Read, Write, and Do Something

No Teaching without learning

Menulislah agar abadi

---

Listen, free economic make better

Showing posts with label Edukasi. Show all posts
Showing posts with label Edukasi. Show all posts

24/06/2020

Mengapa Open Source dan Open Society Penting?


Open Source kerap dituduh sebagai gerakan neo komunisme. Open Society dipromosikan oleh para kapitalis. Benarkah Gerakan Open Source adalah komunisme baru? Atau ia justru menjadi media menuju terwujudnya tatanan Open Society.


Meskipun George Soros mendirikan Open Society Foundations (OSF), sebelumnya disebut Open Society Institute, adalah jaringan hibah internasional yang didirikan oleh tokoh bisnis George Soros. Open Society Foundations merupakan bagian dari jaringan Soros Foundation dan membantu kelompok masyarakat sipil di seluruh dunia secara finansial. Yayasan ini aktif di bidang kehakiman, pendidikan, kesehatan publik, dan media independen. OSF didirikan oleh Soros untuk mebendung pengaruh ide-ide Komunisme. 

Tulisan sederhana ini merujuk pada Open Society yang dipromosikan oleh pendukung liberal, penyokong kapitalisme yang mengidealisasi lahirnya sebuah Open Society. Bukan yayasan Open Society sebagai nama  justru berpotensi menjadi institusi pengatur. Seperti bikinan Soros.

Potensi Sama, Nasib Berbeda

Kemajuan atau keterbelakangan indibidu atau masyarakat berkorelasi kuat dengan keterbukaan. Keterbukaan akses pengetahuan, dan keterbukaan mengakses dan memanfaatkan aset yang dimiliki oleh diri dan organisasi. Kapabilitas kita sangat ditentukan oleh dua hal ini: akses dan aset.

Kemampuan menemukenali kedua hal di atas dapat menuntun pada kesuksesan di bidang apa pun. Sayangnya, keduanya kerap kali diselimuti oleh kabut hitam. Apa detail akses? Apa detail aset? Ini ceritanya panjang. Bisa dibaca pada gagasan-gagasan Amartya Sen. Salah satu yang menarik adalah 'Development as Freedom'. Baginya pembangunan sejatinya dirayakan dengan bahagia, bukan malah sebaliknya sebagaimana yang sering kita saksikan.

Amartya awalnya adalah seorang ekonom, namun dalam pencariannya terus menerus ia sampai pada titik menjadi sosok filosof. Pandangannya yang liberal namun terikat pada nilai-nilai kemanusiaan. 

Beliau juga yang pernah mengkritik dengan keras di World Social Forum (WSF). Sebuah forum yang didirikan untuk menandingi World Economic Forum (WEF). Beliau pernah mengatakan di WSF yang dihelat di India, kurang lebih mengatakan, kenapa kita senang berhadap-hadapan dengan slogan-slogan. WEF vs WSF, mengapa kita tidak meningkatkan kapasitas dan kapabilitas, lalu masuk ke institusi-institusi ekokomi global (misal World Bank) lalu bersaing dengan ide-ide brilian disana. Bukan hanya berteriak-teriak dengan slogan-slogan heroik nan revolusioner namun jauh dari aksi langsung yang dapat memengaruhi kebijakan global. 

Tentu ungkapan Sen tidak persis dikatakan demikian. Tetapi spiritnya, bagaimana agar para pengkrtitik bisa terlibat langsung dalam apa yang dikritik. Senantiasa meningkatkan kapabilitas, bukan sekadar slogan. Karena kerap kelemahan tersembunyi dibalik slogan-slogan heroik. Sebagaimana setan anggaran sering bahkan pada umumnya bersembunyi dibalik detail angka-angka.

Pentingnya OPEN SOCIETY

Masyarakat terbuka adalah masyarakat modern, liberal dan demokratis. Masyarakat ini menitik beratkan pada konsep persaingan, kebebasan dan kesadaran individu sebagai pondasinya. 

Kesadaran individu banyak kita temui pada frase-frase klasik hingga modern. 

Ungkapan Sokrates "Gnothi Seauton kai meden agan", artinya "kenalilah dirimu sendiri, dan jangan berlebihan". Tulisan yang terdapat pada Kuil orakel terkenal di Delphi Dewa Apollo dalam tradisi Yunani Kuno. 

Kebelakang Sabda Nabi Muhammad Saw, Man ‘Arafa Nafsahu, Faqad Arafa Rabbahu. “Siapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Rabb-nya”.

Dua ungkapan manusia agung di atas menekankan pentingnya pengenalan pada diri, kesadaran diri. Jadi jika ada yang mengatakan Kesadaran individu adalah doktrin Kapitalisme, adalah kesesatan yang nyata. 😁 Jauh sebelum Adam Smith memprotes model ekonomi yang dikontrol dan dikuasai oleh para kongsi dagang dan kerajaan di era Merkantilis. 

Sokrates bahkan memberikan 'rambu' kenalilah dirimu, dan jangan berlebihan. Sejalan dengan ungkapan para liberalis seperti Von Mises. Bahwa kebebasan individu justru dibatasi oleh kebebasan individu yang lain. Kita bebas merokok, tapi pada saat yang sama kita bertanggungjawab menjaga kebebasan orang lain menikmati udara segar tanpa asap rokok kita. Kecuali jika ada konsensus diantara yang merokok dan tidak merokok.

Bahkan Sabda Nabi Muhamamd Saw di atas menggaransi, siapa yang mengenal dirinya, pasti mengenal Tuhannya. 

Tuhan mahabaik tentu menginginkan realitas yang baik. Jadi kalau realitas yang kita hadapi tidak baik, mungkin kita belum mengenalNYA. Tidak mengenalNYA, Boleh jadi, kita tidak mengenali diri kita sendiri.

Anda bebas menyanyikan lagu dangdut koplo, musik rock, asalkan suaranya tidak mengganggu tetangga yang sedang sakit gigi. Jika kesadaran individu yang demikian terinternalisasi dengan baik, saya yakin tidak akan ada penyerobotan jalan di jalan raya. Kita tidak akan menemukan para Bikers dengan sepeda mahal mengambil lebih dari separuh jalan raya. Yang jika hal tersebut membudaya maka cita ideal Open Society bisa terwujud.

Open Society, adalah masyarakat terbuka yang jujur, dan transparan. Jika semua individu bisa mengatakan kepentingannya dengan jujur, maka kehadiran pemerintah hanya menjadi mediator agar  siklus hidup yang transparan tetap lestari. 

