Read, Write, and Do Something

No Teaching without learning

Menulislah agar abadi

---

Listen, free economic make better

Showing posts with label Catatan Harian. Show all posts
Showing posts with label Catatan Harian. Show all posts

16/04/2016

Makassar Kota Dunia

http://www.alam-yin.com/2016/04/makassar-kota-dunia.htmlMakassar Kota Dunia
 
Dalam MAKassAR ada Makar
Ada pula 'ass'

Laut ditimbun jadi daratan
Daratan seperti lautan, saat musim hujan

Dalam kota,
Gedung dan jalan lebih utama,
Warga kota yang kumuh
Bak sampah yang harus dimusnahkan

Dalam Kota dunia,
Kita bisa mati dibegal
dironton ribuan orang.

alamyin, 2016

Saya bukan sastrawan, hanya saja di kota ini yang sedang berbenah dan berlomba menjadi kota metropolitan, semakin sesak dan tidak nyaman ditinggali. Untain kata di atas entah apa namanya hanyalah sentilan hati kecil dari seorang warga kota yang pernah menjadi korban setengah begal.

Rehatlah sejenak wahai kota Makassar dari mendandani diri dengan gedung-gedung dan ornamen bisnis. Kabarnya pantai Losari akan ditimbun menjadi, akan disulap menjadi hunian dan sentra bisnis menyerupai Hongkong, Dubai, dan kota dunia lainnya. 

Rehatlah sejenak !

28/01/2016

"MERAH" DI KAMPUS ORANGE (UNM)

(Sebuah catatan atas Suksesi Rektor UNM, 2016)

SYAMSU ALAM

"MERAH" identik dengan darah,  berani,  atau secara kelembagaan identik dengan kampus Unhas atau partai politik atau bahkan aliran ideologi tertentu (kiri),  tidak.. tentu tidak,  karena amat sulit kita menemukan Akademisi (Intelektual) Kiri di UNM (Universitas Negeri Makassar) . Tapi dikalangan mahasiswa UNM gagasan kiri (sosialisme)  bukan hal yang langka. Salah satu indikatornya pernah ditemukan logo peralatan kerja petani (baca: palu arit),  indikator lainnya seorang penanya mengutip Lenin pada sesi tanya jawab pada pemaparan Rencana Program Kerja calon Rektor UNM Periode 2016-2020 (27/01/16) di ruang teater Pinisi UNM. Meskipun demikian UNM tetaplah kampus Orange.

Dalam persfektif atmosfer akademik tentu berbagai pemikiran "sah dan halal" dipelajari.  Ini,  boleh jadi pertanda baik bahwa civitas akademika (dosen,  mahasiswa,  pegawai)  kampus setengah Oemar Bakri tidak perlu fobia terhadap aliran pemikiran apapun.  Karena salah satu ciri kampus yang besar dan unggul adalah tempat bersemai dan berdialektikanya berbagai pemikiran.  Bukankah pelangi itu indah karena warna-warninya.

BRANDING VISI MISI

Enam kandidat calon rektor UNM telah memaparkan rencana-rencananya jika ditakdirkan oleh Tuhan melalui 97 suara senat UNM disaring menjadi 3 (tiga)  calon dan putusan akhir adalah suara pak Menteri.  Seharian pada pemaparan dan tanya jawab calon Rektor UNM tidak banyak hal baru yang dipaparkan,  bahkan pemaparan program keenam kandidat tidak jauh berbeda dengan Program Rektor sebelumnya. Setidaknya keenam calon Rektor ada kesepahaman atau kemiripan gagasan visi misi dalam tiga kosakata.   Ketiganya adalah Kolaborasi,  MEA (Masyarakat Ekonomi Asean)  dan World Class University.

