Read, Write, and Do Something

No Teaching without learning

Menulislah agar abadi

---

Listen, free economic make better

Showing posts with label Edukasi. Show all posts
Showing posts with label Edukasi. Show all posts

01/08/2018

Masalah dan Tips atasi Masalah pada Penyusunan Tugas Akhir

Masalah dan Tips atasi Masalah pada Penyusunan Tugas Akhir

Filosofi sekaligus penyemangat menyusun tugas akhir adalah Masalah adalah separuh dari Tugas Akhir. Masalah yang diulas dengan baik dan ciamik pada bagian pendahuluan adalah separuh dari keberhasilan merengkuh jodoh, oops, gelar maksudnya. Apa itu masalah? Bagaimana pohon masalah? dan bla..bla..bla.. Masalah hanya dapat diungkap jika ada pengetahuan empiris (data-data, fakta-fakta, laporan-laporan, dll) dengan ide-ide, teori-teori, dan referensi-referensi bacaan lainnya. Istilah kunonya Das Sollen vs Das Sein. 

Das sollen secara umum adalah segala sesuatu yang merupakan keharusan atau segala keharusan-keharusan yang masih berupa teori-teori normatif dan sekaligus juga norma-norma teoritis. Das Sein adalah segala sesuatu yang merupakan pelaksanaan dari segala hal yang diatur dalam das sollen. Sederhananya, adanya ketidaksesuaian antara kenyataan dan harapan. Contohnya, Kita berharap kemiskinan menurun dengan tingginya belanja publik, tetapi kenyataannya kemiskinan meningkat.

Mengapa Skripsi, Tesis, Disertasi ditempatkan pada akhir masa studi di Perguruan Tinggi? Karena ketiga mata kuliah tersebut memadukan semua kemampuan mahasiswa, membaca, menulis, berdiskusi, dan presentasi. Kemampuan memadukan kecerdasan individual dan sosial. Kemampuan memadukan antara kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual.

Menurut hemat saya, tanpa kecakapan memadukan hal di atas, mahasiswa akan menemukan jalan kesulitan dan bahkan jalan buntu. Melalui peroses penulisan Tugas Akhir, kita banyak belajar banyak hal, diantaranya mental harus kuat, sabar, dan ikhlas. Sabar konsultasi dengan pembimbing yang karakternya berbeda dengan kita selaku mahasiswa. Selain itu, dibutuhkan kemampuan merangkai kata dan kalimat baik secara tutur maupun tulisan. Juga termasuk belajar tidak baper 👽

Menulis karya ilmiah susah-susah gampang. Susahnya dua kali, gampangnya sekali. Tapi bagi mahasiswa yang senang tantangan selalu menyukai hal-hal baru. Mahasiswa yang senang diskusi belum tentu bagus dalam menuangkan ide melalui tulisan, apalagi tulisan ilmiah yang syarat dan prasayrat yang ketat alias rigid.

Mahasiswa tingkat akhir pada umumnya mengalami kesulitan menyusun Skripsi (tugas Akhir). Kesulitan yang sering di hadapi adalah:
  • Menemukan dan merumuskan masalah
  • Mencari judul yang efektif
  • Sistematika proposal dan sistematika skripsi
  • Kesulitan mencari literatur atau bahan bacaan
  • Kesulitan metode penelitian dan analisis data
  • Kesulitan menuangkan ide ke dalam bahasa ilmiah
  • Kesulitan dengan  standar tata tulis ilmiah
  • Takut menemui dosen pembimbing
  • Menyesuaikan waktu dengan pembimbing
  • Manajemen waktu dan mental lainnya yang kerap menghantui mahasiswa, dll.
Kesulitan-kesulitan tersebut pada akhirnya  akan  membuat stress, rendah diri, prustasi, kehilangan motivasi, menunda penyusunan skripsi dan bahkan ada yang memutuskan untuk tidak menyelesaikan skripsinya.

Kesulitan mendasar mahasiswa dalam menyusun Tugas Akhir adalah Kesulitan Menemukan Masalah Penelitian. Masalah hanya akan mudah ditemukan jika kita mempunyai kemampuan referensi (buku, jurnal, berita, data-data) yang bagus dan preferensi (kecenderungan) yang sesuai dengan bakat dan minat berdasarkan bidang studi masing-masing.

Saya senantiasa memberikan panduan singkat kepada mahasiswa bimbingan kami di Ekonomi Pembangunan FE UNM, yang daapat di download di Panduan Praktis Menyusun Proposal
Pembaca dapat melihat postingan kami sebelumnya 'Proposal Ekonomi" sedikit memberikan tips menulis karya Ilmiah. Salah satu contoh penulisan Proposal yang baik, Bab Pendahuluan, dan Bab Kajian Pustaka (Teori), dikutip dari karya Sabir (2015).

Nantikan postingan-postingan selanjutnya seputar kesulitan dan kegalauan mahasiswa dan bagaimana mengatasinya hingga sukses merengkuh gelar. Tapi modus belajarnya jangan karena gelar saja, jodoh juga boleh :) 👧👨

29/05/2018

“Every Economy is a Culture” dan Relevansinya dengan Doktrin Produktivitas

Mononton film pendek memang mengasikkan. Di dalamnya tersirat banyak simbol, makna dan pesan-pesan. Pada salah satu perkuliahan ekonomi internasional bagian integrasi ekonomi, saya lazimnya mendahului dengan pengantar cerita-cerita santai dan lucu, sebelum sesi menonton film pendek di kelas, judulnya why some countries are rich and the others are poor? Film ini menyiratkan bahwa perbedaan dalam mengoptimalkan tiga hal; institusi, budaya, dan sumber daya alam sebagai penyebab adanya perbedaan antar negara. Apa, bagaimana dan seberapa penting ketiga hal tersebut.

Sentilan Escobar dalam Encountering Development, "Every Economy is a Culture", menarik diselisik lebih jauh. Mengingat ekonomi adalah hal fundamental dalam hidup dan kehidupan manusia sepanjang sejarah. Selain itu, ekonomi kerap direduksi menjadi sekadar angka-angka statistik yang kaku. Data kuantitatif penting tapi belum cukup menjelaskan kompleksitas ekonomi.

Jika setiap ekonomi adalah juga budaya, hal ini bisa bersifat resiprokal bahwa setiap budaya adalah proses ekonomi, proses pemenuhan kebutuhan atau kesejahteraan. Ukuran kesejahteraan setiap individu tidak sama. Karena secara hakiki tidak ada manusia yang sama. Kita memang sama-sama manusia, tetapi secara personal bakat dan kapasitas setiap orang berbeda sejak ia lahir. Secara potensial mungkin sama, tetapi aktualisasinya beragam. Ada yang belajar puluhan jam tapi tidak paham-paham, ada yang belajar hanya sejam dapat memahami suatu pelajaran dengan baik. Itu bukan ketimpangan, tapi keragaman mengoptimalkan sumber daya. Tuhan telah menganugerahkan potensi panca indera, akal, dan naluri atau kemampuan batiniah. Kemampuan mengoptimalkan segala potensi tersebut meniscayakan kita berbeda dan beragam. Karena kita berbeda maka perlakuan juga berbeda, bahkan di depan hukum sekalipun semua orang sebenarnya tidak diperlakukan sama. Kenapa tidak sama, karena kasusnya beda, deliknya beda, orang-orangnya beda, itulah kenapa pengadilan kerap tidak mencerminkan keadilan. Karena sedari awal diksi gombalannya “semua orang diperlakukan sama di depan hukum” hampir dipastikan sulit dipenuhi. Keadilan salah satu topik yang sangat dinamis dalam berbagai bidang termasuk dalam kajian-kajian ekonomi.

Dalam Globalisme kehidupan kita digiring pada keadaan yang bersifat homogen. Selera musik sama, makanan sama, slogan sama, dan kemiripan-kemiripan lainnya.  Sadar atau belum sadar, infiltirasi kebudayaan dalam ekonomi global, sedikit demi sedikit menggeser ‘cita rasa’ budaya lokal suatu daerah atau negara. Apa yang dikonsumsi warga Eropa dan Amerika sejatinya dapat dinikmati pula oleh masyarakat lokal. Globalisasi menyediakan ruang-ruang hidup bebas yang sangat luas. Tetapi bukan kebebasan itu sendiri. Termasuk bebas mati kelaparan di pinggir jalan, bebas foya-foya, bebas mati karena kelaparan, keracunan, atau karena mati dibegal ditonton massa yang lebih fokus mengambil gambar daripada berusaha menolong korban. Globalisasi (ekonomi) bukan sesuatu yang alamiah, ia adalah serangkaian gerakan ideologi (kapitalisme) sistematis. Perpaduan pengusaha fan kartel global beserta institusi global (World Bank, WTO, IMF, dll), Kekuatan-kekuatan militer negara-negara tiran global, dan termasuk para intelektual penyebar dan pembela gagasan pasar bebas. Keempat serangkaian itulah yang menciptakan hegemoni global. Dalam terminologi Quran mereka adalah perpaduan Firaun, Qarun, Balam (teknokrat), dan Haman (intelektual), demikian istilah yang  digunakan Dimitri Mahayana dalam Berhala Globalisme. Mereka menciptakan sistem dominasi untuk mengeksploitasi sumber daya alam negara-negara lain.