Bahkan pada titik radikal, Kapitalis bisa berdamai dengan pemerintah dengan dua syarat. Satu, pemerintah yang dapat dipercaya. Kedua, pemerintah mengeksplore pelaku-pelaku ekonomi yang melakulan tindakan fraud (kebohongan, kecurangan, pengrusakan). Sebagaimana para aktivis Open Source yang senantiasa mempublish bug (kelemahan) dari program open source yang dibuatnya.

Saya yakin dan percaya kedua syarat di atas adalah juga diharapkan oleh setiap individu yang menginginkan kehidupan yang lebih baik dan berkualitas.

Adapun ciri utama masyarakat terbuka adalah mengedepankan informasi yang bisa diakses dimana saja bahkan dipolosok negeri ini sehingga terbentuk kesadaran akan adanya perbedaan dan pendangan yang sifatnya global. 

Aksesibilitas adalah satu kunci dan pengenalan dan pemanfaatan aset (sumber daya) diri dapat menggerus ptaktik feodalisme dan ketergantungan hang tinggi pada penguasa. Kita punya sumber daya pikiran untuk berpikir, ada sumber daya halaman yang bisa ditanami bibit sayur, kita memiliki aset keluarga dan teman yang bisa diajak bekerja bersama. Ingat bekerja bersama. Bukan menjadi mandor a la feodal.

https://www.alamyin.com/2020/06/era-digital-mindset-feodal.html?m=1

Open Society merujuk pada kebebasan mengakses hal-hal yang semestinya diketahui publik. Open Society adalah Mindset sekaligus tindakan. 



Open Society menyerupai Open Source. Dimana para programmer Developer dapat mengakses source code untuk membangun program atau aplikasi yang lebih baik. Open Source, kita sama-sama tahu adalah teknologi yang menyebabkan Nokia tumbang di pasar handphone (gadget), atau BB yang dikudeta oleh WA,  Karena mempertahankan rezim Close Source

Nah, apakah pemerintah tidak belajar dari itu semua yang jatuh karena tidak adaptaif dengan "Open Source". Yang masih kerap menyembunyikan praktik korup dibalik detail angka-angka akuntansi. Teknologi memungkinkan masyarakat makin transparan, tetapi sayangnya masih ada setan yang masih tetap menghalanginya. Korban lagi setan. 😁.

Makassar, 24 Juni 2020
Alam Yin

Esai ini ditulis dan disarikan dari pengalaman berinteraksi dengan pengelolah keuangan gakde-gakde atau kios-kios tetangga.

18/06/2020

ERA DIGITAL, MINDSET FEODAL

ERA DIGITAL, MINDSET FEODAL
Syamsu Alam*)

Akhi-akhir ini kita menyaksikan, bagaimana info media massa dan sosial media mengarahkan perilaku kita. Bahkan bernafas pun, kini sudah ada protokolnya. Semua karena "dominannya" informasi dan pengetahuan (Covid-19) yang kita konsumsi. Hampir sebahagian besar perubahan digerakkan dari faktor eksternal diri kita. Ancaman social unrest hingga chaos, membayangi kehidupan kita karena tiadanya transparansi.
Sebentar lagi tahun ajaran baru, pengalaman belajar daring kurang lebih 5 bulan sudah cukup untuk mendorong perubahan-perubahan dalam proses belajar mengajar.

Perubahan adalah keniscayaan, kalimat kunci yang masih kita yakini kebenarannya secara universal. Segala sesuatu berubah, kecuali perubahan itu sendiri. Knowledge is Power adalah frase yang dilekatkan pada filosof Inggris abad-14, Francis Bacon. Jejak kata tersebut juga ditemukan pada abad ke-10 M dalam Nahjul Balaghah Imam Ali, Knowledge is power and it can command obedience. Pengetahuan adalah kekuatan yang dapat menuntun pada ketaatan. Jadi bagi Imam Ali, pengetahuan masih potensial untuk mewujudkan amalan 'ketaatan'.

Era digital memungkinkan seorang murid mengetahui banyak hal daripada gurunya. Demikian pula seorang anak bisa lebih berpengetahuan dari orang tuanya. Jika mengikuti sudut pandang Hobbesian, maka murid dan anak akan lebih berkuasa daripada guru dan orang tuanya.

Dan dalam banyak hal, orang awam kerap lebih ahli daripada pakar. Viralnya suatu berita, dapat mengeliminasi suara kebenaran yang minoritas. Hingga bisa saja pimpinan negara diktator, dicitrakan welas asih di media-media.

Rezim Algoritma

Baragam definisi Algoritma, salah satu yang sederhana adalah definisi Marvin Munsky, algoritma adalah seperangkat aturan yang memberitahukan kepada kita dari waktu ke waktu, bagaimana bertindak. Dalam suatu algoritma pasti terdapat: input, proses, output, instruksi, dan tujuan. Jadi kalau suatu media sosial beralgoritma berdasarkan ekspresi emosi, maka mesin (aplikasi) akan mengarahkan user pada emosi yang cenderung sama. Para user akan dirahkan berdasarkan instruksi algoritma.

Algoritma dan Era digital ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Era digital akan mendekonstruksi banyak hal, pekerjaan, tata nilai, termasuk kepakaran. Kecenderungan user media sosial yang dipersatukan oleh sebuah rezim algoritma lalu menjadi viral akan menjadi 'tsunami informasi' yang sulit disaring kebenarannya. Hatta pun ia adalah Hoax, lalu dengan mudahnya diklarifikasi.

Krisis pandemi COVID-19 yang berdampak pada segala sendi kehidupan, dari acara arisan sampai bisnis global. Kemajuan teknologi dan ruang digital memaksa para pelaku bisnis untuk mengubah model bisnis. Dari bagaimana memproduksi sampai cara baru berinteraksi dengan pelanggan. Untuk mengidentifikasi dan merespons secara efektif peluang dan ancaman digital di masa depan, penting untuk mengembangkan pola pikir digital (digital mindset).

Dalam rezim algoritma yang massif yang ditawarkan oleh berbagai platform. Pilihannya tetap ada di tangan kita sendiri: berubah, adaptasi atau tereliminasi. Namun sayangnya, tidak mudah merubah mindset menghadapai era yang serba cepat, tak menentu, kompleks, dan ambigu.

Digital mindset bukanlah kemampuan untuk mengoperasikan teknologi. Melainkan sikap dan perilaku yang memungkinkan orang atau organisasi untuk memahami suatu peluang. Media sosial, Big Data, Cloud, AI (Artificial Intelligence) dan robot dll, sebagai beberapa kekuatan besar mendisurpsi segala lini kehidupan.

Kita boleh saja mendengar para pejabat berpidato tentang pentingnya Growth Mindset, Abundance Mindset, Collaborative Approach. Namun kerap para pendengar menggerutu dalam hatinya. Karena fakta empiris, perilaku si pejabat tidak seindah yang disampaikan di podium pidato. Meski demikian, hal tersebut sudah baik, sebagai tahap awal kepedulian pada transformasi Digital.