Pada ketiga kosakata itulah, penulis hendak menyematkan kata "Merah".  Dalam psikologi warna dan kaitanya dengan branding,  Warna "Merah" identik dengan hasrat,  semangat,  ambisi,  nafsu,  passion.
Para kandidat sepaham untuk meningkatkan daya saing dalam pusaran MEA dan persaingan menjadi universitas unggulan dengan berbagai predikat yang akan membanggakan para civitas akademika UNM dengan tidak sekedar mengandalkan pada seorang Rektor tetapi dengan berkolaborasi. Meskipun belum ada penjelasan lebih jauh berkolaborasi dengan siapa. Kata Kolaborasi kian populer menjelang Revolusi Industri keempat versi World Economic Forum (WEF),  Sebuah revolusi batu yang berbasis digital.  Pemicu utamanya bergesernya mode of production dari input modal fisik ke input modal non-fisik (ide dan kreativitas) pemanfaatn input tersbut menjadikan berbagai perusahaan dan organisasi meraih sukses di pentas regional maupun global. Keberhasilan organisasi  menjadi pemenang dengan strategi "Kolaborasi".  Beberapa organisasi diantaranya adalah Wikipedia, Facebook, Skype, Goldcorp, Linux, P&G dll.

Don Tapscott penulis The Digital Economy  dan Wikinomics,  mengungkapkan bahwa awalnya "Kolaborasi Maya"  yang dilakukan oleh para netizen,  programmer,  youtuber dan lain-lain adalah semacam gerakan massif sebagai anti-tesa atas dominasi perusahaan-perusahaan raksasa yang menguasai media mainstream. Bahkan kerap dikatakan sebagai "komunisme gaya baru".  Tetapi para aktivis "Kolaborasi Maya" tetap memacu krativitas dan berinovasi tiada henti tanpa terpengaruh dengan stigma komunisme gaya baru.  Misalnya Linux, yang awalnya hanyalah proyek "gotong-royong" dimana para programer berjejaring,  berbagi source code,  sharing pengalaman hingga akhirnya bisa bersaing dengan Microsoft atau Mac. Padahal tidak ada perusahaan yang menaunginya,  toh,  bisa menjadi pemain dalam dunia Sistem Operasi. Hal yang sama terjadi pada perusahaan dan organisasi yang melakukan "Kolaborasi".

KONSEKUENSI KOLABORASI

Berdasarkan sudut pandang perencanaan,  kalaborasi identik dengan proses,  dimana inputnya adalah Mahasiswa,  Dosen,  Pegawai,  Satpam, Stakeholder dan shareholder yang terkait dengan pengguna jasa dan produk (output)  perguruan tinggi. Produk perguruan tinggi bisa berarti lulusan sarjana dan pascasarjana atau hasil penelitian yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat,  perusahaan,  atau pemerintah dalam menyusun kebijakan. Dimensi dampaknya (impact) adalah apakah produk tersebut dimanfaatkan sesuai kompetensinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kemandirian bangsa. Jika Kolaborasi dimaknai seperti ini maka Tri Dharma Perguruan tinggi akan berjalan sesuai dengan koridornya dan cita mewujudkan kampus  menjadi "Center of Excellence". Tentu dengan berbagai konsekuensi-konsukuensi dan perbaikan sistem kelembagaan.

Cerita sukses tentang organisasi yang menerapkan Kolaborasi "Massif" berani mentransformasikan sistem manajemennya.  Organisasi yang awalnya menerapkan manajemen vertikal,  hirarkis yang kaku,  berdasarkan komando,  perintah atasan,  dan standar operasional yang sangat kaku dan mekanistik,  dapat menyebabkan bawahan terkena penyakit sindrom ABS (Asal Bos Senang). Dengan Kolaborasi gaya tersebut ditransformasi menjadi Organisasi dengan sistem manajemen horisontal,  terbuka, komunikasi lebih cair,   fleksibel,  penuh ruang improvisasi bagi siapapun yang terlibat dalam kolaborasi. Dengan sistem seperti ini maka jarak antara pejabat Universitas,  Fakultas,  Jurusan dan Prodi dengan yang bukan pejabat seperti dosen,  pegawai dan mahasiswa bisa dianggap tidak berjarak.

Konsekuensi lebih jauh adalah akan menghancurkan tatanan struktural feodalisme,  entah feodalisme keturunan "karaeng",  "puan" atau feodalisme keilmuan "professor" dan bukan professor.  Tentu saja hal ini adalah alamat baik buat atmosfer akademik,  dimana setiap civitas akademika adalah subjek dan ilmu pengetahuan adalah objeknya.

