cocoafarmers in several county [regency] in Sulawesi using english intheir communication. To promote their product to buyer from Malaysiaand Singapore.

In 2000 Dimitry Mahayana [lecture ITB]said that human called illiteracy if they don't understanding how touse computer and can'tcommunication in english. Thismy anxious no longer I have said in some meeting in front of studentuniversity, chating in the coffe house and everywhere.

Illiteracydoesn't mean you can't read newspaper, you can't read sms on yourphone, on your wall facebook, twitter, email, etc. We wouldn't see theworld clearly. If we had nothing soft skill. It will get if we knowlanguage as a tool to communicate with other. Because,we realisedthat anyone can't live alone.
So,let learn try together to improve our skill language that is machinelanguage and global languange. But how ?.

And, you can makea short opinion about “ how often computer skill and language skillfor our life” ?.
Andwhat do we do if we have no skill at all ?

Ifyou have a chance, pleasereply to : alamyin@gmail.com

Regard,
Alamyin

16/02/2012

PEMILUKADA DAN UNDERGROUND ECONOMY


Pemilukada: Nikmat atau Bencana !.Disebutkan bahwa Pilkada merupakan pemberian Allah yang masuk kategori nikmat karena memilih gubernur secara langsung merupakan keinginan masyarakat. Menentukan dan memilih gubernur secara langsung adalah hal yang diidam-idamkan oleh masyarakat dalam suatu Negara. Tulisan yang menarik yang disertai dengan beragam nasehat. (opini.fajar.co.id)
Selain sebagai “nikmat” Pemilukada juga berpotensi jadi bencana, jika Pemilukada salah urus dan salah pilih. Untuk kedua kalinya warga di Sulawesi Selatan akan memiih Gubernur secara langsung. Pemilukada sebagai sarana untuk menyalurkan hak pilih, sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan demokrasi lokal.
Dikatakan berpotensi jadi bencana karena selain sebagai “pesta demokrasi” tersimpan bahaya yang tak terlihat, yang akan mengatur jalannya pemerintahan pasca pemilihan. Bahaya tersebut dikenal dengan “Pemerintahan Bayangan” dan “Underground Economy”. Dimana, Pemilukada hanya sekedar alat legitimasi kekuasaan para elit.
Schulte Nordholt (2003) salah satu pengamat yang memaparkan secara eksplisit tentang shadow state (Negara bayangan) yang kemungkinan tumbuh dan berkembang seiring dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Hal ini bisa terjadi karena adanya penyalahgunaan fungsi institusi pemerintahan formal.
Pada awal tahun 90-an Sritua Arief telah mewacanakan Black Economy di Indonesia. Black economy adalah bagian dari ekonomi bawah tanah (underground economy) yang mengandung kegiatan-kegiatan ekonomi informal. Namun secara sederhana Underground economy dapat diartikan sebagai bukan sekedar aktifitas ekonomi legal yang tidak tercatat dalam PDB (Produk Domestik Bruto) tetapi segala pendapatan yang tidak tercatat yang berasal dari produksi barang dan jasa.
William Reno memberikan pandangan atas modus praktik underground economy yaitu, para penyelenggara Negara mengundang para investor (nasional dan asing) untuk bergabung dalam jaringan “Negara bayangan” sebagai media melakukan deal yang mereka bangun, dan sebagai imbalannya para pengusaha tersebut diberi perlindungan dengan menggunakan otoritas formal yang dimiliki oleh para pejabat.
Dari sini dapat terlihat bahwa antara penguasa dan pengusaha telah melakukan transaksi ekonomi dan politik secara diam-diam dan tanpa harus melalui institusi formal. Apalagi dengan Otonomi Daerah pemerintah daerah mempunyai keleluasaan untuk mengundang investor agar dapat berinvestasi.
Sedikit Berbeda dengan Reno, Barbara Harris White lebih senang menggunakan istilah Informal economy. Menurutnya, setidaknya ada dua hal yang melekat pada istilah informal economy, Pertama, kegiatan usaha perorangan atau kelompok yang tidak didaftarkan pada pemerintah, sehingga tidak dikenakan pajak, contohnya PKL (pedagang kaki lima lapakan), petani, usaha lain yang umumnya aktifitas ekonomi dalam skala kecil yang tidak dilaporkan. Kedua, berkaitan dengan perilaku dari institusi formal baik publik maupun swasta untuk menghindari jangkauan regulasi. Bentuk dari kegiatan yang kedua ini, antara lain; kelonggaran pajak, korupsi, penyalahgunaan kebijakan publik, kolusi, hingga pemaksaan swastanisasi asset Negara/Daerah.