Globalisme bisa jadi adalah sebentuk tirani. Fidel Castro pernah mengemukakan dengan lantang bahwa “The United States tyrannizes and pillages the globalized world with its political, economic, technological, and military might”. Faktanya, jika suatu negara tidak bisa ditaklukkan atau dijinakkan dengan kekuatan ekonomi dan politik, jalan terakhir adalah kekuatan militer (lihat kasus di timur tengah).

Homogenisasi, penyeragaman yang inheren dalam budaya globalisme boleh jadi sebentuk tirani. Setidaknya tirani psikologis atau tirani pemikiran. Meskipun terkesan hiperbolik, atau lebih tepatnya cara pandang globalisme telah menghegemoni kita. Efek lebih jauh dari sebuah hegemoni adalah membuat pihak-pihak yang terhegemoni rendah rasa percaya diri, bermental budak, dan cenderung menganggap apa pun yang berasal dari yang menghegemoninya adalah sesuatu yang baik yang harus ditiru dan digugu alias latah.

Semakin maraknya standar-standar global, standar-standar kompetensi, pengukuran indeks-indeks , dan ranking-ranking adalah upaya-upaya peningkatan kualitas dan standardisasi global. Hal ini sebagai prakondisi proses produksi dan integrasi global. Meskipun hal ini tidak fair. Saya sering bergurau, apa perbedaan mendasar antara Cambridge dan Universitas di Makassar? Ini jelas tidak mangga dengan mangga, satunya sudah ada abad yang lalu sedangkan UNM misalnya baru kemarin dapat akreditasi A. Akreditasi A (unggul) sudah pasti beda dengan unggulnya yang dipahami sebagai unggul yang sebenarnya. Misalnya para dosen “dipaksa” membuat jurnal internasional dengan level-level pembayaran yang bertingkat. Yang tak jarang membuat para dosen/peneliti lebih sibuk mengurusi administrasi penelitian daripada isi dan substansi penelitan itu sendiri. Tapi sebagai tahap awal okelah, dimana kita ‘dipaksa’ berlomba dengan mereka yang sudah lari duluan. Kita butuh tenaga ekstra kalau perlu konsumsi doping.

Standar-standar kompetensi yang kini marak dikampanyekan. Menjamurnya institusi-institusi penjamin standardisasi, baik swasta maupun milik pemerintah. Kehadiran institusi-institusi penjamin standar menyerupai massifnya lembaga-lmbaga survey dan pemeringkat kualitas bidang tertentu. Ia seperti sebuah industri tersendiri. Semua diupayakan demi dalih meningkatkan kualitas dan produktivitas. Faktanya, Mari kita cek, berapa banyak guru dan dosen yang sudah lulus uji kompetensi (sertifikasi) benar-benar kompeten dan mampu merangsang minat belajar siswa atau mahasiswa? Jawabannya ada di ruang batin kita masing-masing. Berapa banyak universitas, sekolah tinggi, dan progran studi yang berakreditasi unggul, tapi belum memenuhi standar minimal pelayanan konsumen (mahasiswa) dan juga civitas akademika. Inilah salah tantangan dalam perbaikan di bidang institusi (kelembagaan).

Tentang institusi, setidaknya ada tiga hal yang patut diperhatikan menurut North, yaitu formal rule, informal rule, dan force rule. Formal rule berkaitan dengan aturan-aturan formal yang tertulis. Informal rule berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan, tradisi, dan budaya dalam suatu organisasi/lembaga, termasuk dalam hal ini adalah “pamali”, yang umumnya tidak tertulis tapi disepakati atau diyakini untuk ditatati. Force rule, berkaitan dengan mekanisme reward and punishment untuk menegakkan aturan-aturan. Jika ketiga variabel institusi belum disatupadankan maka wajar-wajar saja kita masih tergolong ‘poor’. Sinkronisasi ketiga hal di atas akan menciptakan kualitas unggul dan akhirnya produktivitas dan inovasi. Namun yang paling adalah perubahan dan transformasi perilaku.

Saya meyakini bahwa tindakan atau perbuatan adalah refleksi dari pengetahuan kita. Kebiasaan konsumtif masyarakat, bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Iklan melalui berbagai media, pada berbagai saluran teknologi, bahkan setiap kedipan mata berseliweran iklan-iklan menjajakan produk untuk dibeli, beli, dan beli. Watak utama iklan adalah, mengubah desire menjadi seolah-olah needs. Watak tersebut membentuk mental. Mental konsumerisme adalah bentukan pasar, lebih tepatnya pelaku pasar yang kalah oleh mekanisme supply and demand. Pasar secara ekstrim hanyalah supply and demand, kalau kita bukan produsen, maka kita sudah pasti konsumen. Hanya rantai nilainya saja yang kadang panjang dan berbelit, sebagaimana birokrasi yang kompleks. Kini, Interaksi produsen dan konsumen bergeser lebih singkat dan praktis karena kemajuan pemikiran dan kebudayaan manusia melalui teknologi.

Teknologi menghadirkan cara baru berinteraksi. Teknologi adalah proses berkebudayaan. Ia melahirkan kebiasaan-kebiasaan baru, kebiasaan ini lama kelamaan akan menjadi tradisi dan akhirnya terbentuklah kepribadian. Kepribadian yang menular dan massif akan menciptakan budaya komunitas. Dalam mode produksi kapitalisme lanjut pun mengalami perubahan, entah karena perubahan dari dalam atau perubahan dari luar. Disrupsi, yaa hampir semua sisi kehidupan terdisrupsi oleh kamajuan teknologi. Dalih utamanya semua untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas kehidupan.

Dalih efektifitas dan efisiensi kadang seperti bahasa langit yang sulit membumi. Kenapa prinsip dalam ekonomi tersebut teramat sulit untuk dibudayakan. Meskipun ia diklaim sebagai nilai kapitalisme. Tetapi jauh sebelum cara pandang kapitalisme atau liberalisme ekonomi mendominasi kampus-kampus kita, pendahulu kita sangat piawai memerankan hidup dengan efektif dan efisien. Efisien dalam artian tidak boros, efektif dalam arti memanfaatkan semua sumber daya secara penuh untuk mencapai hasil optimal. Atau sederhananya hiduplah secara produktif. Barang siapa yang hidupnya lebih baik dari hati kemarin maka ia adalah orang beruntung, jika sama ia rugi, dan jika hari ini lebih buruk dari hari kemarin, ia celaka. Ini adalah doktrin-doktrin produktifitas. Doktrin lainnya, manfaatkanlah masa mudamu sebelum datang masa tuamu, manfaatkan sehatmu sebelum sakit. Dan, doktrin yang paling monumental adalah Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum kalau bukan ia sendiri yang berusaha merubahnya.

Dalih dan doktrin di atas belum sepenuhnya terserap pada setiap batin-batin kita, termasuk penulis. Kata-kata belum searah dengan aksi, taro ada taro gau masih sebatas slogan, satunya kata dan perbuatan masih sekadar lipsing. Pengetahuan belum menjadi ‘pengetahuan seutuhnya’ yang mewujud dalam setiap tindakan. Pengetahuan kita masih sebatas ceceran-ceceran kata-kata yang hampa nilai “mistis”, nilai yang mampu menggerakkan para penganutnya.

Secara hiperbolik saya ingin menyebutkan setiap kata atau istilah adalah pesan-pesan ideologis. Ideologi dalam pandangan Murtadha Mutahhari adalah sesuatu yang menggerakkan para pengikutnya, sesuatu yang mampu mentransformasikan diri para pendukungnya. Bukan Ideologi sebagaimana yang dipahami Marx  sebagai sesuatu yang datangnya eksternal, ilusif dan melahirkan kesadaran palsu. Ia adalah sesuatu yang inheren dalam diri setiap orang, makanya tindakan setiap orang tidak sama, karena kamampuan dan bakatnya untuk mengeksplorasi cara pandangnya yang berbeda. Mindset bisa jadi kata lain untuk menggambarkannya, ia bukan sekadar alam ide, ia adalah aksi sekaligus. Oleh karena setiap kita berbeda, maka biarkanlah setiap orang, daerah, negara benar-benar bebas mengelola dirinya sendiri berdasarkan local genius masing-masing. Teori-teori ekonomi yang sukses di eropa dengan keadaan geografis serba dataran, kondisi ruang dan budaya yang berbeda sudah bisa dipastikan gagal diterapkan di negara kepulauan. Rumus sederhanya ATM (Amati Tiru dan Modifikasi) bukan sekadar copy paste kebijakan negara maju ke negara berkembang. Salah satu ciri negara berkembang atau terbelakang dapat dilihat pada saat macet, atau perempatan lampu merah. Itulah cerminan paling kasat mata suatu masyarakat yang terbelakang.