Konsekuensi selanjutnya,  setelah struktur feodal sudah runtuh,  maka akan tercipta kesetaraan,  ruang-ruang dialogis antar civitas akademika dan stakeholder makin luas.  Dan pada akhirnya demokratisasi kampus dapat terwujud. Apakah semudah itu?  Tentu tidak.  Tapi yang pasti jika Kolaborasi telah menjadi kosakata pamungkas para kandidat Rektor UNM maka semestinya prinsip-prinsip kolaborasi harus menjadi tonggak-tonggak pengelolaan perguruan tinggi.

KOLABORASI:  LIPSING ATAU INISIASI

Harapan terbesar kita sebagai masyarakat biasa,  atas setiap suksesi para calon pemimpin adalah satunya kata dan perbuatan atau dalam terminologi kampus adalah “kejujuran ilmiah” para kandidat.  Semua yang dipaparkan seolah-olah adalah  energi positif dengan beragam angan-angan indah.  Kata memang adalah senjata,  dia bisa memotivasi atau mematikan.

Kolaborasi layaknya diperlakukan tidak seperti liberalisasi pasar regional ASEAN dalam MEA,  karena dalam liberalisasi menyimpan potensi laten ketimpangan dan menindas Negara yang tidak punya akses dan aset.  Kolaborasi tentu memuat prinsip  pro-konsumer, tersedianya perpustakaan besar untuk berbagi sumber-sumber pengetahuan,  terciptanya transparansi sebagaimana "kolaborasi maya"  berbagi source code,  menyuburkan pikiran kolaboratif bukan pikiran kolutif dan koruptif. Semoga UNM tetap Jaya dalam Tantangan.

26/09/2015

Robot, Manusia dan Ekonomi Baru


Syamsu Alam

Source: vividscreen.
info/pic/chappie.jpg
Apa jadinya jika robot mampu mengkudeta peran manusia? Robot bisa saja merupakan The Future of Employment, atau wakil manusia dimuka bumi. Robot bisa saja menggantikan polisi yang tidak bisa memberi rasa aman di kota ini, dimana rasa takut kepada jambret dan begal menggantikan malam-malam kita yang asik ngerumpi di warung kopi.

RoboCop adalah salah satu robot superhero yang paling populer di hampir semua tingkatan usia. Robot polisi penumpas kejahatan dan penegak keadilan. Ada banyak film dengan genre teknologi AI (Artificial Intelegence) atau populer dengan istilah kecerdasan buatan yang beredar di pasaran. Dan boleh jadi adalah bidang yang sangat berkembang dengan pesat. Ada film yang mengeksplorasi bagaimana transformasi peran  antara manusia dengan robot, bahkan dalam film-film AI terbaru seperti Transendence (2014), Lucy (2014), Exmachine (2015), Chappie (2015) dan lain-lain lebih jauh melampaui versi-versi robot sebelumnya. Sang sutradara seolah-olah hendak menyampaikan pesan kegagalan manusia mengelola dan memakmurkan kehidupannya sendiri.

Pergantian peran antara robot dan manusia bukan sekedar pergantian tenaga kerja tetapi mereka bisa melakukan transeksual hingga perpindahan atau pertukaran alam sadar (alam rasional) atau kecerdasan. Apa yang terjadi jika suatu saat manusia bisa mencipta robot yang bisa belajar sendiri yang memungkinkan kecerdasannya melampaui penciptanya? Pertanyaan tersebut menyerupai pertanyaan para penggila pengetahuan yang mempertanyakan bisakah tuhan menciptakan batu, dan batu tersebut tidak bisa diangkatnya sendiri?  Bagaimana pula jika robot-robot tersebut bisa diinstall semacam stimulus emosi, simpati dan empati yang memungkinkan si robot lebih berempati dan mempunyai simpati dibanding penciptanya sendiri. Atau jangan-jangan ini adalah penanda terjadinya revolusi industri baru atau penanda bahwa siapapun yang menguasai kecerdasan mengolah besi maka dialah yang akan menguasai dunia, entahlah !