Sebuah Mindset adalah juga perilaku (behaviour) yang memiliki pendekatan kolaboratif dan kooperatif, open-mind, dan kepercayaan adalah indikasi dari dunia digital yang terhubung, transparan, dan hampir sebenarnya kita tak dapat bersembunyi dari jangakauan admin/superuser/ provider.

Digital Mindset memungkinkan kehidupan yang lebih jujur, transparan, dan bertanggung jawab. Oleh karena semua jejak digital bisa ditracking. Ia ibarat kitab catatan amal dan dosa di jagad maya.

Tembok Raksasa

Berbeda dengan Francis Bacon di atas. Napoleon Hill, mengatakan Knowledge is Potential Power. Pengetahuan hanyalah potensi kekuatan, ia dapat menjadi kekuatan yang riil, jika kita mengorganisasikan ke dalam rencana tindakan yang jelas untuk mencapai tujuan.

Pentingnya mentransformasikan mindset ke digital mindset yang serba transparan, memiliki spirit keterbukaan, kesiapan berkolaborasi dengan siapa pun dan penuh aspirasi, yang biasa diistilahkan dengan abundance mindset.

Mindset lainnya yang juga akan menjadi sangat penting di era digital adalah growth mindset yaitu pola pikir untuk selalu berkembang. Seseorang dengan pola pikir growth ini akan mencurahkan energinya untuk selalu mencari dan mempelajari hal baru, melihat tantangan baru dalam kehidupan.

Namun, semua angan-angan di atas bisa ambyar sesaat, jika tembok raksasa bernama Feodalisme masih kokoh. Dalam paham feodal, kekuasaan absolut berada di tangan Raja Diraja yang berkoalisi dengan kroni-kroni bawahannya.

Bukan hanya dalam ranah kekuasaan (politik), masih adanya kelompok akademisi yang mengaku bidang ilmunya lebih superior di banding yang lain, adalah juga praktik feodalisme dalam akademik. Praktik anti kritik para sepuh akademik, dan para pemangku jabatan, adalah tembok raksasa transformasi digital.

*) Pegiat di Praxis School.

31/05/2020

Perdagangan Bebas yang "Genuine"

Perdagangan Bebas yang "Genuine"
Syamsu Alam *)

Iran dan Venezuela kembali menunjukkan eksistensinya sebagai negara yang merdeka. Kedua negara tersebut kembali mengingatkan kita pada sosok Noam Chomsky yang menggambarkan dunia secara menohok dalam Pirates and Emperor's: International Terrorism in the Real World (1986). Siapa sebenarnya bajak laut? Siapa yang mengancam kebebasan?

World Index Economic Freedom 2020 merilis ranking Iran dan Venezuela pada klaster merah (Opressed) dengan poin masing-masing Iran di posisi 164 dan venezuela 179 kedua terbawah, sebelum Korea Utara. Tapi tindakan kedua negera tersebut akhir-akhir ini justru memberikan makna 'kebebasan' sesungguhnya.


Perdagangan Bebas tidak mungkin terwujud sepanjang ada lembaga-lembaga lintas pemerintahan seperti berikut:

World Trade Organization (WTO), The Trans Pacific Partnership (TPP),  the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), the General Agreement on Trade in Services (GATS), the Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) or more regional agreements like the North American Free Trade Agreement (NAFTA) or the European Economic Area (EEA). ASEAN, dan lain-lain.

Alih-alih mewujudkan Free Trade (Perdagangan Bebas). Lembaga-lembaga di atas justru hanya menjadi konsolidasi monopoli. Perdagangan bebas yang sebenarnya itu seperti kebebasan mengemukakan pendapat, dan kita bertanggung jawab atas pendapat kita. Sesimpel itu kata Murray Rothbar. Tidak perlu terlalu banyak lembaga dan aturan, bahkan termasuk kontrak yang rumit. Cukup bersepakat antara pembeli dan penjual melakukan pertukaran barang dan jasa, selesai.

Sepanjang sejarah manusia, peperangan terjadi karena adanya perebutan medan monopoli. Maka tak jarang negara-negara membentuk persekongkolan atau konsolidasi monopoli untuk melawan upaya monopoli lainnya. Contoh yang paling mutakhir adalah perebutan dominasi global antara AS vs China. Jauh sebelumnya mereka sudah berseteru dalam dua lembaga monopoli TPP vs RCEP.

Meskipun awal terbentuknya TPP adalah kesepakatan antar empat negara (Brunei, New-Zealand, Singapore, and Chile.) Untuk melawan pengaruh perdagangan beberapa negara tetangga khususnya China. Lalu kemudian US bergabung dan mengajak beberapa negara (Australia, Malaysia, Peru, Vietnam, Canada, Mexico, and Japan).

Adapun Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) adalah perjanjian perdagangan bebas yang melibatkan sepuluh negara anggota perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara. ASEAN (Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Thailand, Vietnam, dan lima negara mitranya  (Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru). Pada November 2019, India negara mitra keenam, memutuskan keluar.

Sekadar informaai tambahan TPP didominasi oleh AS dan RCEP didominasi oleh China.

Jadi sekali lagi, alih-alih menciptakan Perdaganhan Bebas yang menyenangkan sebagaimana menyenangkannya kita membeli Jalangkote. Mereka justru menciptakan koalisi mesin pembunuh. Trade War, Financial War, Psy War, mungkin juga Virus War.

(Ulasan di atas sering saya kemukakan dalam Mata Kuliah Ekonomi Internasional, di Prodi Ekomomi Pembangunan FE UNM).

Ungkapan yang sepertinya relevan dengan "Pemberontakan" Iran dan Venezuale terhadap sanksi ekonomi yang dikenakan kepada kedua negara tersebut. Kenapa AS seenaknya memberikan sanksi kepada negara lain? 

Padahal sebelum ada organisasi perdagangan Internasional GATT (1947-1994). WTO resmi berdiri 1 Januari 1995. Negara-negara berdagang dengan bebas berdasarkan kontrak yang disepakti dan dipatuhi bersama. Ada yang mencoba monopoli, ada juga.

Mungkin, sebaiknya WTO dibubarkan saja. Toh, dia lebih banyak melestarikan monopoli negara-negara berpengaruh di lembaga ini. WTO adalah sejenis pemerintahan global yang justru menghambat 'perdagangan bebas'. Jadi kalau ada yang bilang WTO adalah instrumen pasar bebas itu omong kosong 😁.

Semakin banyak aturan (governmentality) semakin berpotensi pemerintahan atau lembaga lintas pemerintajan korup. Sama juga di WTO dan lembaga internasional lainnya yang sudah dibeli oleh "Paman Monopoli". Paman Sam yang selalu mau top memonopoli segala hal.

