Read, Write, and Do Something

No Teaching without learning

Menulislah agar abadi

---

Listen, free economic make better

Showing posts with label Edukasi. Show all posts
Showing posts with label Edukasi. Show all posts

10/11/2019

NASIB REZIM KEBENARAN DI ERA VIRALISME

Jika seorang perempuan disanjung-sanjung dengan kata-kata indah. Misalnya, “kamu cantik sekali malam ini”. Yakinlah, hatinya akan berbunga-bunga. Namun, ketika ekspresi cantik dipercantik menjadi “syantik”, mungkin ekspresinya akan berubah, apalagi jika ia mempunyai pengetahuan historis tentang viralnya dangdut si syantik. Itulah contoh sederhana betapa hebatnya viral mengubah persepsi atas ekspresi kata-kata. Sama-sama niatnya memuji, cantik, syantik, tapi bisa ditanggapi berbeda.
Era serba internet (internet of thing) sekilas tampak bahwa tiadanya atau tergerusnya strata sosial di hadapan “viralisme”. Dalam viralisme kita bisa hina sesaat, bisa mulia sejenak. Ia datang dan pergi sesukanya sekejap mata, ketawa dan sedih kadang beririsan, seperti drama Korea mengaduk-aduk emosi. Begitu dinamisnya, begitu relatifnya ekspresi kita. Seorang pejabat bisa berpura-pura jadi kuli untuk viral. Komplotan perampok yang beringas bisa berpura-pura jadi pejabat yang santun, namun belum tentu untuk viral, karena memang niatnya jadi perampok.
Mungkinkah viralisme menjadikan masyarakat yang non-hirarkis, atau hanya menciptakan hirarki baru, user-administrator, follower-creator, viral – non-viral?
Viralnya sesuatu (teks/narasi atau style/perilaku) ibarat tsunami. Ia akan menenggelamkan dan menggulung apa dan siapa saja yang dilewatinya. Semua level usai, strata jabatan, semua profesi, strata sosial, dll. Bersyukurlah jikalau yang viral adalah hal baik dan menginspirasi, jika sebaliknya, celakalah. Jika style tertentu viral maka mengikutlah kita padanya. Hatta dengan mengikutinya setulus hati atau hanya sekadar peniruan yang mengejek, atau cara-cara mimesis lainnya. Lalu, siapa yang bisa bertahan dari derasnya arus viralisme? Boleh jadi viral akan menjadi agama dan ideologi baru masyarakat kita.
Sebagai ilustrasi terkini, polemik antara protes Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan PB Djarum berakhir indah dengan foto bersama di stage. Adanya kesepakatan bahwa audisi bulutangkis tetap dilaksanakan, dengan sejumlah catatan. Perubahan sikap pihak PB Djarum menarik keputusan untuk meniadakan audisi, demikian juga melunaknya KPAI atas protesnya yang awalnya garang banget menjadi slow. Apa sebabnya? Boleh jadi disebabkan viralnya polemik tersebut yang menjalar ke mana-mana. Termasuk pada latar belakang komisioner KPAI dan donaturnya selama ini, dan seterusnya, yang melahirkan berbagai persepsi dan penilaian terhadapnya.
Ada banyak kasus yang bisa mengubah sikap seseorang dari sedih menjadi senang, dari benci menjadi cinta, dari pemalu jadi beringas, dst. Kasus manipulasi aturan, kebijakan, bahkan kejadian tragedi besar karena the power of viral. Viralnya sesuatu (berita, kasus, info, dll.) bisa melelehkan pada apapun yang dilewatinya. Yang salah bisa jadi benar, yang benar bisa jadi keliru, itulah fenomena post-truth. Kebenaran narasi ditentukan oleh masifnya emosi yang terlibat di dalamnya bukan pada standar kebenaran itu sendiri.
Apakah ini berbahaya bagi rezim kebenaran? Sudah tentu. Bukan hanya rezim kebenaran, rezim kepakaran pun akan terkena dampak oleh tsunami viral. Profesor bidang tafsir, bisa saja kalah populer dan pengikut (jamaah follower) oleh mahasiswa semester akhir yang mampu mengoptimalkan sarana algoritma sosial media, google adsense, dan fasilitas robot lainnya. Sudah lazim kita saksikan bagaimana seorang mualaf (pemeluk Islam pemula banget) sok tahu (sotta) menceramahi dan kadang menyalahkan seorang kiai yang mendekati ‘paripurna’ keilmuan. Si pemula yang lebih populer dan diterima khalayak karena ceramahnya lucu, kocak, dan menghibur. Sedangkan kiai yang paripurna keilmuannya hanya mengisi pengajian-pengajian di pelosok.
Atau jangan-jangan seperti yang dirapalkan Tom Nichols, “Kadang dalam rimba informasi masa kini, penjelasan pakar tidak didengar, sementara jawaban dari tokoh yang mempunyai banyak pengikut justru lebih dipercaya –dan membahayakan banyak orang.” (Tom Nichols, 2019, dalam Matinya Kepakaran).
Oleh karena si pemula lebih populer, jam tayang di TV, di Youtube, dan media sosial lebih masif maka sangat mungkin dia akan didaulat sebagai yang “paripurna” ala ciptaan media. Dan terlanjur populer, maka si pemula pun tak punya waktu untuk “ngaji”, belajar lebih banyak dan lebih dalam. Cara-cara instan pun ditempuh, belajar instan dan karbitan. Akhirnya, lahirlah agamawan pemula, populer, karbitan, dan kagetan.
Hal yang serupa juga terjadi pada realitas publik yang lain. Partai politik yang sejatinya menjadi lembaga pengaderan politik, juga terjebak pada politisi viral. Siapapun figur publik yang bisa menciptakan narasi populer, maka akan dilirik oleh partai dicaplok sebagai kader. Singkat cerita lahirlah anggota-anggota dewan dan politisi yang karbitan, kagetan, dan panikan. Padahal tugas utama mereka adalah menjadi corong publik, memperjuangkan hak-hak warga yang memilihnya, karena terlalu jauh kalau mewakili kepentingan warga kebanyakan. Akhirnya panggung politik menjadi kontestasi drama. Dramaturgi, di mana setiap lakon bisa mati berulang kali dengan peran yang berbeda-beda. Pagi hari berperan jahat, malamnya jadi bejat, esoknya jadi bajingan, kapan baiknya? Di pencitraan, di narasi tontonan.
Kalau sudah demikian, lalu siapa yang bisa diharap menyuarakan kebenaran-kebenaran konstitusional, kebenaran ajaran agama yang mulia yang membawa rahmat untuk semesta. Kebenaran-kebenaran pancasila yang mulia nilainya: Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kebersamaan, dan keadilan.
Dua Persfektif Logika
Kebenaran dapat kita amati dan verifikasi pada dua perspektif logika. Pertama, perspektif logika biner. Dalam melihat kebenaran seperti logika klasik/biner/boolean. Logika benar-salah, hitam-putih, halal-haram. Cara pandang ini diterapkan oleh hakim dalam mengeksekusi kasus, bersalah atau bebas. Hal sama dapat kita lihat pada perilaku sebagian kaum agamawan ekstrimis yang sumbu pikirnya sangat pendek, kalau bukan dari golongannya yang ‘mahabenar’ maka yang lain salah.