Dalam literature ekonomi kecerdasan adalah faktor produksi yang paling utama, tanpa mengabaikan peran penting faktor tanah, tenaga kerja dan modal. Kecerdasan rasional (alam sadar) adalah ukuran kemuliaan manusia modern. Rasionalitas adalah kunci model ekonomi lama, dimana pikiran rasionallah yang membimbing produsen, konsumen, rumah tangga, pemerintah untuk memenuhi self-interest mereka.

Self-interest bukanlah kosakata baru. Plato memposisikan Self-interest sebagai sesuatu yang negatif. Menurutnya self-interest merupakan biang kejahatan dan dosa. Baginya hanya akan mendorong individu berlaku tidak adil terhadap orang lain. Sementara Aristoteles memandang self-interest secara ambigu. Menurutnya, self-interest tidak selalu negatif, melainkan juga positif. Menurutnya self-interest pada dasarnya terbagi menjadi dua: bad self-interest dan good self-interest. Bagi Aristoteles good self-interest terjadi ketika individu mengutamakan pula kepentingan umum (common interest). Perdebatan tentang self-interest bukan hanya terjadi dikalangan filosof, bahkan ditingkatan praktis tidak kalah sengtinya.

Dinamika self-interest seolah betul- bentul menemukan kediriannya (the self). Ketika Bentham yang melihat self- interest sebagai perkara psikologis individual. Menurutnya meskipun selain self- interest terhubung dengan kepentingan masyarakat, namun self-interest dianggap lebih utama. Selanjutnya Nietzsche, yang melihat self interest sebagai afirmasi diri dari kehendak will to power. Begitu juga dengan Ayn Rand, yang melihat self-interest sebagai tindakan individu rasional yang penuh integritas. Di dalam ekonomi, pengertian self-interest sudah dianggap barang jadi yang stabil dan tidak bisa diganggu-gugat, pun kalau ada yang menyalahi prinsip dasar self-interest, bisa di atasi dengan berbagai asumsi. Di hal ini, self-interest diyakini sebagai satu-satunya dasar bagi rasionalitas tindakan manusia, maksimalisasi utility (kepuasan) oleh konsumen, dan maksimisasi profit bagi produsen. Menurut Hirschman, dalam ilmu ekonomi konsep self-interest begitu cepat berkembang sehingga menjadi suatu doktrin dan praktik dalam kehidupan sehari-hari. Pada titik inilah Armatya Sen memandang Ilmu ekonomi sangat egois.

Bagi Sen, sifat egois yang disandarkan pada mementingkan dan mengutamakan kepentingan diri semata tidak realistik, karena dalam banyak hal tindakan manusia tidak murni egois, melainkan kombinasi dengan utilitarian. Artinya pada derajat tertentu manusia akan selalu memikirkan kepentingan orang banyak. Namun utilitarianisme tidak juga membantu menutupi pekatnya egoisme. Sebab kepentingan semua orang pada dasarnya adalah penjumlahan dari kepentingan masing-masing (self-interest) atas nama keluarga, teman, kelompok, kelas sosial, dst. Hal ini berpotensi terjadinya diktator mayoritas, ketika individu-individu yang menguasai koin dan kekuasaan bahu-membahu membangun dinasti untuk memenuhi hasrat self-interest tanpa mempedulikan keseimbangan semesta.
Armatya Sen mengususlkan pentingnya persentuhan antara the self  dan others dengan menghadirkan simpati dan komitmen. Sen Mengilustrasikan begini, jika kita mengetahui orang lain disiksa, lalu kita ikut merasakan sakitnya siksaan itu, inilah yang disebut simpati. Jika penyiksaan terhadap orang lain, secara personal tidak memberikan dampak buruk bagi kita, namun kita sadari bahwa penyiksaan itu salah, lalu kita siap untuk menghentikan tindakan penyiksaan tersebut, maka ini yang disebut komitmen.