Upaya menstrukturisasi dan menyeragamkan cara pandang terhadap apa pun justru membuat hidup kadang tidak produktif. Jika tidak produktif tidak inovatif. Justru doktrin kebebasan untuk berbedalah yang kerap memicu produktifitas. Berpikirlah bebas niscaya kamu akan menemukan dirimu dna Tuhanmu. Kira-kira demikian pelajaran dari kasus Nabi Ibrahim dalam pencarian Tuhannya. Setiap individu diberikan jatah sumber daya waktu yang sama 24 jam/hari tetapi sungguh masih banyak yang lalai dengan waktunya masing-masing. Mengapa kampus atau sekolah, institusi pendidikan atau pemerintah di negara kita pada umumnya tidak produktif? Bisajadi karena, kita tidak terbiasa dengan tradisi-tradisi yang berbeda dengan kebiasaan kita. Inginnya itu-itu saja, yang penting damai. Keberagaman memicu dialektika, dialektika dapat merangsang nalar, asalkan tidak baper. Bukankah pelangi indah karena warna-warninya.

Upaya memenuhi kebutuhan (upaya ekonomi) adalah juga proses berkebudayaan maka seluruh standar-standar yang telah menjadi kesadaran massif, mungkin perlu didekonstruksi. Misalnya, kenapa definisi standar kemiskinan tidak ada yang sama, bahkan banyak versi, ada versi konsumsi 2$, 1200 kkalori per hari, dll? Karena sejatinya kemiskinan ataupun kesejahteraan adalah persepsi personal yang coba distandardisasi. Standar-standar umum atau (katanya objektif) dicoba dipadupadankan dengan standar subjektif. Sudah pasti ada konflik dan distorsi. Upaya mendorong ukuran kesejahteraan berbasis komunitas perlu senantiasa digelorakan. Standar kesejahteraan warga pantai, dataran rendah, dan dataran tinggi, kota-desa umumnya beda.

Von Mises mendefinisikan ekonomi sebagai logika tindakan. Alat analisisnya disebut Praxiology. Dalam logika tindakan terdapat tiga hal; alat, cara, dan tujuan. Besi orang Papua, besi dapat dijadikan tombak atau mata panah, bagi Amerika bagus dibuat senjata. Kedua alat tersebut dapat dijadikan media untuk membunuh, tapi caranya sudah tentu beda. Demikian pula jika kita ingin makan, sejahtera, lulus kuliah, sarjana dst. Tujuannya bisa sama, tapi alat dan caranya berbeda. Logika tindakan ini menyiratkan keberagaman cara untuk mencapai tujuan. Dalam cara pandang demikian pengikut Mises, Mazhab Austria menolak cara pandang John Locke yang emipiris, yang pada perkembangan mutakhirnya ‘menuhankan’ data-data statistik. Dampaknya cara pandang tersebut mereduksi kenyataan.

Keterasingan diri memahami logika tindakan kita masing-masing berdampak pada rendahnya produktivitas dan inovasi. Kenapa rendah? Karena dalam logika tindakan terdapat aksi dan refleksi. Apa yang telah dilakukan akan direfleksikan secara berkesinambungan, ada perbaikan secara terus menerus dan berkelanjutan. Sehingga kebiasaan meniru-niru dan latah tidak menjadi kebiasaan kita. Misalnya, ketika seorang Photografer berhasil mempopulerkan wisata “Negeri di atas Awan” di Toraja Utara, hingga menjadi objek wisata alternatif. Daerah lain pun ketularan mengekpose tempat-tempat yang serupa. Kebiasaan latah pun merebak pada hampir semua hal. Latah tentang #Hastag, latah tentang #pilpres, dan lain-lain latah boleh jadi adalah budaya orang-orang/komunitas yang malas bernalar dan berkontemplasi.

Saya tidak tahu harus mengakhiri bagaimana tulisan ini. Banyak pihak yang menginspirasi tulisan ini, WAG literasi Bantaeng, anak-anak Praxis_Comm, Mutahhari, Marx, Mises, mahasiswa Ekonomi Pembangunan UNM, dll. Namun pemicunya adalah buku Escobar Encountering Development. Pembangunan, pernah menjadi anak emas di negeri ini, di era Suharto, para teknokrat pembangunan melesatkan ide-idenya dalam penerapan pembangunan oleh “Bapak Pembangunan”, namun saya tidak tahu siapa “anak Pembangunan”. Para kritikus sosial pun mengkritik dan bahkan mencibir “Pembangunan” sebagai biang kerok kerusakan alam, penggusuran, ketimpangan, dll. Kalau pernyataan ini diterima, semakin nyata kalau kata memang adalah senjata. Oleh karena itu untuk menimpali cibiran ‘pembangunan’. Menarik merenungkan ungkapan Armatya Sen, Pembangunan adalah pembebasan, Pembangunan harusnya membahagiakan. Nah, apakah Anda sudah bebas dan bahagia?

 Sumber gambar: iebschool

@alamyin, dimuat pertama kali di Kalaliterasi.com

02/04/2018

Bahan Ajar #ep FE UNM

Bahan Ajar Ekonomi Pembangunan


Sejak pertama kali mengajar di Ekonomi Pembangunan FE UNM Makassar,  saya senantiasa berupaya menerapkan pembelajaran yang berorientasi pada proses dialogis. Berdasarkan pengalaman yang diperoleh di organisasi nirlaba dan eksternal kampus, saya meyakini bahwa pembelajaran yang menarik jika mahasiswa memahami manfaat suatu pelajaran. dalam istilah Hernowo AMBAG "apa manfaatnya bagiku", Awalnya saya menerapkan model pembelajaran apresiatif dan kolaboratif, yang memosisikan mahasiswa sebagai subjek pembelajaran dan mempunyai aset positif untuk dikembangkan.

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi semakin memudahkan menerapkan pembelajaran yang berbasis pada mahasiswa. Dengan memanfaatkan film pendek motivatif  seperti: (The Tree-India),  video pendek TedX (Rita Pierson tentang Pendidikan), dan iklan kreatif (Heineken), dan Iklan Volkswagen "Theory of Fun" yang menginspirasi. Hal tersebut efektif memberikan wawasan dan pemahaman pada mahasiswa bahwa sumber belajar dan media belajar sangat luas dan beragam.  Bahkan materi kuliah atau diskusi yang alot dalam proses belajar sering kali mereka diskusikan sampai di luar kelas, ketika jam pelajaran selesai. 

Meskipun bahan ajar relatif mudah diperoleh, namun akan lebih baik apabila bahan tersebut terintegrasi dengan tujuan pembelajaran. Adapun beberapa bahan ajar yang pernah kami susun, dapat didownload pada link berikut:
Bahan di atas sebagai pemantik pembelajaran dan akan di update secara berkala sesuai perkembangan dan dinamika pembelajaran.

Sumber Gambar: nmbu.no

Sincerely alamyin
 

08/10/2017

PASAR HOAX DAN "SAKAU" KEKUASAAN




Media Sosial (medsos), kini menjadi medan perang kata (wacana). Satu pihak melancarkan serangan kepada pihak lain, yang lainnya pasang kuda-kuda untuk melakukan counter-attack. Medos awalnya adalah media berbagi informasi, diskusi, dan berkolaborasi. Kini bermetamorfosis menjadi alat propaganda yang powerfull. Benturan kepentingan akan menyeret pihak-pihak yang terlibat untuk melakukan apa saja demi mencapai tujuan. Apa, dan siapa yang terlibat dalam transaksi Hoax? Elegankah melawan Hoax dengan Hoax? Dan apa relevansi pesan Agama, telah dibutakan mata, telinga, akal dan hatinya untuk menerima kebenaran? 

Hampir setiap peristiwa, khususnya yang berpotensi menimbulkan konflik selalu disertai dengan pasar Hoax. Kata hoax sendiri muncul pertama kali dari sebuah film yang berjudul  The Hoax, film drama Amerika 2006 yang disutradarai oleh Lasse Hallström. Sederhananya Hoax adalah  kata yang berarti ketidakbenaran suatu informasi, mengandung tipuan dan kebohongan. Kebohongan sendiri sudah ada sejak masa manusia pertama hadir ke bumi. 


Dua Rezim Utama

Saya teringat bulan lalu, perjalanan di Jakarta, dari blok M ke Bundaran HI, sopir moda transportasi online berujar ke saya, "Mas, di Indoneaia ini hanya ada dua perang kekuatan politik, pro keluarga atau ide-ide Sukarno dan pro Suharto". Terkesan reduksionis tapi banyak benarnya. Sembari menyetir, dia melanjutkan ceritanya. Lihat saja mas, mantan-mantan presiden. Pak Habibie, Gusdur, Mega, dan Jokowi lebih pro Sukarno, selainnya pro kubu sebelah. 'Piye kabare, enak jamanku toh'. Demikian pengikut Suharto mereproduksi ‘post power sindrom-nya’.

Ada banyak isu yang dengan mudah membuat kita terbelah dalam dua kutub kekuatan politik. ‘Penggorangan’ isu Sunni-Syiah, Ahok, Suriah vs Koalisi Arab Saudi, hingga persoalan remeh temeh seperti model rambut Jokowi pun tak luput dari perang sosmed. Isu terakhir adalah soal Hoax terbesar Orde Baru film G.30 S/PKI. Isu yang menunjukkan betapa kealpaan pengetahuan pihak anti komunis, hingga membuat meme, Komunis sama dengan Liberal. Sejak kapan komunis jadi liberali? 