Logika klasik menyatakan bahwa segala hal dapat diekspresikan dalam istilah biner (0 atau 1, hitam atau putih, ya atau tidak). Logika ini membagi realitas dalam dua titik ekstrim yang berbeda 0 atau 1. Tentu dengan standar yang ketat mana yang benar dan mana yang salah.
Kedua, perspektif logika fuzzy (kabur). Cara pandang logika fuzzy menyerupai perspektif gradasi cahaya. Sebagaimana cahaya yang bergradasi, dari terang bisa menuju ketiadaan terang (gelap).
Logika fuzzy memungkinkan nilai keanggotaan antara 0 dan 1 (0,2; 0,5; 0,7; 0,9), tingkat kekaburan (probabilitas), begitu banyaknya angka antara 0-1, dan dalam bentuk linguistik, konsep tidak pasti seperti “sedikit”, “cukup”, “sedang”, “sangat”, dll. Logika ini berhubungan dengan himpunan fuzzy/kabur dan teori kemungkinan. Fuzzy Set (Himpunan Kabur) diperkenalkan oleh Lotfi A. Zadeh, beliau adalah Bapak logika fuzzy yang dilahirkan di Baku, Azerbaijan merupakan peletak dasar-dasar fuzzy logic. Beliau besar di Iran, dan bekerja sampai akhir hayatnya sebagai profesor di Universitas California, Barkeley.
Penemuannya tentang sistem fuzzy, dengan pergeseran sudut pandang dari perhitungan sistem yang akurat, teliti, lengkap (hard computing) menjadi perhitungan sistem yang mentolerir adanya ketidakpastian, kekurangan data, dan sebagainya (soft computing) yang ternyata lebih mendekati pada kenyataan sehari-hari.
Logika fuzzy mengajarkan cara melihat fenomena, realitas dengan lebih jujur, plural dan realistis. Jika dalam dunia asmara Romeo-Juliet, Laila- Majnun, kita mengenal cinta dan benci. Dalam sudut pandang Zadeh, ada cinta mati, sangat cinta, cukup cinta, lumayan cinta, tidak cinta. Demikian pula benci.
Meretas Jalan, Bebas dari Jebakan Viralisme
Sekilas dapat terlihat bahwa logika fuzzy ini dalam sudut tertentu menyerupai pandangan “Hierarki Eksistensial” Mulla Shadra. Dalam hirarki eksistensial tidaklah wujud dipahami sebagaimana tunggalnya tiang listrik, tetapi wujud bergradasi bagai pendar-pendar cahaya. Mulla Shadra menghubungakan “kesatuan wujud dengan kemajemukan eksistensi” yang diibaratkan cahaya matahari dalam hubungannya dengan matahari itu sendiri. Cahaya tersebut bukanlah matahari, namun pada saat yang sama tidak lain adalah juga matahari. Sebagaimana Wujud (Ada). Adanya Tuhan, adanya buku, adanya esai ini, sama-sama ada, tetapi keberadaanya berbeda secara hakiki.
Filsafat Mulla Shadra mengajarkan gradasi wujud, dalam logika fuzzy ada gradasi kebenaran. Benar 100%, 90%, 85%, …..10%. Sama-sama ada level wujudnya, ada level kebenarannya. Tentu dengan kriteria kebenaran pada setiap level.
Dalam khasanah keilmuan Islam, “Benar” memiliki berbagai turunan. Kebenaran dalam Islam diistilahkan dalam 3 bentuk: Haqq, Shiddiq, Shahih. Kebenaran karena faktual, person yang terpercaya, dan kebenaran proposisi,
Pertama, Haqq adalah kebenaran yang bermuara pada hakikat sebagai dasar yang berwujud materi yakni realitas faktual. Contoh : Habibie telah wafat adalah realitas dan hakikatnya adalah alat komunikasi. 2). Shiddiq yaitu kebenaran yang mengacu kepada struktur kualitas dan kredibilitas subjek/individu, namun bukan pada status sosialnya (jabatan, profesor dll). Contoh: Periwayat hadist yang terpercaya, kejujuran imam. 3) Shahih, kebenaran yang merujuk kepada aspek pernyataan/proposisi/kata-kata atau verbal tanpa memandang person-nya. Kebenaran silogisme yang taat pada aturan formal logika.
Kekacauan diskusi akibat dari viralnya suatu narasi terjadi karena tidak adanya semesta pembicaraan yang jelas dan selevel. Pada level pengetahuan mana: biasa, illmiah, ideologis, agama, filosofis, mistik, atau metafisik. Karut marut yang timbulkan oleh sesuatu yang viral diperparah oleh netizen yang suka co’do rantasa (coras) atau asal bunyi (asbun), asal komentar tanpa basis pengetahuan yang memadai. Misalnya, bicara pengetahuan ilmiah tetapi menggunakan cara pandang mistik. Diskusi filosofis tetapi berpikir fikih. Ngga nyambung coii…
Baik Prof. Zadeh atau pun Mulla Shadra menghadirkan pandangan realitas yang majemuk. Yang memungkinkan setiap kita melihat setiap fenomena dan realitas tidak dengan tunggal. Prof. Zaadeh adalah sosok “pluralis”, tergambar dari pernyataan beliau. “The question really isn’t whether I’m American, Russian, Iranian, Azarbaijani, or anything else. I’ve been shaped by all these people and cultures and I feel quite comfortable among all of them”. Seorang pluralis tidak akan mudah menyalahkan orang lain. Sebagaimana yang terjadi pada korban-korban viral. Lihatlah betapa banyak orang menghakimi Pak Azis hanya karena mengulik pemikiran Muhammad Sahrur.
Leluhur, junjungan kita, Sokrates tidak pernah menyalahkan orang. Ia sangat bijaksana. Kebijaksanaanya karena kecenderungannya pada pencarian kebenaran. Tanpa membabi buta menghakimi yang berbeda dengannya. Ada tiga resep Sokrates untuk memfilter hoaks, gosip atau narasi viral. Ada 3 pertanyaan yang ia ajukan pada pembawa berita atau kabar. Satu, apakah Anda yakin benar dengan cerita yang hendak kamu ceritakan? Kedua, apakah yang akan kamu ceritakan hal-hal yang baik/bagus? Ketiga, apakah ada manfaatnya atau gunanya bagiku?
Kebenaran seperti cahaya, sumber cahayanya satu, tetapi tingkatan cahayanya berbeda (jamak). Seberapa dekat kita pada sumber cahaya maka level kebenaran kita makin terang dan jelas tanpa harus merendahkan mereka yang masih dalam kekurangan cahaya (kegelapan). Kata guruku, kegelapan itu identik dengan kebodohan. Maka bergeraklah dari kegelapan menuju cahaya, mulailah dari pesan pamungkas pertama, Membacalah! Membaca dengan indera, analisis dengan berpikir, teguhkan keyakinan dengan hati.
Wassalam. Wallahu a’lam Bisshawab.
Tulisan ini juga dimuat di KALALITERASI

05/08/2019

“Hijrah” antara Rahmat untuk Semesta atau Berkah Bisnis Fashion


Syamsu Alam*)

Seberapa ‘kebeletnya’ kita ikutan arus ‘Hijrah Fest’ yang kini ramai dikemas dalam berbagai kegiatan. Mulai dari asosiasi artis ibukota, artis lokal, lembaga-lembaga pemerintahan hingga kelompok ibu-ibu arisan komplek. Apakah ini sebagai sinyal baik kebangkitan Islam atau sinyalemen pasar bahwa umat Islam adalah potensi ekonomi yang luar biasa, sekaligus potensi politik yang bisa membinasakan. Mari kita baca baik-baik sinyal-sinyal ini. 