Kurang matangnya praktik demokrasi (demokrasi substansial) baik ditingkatan elit pemerintahan maupun ditataran warga akan memicu terjadinya bias demokrasi, dalam artian demokarsi bukan sebenar-benarnya pilihan, tapi lebih disebabkan oleh adanya dorongan prosedural untuk memenuhi kebutuhan sesaat. Misalnya dikalangan warga yang tingkat kesadaran politiknya kurang memadai ditambah dengan kefakiran ekonomi, tentu warga yang demikian cenderung memilih calon yang bisa memenuhi kebutuhan sesaatnya, seperti sembako atau uang.
Keadaaan warga yang dominan seperti di atas, akan sangat mungkin dimanfaatkan oleh elit masyarakat untuk melakukan persekongkolan dengan calon pemimpin daerah, entah dengan melakukan “deal” yang akan dipenuhi setelah menjabat sebagai pejabat pemerintahan formal atau bentuk lainnya.
Dengan asumsi bahwa pada saat ini kita masih dalam tahap transisi demokrasi. menuju terwujudnya pemerintahan yang demokratis akan mencapai kebenarannya jika berangkat dari asumsi bahwa tujuan ideal dari pemilihan secara langsung antara lain, untuk mewujudkan pemerintahan yang akuntabel, transparan, dan responsif, hanya akan mendekati kenyataan ketika diasumsikan bahwa perilaku demokrasi telah eksis baik pada tataran elit penyelenggara pemerintahan, maupun dikalangan masyarakat. Dengan demikian maka masyarakat akan mengambil keputusan atas pilihan tersebut berdasarkan “rasionalitas politik”.
Diantara karakteristik dasar dari transisi demokrasi adalah relatif masih minimnya perilaku demokratis baik ditataran elit penguasa maupun elit masyarakat. Dengan demikian maka sulit dihindari tidak akan terjadi bias demokrasi dalam Pemilukada, bahkan sangat mungkin akan lebih banyak diwarnai “persekongkolan-persekongkolan” bisnis dan deal politik antar elit. Dinamika bisnis dan deal politik yang terjadi sebelum dan proses Pemilukada, tentunya berdampak terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca Pemilukada. Disinilah akan muncul bahaya akibat adanya “transaksi yang tak tampak” yaitu tumbuh dan berkembanganya praktik underground economy dalam pemerintahan formal.
Praktik pemerintahan bayangan dan underground economy juga paling mungkin terjadi antara investor dengan penguasa. Dimana, dalam Underground Economy, menyebabkan pemerintahan bayangan hadir, tumbuh, dan berkembang sebagai akibat dari terjadinya disfungsi dari institusi formal (negara/daerah). Keadaan akan lebih buruk jika disertai kesulitan ekonomi yang parah dialami oleh dominan warga di daerah ini. Akumulasi keuntungan ekonomi dan politik jangka pendek diluar bingkai aturan formal, merupakan tujuan utama dari “transaksi yang tak tampak” melalui underground economy. Pada konteks inilah masing-masing pihak akan memaksimalkan sumber daya dan potensi yang dimiliki, untuk ditawarkan dalam transaksi bawah tanah. Nordholt, menunjukkan bahwa, para pelaku yang terlibat dalam “transaksi yang tak tampak” ini adalah para penyelenggara negara, daerah dan aktor-aktor dalam masyarakat misalnya, para pengusaha, politisi parpol dan bahkan preman hingga kelompok kriminal (mafia).
Modus operasinya cukup beragam. Diantaranya, menurut Barbara Harris adalah ; manipulasi kebijakan publik untuk kepentingan pengusaha, transaksi “bawah tanah” antara penguasa dan pengusaha dalam tender proyek-proyek pemerintah. Dari sisi pengusaha, praktik Underground economy ini dapat ditafsirkan sebagai bagian dari kompensasi atas perannya sebagai donator bagi pejabat pemerintah dalam mendapatkan kursi kekuasaan. Sementara dari sisi pejabat pemerintah, praktik Underground economy tersebut berfungsi ganda, yaitu merupakan bagian dari bentuk “balas budi” sekaligus merupakan arena untuk mendapatkan keuntungan ekonomi jangka pendek.
Penyebab utama terjadinya hal ini antara lain, karena para elit penyelenggara pemerintahan formal mengalami ketakberdayaan dalam berhadapan dengan kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi dan politik dominan yang berada di luar struktur pemerintahan Sedangkan dari dalam diri para konstentan, ada hasrat yang besar menduduki kursi kekuasaan. Konsekuensi logis dari kondisi seperti ini, adalah penyelenggaraan pemerintahan akan lebih banyak dikendalikan oleh otoritas informal di luar struktur pemerintahan, daripada otoritas formal di dalam struktur itu sendiri.
Jika demikian adanya, maka berkah dan kenikmatan Pemilukada hanya akan menjadi nikmat bagi sedikit orang, dan bencana bagi yang lainnya.