Gempuran Hoax melalui produksi dan reproduksi teks tidak tepat diatasi dengan indoktrinasi. Apalagi indoktrinasi sekadar menguatkan status quo. Hal tersebut hanya akan menyebabkan individu dan masyarakat terjerambab dalam lubang sumur kebodohan. Sekaligus sejenis malpraktik. Melawan kebohongan hanya bisa dengan tidak melakukan kebohongan apalagi mereproduksinya. Bagi Rocky Gerung, Hoax adalah tantangan kritis bagi nalar publik. Menurutnya, Hoax hanya dapat dilawan secara efektif melalui Literasi (tradisi baca, diskusi, dan menulis).

Sepertinya perlu direnungkan bahwa, setiap text pasti tidak terlepas dari konteks (peristiwa yang dipengaruhi oleh setting aktor, waktu, tempat dan budaya). Dan terakhir interpretasi atas text dan konteks. Siapa yang paling berhak menafsirkan teks dan konteks? Jangan cari jawabannya pada kubu penguasa. Carilah pada siapa pun yang tidak terlalu ‘menggilai kekuasaan’. Meskipun menafsirkan sesuatu adalah juga sejenis kuasa. Setidaknya ada penguasaan pengetahuan (otoritas keilmuan) bukan atas kekuasaan karena lembaga atau institusi (misalnya Negara). Kenapa? Karena yang berkuasa paling berpeluang membuat hoax dengan piawai.
Tapi kini, di era 'banalitas informasi' kekuasaan bisa menyebar pada siapa saja. Tapi tetap saja negara (penguasa) paling punya potensi terbesar. Nah, atas perang text dan penafsiran yang terjadi. Tuhan telah lebih awal mengantisipasinya, melalui seruan Bacalah. Bacalah dengan panca indera, pahami dengan akal, dan terakhir yakinkan dengan hati, untuk dan atas nama Tuhan. Medan perang kedua Rezim di Indonesia yang makin luas dan kompleks, kerap mengabaikan seruan tersebut.

Hoax alat Indoktrinasi
Perang text bisa mencerdaskan asalkan di dalamnya ada proses berpikir, ada dialektika dalam diri, yang bisa berakhir pada saling membijaksanai perbedaan.  Pada titik ini, perbedaan akan menjadi rahmat. Selainnya adalah bencana dan malapetaka. Bencana terbesar manusia adalah ketiadaan pengetahuan, kealpaan belajar pada diri yang akan menyeret pada fanatisme tak berkesudahan, ibarat sinetron yang sulit menemukan episode akhir yang elegan.

Perang wacana dalam era 'banalitas informasi' adalah sejenis ideologisasi. Entah ideologi A, B, C, 1, 2 hingga 2019. Ideologisasi penting untuk menjaga kepatuhan. Slavoj Zizek telah memberikan formula, bahwa ideologisasi selalu terjadi tiga hal. Indoktrinasi, Kepercayaan (belief), dan ritual. Perang wacana adalah tahap awal membangun indoktrinasi, memberikan informasi secara berulang agar melekat dalam alam bawah sadar. Yang setiap saat mudah dipanggil. Jika sudah demikian maka kepercayaan akan terbangun dan akhirnya seluruh ritual akan diarahkan untuk menyokong doktrin-doktrin yang sudah tersimpan rapi dalam alam bawah sadar. Efek lebih jauh dan tragis adalah kecanduan akan doktrin tersebut dan akhirnya 'sakau' kekuasaan. 

Setidaknya Hoax mengajarkan kita sejenis gejala penyimpangan berpikir yang anti kausalitas. Model beripikir atas dasar dalil Pokok, pokoknya kalau bukan ‘anu’ salah. Pokoknya semua salah jokowi. Jika Anda menemukan ciri-ciri tersebut, mungkin telah overdosis pil c-PCC atau sejenis calon Presiden Cuma Cumi. Si penderita 'Sakau' kekuasaan akan mencari, mengakumulasi dan memanfaatkan informasi apa saja untuk memuaskan kesakauannya. Waspadalah.

*) Tulisan ini pernah dimuat di Tribun Timur Edisi Jumat 29 September 2017
**) Staf pengajar di Fakultas Ekonomi UNM Makassar

Sumber gambar: Visualcapitalist.com   Fallacy

09/07/2017

ADA APA DENGAN ISTILAH "PARENTA" KANDA?

ADA APA DENGAN ISTILAH "PARENTA" KANDA?
Seminggu terakhir, tepatnya usai lebaran 25 Juni 2017. Kosakata "parenta" seperti virus  yang menggejala di kepalaku, bahkan sebagian besar pikiran 'kaum muda". Setidaknya 5 orang yang saya say hei.. dalam rentang tersebut, mereka membalas sapaan yang memuat kosakata ada 'PARENTA (Perintah)', siaaap menunggu "PARENTA". Rentangan usia teman saya itu berkisar 25-30an tahun lebih 😃. Masa ranum-ranumnya, masa aggresifnya, mestinya.

Saya pun kadang imut-imutan, amit-amitan dan ikut-ikutan menjadikannya lelucon menggunakan istilah tersebut. Meskipun tanggapan saya pada kelima teman tersebut berseberangan dengannya. Saya hanya tanya kabar ko', ada yg balas ADA PARENTA. Spontan sy jawab sejak kapan ko sy pernah perintah. Ujar saya pada kawan lama yang pernah tidur se-sofa di PKM kampus UNM Parang Tambung. Entah alam sadar atau alam bawah sadar yang memengaruhi pita suaranya atau jempolnya untuk mengeluarkan ekspresi spontan "PARENTA".

Menurut hemat saya, tidak susah untuk menelisik memvirusnya istilah tersebut. Saya sepakat dengan teman saya Jalaluddin Rumi Prasad, apakah benar kita yang menggunakan facebook (jejaring sosial lainnya) atau kah mereka yang telah berhasil memanfaatkan kita? Pertanyaan filosofis yang ringan, tapi susah dijawab dengan jawaban yang menyehatkan pikiran. Karena faktanya setiap sistem pasti dibangun dengan algoritma. Inilah salah satu sumbangan terbesar Al khawarizmi, lidah orang barat memplesetkannya jadi algorithm. Apakah istilah 'parenta' adalah sebuah bangunan kesadaran atau alam bawah sadar kolektif yang telah menginvasi pikiran-pikiran kita.

Well, istilah tersebut sudah pasti lahir dari suatu sistem komunikasi pada suatu komunitas tertentu. Biasanya pada komunitas yang sangat hirarkis-lah yang sangat akrab dengan kosakata "perintah". Institusi militer, bahasa mesin (pemrograman) dll. Intinya mempertegas adanya relasi kuasa dan menguasai. Bagi Foucalt, kontrol kekuasaan berdasarkan pada kuasa wacana atau kuasa pengetahuan. Tidak jauh berbeda dengan Filosof Francis Bacon Knowledge is Power. Lewat pengetahuan kekuasaan dapat menyebar dengan cepat pada setiap tingkatan. Siapa yang menguasai wacana dialah yg sesungguhnya berkuasa.

Mari kita cek, kira-kira siapa-siapa dan pada komunitas apa yang amat akrab dengan kosakata 'Parenta'. Sedekat pemantauan saya, istilah tersebut populer dilantunkan oleh antek2 kekuasaan lapis kedua-lapis paling bawah. Ring satu tim sukses sampai tukang pasang spanduk dan baliho para kandidat-kandidat penguasa.Yaa istilah ini populer pada segerombolan tim sukses bakal calon kandidat. Ini subjektivitas saya, suatu istilah yang diadaptasi dari model kekuasaan yang cenderung absolut, dan tentulah kita hampir sepakat penuh pada Lord Acton, Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut sudah pasti korup. Saya sepakat 100 persen dengan Lord.

Menurut hemat saya, fenomena ini tidak berdiri sendiri. Fenomena latah meniru tanpa koreksi terhadap hal apapun termasuk 'kosakata' sekalipun adalah wujud betapa tidak kreatif dan progresifnya kita. Otak kita seolah didesain seperti mengikuti perintah algoritma facebook untuk membagikan apa yang kita pikirkan. Berdasar pada kecenderungan2 itulah orang cenderung diberikan sugesti pertemanan yang kira2 hampir sama dengan kecenderungan kita, selaku user. Maka apa jadinya kalau hampir semua teman kita adalah se-ide, se-kosakata, se-iya dan se-tidak. Dunia kita pasti akan sempit. Itu itu tonji dibicarakan, itu-itu saja yang di bahas. Akibat lebih jauh kita amat gampang tersulut emosi , terbawa perasaan. Oleh karena sebuah sistem telah berhasil menyempitkan cara pandang kita. Media sosial yang semestinya meluaskan cara pandang tapi terperangkap dalam sumur paling dalam kesempitan "PARENTA KANDA".