Iqra (Bacalah) adalah pesan pamungkas Quran. Membaca sejarah, kisah dan hikmah dapat mencerahkan kita. Diantaranya tentang hijrah, mengapa Rasul Saw memilih hijrah ke negeri Habasyah yang Kristen sebagai tujuan hijrah pertama? Apa pesan penting hijrah Nabi ke Madinah? Dan apa kaitannya dengan massifnya fenomena hijrah satu dekade tarakhir.

Akhir-akhir ini, kata ‘hijrah' santer terdengar di berbagai kalangan, di media cetak dan elektronik. Berhijrah amat populer di kalangan urban muda-mudi, selebritis, eksekutif muda, hingga orang biasa, bahkan teman dekat dan saudara kita. Fenomena hijrah pun telah merangsek ke pelosok desa.

Fitur-fitur artifisial yang dapat disaksikan dari mereka yang memutuskan berhijrah biasanya ditandai dengan berubahnya penampilan, hijab syar’i. Sedangkan bagi laki-laki, umumnya ada gejala peningkatan ‘kaki celana’ dari di bawah mata kaki menjadi di atas mata kaki (cingkrang/tidak Isbal), atau berjubah. Mereka memelihara jenggot dan utama memanjangkannya. Fitur suara yang sering  terdengar, mereka akrab dengan kosakata arab:  antum, ana, ukhti, masya Allah, dll. 

Tak hanya itu, mereka yang merasa berhijrah lebih rajin mempelajari ilmu agama dari majelis pengajian hingga majelis group virtual (WAG) dan ‘youtube’. Pun, kerap membagikan ceramah dan meme konten islami yang diperolehnya dari jejaring media atau komunitasnya.

Fenomena di atas lumrah dan biasa saja, yang mengherankan, ketika mereka mulai ‘menghakimi’ orang lain dengan keyakinan barunya. Mereka bergairah tinggi mendakwahi orang lain. Bahkan, tak jarang kita menyaksikan, mereka mengisolasi diri dari ibadah dan kebiasaan masyarakat pada umumnya. Ungkapan yang meneguhkan bahwa ‘keyakinan terbarunyalah’ yang terbenar yang lain mengada-ada dan menyimpang (bid'ah) bahkan sesat adalah fitur ‘horor’ yang menyesakkan bagi kaum yang belum berhijrah. 

“Jasmerah” Hijrah

Sebelum hijrah, Rasul SAW mengamati kondisi dalam negeri dan negeri-negeri tetangga dengan cermat. Beliau memahami bahwa sumber masalah ada di Jazirah Arabia. Di mana dua kubu saling bertikai antara umat Muslim versus kaum kafir Quraisy yang hatinya sudah terbakar rasa benci, tanpa kompromi.

Sedangkan kondisi negeri-negeri tetangga saat tidak kondusif. Kerajaan Persia masih penyembah api abadi. Romawi yang memperbudak rakyatnya. Tentu kedua negeri tersebut bukan tujuan strategis untuk mempertahankan benih-benih keimanan keluarga dan sahabat.

Kerajaan Habasyah (Ethiopia), yang terletak di seberang lautan. Kondisi geografis ini dipandang begitu menguntungkan bagi umat Muslim yang berhijrah, karena lebih menjamin keselamatan mereka dari kejaran kaum Quraisy yang saat itu belum mahir menghadapi medan laut. Selain itu, Habasyah merupakan kerajaan yang masih menganut ajaran Nabi Isa AS. Raja selalu ditemani oleh para uskup yang tangan mereka tak lepas dari kitab suci Injil. Ia dikenal sebagai raja yang bijaksana, menjunjung tinggi keadilan dalam mengambil keputusan.

Ragib Al-Isfahani (w. 502 H/1108 M), pakar leksikografi Al-Qur’an berpendapat, istilah hijrah mengacu pada tiga pengertian. Pertama, meninggalkan negeri dimana penduduknya sangat tidak bersahabat menuju negeri yang aman dan damai. Kedua, meninggalkan syahwat, akhlak buruk dan dosa-dosa menuju kebaikan dan kemaslahatan (QS. al-Ankabut, 29:26). Ketiga, meninggalkan semua bentuk kemaksiatan, narsisme dan hedonisme menuju kesadaran kemanusiaan dengan cara mujahadah an nafs (mengontrol hawa nafsu) (Musda M, 2017)

Hijrah seutuhnya

Kini, banyak orang yang hijrah, meninggalkan dunianya yang selama ini digelutinya. Banyak artis berhenti jadi artis, musisi, pegawai bank dll, melakukan migrasi profesi, dengan alasan, profesinya mengandung syubhat (bercampurnya yang haq dan bathil). 

Atas hal di atas Quran dengan bijak mengingatkan. Janganlah kau berpindah dari alam ke alam karena kau akan seperti keledai pengilingan, di mana tujuan yang sedang ditempuhnya adalah titik mula ia berjalan. Tetapi berpindahlah dari alam kepada Penciptanya. Allah berfirman, ‘Hanya kepada Tuhanmu titik akhir tujuan,’ (Surat An-Najm: 42).”

Hijrah sebagai fenomena massif di negeri ini berdampak pada interaksi sosiobudaya kita.  Ada teman sebelum ’Hijrah’ asik ditemani ngobrol, setelah ’Hijrah’ mulai kurang asik, menjaga jarak dan akhirnya mengisolasi diri bersama kaum yang sudah ’Hijrah’ lebih awal. 

Dibalik fenomena ’Hijrah’ seolah-olah bangkit kekuatan ekonomi dan politik baru. Jejaring bisnis kaum ’Hijrah’ dengan label-label syar’i dan syariah. Gerakan politiknya pun dapat kita saksikan pada berbagai perhelatan politik di Nusantara ini. Cukup populer di media massa sejumlah tokoh-tokoh yang berfashion ‘Islami’. Orasi-orasi yang dilantunkan pun kearab-araban. Dari sini saya semakin yakin betapa hebatnya sebuah kata-kata bisa menggerakkan seseorang dan solidaritas identitas para kaum ‘hijrah’. Sekali lagi semoga ini pertanda baik, bukannya sinyalemen pasar yang justeru akan memperkokoh rezim eksploitasi pasar kaum ‘hijrah’.