Pemberontakan atau lebih tepatnya upaya mengebalilan ruh perdagangan yang bebas adil (Iran dan Venezuela) tersebut sejatinya menginspirasi kita semua (khususnya para akademisi) untuk memberontak pula pada referensi-referensi ekonomi mainstream yang selama ini dijadikan rujukan utama dalam pembelajaran ekonomi (khususnya) dan mungoin juga pada bidang studi yang lain.

Hatta termasuk berupaya membebaskan jarangan otak kita dari dominasi-dominasi pengukuran (indeks) yang begitu banyak. Yang kerap kita terima sebagai sebuah "doktrin" daripada memosisikannya sebagai sekadar pengatahuan saja. Atau lebih rendah sekadar data atau informasi saja. 

Coba kita perhatikan publikasi World Index Economic Freedom 2020. Dimana Iran di posisi 164 dan venezuela 179 kedua terbawah. Kedua negara ini ada pada zona merah (Repressed). Btw, apapun indikator yang digunakan oleh lembag heritage ini sangat tidak bisa mencerminkan kebebasan ekonomi.


Apalagi kalau kita merujuk pada ungkapan Murray Rothbar di atas. Berdagang sebagai salah satu aktifitas ekonomi, semestinya tidak menggunakan kontrak yang rumit. Berdagang itu sederhana, hanya pertukaran barang dan jasa. Para intervensionislah yang memberikan sejumlah indikator yang ribet. Termasuk penggunaan indikator GDP (PDB/ produk Domestik Bruto) yang sudah banyak dikritik karena tidak mencerminkan kesejahteraan sesungguhnya suatu negara.

Jadi kalau tujuan bernegara mewujudkan kesejahteraan warga negara, lalu mengapa harus repot-repot ikut pada aturan atau lembaga-lembaga di atas yang justru menjadi sumber pemicu perang. Bebaskan saja negara memilih, mau berdagang dengan siapa pun.

Mengakhiri tulisan sederhana ini saya akhiri dengan mengutip Vilfredo Federico Damaso Pareto, merupakan ahli ekonomi, insinyur, ahli sosiologi, pengamat politik, sekaligus seorang filsuf kebangsaan Italia.

Vilfredo Pareto stated in the article “Traités de commerce of the Nouveau Dictionnaire d’Economie Politique” (1901):

If we accept free trade, treaties of commerce have no reason to exist as a goal. There is no need to have them since what they are meant to fix does not exist anymore, each nation letting come and go freely any commodity at its borders. This was the doctrine of J.B. Say and of all the French economic school until Michel Chevalier. It is the exact model Léon Say recently adopted. It was also the doctrine of the English economic school until Cobden. Cobden, by taking the responsibility of the 1860 treaty between France and England, moved closer to the revival of the odious policy of the treaties of reciprocity, and came close to forgetting the doctrine of political economy for which he had been, in the first part of his life, the intransigent advocate.


*) Pegiat Praxis School. Pengajar di FE UNM. Ketua Masika ICMI Kota Makassar 2018-2022.
Makassar, 31 Mei 2020

30/05/2020

Tausiah Aristoteles : Breaking The Habit

Tausiah Aristoteles :  Breaking The Habit
Syamsu Alam

Seberapa sulit kita mengubah habit? Bisakah hanya dengan anjuran, himbauan, atau cambukan?

Sejak massifnya penyebaran info Covid-19 yang mengguncang dunia pada awal tahun 2020. Ia seperti Shock Doctrin, secara psikologis menciptakan ketakutan dan panik. Dalam situasi demikian kita mungkin saja bertindak sporadis bahkan brutal.

Informasi yang lengkap dan memadai serta kematangan berpikir dapat membuat kita bertindak  secara rasional. Rasional dalam artian jelas landasannya tindakannya, cara atau prosedurnya, dan tujuannya. Selainnya adalah tindakan sporadis dan irasional.

Kini hadir istilah baru "New Normal" aka "Kebiasaan Baru".  Apa yang dimaksud normal? Apakah normal adalah kebiasaan yang lazim dan berlaku umum. Rutinitas atau apa? Dan siapa yang memiliki otoritas memberi makna normal dan new normal?


Zizek mengutip Hegel dalam buku Panic, Pandemic, yang mengatakan bahwa manusia pada umumnya tidak pandai belajar pada sejarah, dan karena itu mereka tidak akan lebih bijaksana pasca pandemi Corona.

Terlepas dari kontroversi dari rekomendasi akhir dari buku tersebut yang dapat memicu panik 🙂. Bahwa kehidupan pasca pandemi hanya ada dua, kemenangan komunisme atau barbarisme (Hasil diskusi Nyalakan Lilin di Zoom).

Individu Unggul

Kalaupun kehidupan 'New Normal' itu ada, menurut saya, hanya kesadaran Individu yang dapat menyukseskan implementasinya. Kesadaran individu yang menghargai kehidupan orang lain untuk hidup sehat. Kesadaran individu yang menghargai kebebasan orang lain. 

Selain kutub individu yang sadar, kesuksesan protokol 'new normal' bisa terwujud karena tekanan eksternal dari pihak otoritas. Entah oleh otoritas di rumah, di kantor, atau pemerintah. Persoalannya, bisakah pihak otoritas menegakkan protokol secara konsisten dan berkelanjutan. Mengingat institusi penegak aturan, kerap mereka sendiri yang meruntuhkannya. 

Titik temu antara diri dan institusi di luar diri ada pada konsensus atau kontrak. Sayangnya eksistensi kesadaran diri seringkali kalah atau banyak mengalah pada institusi 'government'. Apalagi kalau kita hanya orang biasa-biasa saja. 

Kesadaran individu yang sudah terkikis oleh tirani mayoritas. Serasional apapun argumentasi kita, kerap harus mengalah atau dipaksa mengalah oleh suara terbanyak. Dan jika kita tetap pada pendirian dan berani berhadapan yang mayoritas, kita dicap tidak normal.

Dampaknya lahir kebiasaan yang manut saja pada suara mayoritas, yang biasanya diwakili oleh otoritas lembaga publik. Syukur-syukur jika lembaga publiknya berkualitas, kalau tidak.

Dampak lebih jauh, kita akan seperti kerbau yang dicocok tali di hidungnya. Bahkan harus dicambuk agar patuh dan disiplin menjalankan tugas atau aturan. Lama kelamaan kita akan mengalami alienasi diri. Keterasingan dengan diri sendiri. Kenapa? Karena kita melakukan aktifitas bukan atas pilihan rasional kita.