JADI, amat sangat wajar jika konflik, mobilisasi, dan memobilisasi konflik dan kerusuhan begitu mudah kita jumpai. Lihatlah konflik2 di sekitar kita berada, di sekolah, di kampus, di kantor, di pangkalan ojek, di tempat hiburan, di pusat keramaian. Senggol sedikit 'Bacot'. Berbeda sedikit 'musuh' ' bunuh' dan seterusnya. Mental kita sudah hampir terpola pada kanal-kanal yang sempit, yang kadang lebih rendah dari otak reptil. Otak reptil, ibarat oposisi biner, reptil yang kagetan hanya punya dua pilihan, menyerang atau kabur.

Sehingga apa yang terjadi, kita lebih sibuk membicara orang, calon, kandidat (1), membicarakan peristiwa-peristiwa (2), dan membicarakan ide-ide besar (3). Kalimat penutup di atas saya adaptasi dari Eleanor Rosevelt. Poin 1,2, 3 adalah hirarki kekuatan berpikir kita. Kualitas berpikir yang paling tinggi, tentu membicarakan ketiganya sekaligus. Membicarakan orangnya, peristiwa, plus ide-ide besar yang dibangunnya. Dan menunggu perintah boleh jadi ada pada poin (-9). 
Wallahu A'lam Bissawab.

#Salam, dari lubuk hati Alam yang paling dalam, yang masih belajar untuk tidak ma'parenta'.
Syamsu Alam.

14/04/2017

Kolaborasi Membangun Kampus WCU, Mungkinkah?

Syamsu Alam

Sejak kapan kosakata ‘Kolaborasi’ menghipnotis berbagai orang? Demikian pula frase World Class  University (WCU) seolah frase ‘wajib’ disampaikan pada setiap sambutan di berbagai kampus? Mungkinkah kampus-kampus di Makassar mampu bersaing dan sejajar dengan kampua-kampus bertaraf internasional seperti UI dan Cambridge? Entahlah, mari dicek kemungkinannya ☺


Tentang mantra Kolaborasi dan WCU

Beberapa tahun terakhir tepatnya akhir 2006, perguruan tinggi di seantero nusantara bahkan di seluruh dunia berpacu mewujudkan WCU. Cita-cita tersebut ibarat ‘piala’ yang bisa direngkuh oleh setiap kampus yang berdaya saing tinggi dan memenuhi berbagai standar-standar sebagai WCU. Diantaranya akreditasi internasional, sebuah pengakuan terhadap kemampuan yang memiliki desain dan kemampuan mencetak lulusan yang berdaya saing internasional; kualitas pendidikan; kualitas pengajaran; dan infrastruktur perguruan tinggi. Para petinggi kampus menilai hal ini tidak mungkin dilakukan sendiri.
Kolaborasi kian populer menjelang Revolusi Industri keempat versi World Economic Forum (WEF),  Sebuah revolusi baru ekonomi yang berbasis dan didorong oleh kemajuan teknologi digital.  Pemicu utamanya bergesernya mode of production dari input modal fisik yang dominan ke input modal non-fisik (ide dan kreativitas), pemanfaatn input tersebut menjadikan berbagai perusahaan dan organisasi meraih sukses di pentas regional maupun global. Keberhasilan beberapa organisasi menjadi pemenang dengan strategi "Kolaborasi".  Organisasi  atau komunitas yang sukese diantaranya adalah Wikipedia, Facebook, Skype, Goldcorp, Linux, P&G dll.

Don Tapscott penulis The Digital Economy  dan Wikinomics,  mengungkapkan bahwa awalnya "Kolaborasi Maya"  yang dilakukan oleh para netizen,  programmer,  youtuber dan lain-lain adalah semacam gerakan massif sebagai anti-tesa atas dominasi perusahaan-perusahaan raksasa yang menguasai media dam teknologi publikasi mainstream. Bahkan kerap dikatakan sebagai "komunisme gaya baru".  Tetapi para aktivis "Kolaborasi Maya" tetap memacu kreativitas dan berinovasi tiada henti tanpa terpengaruh dengan stigma komunisme gaya baru.  Misalnya Linux, yang awalnya hanyalah proyek "gotong-royong" dimana para programer berjejaring,  berbagi source code,  sharing pengalaman hingga akhirnya bisa bersaing dengan Microsoft atau Mac. Padahal tidak ada perusahaan yang menaunginya,  toh,  bisa menjadi pemain dan menguasai pangsa pasar dalam dunia Sistem Operasi. Hal yang sama terjadi pada perusahaan dan organisasi yang melakukan "Kolaborasi".
Dibalik mantra “Kolaborasi” tersirat semangat kemandirian, kerjasama sekaligus semangat berkompetisi melawan dominasi korporasi raksasa. Hal yang lebih penting dalam kolaborasi adalah praktik saling berbagi,  saling percaya, dan transparansi.

Kolaborasi dan Feodalisme di Perguruan Tinggi

Berdasarkan sudut pandang perencanaan,  kalaborasi dapat diidentikkan dengan proses,  dimana inputnya adalah Mahasiswa,  Dosen,  Pegawai,  Satpam, Stakeholder dan shareholder yang terkait dengan pengguna jasa dan produk (output)  perguruan tinggi. Produk perguruan tinggi bisa berarti lulusan sarjana dan pascasarjana atau hasil kajian dan penelitian yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat,  perusahaan,  atau pemerintah dalam menyusun kebijakan. Dimensi dampaknya (impact) adalah apakah produk tersebut dimanfaatkan sesuai kompetensinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kemandirian bangsa. Jika Kolaborasi dimaknai seperti ini maka Tri Dharma Perguruan tinggi: pengajaran berlangsung demokratis, penelitian yang berkualitas karena dikerjakan dengan prinsip-prinsip kolaborasi (kerjasama, saling percaya, dan transparan) dan pengabdian pada masyarakat bisa lebih bermanfaat, dan tepat sasaran.  Kolaborasi akan mampu mewujudkan sinergi antar civitas akademika yang pada akhirnya terwujud kampus  sebagai "Center of Excellence". Tentu dengan berbagai konsekuensi dan perbaikan sistem kelembagaan yang mempraktikkan prinsip-prinsip kolaborasi.

Cerita sukses tentang organisasi/komunitas yang menerapkan Kolaborasi "Massif" sudah sangat banyak. Komunitas tersebut berani mentransformasikan sistem manajemennya.  Organisasi yang awalnya menerapkan manajemen vertikal,  model hirarkis yang ketat,  berdasarkan komando,  perintah atasan,  dan standar operasional yang sangat kaku dan mekanistik,  dapat menyebabkan bawahan terkena sindrom ABS (Asal Bos Senang). Dengan Kolaborasi, gaya tersebut ditransformasi menjadi Organisasi dengan sistem manajemen horisontal,  terbuka, komunikasi lebih cair,   fleksibel,  penuh ruang improvisasi bagi siapapun yang terlibat didalamnya. Dalam konteks perguruan tinggi, sistem seperti ini membuat jarak antara pejabat Universitas,  Fakultas,  Jurusan dan Prodi dengan yang bukan pejabat seperti dosen (pengajar semata),  pegawai dan mahasiswa bisa dianggap tidak berjarak dan lebih terbuka.

Konsekuensi lebih jauh akan menghancurkan tatanan struktural feodalisme,  entah feodalisme keturunan "karaeng",  “raja”,  "puan", “andi” atau feodalisme keilmuan "professor" dan bukan professor yang kerap menjangkiti perguruan tinggi.  Tentu saja hal ini adalah alamat baik buat atmosfer akademik,  dimana setiap civitas akademica adalah subjek dan ilmu pengetahuan adalah objeknya.

Konsekuensi selanjutnya,  setelah struktur feodal runtuh,  maka akan tercipta kesetaraan,  ruang-ruang dialogis antar civitas akademika dan stakeholder makin luas.  Dan pada akhirnya demokratisasi kampus dapat terwujud. Apakah semudah itu?  Tentu tidak.  Tapi yang pasti jika Kolaborasi telah menjadi kosakata pamungkas bagi sebagian besar petinggi kampus, maka semestinya prinsip-prinsip kolaborasi menjadi tonggak-tonggak pengelolaan perguruan tinggi.

Kolaborasi:  Lipsing atau Inisiasi Masa Depan

Harapan terbesar kita sebagai masyarakat biasa pada para pemimpin perguruan tinggi dan kementerian pendidikan tinggi adalah satunya kata dan perbuatan atau dalam terminologi kampus adalah “kejujuran ilmiah”. Kolaborasi laiknya diperlakukan tidak seperti liberalisasi pasar,  karena dalam liberalisasi menyimpan potensi laten ketimpangan dan penindasan bagi yang tidak punya akses dan asset pada sumber daya dan kekuasaan.  Apalagi Negara kita adalah Negara berkembang dengan berbagai universitas masih terbelakang. Hayward (2008) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa di Negara-negara berkembang diperlukan perubahan yang mendasar, yaitu perubahan mental atas keinginan mewujudkan WCU. Yaa, perubahan mental. Merubah mental para pemimpin yang hirarkis dan kaku menjadi horisontal yang lebih terbuka bukan perkara mudah. Kolaborasi tentulah memuat prinsip  pro-konsumer, tersedianya perpustakaan besar untuk berbagi sumber-sumber pengetahuan, terciptanya transparansi sebagaimana "kolaborasi maya"  berbagi source code. Prasarat utama membangun kampus adalah menyuburkan pikiran kolaboratif bukan pikiran kolutif dan koruptif.