Beberapa hikmah hijrah yang dilakukan Nabi Saw diantaranya, Pertama, fase revolusi diri, membangun pondasi ketauhidan. Fase ini berlangsung pada level individual dan kolektif. Kedua, setelah Hijrah ke Madinah, Nabi saw memperkenalkan ukhuwah Islamiyah (persaudaraan seiman), Ukhuwah Wathaniyah (persaudaraan sebangsa) dan Ukhuwah Basyariyah (persaudaraan sesama manusia). Ketiga, fase perjalanan menuju Ilahi. Fase peleburan nilai-nilai keegoan dengan nilai keilahian. Jangan sekalikali ada perasaan bangga dan merasa diri lebih beriman dari orang lain. Karena penilaian itu hak mutlak sang Khalik.

Kini, pintu hijrah terbuka lebar. Dalam konteks ini hijrah bermakna melakukan upaya-upaya transformasi diri dan masyarakat menuju kualitas yang lebih beradab bukan makin biadab pada sesama makhluk Tuhan yang boleh jadi tidak sepemahaman dengan keyakinan kita.

[][] *) Ketua Masika ICMI Orda Makassar)

21/07/2019

Kuliah (Sekolah), untuk apa?



Kuliah (Sekolah), untuk apa?[Syamsu Alam]



Sekarang musim pendaftaran kuliah tahun 2019. Hal ini bisa jadi berita gembira ataupun berita yang manyayat hati bagi calon dan keluarga calon mahasiswa. Gembira bagi yang lulus dan mampu membayar biaya kuliah. Derita bagi yang tak lulus SBMPTN atau Bidik Misi, dan jalan satu-satunya untuk kuliah, lewat jalur mandiri atau Perguruan Tinggi swasta. Itupun kalau ada koneksi dan koleksi harta untuk biaya kuliah jalur Mandiri. _Hmmmm, Mandiri.. tapi bukan Bank Mandiri yang hari ini down sistemnya_ 😂. Mandiri adalah salah satu jalur prestise masuk kampus Negeri. Prestise dengan bayar yang lebih aduhai.

Kini, masuk perguruan tinggi ibarat memilih dan memilah menu, sesuaikan dnegan isi otak atau isi kantong. Andiakan saat ini saya baru masuk kuliah, sudah dipastikan tidak akan mampu masuk lewat jalur Mandiri. Maka harus bersaing merebut "Golden Ticket" Bidik Misi agar bisa kuliah. Jalur Bidik Misi adalah harapan bagi kaum yang mumpuni kecerdasan akademik namun kurang beruntung dalam hal finansial. Negara memfasilitasinya lewat jalur ini. Semoga jalur ini tidak dimasuki siluman. Sebagaimana yang terjadi pada jalur Mandiri pada umumnya. 😁



Tahun 2005 silam, saat resmi berstatus Sarjana Sains Matematika. Saya membaca tulisan Bob Black, "Penghapusan Dunia Kerja". Bacaan tersebut yang menyebabkan saya mengurunkan niat ikutan wawancara di salah satu perusahaan raksasa di Makassar. Pada saat kuliah, saya tidak serius-serius amat, kecuali saat menjelang selesai, menjelang persentasi tugas akhir. Saya lulus dengan durasi hampir maksimal 6 tahun 8 bulan. IPK tiga koma sembilan.................

belas. Alhamdulillah. "Baru ka santai-santai kuliah IPKku sudah setinggi itu" Apalagi kalau serius. 😁 Sahutku pada teman2 di bawah beton jamur Matematika UNM. Tempat ngobrol dan bernanung dari penatnya belajar matematika.

Kemarin Lembaga Studi Al Muntazar bekerjasama dengan salah satu Himpunan Mahasiswa di UIN Alauddin Makassar menggelar diskusi tentang Kerja dan Rev. Industri 4.0. Mengingatkanku lagi pada tulisan Bob Black. Pada Diskusi tersebut, saya memulai pembicaraan dengan mengutip sana-sini uraian Bob Black tentang "Penghapusan Dunia Kerja" dan mengaitkannya dengan kondisi kekinian.  Awalnya kukira peserta diskusi akan resisten, ternyata sebagai besar mengamini analisa Bob.

Pada diskusi itu, saya mengambil kasus-kasus yang saya dan teman-teman alami di dunia kerja. Apapun profesi pekerjaannya, yang sok santai (pelapak online) atau pun pekerja kantoran yang sebenarnya bekerja bukan 8 jam perhari atau minimal 35 jam perminggu. Tetapi 24 jam perhari selama seminggu. Sesekali menertawai diri sendiri "sebagai pengamen hasil bacaan dan pelajaran" di salah satu kampus negeri di Makassar.

Dalam diskusi tersebut, saya kemukakan bahwa, akhir-akhir ini kerja telah mengalami reduksi yang sangat dalam. Orang tidak akan dikatakan kerja kalau tidak berkantor, dengan jam kerja paten 08.00-17.00. Paling mutakhir tidak dikatakan kerja kalau bukan PNS. Maka wajar antrian pendaftaran CPNS akan melimpah.

Tapi pada prinsipnya kerja yang kita pahami selama ini adalah yang ada kantor (ataupun yang online berkantornya cukup bayar kopi di warkop atau cafe),  ada jam kerja, ada bos, ada _jobdesk_, ada target, dst. Prinsip inilah menurut Bob Black yang melanggengkan sistem kerja penindasan kapitalisme a la _fasisme pabrik_. Yang mana setiap orang yang terlibat di dalamnya mengalami dehumanisasi, alieansi diri dan ketertindasan.

Terdehumanisasi karena kita dipaksa diam atau terpaksa diam atas keburukan-keburukan yang terjadi dalam lingkungan kerja. Kita ketahui ada penyelewengan, ada korupsi, ada kebiadaban tetapi apa daya kita memperbaikinya dan mengubahnya. Melawan secara frontal akan memberikan implikasi panjang pada nasib kita.

Nah, kita yang terlanjur larut dan terdehumanisasi dalam dunia kerja. Tanpa berani mempertanyakan apa sebenarnya kerja? Untuk apa dan siapa, tujuannya apa?  Akan diam-diam saja dan merasa semua hal berjalan normal-normal saja. Padahal jika dicermati dengan seksama kerja dan institusinya telah banyak merusak relasi-relasi kemanusiaan kita.

Nilai kemanusiaan yang paling mendasar adalah Kebebasan. Dan dalam dunia kerja tiada lagi kebebasan. Catat, tiada lagi kebebasan. Sejak menandatangani kontrak kerja, maka pada saat itu kita menggadaikan kebebasan kita. Hal paling mungkin kita lakukan adalah mencuri kembali sedikit demi sedikit kebebasan itu yang telah dirampas oleh dunia kerja.

Berapa jam kita bekerja /hari?  8 jam, tidak. Sebenarnya 24 jam per hari.

Seorang bapak yang bekerja bukan hanya dia yang akan terlibat dalam dunia kerja. Istrinya akan menyetrika bajunya, memasak masakan bergizi agar berstamina prima. Pun, istirahat kita di siang hari dan malam hari adalah rangkaian dunia kerja. Agar esok hari, bisa fit and fresh lagi masuk kerja. Demikian seterunsya dan seterusnya berputar. Berlibur pun adalah rangkaian dari merefresh ketegangan kerja. Semua adalah rangkaian dunia kerja.