Manusia yang berakal (rasional) semestinya bisa mengatur dirinya sekaligus menjaga kehidupan orang lain agar tetap sehat, nyaman dan lestari menjalani kehidupan. Kehadirannya tidak mengancam kehidupan yang lain. Bahkan "manusia unggul' ala "Insan Kamil" bisa menjadi rahmat bagi manusia sebagai individu pada individu yang lain.

Pada titik ekstrim, manusia (individu) yang rasional tidak terlalu membutuhkan pengaturan aka paksaan dari pihak lain (misal dari penguasa). Jika manusia tersebut memiliki kesadaran eksistensial diri yang mantap. Jika setiap kita menyadari pentingnya semacam protokol hidup yang menghargai kebebasan.

Sayangnya pendidikan pribadi unggul yang bebas-merdeka dan bertanggung jawab tidak terwadahi dengan baik dalam institusi pendidikan kita. Lembaga pendidikan kerap melestarikan 'Tirani Mayoritas" dan menganggap abnormal individu yang berani berpikir bebas.

Kisah Lama bersemi Kembali

Berikut ada e-book New Normal. Begitu siap lembaga ini membuat panduan 'new normal'. Mari kita baca dan pelajari baik-baik dan diterapkan, tanpa menunggu cambukan dari pihak lain.


The Survival of the fittest, yang kuat yang bertahan. Istilah kekiniannya Herd Immunity. Kita, pada umumnya menyebut sebagai "Hukum Rimba". Hukum Rimba umumnya diasosiasikan negatif. Bahwa di dalam hutan rimba terjadi hukum makan-memakan, bunuh-membunuh. Apakah bisa dikatakan itu barbarianisme atau hanya siklus makhluk hidup. 

Kuat dugaan berdasarkan data-data sejarah, menusia lebih agresif membunuhi manusia lainnya. Entah dengan cara perang, dengan cara meracuninya, atau mengkondisikan sistem yang memungkinkan manusia lain kelaparan, hingga kini dalam bentuk "perang ekonomi" dan boleh jadi "perang virus".

Hewan yang digerakkan oleh instingnya bisa mendeteksi bahaya dini bagi dirinya. Meskipun tidak semuanya memiliki sistem deteksi dini atas bahaya yang sama.

Selain sistem deteksi dini kemampuan beradaptasi dengan segala potensi yang dimiliki hewan memungkinkan mereka bisa tetap bertahan hingga kini. Misalnya Semut dengan berbagai jenisnya, dapat tetap eksis hingga kini. Sementara Dinosaurus kini hanya dipamerkan dalam museum dan film-film. Dinasaurus yang jumawa nan perkasa dikabarkan pernah hidup pada ratusan juta yang lalu. Wallahu a'lam.

Manusia dengan potensi Indera, Akal, insting, hati, dan imajinasi saya yakin bisa bertahan hidup menghadapi segala tantangan. Tentu hanya yang memiliki kemampuan adaptasi. Peluang bernasib seperti dinosaurus tetap ada. Semuanya bergantung pada kita (manusia), berani berubah, atau punah.

ATAUKAH mempercepat kepunahan dengan perilaku barbar. Tidak memedulikan pihak lain, sembari merasa diri yang paling hebat, paling jago, paling sehat, dll. Merasa paling superior adalah bibit-bibit barbarianisme. Mari deteksi diri masing-masing, seberapa potensial kita menjadi barbar, apakah lingkungan kita relatif aman dari perilaku barbar?

Di hutan belantara pun, dimana Singa adalah Raja hutan, memiliki habit yang tidak barbar. The Lion King, bukan hewan terbesar dan terkuat tetapi ia memiliki habit yang mengagumkan. Makanya disebut sebagai raja hutan.  Googling saja The Habit of Lion. Kita akan temukan, jika Singa hanya brutal saat lapar sekali, dan habit yang lain.

Sayangnya secara empiris manusia kadang brutal bukan saat dia kelaparan, namun saat mereka berhasrat menumpuk-numpuk "makanan" dan harta.

Apakah kita dapat begitu mudah beradaptasi dengan "kebiasaan baru"? Filosof empiris-rasional, Aristoteles memberikan tausiah "we are what we repeatedly do. Excellence, then is not an act, but a habit.

Alamyin, 26 Mei 2020

15/04/2020

Sombayya ri Gowa Hadapi Ancaman Resesi Akibat Wabah

Sombayya ri Gowa Hadapi Ancaman Resesi Akibat Wabah
Syamsu Alam *)

Ulasan tentang Corona persfektif sains ilmiah sampai nir-sains (hoax) sudah sangat banyak, melimpah berseliweran di media sosial dan group-group. Ia telah menjadi infodemik (bahkan melampaui pandemi itu sendiri). Soal penyakit, apakah harus selalu ilmiah? Fakta sejarah menunjukkan, tidak. Ada orang bisa sembuh hanya dengan ditiup ubun-ubunnya, atau hanya diusap dengan air *idah. Bagaimana dengan Corona yang seperti hantu.

Dalam Sinrilik Daeng Tutu yang berdurasi 51 detik yang viral, ia menyampaikan pesan-pesan agar tetap menjaga diri dan menjaga keluarga seisi rumah agar terhindar dari Virus Korona.

Terjemahan bebasnya sinriliknya kira-kira begini "Tidak ada tanda-tanda awal, tidak jelas asalnya, tiba-tiba ada penyakit yang namanya Virus Corona. Membawa penyakit tak ubahnya 'Garring Pua'. Ia seperti hantu. Oleh karena itu, kepada warga, dengarkan himbauan pemerintah, menjaga kesehatan dan menjaga keluarga agar tetap di rumah saja".

Gara-gara Corona saya mengetahui apa itu "Garring Pua". Istilah yang biasa dilontarkan orang tua kalau melihat anak-anak yang nakal dan tidak mau mendengar orang tuanya. "Na alle laloko Garring Pua", semoga 'Garring Pua" menimpamu. Kata-kata itu masih terekam dalam alam bawah sadar, dan baru seminggu ini saya tahu kalau "Garring Pua"  adalah sejenis wabah/penyakit yang menjangkiti seluruh wilayah. Bahkan, kalau saya bertanya, apa itu "Garring Pua" Orang tua kesulitan memberikan jawaban yang memuaskan.

Dulu dan Kini

Wabah 'Garring Pua' tercatat dalam Lontara Bilang Gowa (Prof. Mukhlis Paeni). Wabah ini terjadi pada pemerintahan Raja Gowa Sultan Alauddin Raja Gowa ke-14 yang pertama menerima Islam. Wabah ini hampir menyeluruh di bawah daerah kekuasaannya hingga tercatat puluhan ribu korban rakyat dari wabah ini.