20/02/2017

Analisis Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan dan Dampaknya terhadap Kemiskinan di Sulawesi Selatan


Analisis Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan Dan Dampaknya Terhadap Kemiskinan di Sulawesi Selatan

ABSTRAK

Syamsu Alam. Analisis Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan dan Dampaknya terhadap Kemiskinan di Sulawesi Selatan
(dibimbing oleh Madris dan Sultan Suhab)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengeluaran pemerintah pusat dan daerah bidang pendidikan terhadap kemiskinan di Sulawesi Selatan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui mutu SDM dan pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini dilaksanakan di Sulawesi Selatan dengan unit analisis Kab/kota. Pengumpulan data dilakukan melalui survey literature berupa data sekunder (panel data) tentang pengeluaran pemerintah (pusat, provinsi, kab/kota) di sektor pendidikan, Mutu Sumberdaya Manusia (SDM), Pertumbuhan Ekonomi, dan kemiskinan, tahun 2006-2012. Data dianalisis secara deskriptif dan bersifat kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan hubungan fungsional,  mutu SDM berpengaruh lebih besar  daripada  pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan kemiskinan dan pengeluaran pemerintah kab/kota lebih berpengaruh melalui mutu SDM daripada melalui pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan. Dari sisi pengeluaran pemerintah (pusat, provinsi dan kab/kota) bidang pendidikan. Pengeluaran pemerintah kab/kota bidang pendidikan yang lebih besar dan cenderung meningkat lebih memberikan efek terhadap peningkatan mutu SDM dan pertumbuhan ekonomi serta mereduksi kemiskinan daripada pengeluaran pemerintah (pusat dan provinsi) yang fluktuatif.

Kata Kunci: Pengeluaran pemerintah bidang Pendidikan, mutu SDM,  Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan

"Download : Tesis_Alam: Analisis Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan dan Dampaknya Terhadap Kemiskinan di Sulawesi Selatan"

Thanks to:
  1. Dr. Madris, DPS., SE.,M.Si dan Dr. Sultan Suhab, SE.,M.Si. Selaku pembimbing yang senantiasa memberi bimbingan di waktu senggang ataupun sibuk, senantiasa mengoreksi dan mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini.
  2. Bapak Dr. Paulus Uppun, SE.,MA., Dr. Abd. Rahman Razak, SE.,MS dan  Dr. Agussalim, SE.,M.Si selaku penguji yang telah banyak memberikan koreksi dan saran yang konstruktif demi kesempurnaan tesis ini.
  3. Bapak Dr. Agussalim, SE.,M.Si selaku ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan yang senantiasa memberikan motivasi bagi penulis untuk dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
  4. Bapak/Ibu Dosen Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan (EPP) UNHAS yang senantiasa melibatkan kegiatan di P3KM Unhas diantaranya Bapak Abdul Majid Sallatu, Dr. Agussalim, SE.,M.Si., Dr. Sultan Suhab, SE.,M.Si, dan Dr. Nursini, SE.,MA yang senantiasa memberi tauladan disiplin, pelajaran praktis dan teoretis serta pengalaman melalui berbagai kegiatan dan penelitian.
  5. Bapak Prof. Dr. H.M Idris Arif. M.S selaku Ketua Yayasan STIEM Bongaya, senantiasa memberi saran dan nasihat agar tetap fokus pada studi.
  6. LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan)  Kemeterian Kemuangan Republik Indonesia yang telah memberikan biaya penelitian Tesis.
  7. Kepada Bapak Kepala badan Penelitian dan Pengembangan Keuangan Daerah Sulawesi Selatan, Kepala BPKD Sulawesi Selatan, Kepala Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan, dan Kepala BPPS Sulawesi Selatan, yang telah memberikan izin dan akses terhadap data-data penelitian yang penulis butuhkan.
  8. Kapada kedua orang tua, saudara-saudara yang senantiasa mendoakan agar tetap sehat dan dikarunia kekuatan melakukan setiap aktifitas.
  9. Teman-teman seperjuangan di Program  Studi Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan Angkatan 2011, kalian adalah teman diskusi yang baik dan bersahaja.
  10. Rekan-rekan di P3KM Unhas, Afif, Chali, Wahyu, Tami, Indra, dan spesial untuk ka’ Gego yang telah sharing pengetahuan ”Vibrant Presentation”.
  11. Teman-teman Studi Klub, Smart English Camp; Andi Karman, Fandi, dll.
  12. Semua kru di Titik9 Desain Printing, atas doa dan kebersamaannya dalam proses penyelesaian tesis ini.
  13. Akhirnya ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian tesis ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih perlu penyempurnaan. Oleh karena itu, penulis mangharapkan masukan dari seganap pembaca dengan prinsip 3K. Kritis, Konstruktif, dan disampaikan dengan Kasih sayang.  Wallahu A’lam Bissawab.

AROMA EMPIRISME PARA PEMBELA AJARAN (T)UHAN



Berselancar di media sosial, setidaknya memberikan beberapa manfaat. Diantaranya dapat bersilaturrahmi dengan teman lama dan berbagi cerita suka dan derita dengan daftar teman. Selain itu dapat melatih kesabaran menahan diri, tetap hening dan terjaga dalam keriuhan "Bom Informasi". Manfaat lebih jauh dapat menggambarkan REFERENSI, PREFERENSI, dan INTERPRETASI yang diikuti (dipilih) oleh seseorang.

Tulisan ini adalah refleksi diri dan teman-teman yang di ruang-ruang komentarnya dijejali dengan aroma-aroma interogasi. Interogasi atas status dan tweet yang berujung pada pemaksaan kesepahaman serta pilihan keyakinan si interogator. Mereka seperti pasukan pemusnah, yang bisa datang kapan saja di status-status atau postingan kita. Tiba-tiba datang dengan secuil referensi di otak kanan dan kirinya serta  kosakata yang sangat terbatas di tangannya.

Si interogator memburu dengan pertanyaan-ertanyaan yang kadang OUT OF CONTEXT. Kalaupun dalam konteks variasinya tidak banyak, tidak menantang dan prematur. Kesannya pun cenderung memaksakan pemahamannya. Isu minoritas kaum Syiah, pendukung Ahok yang dilabeli kafir, hingga tokoh-tokoh ulama sekaliber Prof. Qurais Shihab pun tak luput dari cercaan "Liberal" dan "Syiah". Saya jadi ingat ungkapan satire. Apakah ketika kita memegang palu semua tampak seperti paku? Si interogator sudah tidak bisa membedakan sekadar "have fun" dengan komentar-komentar, diskusi ringan, bahkan penghormatan pada yang lebih tua: kakak, bapak tidak dibaikan. Upaya untuk saling memahami perbedaan seolah ditutup dengan kebencian. Oleh karena kebenciannya itu saya curiga, jangan-jangan mereka sudah seperti si pemegang palu itu.

Inilah era BANALITAS informasi. Yaa sekadar informasi yang liar hingga tak terkontrol, fasenya seperti fase kapitalisme lanjut, yang bercirikan tua renta tapi liar. Padahal di atas tahap informasi masih ada dua tingkatan, yaitu pengetahuan dan kebijaksanaan. Atas semua data dan  informasi yang diperoleh dari berbagai sumber dan perspektif yang beragam, kemudian diolah menjadi PENGETAHUAN. Artinya dalam pengetahuan, ada proses BERPIKIR. Contoh, dulu ketika masih kuliah S1 dengan doktrin-doktrin gereja ortodoks yang menghambat kemajuan ilmu pengetahuan...OOPS Sorry, salah. Maksud saya, Doktrin-doktrin lembaga dakwah kampus (Sebagai derivasi dari induknya- Wahabisme) dengan ciri khas yang nyentrik: panggilan antum/akhi, celana khas puntung, rutin hafal hadis dst, doyan menyesatkan dan mengkafirkan. Sy meyakini dengan haqqul yaqien, siapapun di luar Islam, Kafir. Hingga pada suatu ketika saya membaca buku, yang membahas tentang Kafir dengan persfektif yang beda dengan definisi kafir di atas. Ringkasnya seperti berikut yang sadur dari tulisan kanda Kama. Kafir dalam terminologi adalah menolak, mengingkari, mengingkari kenyataan, kebenaran, kebaikan dll. Seirama dengan hal tersebut, dari makna terminologi ini para ulama membagi kafir menjadi dua. Kafir hakiki dan kafir fikhih. Kafir hakiki hampir sama (klo tidak persis) dgn makna terminologi: tapi kafir fikhih adalah kafir menurut pandangan kaum Islam yg mengatakan yg tidak mengucapkan syahadatain, dalam artian bahwa siapapun yg tidak mengucapkan syahadatain, maka ia kafir. pertanyaannya: apakah Islam hanya sekedar mengucapkan syahadatain lalu melakukan apa saja yg ia inginkan untuk menolak org yg mungkin dia tdk kafir secara hakiki. Berdasar pada berbagai REFERENSI itu,  saya mendapat tambahan pengetahuan, yang berdampak pada cara pamdang terhadap orang di luar apa yang saya yakini selama ini. 