Lalu buat apa kita Sekolah, Kuliah? Apakah hanya sekadar memperpanjang barisan perbudakan dunia kerja? Atau sesekali menginterupsinya. Interupsi dengan event-event budaya, diskusi, meditasi, atau lainnya.

Sekolah sebenarnya adalah bahan kayu bakar dari "fasisme pabrik". Apalagi sekolah atau kampus yang tujuan tunggalnya sekadar untuk menciptakan 'Worker' bukannya 'Human'. Institusi sekolah lah yang mengajarkan disiplin dan kadang menkondisikan ketaatan total tanpa interupsi pada suatu aturan. Jika sekolah atau kampus sudah demikian, maka tak ada bedanya dengan penjara. Dan para pengelola kampus adalah sipir.

Karena untuk merealisasikan tawaran Bob Black yang begitu radikal butuh perjuangan dan nafas yang panjang.

Saya justru melihat tawaran Bob, dapat ditelusuri pada jejak-jejak kehidupan kaum sufi. Dimana bekerja dan pekerjaan adalah aktifitas ibadah, bekerja dilakukan dengan riang gembira, bukan karena paksaan dan intimidasi. Kerja yang bermartabat adakah kerja yang dilakukan dengan riang gembira ibarat dunia permainan yang didalamnya ada konsensus yang sifatnya sukarela. Dimana, apabila ada teman bermain yang "curang" atau menyalahi konsensus bersama bisa kita tegur ramai-ramai dengan santai dan tanpa dendam.

Singkat cerita....

Pada sesi penutup diskusi saya bertanya pada audience. Yang bekerja ataupun yang berniat bekerja, Anda sebenarnya mencari apa dipekerjaan, uang atau rejeki? Kekayaan atau kesejahteraan?





Syamsu Alam, Pegiat di Praxis School

27/02/2019

WE, ROCKY GERUNG AND MIDDLE FINGER

Syamsu Alam *)

Pertentangan atau konflik umumnya terjadi disebabkan adanya konsepsi yang menyejarah dalam pikiran kita. Atau pengetahuan masa lalu kitalah yang kerap membuat kita berselisih dengan orang lain. Konsepsi memengaruhi persepsi yang digunakan untuk mengekspresikan tindakan kita, termasuk merespon fenomena.

Respon atas fenomena itulah yang menyebabkan konflik. Kenapa? Karena ada pengetahuan masa lalu yang berbeda dan cenderung dipaksakan. Klaim akalkulah yang sehat, dan yang lain dungu, adalah jenis kedunguan yang sudah lama ada dalam masyarakat yang miskin tradisi literasi. Klaim kelompokku benar, dan kamu salah. Klaim-klaim yang justeru mencederai akal sehat. Apa legitimasi akal sehat? Apakah si Rocky Gerung (RG) yang?

Tidak sesederhana itu, Ferguso.

Mari kita cek ada apa di balik fenomena RG dan middle finger.

Jika ada seseorang mengacungkan middle finger (jari tengah) ke kita, mungkin kita akan merespon dengan emosional. Marah, ngakak, atau balik membalas dengan jari tengah. Kenapa? Karena kita mempunyai pengetahuan sebelumnya tentang jari tengah. Yang bisa diperoleh dari film-film, bacaan, atau dari film spesifik XXX. Ekspresi kita, sekali lagi sangat dipengaruhi oleh konsepsi di kepala kita masing-masing.

Yang berbahaya jika kita terpenjara dalam pengetahuan sebelum tersebut. Dan apakah kita harus marah secara berlebihan? Tergantung jam terbang kita menghadapi ekspresi orang atas diri kita. Jika kita marah mungkin yang kita ketahui tentang jari tengah adalah fuck padahal itu hanya sepenggal arti darinya. Masih banyak makna lain darinya.

Kakek-kakek, nenek-nenek atau siapa pun yang tidak mempunyai pengetahuan sebelumnya tentang middle finger akan bersikap biasa-biasa saja. Ia tidak akan merespon dengan emosional (marah). Dia mungkin akan senyum-senyum saja. Atau bertanya tentang artinya.

Memang benar, kata seperti senjata, bisa membunuh atau bisa menghidupkan. Bisa positif bisa negatif. Dan Kamus, kata Prof. Wim,  tidak bisa menyelesaikan perselisihan arti kata-kata. Menurutku, kamus hanyalah kumpulan arti-arti kata yang subjektif dan bersifat lokalitas (keilmuan, daerah, suku, bangsa, dinasti).

Lalu, apa hubungannya RG dengan jari tengah. Apakah kita akan memberikan predikat middle finger kepadanya. Sekali lagi, tergantung jam terbang menghadapi kenakalan berpikir seseorang. Saya melihat beragam ekspresi muncul di media atas ulah Om RG. Dari yang cacian yang soft sampai yang hard. Dari yang sebelumnya membenci filsafat bahkan mengharamkannya tiba-tiba gemar dan nge-fans dengan orang yang seolah-olah filosof. Entah karena pandangan politik atau apalah.

RG mengingatkan kita pada banyak hal, di antaranya yang berkesan adalah tentang Hoaks. Baginya, Pemerintah adalah pembuat Hoaks paling hebat. Dalam banyak hal dan peristiwa i agree with you, bro. Tetapi tidak dalam hal yang lain. Bahkan banyak hal. Sebut saja di antaranya, saya susah menemukan filosof zaman dulu yang akrab dengan pikiran-pikran seolah-olah  nakal sekaligus piawai mengumbar kata-kata ‘kedunguan’. Bahkan di publik dengan terang menderang menyebut presiden dungu, dst.

RG, middle finger sama dengan konsep Nabi. Kita memiliki konsepsi tentang nabi. Saya pernah disarankan untuk ‘kembali ke jalan yang lurus’ hanya karena membagikan bacaan, tentang Sokrates adalah Nabi. Kenapa bisa begitu, padahal itu hanya bacaan. Boleh jadi karena pengetahuan sejarahnya tentang Nabi dilokalisasi dalam domain ‘Nabi dan Rasul Islam’ yang 25. Padahal ada riwayat menyebutkan ada sekitar 124.000 Nabi. Pemaknaan atas kata-katalah kerap membuat kita bermusuhan, bertikai hingga perang. Kata-kata ‘dimanakan’ misalnya, dalam terminologi orde baru maknanya bisa ‘horor’.

Oleh karena itu sebelum terlalu dalam menghakimi Om RG, mari kita renungkan sosok Om RG.

Saya teringat suatu pesan mulia, bahwa jika Anda menuduh orang sesat, kafir tetapi ia tidak sesat, kafir maka tuduhan itu sesunghuhnya berbalik pada dirinya sendiri. Boleh jadi ia yang sering menuduh  orang lain dungu mungkinkah akan berbalik pada dirinya sendiri. Wallahu a’lam bissawwab. Kehadiran RG ke ruang publik atas branding media, mengingatkan kita pada kaum Sofis, pada zaman Socrates. Mari kita simak sekilas tentang kaum Sofis.