Wabah ini sangat menakutkan dan membuat panik rakyat dan terutama Sultan, karena kejadiannya sangat aneh dan tiba tiba. Sekiranya rakyat terkena sakit pagi hari, sore sudah meninggal dan begitupun sebaliknya diserang sore pagi pun meninggal. Sehingga wabah seperti hantu yg akan mengambil nyawa mereka hingga rakyat sangat takut dan mengurung diri dirumah.

Kini, Virus Corona meskipun tingkat kematiannya sekitar 2-3%. Namun kepanikan telah menghipnotis manusia sejagad. Jejaring internet memudahkan penyebaran informasi beserta reduksinya. Koneksi transportasi dan interaksi global mempercepat penyebaran virusnya. Derasnya informasi dan transportasi di fase-fase awal penyebaran virus Corona diperparah dengan teror statistik yang disajikan seperti balapan.

Di Indonesia sendiri dua kegiatan agama yang menjadi media penyebaran yang massfi adalah Ijtima Jamaah Tabligh di Gowa dan penahbisan uskup di Ruteng NTT. Padahal pemerintah sudah memberi peringatan bahkan larangan untuk tidak melakukan acara yang melibatkan banyak orang.

Belajar dari Sombayya ri Gowa

Semua negara di dunia, semua daerah di Nusantara gagap menghadapinya. Ini sejarah baru bagaimana seluruh dunia disibukkan dengan mahluk mikro yang tak kasat mata. Bahkan beredar di media menteri kesehatan mengaku tidak mempunyai cara mengatasi pandemi ini.

Menanggapi Wabah yang sangat mencemaskan itu Raja Gowa Sultan Alauddin (1593-1639) juga melakukan sejenis “Self Quarantine” pada tanggal 4 Agustus 1636. Ia pun meninggalkan istana di Somba Opu dan mengisolasi diri di Istana yang lebih kecil di Bontoala. (Prof. Mukhlis Paeni).

Melihat wabah "Garring Pua" Sombayya ri Gowa mengumpulkan seluruh perangkat kerajaan dengan istilah memanggil untuk "akkusiang" sejenis rapat bersama. Mencari langkah mengatasi bencana ini. Khadi kerajaan Gowa waktu adalah Datuk Ri Bandang. Ia penyebar agama Islam di kerajaan gowa. Meminta kepada Sombayya Sultan Gowa untuk melakukan ritual agama dalam hal ini di awali dengan tobat bersama dan melakukan pengamalan ritual Rate Juma.

Lazimnya Rate jumat atau populernya "Zikkiri Jumat" di laksanakan malam jumat setelah Isya di Balla Lompoa, Istana Somba Opu, yang sebelumnya lepas Magrib di tabuhlah gendang tunrung pabballe.  Majelis zikir di ambil dari kelompok Anrong Guru Mokkinga Taeng dengan jumlah empat puluh orang di samping itu sultan perintahkan juga para Tupanrita, Tabib untuk mencari "tambara pa'bballe" (obat) untuk mecegah wabah ini.

Sombayya Sultan juga memerintahkan para menteri untuk bersama sama membuka persedian negeri untuk rakyat Gowa. Seluruh simpanan padi dan beras dalam rumah penyimpanan padi palampang dibuka dan disalurkan ke seluruh rakyat Gowa.

Sekilas terlintas bagaimana Sombayya bersama Ulama (Khadi), Tupanrita, Tabib, Anrong Guru, Para Menteri, dan juga Warga melawan wabah "Garring Pua".  Nampak pula organisasi dan orkestrasi kolaborasi melibatkan pihak-pihak utama. Sementara dari rapat-rapat yang dilaksanakan oleh pemerintah saat ini cenderung sangat terbatas pada pihak keamanan yang dominan. Apakah warga saat ini demikian sulit didisiplinkan? ataukah tidak ada ulama se-Zuhud Datuk Ri Bandang yang didengar oleh Pemerintah dan warga sekaligus.

Saran pertama Datok Ri Bandang pada Sombayya diawali dengan pertobatan. lalu dilanjutkan dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan. Jika dulu Kerajaan membagikan pangan yang ada di lumbung pangan. Mungkin saat ini adalah relokasi anggara. Tupanrita dan Tabib tetap pada keahliannya. Semua berkontribusi berdasarkan keahlian dan kapasitas.

Kolaborasi Sombayya, Ulama (Khadi), Tupanrita (Termasuk Tabib), dan Para Pejabat kerajaan. Masyarakat kita sepertinya cukup patuh pada pemimpin yang bsai ditauladani. Asal jangan seperti pagar makan tanaman. Seperti Larangan Polisi melaksanakan pesta, namun ternyata petinggi polisi berpesta di tengah merebaknya Corona. Masyarakat kita membutuhkan kejujuran, keberanian, integritas dari pemimpinnya, serta kedermawanan bangsawan.

Jika diringkas kira-kira, menghadapai resesi akibat wabah kita membutuhkan kolaborasi apik antara pemerintahan yang berintegritas, agamawan yang Zuhud, Orang kaya yang dermawan, dan Aparat keamanan yang pemberani dan bermoral. Siapa yang bisa mengorkestrasi? Kita memiliki kekuatan lokal spirit Sulapa Appa, yang semoga saja tidak tergerus oleh politik transaksional dan kepentingan pragmatis. Semoga.

*) Pegiat di Praxis School

Dimuat di Harian Tribun TImur "Sombayya ri Gowa"

30/03/2020

KULIAH ONLINE DAN KITA YANG SEOLAH-OLAH

Syamsu Alam
(Pegiat di Praxis School)

Gara-gara Covid-19 hampir semua orang berubah, tata laksana kehidupannya. Dari model komunikasi sesama keluarga, teman, produksi, distribusi, dan menjual barang dan jasa.  

Dua minggu saya menyaksikan betapa ramai dan sibuknya orang-orang mempromosikan aplikasi atau perangkat lunak yang mereka gunakan untuk menunjukkan mungkin betapa 'canggihnya' mereka berkuliah. Betapa "mewahnya" aplikasi yang digunakan. Mulai dari yang gratis sampai yang berbayar. Saya membayangkan diri saya ketika pertama kali main blog (ngeblog), betapa girang dan bahagianya saya ketika berhasil menedit kode HTML dan CSS template blog, lalu muncul animasi dan running atau scroll text. Sangat wah rasanya, padahal itu hanya hasil kontekan script orang lain. Inilah kenyataan, dunia perayaan.

Kuliah daring (online) begitu ekslusif sebelum Covid-19 datang merusak tatanan kehidupan sosial kita. Ia mengoreksi tatanan sosial kita yang selama ini penuh kepalsuan. Doyan naik haji dan umrah dengan uang yang tak jelas asal usulnya, rajin ke masjid dan majelis ilmu tetapi perilakunya muhammadarrasulullah....  dst. Covid-19 jelas destruktif, tetapi pasti ada hikmah dibaliknya. Kuliah daring salah satunya memaksa bapak/ibu dosen yang gaptek atau yang sok tahu harus benar-benar paham menggunakannya.