18/12/2011

Teori Mikroekonomi- Adrenalin dan rayuan Iklan


Kamis 15 des 2011, adalah hari yang panjang, indah dan mengesankan,. Kuliah mikro. walau agak telat, namun semangat tetap menggebu mengikuti kuliah yang satu ini.
Mata kuliah yang unik karena suasana kelas "cool" dan pengajarnya yang unik, langka, aneh tapi nyata. keunikannya antara lain, selalu ada humor, ada ketegangan, selalu ada yang baru :)

Namun yang tidak kalah istimewanya adalah, karena kuliah ini benar2 memacu adrenalin.
ketegangan dalam interaksi belajar mengajar melebihi ketika menonton final tim kesayangan anda.
mungkin anda berpikir, pola mengajar dosen yang kolot dan mirip sistem belajar zaman kolonial.
Anda ditanya, jawabannya benar, syukur !. tapi jika jawaban anda melenceng dari frame jawaban yg semestinya maka bersiaplah menuai untaian kata-kata mutiara.
-asbun(asal bunyi), pa pau pau , common sense- bahkan ada kata2 puitis "otak kalian karatan".. hahaha....pengasuh mata kuliah mikro sebelumnya.

Model mengajar yang sedikit "nyentrik" hehe... .
Menurut dosen kami, .. otak kalian membeku, kurang diasah, jarang memperoleh nutrisi (jarang membaca), sehingga sesekali harus dibuat tegang. harus ada gesekan, konflik dan pertentangan-pertentangan.mendengar kata2 itu saya ingat kata Einsten dalam buku Kang Jalal "Belajar Cerdas".
"membaca bisa membuat awet muda, setiap kali otak kita memperoleh data baru maka akan terbentuk jaringan dendrit baru, dan jika otak sering digunakan (berpikir) maka jaringan-jaringan tersebut akan terkoneksi antara yg satu dengan yang lainnya".

Atau barangkali untuk skala yang lebih makro konflik, pertentangan-pertentangan adalah suatu kemestian. :P
Kuliah hari ini, benar2 komplit, selain mendapat teori dan contoh matematis tentang diskriminasi harga "pasar Monipoli", kami juga memperoleh nasehat-nasihat spiritual, nasihat pengembangan diri dan bla..bla...bla.....

Beberapa diantara nasihat tersebut adalah: Preferensi konsumen, iklan dan perempuan. Sudah bisa ditebak, bahwa bicara soal Konsumsi-Iklan seperti bicara tentang mata uang logam yang tidak bisa di pisahkan. MPC (marginal Propensity to Consume) atau hasrat mengkonsumsi / hasrat belanja harus yang harus di picu dengan iklan.

Lalu kenapa dengan perempuan, aha,.. ternyata yang paling banyak menjadi korban rayuan iklan adalah kelompok manusia yang satu ini, hal ini bukan berarti bahwa kelompoj mahluk lainnya tidak tergoda rayuan iklan. ingin lihat buktinya "cukuplah dengan bercermin".

Dosen kami itu, mencontohkan ketika menghadiri perjamuan, dimana hampir semua perempuan berpakain ala "Demi Moore ", istrinya berbisik dengan mesra " Pa, hanya kita yang berpakaian dinas dan sesederhana ini".

inilah ciri Ibu, bahwa Ibu adalah istri Dosen, yang harus tampil beda dengan sifat kesederhanaannya, punya pembeda tapi bukan berarti memisahkan diri dari pergaulan, ibu-ibu yang menor lengkap dengan aksesoris di tubuh__ kira2 demikian ceritanya di kelas. Akademisi mestinnya punya identitas/pembeda tapi bukan berarti berpisah.

Spirit kritisisme dan kesederhanaan inilah yang mestinya tetap menjadi ciri masyarakat akademik (perguruan tinggi), yang tidak berbicara dan berperilaku berdasarkan common sense (kesadaran massa) yang kadang menjadi lahan subur para "pengiklan" untuk menyedot uang konsumen secara perlahan halus namun pasti. Ungkapan tersebut mengajarkan kepada kami (khususnya pribadi), bahwa konsumen mestinya tetap kritis atas setiap "bujuk rayu iklan", rasionalitas harus tetap unggul atas imaji-imaji yang ditawarkan Iklan.

Kuliah hari ini diakhiri dengan humor, yang singkat padat dan bikin Ngakak,... benar-benar perfect dosen yang satu ini.
Humor dan guyonannya bisa merelaxkan kami, see you next week, seraya melambaikan tangan kepada kami !
Begini caritaku... @Ruang 106 UH Makassar, Kamis 15 Desember 2011.