K.Bertens (1999) mengemukakan bahwa Sofis (sophistes) tidak dipergunakan sebelum abad ke-5 SM. Arti yang tertua adalah “seorang yang bijaksana” atau “seorang yang mempunyai keahlian dalam bidang tertentu”.  Herodotos memakai nama sophistes untuk Pythagoras. Pengarang Yunani yang bernama Androtion (abad ke-4 SM) menggunakan nama ini untuk menunjukkan “ketujuh orang bijaksana” dari abad ke-6 SM dan Sokrates.

Lysias, ahli pidato Yunani yang hidup sekitar permulaan abad ke-4 memakai nama ini untuk Plato. Tetapi dalam abad ke-4 SM nama philosophos menjadi nama yang biasanya dipakai dalam arti sarjana atau cendikiawan, sedangkan nama sophistes khusus dipakai untuk guru-guru yang berkeliling dari kota ke kota dan memainkan peranan penting dalam masyarakat Yunani sekitar paruh kedua abad ke-5. Di sini kita juga menghunakan kata Sofis dalam arti terakhir ini.

Pada kemudian hari nama Sofis tentu tidak harum. Akibatnya masih terlihat dalam bahasa-bahasa modern. Dalam bahasa Inggris misalnya kata sophist menunjukkan seseorang yang menipu orang lain dengan mempergunakan argumentasi-argumentasi yang tidak sah. Cara berargumentasi yang dibuat dengan maksud itu dalam bahasa Inggris disebut sophism atau sophistery. Terutama Sokrates, Plato, dan Aristoteles dengan kritiknya pada kaum Sofis menyebabkan nama Sofis berbau jelek.

Salah satu tuduhan adalah bahwapara Sofis meminta uang untuk pengajaran yang mereka berikan. Dalam dialog Protagoras, Plato mengatakan bahwa para Sofis merupakan “pemilik warung yang menjual barang rohani”. Aristoteles mengarang buku yang berjudul Sophistikoi Elenchoi (cara-cara berargumentasi kaum Sofis); maksudnya, cara berargumentasi yang tidak sah. Demikian para Sofis memeroleh nama jelek.

Kaum Sofis juga dikenal kerap menebarkan keraguan pada khalayak tanpa memberikan keteguhan keyakinan. Ia menafikan hampir segala hal, namun tiada penetapan kebenaran. Maka makin menyatalah, kegaduhan di mana-mana. Sebahagian besar orang agar meragukan banyak hal, celakanya lagi jika tiada standar kebenaran yang diyakini. Hal mana akan menggiring kita pada nihilisme.

Menurutku, nihilisme (meragukan segala hal, tanpa satu tujuan) hanyalah titik awal menuju keyakinan, sebagaimana yang diikrarkan oleh kaum Muslim. Lailaha, Tiada Tuhan, Illallah Kecuali Allah. Kata pertama adalah pengingkaran segala hal, setelahnya harus ada penetapan (tasdiq) keyakinan. Kisah Nabi Ibrahim mencari Tuhan adalah contoh yang paling tepat untuk hal pengangkaran-penetapan keyakinan.

Semestinya, fenomena RG ditanggapi seadanya saja. Orang-orang yang mencibirnya berlebihan, tak ada bedanya dengan kaum fanatiknya yang mengelu-elulannya dengan takbir. Bagi saya, hadirnya RG hanyalah fenomena standar yang mengajarkan keraguan-raguan untuk senantiasa memperbaharui keyakinan dan kebiasaan. Menurut Muthahhari, keragu-raguan adalah tahap awal menuju keyakinan.

Namun, jangan berlama-lama sampai menetap pada keragu-raguan tersebut. Bahkan, sejatinya kita senantiasa memperbaharui keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebiasaan kita. Karena sabda Sokrates mengingatkan bahwa hidup yang tidak pernah dikritisi atau (dipertanyakan/diragukan) adalah hidup yang tak layak dihidupi.

Namun perlu diingat bahwa hadirnya RG tak seindah kisah Sokrates atau pun Syekh Siti Jenar yang menjadi tumbal penguasa zalim. Karena mempertahankan keyakinan akan keesaan Tuhan. Adakah RG mengajarkan hal itu, sejauh ini, belum. Ia baru sampai pada tahap awal keragu-raguaan. Dan jika kukuh diposisi itu, hakkul yaqin pada kegenitan intelektual, mengobrak-abrik apa pun yang ia hadapi, itulah senyata-nyatanya kedunguan. Wallahau a’lam Bisshawwab.

Esai ini pernah dimuat di Kalaliterasi.com
*) Pegiat di Praxis Community

07/10/2018

Perang Ekonomi dan Bagaimana Menghadapinya

Syamsu Alam*)

Kita, umumnya menyukai barang yang harganya murah dan kualitasnya bagus alias mumpuni. Kita sering menyebutnya "barangnya kompetitif". 

Keunggulan kompetitif menurut M. Porter bukan membunuh pesaing (lawan) melainkan kita menunjukkan kinerja lebih baik. Sumber daya yang sama tetapi kita bisa berbuat atau berproduksi lebih berkualitas. Waktu kita sama 24/7 tetapi kita mampu mengoptimalkannya. Media sosial yang kita gunakan sama, namun optimalisasinya beragam. Ada yg manfaatkan untuk jualan, media belajar, media berbagi pengetahuan dan kembangkan skill, hingga cari jodoh, cari duit, dan ada pula yang cari musuh alias pengikut paham "nyiyirianisme".

Kalau kita menang atau untung, untunglah dengan terhormat, tidak dengan cara-cara curang, seperti pembunuhan karakter pihak pesaing. Kalau pun rugi (kalah), rugi dan cut loss lah dengan elegan, kata teman saya🤔. Kalau kita masuk dalam barisan orang-orang rugi,  rugilah seminimal mungkin. Itulah kompetitif. Menang dengan Happy, kalah dengan elegan.

Sejumlah analis menilai tekanan yang terjadi di pasar  keuangan emerging market menjadi kesempatan investor memburu aset di negara berfundamental kuat. Logikanya, kalau 1$ setara 15 rb berarti bagus untuk investasi. Yang bermasalah kalau kita sudah terlanjur invest di perusahaan atau di negara tersebut. Seandainya saya masih punya stok modal lebih banyak, saya akan beli saham-saham perusahaan yg fundamentalnya bagus. Saya susah cut loss dengan elegan 😂.

Kita memang sedang mengalami krisis, pemerintah harus akui itu. Kapitalisasi pasar kita sudah tergerus 2,74% dibanding akhir 2017 silam yang sebesar Rp 6.560 triliun. Mengutip Bloomberg, kapitalisasi pasar saham domestik mencapai Rp 6.380 triliun. Current Account Deficit, per 2 september 2018 sebesar $-5,7 B (TradingEconomic). 