Belajar online atau offline esensinya sama,  komunikasi. Online atau offline hanya media. Nah komunikasi apalagi mau kolaborasi, syaratnya dialog dua arah. Dialog bisa teks, bisa video. Chating di group WA, telegram, atau di Classroom sudah memadai, atau upload rekaman penjelasan lalu direspon oleh mahasiswa. Sederhana, namun jika ada interaksi itu sudah powerful sebagai belajar. Tak perlu memaksakan diri video conference, apalagi membanggakannya. Santuy saja.

Menurut UNESCO terdapat empat pilar belajar yaitu : “Learning to know” belajar untuk mengetahui.
Learning to do” belajar untuk aktif. Maksudnya kegiatan belajar harus dilakukan secara sadar, terus menerus, dan aktif sehingga terjadi perubahan diri yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. “Learning to be” belajar untuk menjadi. Maksudnya proses belajar yang dilakukan peserta didik (siswa, mahasiswa) menghasilkan perubahan perilaku individu atau masyarakat terdidik yang mandiri.
Learning to live together” belajar untuk bersama-sama.

Gagne pun mengemukakan  belajar sebagai “suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya akibat suatu pengalaman”. Dalam regulasi kurikulum kita jelas menyebutkan tiga kompetensi dasar, Pengetahuan, Keterampilan, dan Sikap.

Kira-kira apaka mereka yang memamerkan penggunaan Zoom, Teamlink, Duo dan platform video conference lainnya bisa menjamin proses belajar dan hakekat belajar seperti di atas dapat tercipta dan tercapai? Saya barangkali pengguna internet yang biasa-biasa saja yang enggan "memaksakan" mahasiswa menggunakan platform tertentu saja. 

Apalagi aplikasi yang menguras kuota mahasiswa, yang sehari-hari di kelas offline saya sudah tahu buat pre test di classroom atau Socrative saja mereka belum bisa mengakses internet secara merata. Alias akses internet adalah masalah mendasar negara dunia ketiga. Tapi, Indonesia sudah di coret yaah... Kasihan.

KISS - KEEP IT SIMPLE, SILLY.

Jauh sebelum hingar-bingar kuliah daring saya dan beberapa teman telah menerapkannya secara terbatas. Hanya karena persoalan negara ketiga di atas, tidak bisa dilaksanakan secara full. Pada mata kuliah ICT4D (ICT for Development) for self and society. Saya berpikir sederhana saja, memasukkan mereka dalam satu drive, didalamnya mereka bisa mengedit, membuat folder sendiri, mengupload tugas, saling belajar, merevisi hasil pekerjaannya, sembari bisa melihat pekerjaan mahasiswa yang lain.  Bagaimana mereka memanfaatkan fasilitas draw.io, mind map, sampai membuat algoritma aktifitasnya. Hasil pekerjaannya saya komentari dan mereka merivisi lagi hingga sampai pertemuan terakhir lahirlah tugas terbaiknya. Mata kuliah Ekonomi Politik, dan Kewirausahaan juga demikian.

Nyaris tidak pernah video call atau video conference, kenapa? Saya sudah mengetahui tidak semua mahasiswa ada alokasi dana untuk beban kuota. Saya bertanya terlebih dahulu apakah memungkinkah kita Video conference. Sekali lagi nasib negara berkembang.

MENGHADAPI MALAPETAKA

Covid-19 mewabah yang memaksa semua dosen harus melaksanakan kuliah daring. Bahkan kampus tertentu menyebutkan secara spesifik platform yang digunakan (seperti LMS, SPADA) sayang platform itu tidak andal mengkover kebutuhan belajar online. Itu sudah persoalan. Persoalan lain adalah tidak semua guru atau dosen siap dengan full daring, akibatnya apa? Sudah bisa ditebak, malapetaka Proses Belajar Mengajar. 

Ada dosen yang hanya memberikan tugas, ada dosen yang semuanya review jurnal saja. Bahkan ada yang dengan bangga mengatakan saya absen video call di awal dan di akhir sesi perkuliahan. Lalu, kira-kira apa hasilnya? Adakah interaksi belajar? Tercapaikah hakekat belajar di atas. Hipotesis saya, kita (dosen) kadang lebih polisi daripada polisi di ruang kelas offline ataupun online daripada polisi itu sendiri. 

Kampus adalah benteng terakhir peradaban, kata ka" Alwi Rahman. Kalau didalamnya yang tercipta adalah relasi kuasa menguasai, mengontrol dan menjinakkan peserta didik. Sekadar menciptakan kepatuhan seperti dalam film pendek 2+2=5  maka pertanda peradaban akan runtuh. 

Dalam sebuah perADABan ada tatanan. Ada konsensus, konsesnsus kita di kampus adalah spirit SCIENTIFIC TEMPER. Spirit yang memuliakan pengetahuan. Semangat yang siap meninggalkan argumentasi, teori, jika ada argumentasi atau teori yang lebih sahih. Tidak usah "bergaya seolah-olah" dan merasa paling hebat, paling WAH platformnya, paling adaptif mengadopsi rev.industri 4.0. Padahal, masih gagap  mengoptimalkan Cloud Computing, membedakan Tacit dan explicit knowledge, memahami rantai nilai Data-Information-Knowledge-Wisdom belum optimal, maka setidaknya jangan membebani mahasiswa yang sifatnya hanya seremoni, apalagi kalau hanya menguras kuota tanpa tujuan dan target yang jelas. Kasihan, sebentar lagi kita akan 'Lockdown terbatas' mengisolasi diri, mereka bisa makin tertekan. 

Apalagi muncul lagi gagasan menteri baru, bukan gagasan baru, Merdeka Belajar. Hemat saya yang kita butuhkan di dalam PBM adalah merdeka dari rasa takut, takut error, takut diintimidasi, dst. Sesungguhnya kita lebih membutuhkan BELAJAR MERDEKA. Oiya, OK., ayoo... kuliah Darling. 😊

Alamyin. 25 Maret 2020 Jam 00:11

08/02/2020

Pemerintah Daerah dan Ilusi Pembangunan Berkelanjutan


Syamsu Alam *)

Reformasi di korupsi. Demikian 'tagline' yang disuarakan para pegiat demokrasi sejati. Era reformasi memberikan perubahan paradigma secara lebih adil dan berimbang. Perubahan  paradigma dapat dilaksanakan melalui kebijakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Mungkinkah perubahan paradigma itu diikuti oleh para aktor pembangunan?