Tahapan selanjutnya setelah data dan informasi diolah dan menghasilkan pengetahuan baru adalah KEBIJAKSANAAN. Bijak menghadapi orang yang beda keyakinan, beda pacar, beda istri, beda suami, baju, makanan, status sosial, tingkat pendidikan dan masih banyak lagi contoh-contoh nyata yang Tuhan hamparkan di seantero semesta, tentang betapa perbedaan nyata adanya.

Pada dasarnya perbedaan ada karena tiga hal. Yaitu, Referensi, Preferensi, dan Interpretasi (Tafsiran). Prinsip Logika mengajarkan. TIDAK ADA  SESUATU YANG SAMA SELAIN SESUATU ITU SENDIRI. X hanya sama dengan X. Lalu, mengapa kalian (penebar kebencian) harus mengenterogasi siapapun yang berbeda dengan pilihan, dan cenderung memaksakan pemahaman. Dan jika berbeda, atribut 'Sesat" 'Liberal" Syiah" adalah kata kunci penutup diskusi (debat).

Teks pertama Al Quran, IQRA (arti BACALAH),  cara pandang terhadap TEKS 'BACALAH' setiap orang pasti berbeda. Tafsir tergantung Referensi dan Preferensi (Kecenderungan). Kalau kecenderungan kita sekadar membaca dengan indera (mata, telinga, peraba) semata, maka ayat itu ditafsitkan secara inderawi. Tetapi kalau membaca berdasarkan potensi yang dimiliki manusia maka tingkatannya tentu bukan hanya indera, tapi dengan akal, dan hati. 

Membaca dengan  akal, berarti proses berpikir atas tanda-tanda baca yang Tuhan titipkan di alam raya. Ayat tertulis dan tercipta. Perbedaan hadir sudah tentu sebagai pelajaran bagi manusia, bagi yang mau belajar dan mengambil hikmah atas hal tersebut. Penemuan teori gravitasi, penemuan Archimedes, dan sejumlah penemuan-penemuan lainnya yang telah bermanfaat bagai semua umat manusia. Meskipun sejarah mengajarkan, kadang ilmuan berseteru dengan kaum agamawan. Dan, Einstein, memformulasi agama dan sains dengan sangat apik lewat ungkapan. "Agama tanpa ilmu buta, Ilmu tanpa agam lumpu". Sehingga, semestinyalah rasionalitas bersenyawa dengan doktrin agama.

Kekuatan mengolah hati, melakukan perenungan dan kontemplasi atas seluruh gerak sebab akibat alam semesta. Kemampuan mengasah hati dengan praktik-praktik spiritual, telah melahirkan banyak ajaran-ajaran 'kearifan".  Banyak hal yang terjadi di luar jangkauan nalar dan indera, dan hanya penyerahan pada yang Kuasa yang dapat menenangkan diri. Inilah, pertautan potensi manusia yang semestinya sling menguatkan indera-akal-hati, bukan saling mematikan. Sebagaimana para penganut Empirisme yang menolak gagasan-gagasan kaum Rasionalisme, terlebih pada pengetahuan yang bersifat non-inderawi.

Mereka (para interogator) biasanya membenci logika dan filsafat. Meskipun tak sadar mereka menerapkan prinsip-prinsip keduanya. Atas semua hal yang saya lihat, pikir atas perilaku kelompok-kelompok yang sering digelari "Takfiri" ini menyerupai kaum Emipirisme dalam beragama.  Mereka yang tekstual dan abai dengan konteks, mereka sibuk mempercantik fitur-fitur diri yang nampak secara inderawi (materi), pakaian, jidat, hafalan quran dan hadis. Lihai mengenakan aksesoris fikh lainnya dan mengabaikan dimensi ruh (spiritual). Dimensi immateri akan mewujud dalam bentuk perilaku seperti kebijaksanaan, kearifan dan cinta kasih selaku sesama makhluk ciptaan TYME, hatta termasuk yang beda dengan kita.


#Ditulis setelah diinterogasi oleh seorang bocah mahasiswa Al Birr Makassar dan teman FB tentang kekafiran di Indonesia. Maaf pada  'bocah' puber pembela (T)UHAN itu sy block untuk menjaga kewarasan saya.
 

28/12/2016

KESABARAN ANTARA CANDU DAN PERLAWANAN

KESABARAN ANTARA CANDU DAN PERLAWANAN

Imam Musa berkata, "Siapapun yang meninggalkan dunia untuk agama dan menelantarkan agama untuk dunia, bukan dari golongan kami."

SABAR adalah hal mulia, jika diposisikan pada hal yang proporsional. Tidak salah mengajarkan kesabaran pada ibu yang sudah seminggu tidak bisa memasak makanan untuk anak-anaknya, tapi kata sabar saja tidak cukup, bahkan kurang. Jangan coba-coba ceramahi kesabaran karyawan/buruh yang belum digaji majikannya selama tiga bulan. Apalagi dengan label Tuhan akan membalasnya di surga. Bukan, bukan surga itu yang kita mau. Himbauan seperti itu bukan hanya menjual "agama" tapi juga menghinakannya.

Akan lebih realistis, jika ajakan amukan massa, himbauan membakar semangat untuk mengerti hak-hak dan betapa majikan mesti jinak dengan amukan tersebut. Memperjuangkan hak tentu lebih mulia dibanding berdiam diri menunggu datangnya kematian. Disinilah pesan penting agama, membebaskan pekerja yang tertindas oleh majikannya. Demikian pula majikan yang tertidas atas ego dan kerakusannya.

Dalam kehidupan sehari-hari. Himbauan sabar kerap didengar. Biaya kuliah mahal, harap sabar. Harga pangan naik, masyarakat harus sabar,  kalau perlu mengurangi makan. Uang panai (biaya pesta) tinggi, sabar  :)
Kesabaran kaum miskin (khususnya ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pokok) di tengah kondisi hidup makin susah, tentu tidak dengan meminta berdiam diri (pasif). Menggerakkan solidaritas, boleh jadi salah satu jalan keluarnya. Solidaritas pasif dengan memberi bantuan, atau solidaritas aktif dengan bersama-sama mengubah keadaannya.

Kata "sabar" seringkali menjadi senjata pamungkas para penguasa. Mereka (para pejabat)  kadang meminta warga sabar (nrimo dgn diam sembari berdoa semoga ada belas kasihan darinya), atau kadang janji kehidupan esok hari yang lebih indah. Terhadap hal yang demikian  maka ambillah sebagian harta 'pejabat' tersebut secukup yang kalian butuhkan untuk bertahan hidup, atau sekadar berbagai dengan para kaum miskin. Dan sampaikan padanya sabarlah duhai pejabat. Harta itu hanya titipan.

Ini bukan fatwa, hanya ajakan atas makin tingginya KETIMPANGAN dan makin rakusnya orang-orang yang menguasai faktor2 produksi. Lalu, apakah sabar tidak penting? 

Keutamaan bagi orang-orang yang bersabar dijamin oleh Allah dalam kitab suciNya.

1."Di antara manusia ada yang menyembah Allah dengan berada di tepi, maka jika memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keaadaan itu, dan jika ditimpa suatu bencana berbaliklah ia ke belakang. Ia rugi dunia dan akhirat" [QS.Al-Hajj : 11]

2.Bersabarlah kalian, sesunguhnya Allah berserta orang-orang yang sabar" [ QS.Al-Anfal : 46]

3. “Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar,(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan,’Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun.’ Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabb-nya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 155-157).

4.“Jika kamu bersabar dan bertakwa maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.” (QS. ali-Imran: 186).

5. “Hai orangorang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. al-Baqarah: 153).

Siapa yang dimaksud dengan orang-orang yang bersabar, yang akan bersama Allah Swt. Mereka yang menjadikan shalat sebagai penolongnya. Mereka yang bertakwa. Pertalian 3 kata, Shalat, Takwa, dan Sabar. Demikian seruan Quran.

Pada beberapa kejadian, saya sering menyaksikan bahkan ada ditengah-tengah orang yang lagi mengamuk, hendak membubarkan kelompok majelis, yang didalamnya Puja-puji dan pengkhidmatan pada keluarga nabi di lantunkan. Massa yang rata-rata jidatnya hitam, dengan pakaian agak necis di atas mata kaki. Sesekali berteriak 'Allahu Akbar". "Sesat menyesatkan" dan sejumlah kata-kata makian, keluar dari mulut mereka. Massa tersebut seperti kebablasan atas perintah Tuhan yang mulia "jadikan sabar dan shalat sebagai penolongmu'. Sabar atas keyakinan yang dianut, 

Contoh kesabaran yang tinggi, dimiliki oleh Imam Ali as, betapa harus melewatkan tiga kekhalifaan. Dan begitu beliau menjadi Khalifah, praktik-praktik orang-orang korup dan kolutif yang kerap menghinakan ajaran suci nabi dalam lingkaran kekuasaan  diberangus tanpa memandang kasta/kelas.