Current Account Deficit yang sehat itu antara dua hingga 2,5 persen dari PDB. Penting untuk menekankan bahwa defisit transaksi berjalan tidak selalu buruk. Serupa dengan arus kas negatif sebuah perusahaan, defisit ini bisa menjadi hal yang positif apabila dana ini digunakan untuk tujuan-tujuan investasi produktif (yang menghasilkan aliran pendapatan di masa mendatang) seperti pembangunan industri atau infrastruktur. Tetapi kalau defisit ini hanya digunakan untuk konsumsi, terjadi ketidakseimbangan struktural karena defisit tidak menghasilkan aliran pendapatan di masa mendatang. Utang pemerintah juga lumayan tinggi, batas psikologis dari Menkeu 30%. Berdasarkan regulaai pasal 12 ayat 3 UU Keuangan negara maksimum 60% terhadap PDB, 30%  batas psikologis dari Menkeu. Sekarang sudah 29,%. Data-data makro ini bisa diakses di laman Bank Indonesia atau trading Economics, dll.

Kita masih ingat, Dinamika geopolitik global paling aktual yang layak dicermati bersama ialah currency war alias perang mata uang antara Amerika Serikat (AS) melawan Turki. Dolar versus Lira. AS mengancam TurkI dengan embargo finansial akibat praktik spioanase Paman Sam di Turki dibongkar oleh Erdogan. Secara nasionalisme Turki merupakan prestasi, namun peristiwa tersebut justru aib bagi AS.

Seruan untuk tidak menggunakan Dollar sebagai transaksi global utama menarik dicermati. Namun butuh nyali dan 'kuda-kuda" yang kokoh. Beberapa negara yang tidak sepenuhnya memakai US Dollar dalam traksaksi perdagangannya adalah Rusia, China, Iran, Jepang (?) dan kali ini Turki. Awalnya mungkin sakit, tapi jika kokoh maka bisa bangkit menjadi negara mandiri.

Kita memang harus bisa bangkit. Optimisme tetap ada asal jangan keterlaluan. Pelemahan rupiah 2018 amat jauh berbeda dengan 97/98. Kondisi politiknya berbeda, tren kenaikannya berbeda, dan tentu orang-orang yang menghadapinya juga beda. Mestinya cara pandang dan tindakan menghadapinya juga sedikit lebih maju.

Pada setiap kasus pasti ada sisi positif dan negatif, termasuk krisis. Rupiah anjlok tetap saja ada yang cuan besar. Bayangkan saja kalau mereka beli dollar di harga 10.000/usd, dan memiliki 1 juta dollar. Cuannya lumayan banyak, untuk sekadar cetak stiker kampanye, atau membiayai lomba makan kerupuk se-kabupaten. Barang-barang ekspor sudah tentu untung besar. Tapi derita bagi importir.

Pemerintah (yang serius) tangani krisis ini sudah pasti otak-atik strategi. Dari resep leluhur sampai resep milenial. Mainkan suku bunga, jual SBN, batasi impor barang-barang konsumsi, "rupiahnisasi" DHE (Dana Hasil Ekspor), Aksi BI membeli Surat berharga yang dijual asing, sembari menjaga psikologis investor, masyarakat, dan tentu lawan-lawan politik yang terjebak dalam paham 'Nyinyirisme'. Kritis boleh, asal tapi jangan lupa memberi apresiasi pada selebrasi Jojo 😂.

Currency War

Setidaknya ada 3 Alasan mengapa Negara mendevaluasi mata uangnya. Pertama, Meningkatkan Ekspor.  Currency War (Perang mata Uang) dalam perekonomian terbuka hampir tidak bisa dihindari. Era kapitalisme lanjut, membuat negara-negar berkapitalisasi kecil rentan guncangan eksternal. Entah arus modal yang masuk, atau pun arus modal yang keluar. Itulah mengapa negara-negara berkembang amat rentan krisis. Apalagi negara-negara yang senyatanya melakukan perlawanan terhadap Dollar AS.

Beberapa hal yang mungkin bisa kita upayakan adalah,  Pertama, kepemimpinan yang kuat diperlukan pada sebuah bangsa agar tidak dipermainkan oleh negara adidaya. Kuat, tidak dinilai dari fisik yang 'aduhai', tetapi nyali melawan para komprador dan egresor, sejauh kamampuan kita. Termasuk nyali menanggung risiko atas kebijakan yang diterapkan. 

Kedua,  Nasionalisme, mutlak harus tetap ditanamkan kepada setiap warga negara pada semua level umur, pada setiap profesi, agar bila menghadapi situasi (darurat) tertentu ---dari perspektif geopolitik--- mampu menjadi "amunisi dahsyat" bagi kedaulatan sebuah bangsa. Meskipun ajakan nasionalisme menyimpan 'potensi ilusi', tetapi jika pengelolah negara mampu memberi tauladan, mengapa tidak. Cina, Jepang, dan Iran bisa menjadi contoh model Nasionalisme yang baik.

Ketiga, aksi nyata melalui pikiran, ide dan tindakan nyata. Mengencangkan ikat pinggang saat krisis adalah salah satu resep leluhur yang tak lekang dimakan zaman.

Berkaitan dengan poin ketiga, Itulah mengapa saya menunda membeli mobil impor sekelas Lamborghini :P. Sebagai salah satu kontribusi saya pada negara. Ingin menukar dollar tapi apa daya, dollar tak punya 😂.


Berikut saya kutip hasil diskusi dengan teman saya (Moh. Zaki Amami) yang tinggal di Iran. Beliau menuturkan bagaimana Iran dapat bertahan di tengah badai Perang yang dihadapinya. Embargo ekonomi yang dideritanya, bahkan menurut perhitungan Prof. H. Hanke dari John Hopkins University sebagaimana berikut.



Inflasi Iran yang meningkat sampai 267% selama kurun waktu 4 bulan. Andaikan hal tersebut terjadi di Negara kita, saya bisa memprediksi hampir semua netizen akan berubah profesi sesaat menjadi pakar Inflasi. Pakar yang akan menyalahkan pihak otoritas, dan bahkan akan memprovokasi warga untuk melakukan demonstrasi massif yang justru akan melumpuhkan perekonmian. Lalu, apa resepnya sehingga Iran dapat bertahan di tengah badai embargo ekonomi dan serangan meiliter dari pihak musuh.

Dukungan negara sekutu dan kondisi politik domestik turut membantu Iran dalam menghadapi berbagai guncangan ekonomi politik dan keamanan negara. Beberapa poin positif yang dapat dipelajari dari kemampuan daya tahan dan saya saing Republik Islam Iran adalah sebagai berikut:

  1. Dukungan penuh rakyat pada pemerintah dan Ulama.
  2. Optimisme masyarakat pada keadaan yang pasti membaik
  3. Mengkonsumsi produk dalam negeri mulai sabun, hingga mobil.
  4. Dari turunnya nilai mata uang, Negara memberikan kompensasi berupa gratisnya listrik, air atau Gas. berbeda (beda tiap kota) bahkan untuk gas di Iran cukup bayar Rp 10.000 (untuk 2 bulan). 
  5. Regulasi jelas untuk pasar gelap (Seperti mata uang, barang Impor) jika ketahuan pelakunya pasti ditindak tegas.
  6. Oposisi membantu pemerintah dalam memerangi musuh bersama (Amerika Serikat) dengan cara berbeda, karena mereka juga mengetahui makar musuh. 
  7. Kesederhanaan rakyat dan gaya hidup minimalis dan sederhana. (Misalnya. Warga Iran makan nasi cukup 1x sehari, Orang-orang kaya pun rela antri beli roti kering di pinggir jalan).
  8. Membatasi Impor dengan sangat ketat bahkan mengenakan pajak hingga 300% bagi mereka yang sengaja Impor (mis. mobil Hyundai harga di Indonesia sktr 150jt, di Iran bisa sampe 800jt, karena pajaknya sangat tinggi. Masyarkatpun berbondong2 beli mobil nasional/motor yg dibuat oleh Iran seperti Saipa DLL (kualitas ekspor).
  9. Terakhir, ikhtiar harus terus diupayakan sekecil apapun, sembari berdoa kehadirat Tuhan YME.