Mulai dari UU no. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU no. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang telah diubah menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Terakhir UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dikeluarkan untuk menggantikan UU sebelumnya.

Diberlakukanya undang-undang di atas dapat memberikan peluang bagi daerah untuk menggali potensi lokal demi terwujudnya kemandirian keuangan daerah, sekaligus mendekatkan pelayanan kepada masyarakat yang berkelanjutan, benarkah demikian?

Media online dan media sosial bisa menjadi input bagi para anggota Dewan (Prov/Kab/Kota) di Sulsel. Ada banyak laporan warga yang mudah kita monitoring dan tindak lanjuti. Khususnya proyek fasilitas publik. Misalnya, beredarnya foto proyek pemecah ombak di Kab. Takalar, Aspal yang tipis di Kab. Bone, Warga miskin yang meninggal karena tidak bisa memenuhi kebutuhan dasarnya. Dan banyak lagi berita-berita layanan publik yang berseliweran di jagad maya.

Fakta di atas mengantarkan saya pada sebuah pernyataan hipotetik bahwa Pembangunan Berkelanjutan hanya ilusi. Ilusi adalah sesuatu yang hanya ada dalam angan-angan, tetapi tidak dapat diinderai atau tidak empiris (adaptasi KBBI). Kenapa ilusi? Tujuan dan target-target indah dalam MDGs (Milenium Development Goal, 2000-2015) lalu dilanjutkan dengan SDGs (Sustainable Development Goals, 2015-2030). SDGs memiliki 17 tujuan dan 196 target atau sasaran yang harus dicapai pada tahun 2030.

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030 (TPB-2030) adalah pembangunan yang berorientasi pada penguatan ekomomi, sosial,dan lingkungan yang saling mendukung dan melengkapi. Secara spesifik dapat dilihat pada laman sdg2030indonesia.org. Ke-17 tujuan sangat ideal. Tujuan 1,  Mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk dimanapun, sampai tujuan 17:. Menguatkan ukuran implementasi dan merevitalisasi kemitraan global untuk pembangunan yang berkelanjutan.

TPB-2030 ini telah diperkuat dalam berbagai paket Undang-undang, Permen, sampai surat edaran. Pada level Pemerintah Daerah dalam penyusunan Perencanaan Pembangunan, monitoring sampai penetapan target dan sasaran pembangunan harus merujuk pada Permendagri 86 Tahun 2017. Jika ada dokumen perencanaan yang belum mengintegrasikan regulasi tersebut maka harus direvisi.

Dalam filosofi memandikan mayat seseorang tidak mungkin bisa menyucikan kalau dia sendiri tidak suci. Makanya yang akan memandikan mayat harus suci (berwudhu) terlebih dahulu. Dalam fiqh sosial, seseorang tidak mungkin bisa memberi jika, ia tidak memiliki. Ini adalah falsafah dasar berinteraksi atau lebih khusus pelayanan sosial pada orang lain (masyarakat secara umum).

Nah, berangkat dari filosofi dasar di atas dapat dijadikan pisau analisa melihat praktik pembangunan pada level pemerintah (khususnya daerah). Bagaimana mungkin pemerintah bisa mengakhiri kemiskinan (TPB-2030 Tujuan1), jika mereka sendiri masih merasa miskin. Bagaimana mungkin mereka bisa memberi kalau mereka sendiri merasa tidak cukup. Tujuan 2-17 dapat diuji proses pencapaiannya pada ranah empiris.

Beberapa hasil penelitian mahasiswa bimbingan kami di kampus (FE UNM, 2019) menunjukkan betapa tidak mandirinya pemerintah Daerah di Sulsel. Sampel penelitian daerah AJATAPPARENG, MAMINASATA, dan Beberapa Kabupaten di Sulsel menunjukkan tingginya ketergantungan keuangan pemerintah daerah pada pemerintah pusat. Pengukurannya dengan melihat rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan bantuan pemerintah dan pinjaman.

Sedangkan Rasio efektivitas keuangan daerah menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan PAD yang direncanakan  dibandingkan dengan target yang  ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah (Halim, 2007).

Sayangnya kemandirian keuangan daerah masih rata-rata berpola hubungan instruktif, yaitu
peran Pemerintah Pusat sangat dominan dari pada kemandirian Pemerintah Daerah. Demikian pula, pada dominan efektivitas Keuangan Pemerintah Daerah, masih kurang efektif.

Hal ini diperparah dengan model pengukuran kinerja pemerintah yang hanya melihat tingkat serapan anggaran. Aneh, regulasi memerintahkan pembangunan berbasis kinerja, artinya mengukur dimensi outcome (hasil) dan impact (dampak). Namun prioritas penilaiannya masih berbasis anggaran (input).

Lalu, sampai kapan kita terilusii dengan doktrin-doktrin model kebijakan pembangunan yang kedengarannya indah, memesona dibicarakan, namun sulit bahkan amat berat direalisasikan. Kenapa? Karena pembangunan tidak berbasis pada kewilayahan, tidak bersesuaian dengan norma adat (Suitability) yang ada di daerah kita (Sulsel). Menurut hemat kami Pembangunan selain harus Sustainability (keberlanjutan) juga harus Suitability (Kesesuaian) (Alam & Rumi, 2020). Pembangunan yang bertumpu pada filosofi Sulapa APPA.

Sulapa APPA, Model kosmos dihubungkan dengan adanya harmoni empat unsur alam, yaitu: udara, air, api, dan tanah, yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Keempat unsur ini adalah empat jenis sifat yang dimiliki oleh "manusia yang berbicara",  keberanian, kebangsawanan, kekayaan, keelokan. 

Dengan memerhatikan kondisi kewilayahan beserta nilai-nilai budaya luhur yang ada di dalamnya, ia dapat menghindarkan kita dari ilusi pembangunan. Hal ini membutuhkan political will yang solid.

Masa pemerintah daerah hanya 5 tahun, jika hanya sibuk membangun citra dan monumen diri, pertanda bapak-bapak belum selesai dengan dirinya. Mungkin para pejabat kita perlu membuka kembali pesan "Renaisance Man' Karaeng Pattingalloang, yang menyatukan sains dan nilai-nilai kebijaksanaan dalam memgelola daerah (negara). Istilah sekarang, Pembangunan yang berdasar pada Based Policy Evidence plus nilai-nilai kearifan lokal.

Akhirnya, bisakah kita membangun dan menata daerah yang berani melawan imperialis, berperangai kebangsawanan yang beradab, dan kalau kaya tidak akan merampok anggaran daerah secara terstruktur sistematis dan massif.

Wallahu A'lam Bisshawwab.

*) Dosen Ekonomi Pembangunan FE UNM

Terbit di media cetak Tribun Timur, 07 Februari 2020.