====

Imam Musa Kazhim as, Simbol Kesabaran Ahlul Bait as 


Rasulullah Saww dan Ahlul Baitnya adalah para penunjuk jalan kebenaran. Mereka memberikan petunjuk kepada umat manusia ke jalan yang benar. Perilaku mereka merupakan cermin Al-Quran dan sumber lain untuk mengenal kebenaran seutuhnya. Untuk itu, para pencari kebenaran senantiasa menaruh perhatian pada kehidupan manusia-manusia suci. Para pecinta ilmu juga selalu menimba ilmu dari mereka yang disebut-sebut sebagai sumber ilmu dunia dan akherat. Tabir ilmu tersingkap sepenuhnya bagi Rasulullah Saww dan Ahlul Baitnya. Siapapun yang menjadikan manusia-manusia suci ini sebagai kiblat kehidupannya, akan meraih kebahagiaan dunia dan akherat.

Dalam kesempatan yang mulia ini, kami akan mempersembahkan acara khusus mengenai salah satu figur Ahlul Bait, Imam Musa Kadzim as. Pada hari ini, tepatnya pada tanggal 7 Safar, Imam Musa Kazhim as terlahir ke dunia. Di hari yang penuh berkah ini, kami mengucapkan selamat atas hari kelahiran Imam Musa Kadzim as, kepada seluruh ummat Islam, khususnya kepada para pecinta Ahlul Bait.
Di permulaan acara ini, kami akan mengambil berkah dari keagungan Imam Musa Kazhim as dengan mengutip perkataan mutiaranya. Beliau as berkata, "Siapapun yang rendah hati karena Allah Swt, maka Allah akan mengangkatnya ke darajat yang tinggi.

Pada tahun 128 Hijriah Qamariah, Imam Musa Kazhim as lahir di kota Madinah, kota Abwa. Saat lahir, ayahnya, Imam Jafar Shadiq as berkata, "Allah Swt telah mempersembahkan manusia terbaik kepadaku."
Setelah kesyahidan Imam Jafar Shadiq as, Imam Musa Kazhim as menjadi pemimpin ummat dan mengemban imamah atau kepemimpinan selama 35 tahun, Pada masa imamahnya, Imam Musa Kazhim as menghadapi berbagai problema serius, karena Bani Abbas saat itu mencapai puncak kekuasaannya.

Para penguasa saat itu seperti Harun Al-Rashid, gencar melakukan propaganda dan menerapkan arogansi yang memperkeruh kondisi buruk di tengah masyarakat. Bani Abbas dengan slogan-slogan yang berpoleskan agama, dapat menipu masyarakat dan memegang kekuasaan. Mereka sama sekali tak berkomitmen dengan slogan-slogan agama, bahkan melakukan kezaliman dan penyimpangan terhadap hukum-hukum Islam.
Bani Abbas mengesankan cinta kepada Ahlul Bait, namun pada dasaranya, mereka tidak suka bahkan menentang dan menyudutkan keluarga suci Rasulullah Saaw. Sejarah membuktikan bahwa perilaku mereka jauh dari harapan masyarakat ideal Islam. Jutaan dirham dan dinar digunakan untuk hal-hal yang tidak penting seperti pembangunan istana-istana mewah. Sementara itu, banyak masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kesenjangan di tengah masyarakat sangat menonjol di masa kekuasaan Bani Abbas.

Kasih sayang Imam Musa Kazhim as meliputi masyarakat tertindas di masa kekuasaan Bani Abbas. Masyarakat saat itu juga mencintai Imam Musa Kazhim as yang juga cucu Rasulullah Saww. Perilaku mulia Imam Musa as mengingatkan mereka akan akhlak mulia Rasulullah Saww yang tercatat dalam berbagai riwayat.

Imam Musa Kazhim as yang mendapat tempat di hati masyarakat, tentunya mengkhawatirkan para penguasa saat itu. Imam Musa yang juga menyuarakan keadilan membuat Bani Abbas geram. Bani Abbas pun berupaya menjauhkan Imam Musa dari masyarakat. Imam Musa pun dipenjarakan. Dalam sejarah disebutkan, Imam Musa mendekam di penjara selama 14 tahun. Karena kesabaran dalam menahan emosi, Imam Musa as mendapat gelar Kazhim artinya pengendali kemarahan.

Sementara itu, Harun Al-Rasyid, penguasa Bani Abbas saat itu, merasa hebat dan angkuh. Penguasa lalim ini dengan kesombongannya berkata, "Wahai awan, hujanlah! Di mana hujan turun, baik di barat maupun di timur, di sanalah wilayah kekuasaanku."

Pada suatu hari, Imam Musa as dipaksa datang ke istana Harun Al-Rasyid. Harun bertanya kepada Imam Musa, "Apakah dunia itu? Dengan memperhatikan ketamakan dan kefasikan Harun Al-Rasyid, Imam Musa as berkata, "Dunia adalah tempat tinggal orang-orang fasik." Kemudian Imam membacakan Surat Al-Aaraf, ayat 146, "Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar-benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku."

Mendengar jawaban Imam Musa, Harun Al-Rasyid diam seribu bahasa. Harun kembali bertanya; "Bagaimana pendapat anda tentang kami? Imam berlandaskan pada ayat Al-Quran menjawab, "Allah Swat berfirman; Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan. " (Surat Ibrahim, ayat 28)

Pada suatu saat, masyarakat melihat Imam Musa bekerja di ladang dan tampak keringat mengalir di di tubuhnya. Seorang sahabat bertanya, "Mengapa kamu tidak melimpahkan pekerjaan ini ke orang lain? Imam menjawab, "Bekerja dan berjerih payah adalah perilaku para nabi dan manusia-manusia saleh."

Seseorang kadang terjebak dalam tindakan radikal, yakni cenderung bersikap ekstrim sepihak dalam mereaksi dunia atau akherat. Saat disibukkan dengan akherat, dunia dilupakan, dan terkadang sebaliknya. Untuk itu, seseorang harus bisa memenej diri dengan baik, baik untuk akherat maupun dunia. Dengan demikian, ia dapat mengoptimalkan kenikmatan dunia dan akherat dengan baik. Inilah yang diinginkan oleh para nabi dan manusia-manusia suci. Terkait hal ini, Imam Musa berkata, "Siapapun yang meninggalkan dunia untuk agama dan menelantarkan agama untuk dunia, bukan dari golongan kami."

Menurut Imam Musa, dunia dan agama adalah dua item yang saling terkait. Agama itu mempersembahkan peta jalan untuk kepentingan dunia dan akherat. Dunia adalah tempat implementasi hukum dan ajaran agama. Kehidupan dunia juga dapat disebut sebagai tangga untuk menghantarkan manusia ke tujuan-tujuan mulianya. Manusia harus mampu berjalan di tengah dua kebutuhan dunia dan akherat dengan mengotimalkan kemampuan yang dimilikinya. Untuk itu, Imam meminta ummatnya supaya dapat imbang dalam urusan dunia dan akherat.
Dalam nasehat lainnya, Imam Musa berkata, "Temukanlah kesadaran dan makrefat dalam agama Allah Swt. Sebab, pemahaaman akan hukum dan ajaran Islam merupakan kunci hati nurani yang dapat menghantarkan manusia ke derajat-derajat tinggi dunia dan agama."

Agama menjamin kebahagiaan manusia. Akan tetapi syaratnya adalah pemahaman yang benar. Pesan itu dapat dipahami dalam perkataan Imam tadi. Imam Musa melalui pencerahannya, berupaya menghidupkan hati nurani di tengah masyarakat.

Di tengah penyimpangan pemikiran, Imam Musa berupaya meluruskan pemikiran-pemikiran menyimpang yang berkembang dan mengenalkan Islam sebenarnya kepada masyarakat.
Imam Ali Ar-Ridho as ketika berbicara mengenai ayahnya, Imam Musa Kazhim as, berkata, "Meski ayahku dikenal dalam manajemen, tapi beliau tetap bermusyawarah dengan para pembantunya." Beliau menambahkan, "Pada suatu hari, seseorang mendatangi ayahku, dan berkata; Apakah kamu bermusyawarah dengan para pembantu?" Beliau menjawab, "Bisa jadi Allah menyelesaikan problema melalui liadha para pembantu."
Perilaku Imam itu menunjukkan rendah hati Imam Musa terhadap semua golongan masyaarakat. Imam Musa juga dikenal dermawan bagi kaum miskin dan tertindas. Imam berkata, "Cinta membuah hidup menjadi tenteram, memperkokoh hubungan dan menyegarkan hati."

Imam Musa Kazim juga mempunyai kepribadian luar biasa yang dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Namun kepribadian agung inilah penyebab kegundahan para musuh. Imam Musa berkata, " Allah memberikan tiga kekhususan bagi kaum mukmin. Ketiga kekhususan itu adalah kemuliaan di dunia, keimanan pada akherat dan kewibawaan di hadapan para penindas."

Sumber: ** *