Kesuksesan Iran, setidaknya hingga saat ini menghadapi embargo ekonomi dan serangan militer membuat Mahatir Muhammad bertandang beberapa kali ke Iran. Mahatir Muhammad mengetahui betul, Geopolitik global yang terjadi dan bagaimana harus bersikap dan kepada siapa harus belajar. Tuntutlah Ilmu sampai ke Negeri Iran. Pepatah zaman Now.


*) Pegiat di Praxis School


16/09/2018

Pendidikan Tinggi dan Disruption Era

(Dedikasi untuk Dies Natalis UNM ke-57)

Syamsu Alam*)

Awal agustus merupakan masa penting bagi mahasiswa baru (maba). Fase awal transformasi dari pendidikan anak/remaja menjadi dewasa. Hal mendasar dan pertama yang sebaiknya dilakukan oleh Perguruan Tinggi (PT) adalah bagaimana membawa dunia mereka masuk ke dunia kampus, dan memperkenalkan dunia kampus kepada mereka secara manusia. Pada zaman dahulu, kegiatan ini disebut OSPEK, Pesmab, dan sejumkah nama lainnya, yang intinya dalam kegiatan ini sebagai Hub (penghubung), antara dua dunia yang relatif berbeda. Bagaimana memperkenalkan roh Tri Dharma  PT pada mereka dengan cerdas dan elegan? Sedemikian sehingga Maba bisa adaptif dengan budaya intelektual.

Fase awal ini sejatinya bersifat radikal dan dapat memberikan efek kejut pada Maba. Istilah kekiniannya adalah ‘distruption’. PT seharusnya dapat mendistrupsi girah belajar, sifat kekanak-kanakan, mental ‘kerupuk’, dll, menjadi lebih nilai-nilai baru sesuai dengan zaman yang mereka hadapi.

Bahkan yang lebih mengkhawatirkan di era keterbukaan saat ini adalah semakin menipisnya nilai kearifan lokal dan nilai kebijaksanaan leluhur yang mulia. Maba sebagai gen Z (Milenialis) boleh menyatu dengan gadget yang canggih tanpa mengabaikan nilai ‘Sipakatau’ (Saling memanusiakan). Kita boleh menggunakan perangkat robot dan semacamnya tanpa harus menjadi robot. Bermain game dan berbisnis lintas negara namun tetap punya waktu menyapa tetangga.

Usai melewati berbagai jalur seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dari yang gratis hingga yang berbayar. Fase awal memasuki pendidikan tinggi yang relatif sedikit berbeda dengan pendidikan dasar dan menengah. Perbedaan mendasar terletak pada filosofi, kebijakan, dan praktik. Filosofi ada pada kebebasan akademik, kebijakannya lebih komprehensif memadukan fitur pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dan praktiknya dipandu oleh Tri Dharma PT, pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Mengembalikan Roh Pendidikan Tinggi

Sokoguru utama kampus adalah Tri Dharma PT, Pendidikan dan pengajaran, Penelitian, Pengabdian pada Masyarakat. Ketiganya mengandung nilai-nilai mulia. Secara normatif, pendidikan mengajarkan prinsip egaliter dan demokratis. Pendidikan tujuannya adalah memerdekakan manusia. Merdeka dari rasa takut, rasa lapar, kebodohan dan penindasan. Penelitian mengajarkan pentingnya rasionalitas,  kejujuran dan konsistensi. Kita tidak dibenarkan mengutip pendapat orang tanpa melampirkan sumbernya. Disitulah kita belajar jujur, dari awal kata  hingga akhir karya ilmiah mengajarkan pentingnya rasionalitas dan konsistensi. Pengabdian pada masyarakat mengajarkan keikhlasan dan semangat berbagi pada sesama makhluk ciptaan Tuhan.

Operasionalisasi nilai-nilai di atas tidaklah mudah. Belajar pada hal apapun adalah hal utama, termasuk pada kasus-kasus konflik ‘fungsionaris mahasiswa’ vs birokrasi kampus. Kampus memang bukan ‘pegadaian’, slogannya tidak realistis. Mangatasi masalah pasti selalu ada masalah baru, tapi masalah baru sedini mungkin lebih kecil dan lebih mudah di atasi.

Lalu apa Solusinya? Pada setiap masalah pasti ada solusi. Secara matematis, Solusinya bisa satu, belum (tidak) menemukan atau banyak. Solusi ibarat ramuan obat, bisa mujarab jika diagnosanya tepat. Tulisan ini hanya refleksi dan keresahan, moga-moga dari sejumput keresahan bisa mengantar pada solusi 3-K. Kritis, Konstruktif, dan penuh Kasih Sayang. Tiga hal yang kini mulai langka ditemui di aras sosial maya dan nyata.

Disruption: Jalan Merengkuh Peluang

Menurut Rhenald Kasali, akhir-akhir ini banyak kalangan keliru memahami disruption. Diantaranya, yang membatasi hanya berkaitan dengan teknologi Informasi, ada yang mengaitkan dengan training motivasi yang berujung pada hipnosis, cara kerja bisnis Multilevel Marketing (MLM) yang sering merugikan masyarakat.  Bahkan ada yang membatasinya sebagai trading. Bisnis percaloan. Seakan-akan disruption melulu soal bisnis aplikasi yang digerakkan untuk mempertemukan supply dengan demand.

Anggapan seperti itu jelas kurang pas. Sebab disruption sejatinya mengubah bukan hanya "cara" berbisnis, melainkan juga fundamental bisnisnya. Mulai dari struktur biaya sampai ke budaya, dan bahkan ideologi industri. Misalnya yang dulunya sangat menekankan owning (kepemilikan) menjadi sharing (saling berbagi peran, kolaborasi resources). Sebagaimana yang banyak dicontohkan oleh Don Tapscott dalam bukunya Wikinomics.

Jadi, mungkinkah kita dapat merengkuh peluang, jika memahaminya saja keliru. Kita membutuhkan banyak energi untuk menghadapi dan sukses di era disrupsi. Hal yang paling azali adalah mindset, mengubah cara pandang. Kita yang terbiasa dilayani layaknya kaum feodal, harus rela berjibaku dengan siapa pun, dati berbagai kelas. Bagian tersulitnya bukan pada ide dan inovasi baru yang mengepung kita, tetapi keberanian untuk meninggalkan pandangan lama yang sudah usang dan tidak dapat menjawab tantangan zaman kini dan disini.


*) (Dosen FE UNM/Pengurus Masika ICMI Makassar)