Dengan kata lain, simpati merupakan suatu upaya menempatkan perasaan dan perhatian (self) kita kepada situasi apa dan bagaimana yang dirasakan orang lain. Sedangkan komitmen adalah suatu kehendak yang muncul untuk melibatkan diri guna melakukan perubahan positif terhadap situasi orang lain. Dari perbedaan pengertian di atas, nampak bahwa simpati adalah suatu bentuk tindakan yang “minimalis”, pasif dan masih membawa nuansa egoistiknya. Sedangkan komitmen merupakan tindakan aktif, antisipatif dan ada keterlibatan aktif dengan yang lain.

Dalam imajinasi saya, jika simpati dan komitmen hadir dalam interaksi dalam kehidupan (sosioekonomi dan politik) maka mungkin kita tidak menemukan pasien yang mati di rumah sakit karena tidak ada biaya pengobatan. Penyerobotan lampu merah di ‘traffict light’, mark-up dan korupsi anggaran belanja publik, intimidasi mahasiswa yang kadang tidak rasional hanya karena protes soal keadaan yang dianggapnya timpang. Rasisme dalam berbagai bentuknya bisa di reduksi, kesalahan sosial yang dipicu oleh ketimpangan sosioekonomi bisa diminimalisir.

Chappie (plesetan Happy) robot ciptaan Deon (Pemain Slumdog Milionaire), boleh jadi menjadi representasi imajinasi saya. Chappie adalah robot cerdas yang memiliki alam sadar, kecerdasannya bisa melampaui kecerdasan manusia jika dilatih dengan baik dan benar. Chappie bisa menjadi budak self-interest para gangster, atau menjadi hero bagi warga yang tertindas.

Robot boleh jadi adalah representasi manusia super yang bisa menggantikan peran manusia dalam banyak hal. Pilihannya adalah apakah robot akan menjadi komplemen (pelengkap) kehidupan manusia atau ia akan mensubtitusi manusia. Jika robot adalah komplemen untuk kehidupan manusia berarti kontrol masih ditangan manusia, namun jika sebaliknya yang terjadi maka sangat mungkin perang dimasa depan adalah perang antara robot versus manusia. Atau mungkin saja telah terjadi robotisasi (dalam arti mekanisasi) massif disebabkan karena tiadanya pilihan lain selain menjadi budak koin dan kekuasaan. Alternatif lainnya robot bisa mensubtitusi peran manusia dengan asumsi bahwa robot sebagai karya kecerdasan buatan mampu melampaui kecerdasan penciptanya, dan mempunyai simpati dan komitmen untuk melindungan yang lemah, mendistribusikan kekayaan, maka mungkin ekonomi baru dan kehidupan baru benar-benar akan lahir, entahlah Chappie !

@alamyin. 
(Edisi lengkap tulisan dimuat di projek ebook "cyber dan tradisi literasi" :)
Readmore: Armatya Zen: Economic Development. Filsafat Moral Adam Smith (LIPI)  Movie: Chappie (2015), Transendence (2014), Lucy (2014), Exmachine (2015),

08/05/2015

TOKOH INSPIRASI: Out of the Box

TOKOH INSPIRASI: Out of the Box    
Spesial Hari Pencerahan Nasional ala alam-yin.com    
Foto di atas bukanlah kandidat calon gubernur/bupati/walikota. Beliau-beliau adalah inspirator di komunitasnya masing-masing. Pertama, Pak Madjid (Madjid Sallatu) adalah sosok akademisi yang mumpuni ide-ide yang menghentak di bidang perencanaan pembangunan, meskipun secara akademik hingga pensiun tidak menyandang gelar professor di depan namanya namun kapasitasnya melebihi gelar tersebut. Menurutku, salah dua jasa monumental beliau adalah berhasil membangun tim solid peneliti yang kini berkecimpung di P3KM (Pusat Studi Kebijakan dan Manajemen) Unhas dan gagasan tentang ‘memerdekakan’ KTI (Kawasan Timur Indonesia) dari Indonesia Barat.  Kedua, Ka Sul (Sulhan Yusuf) adalah sosok yang akrab dengan buku, gerakan literasi tepatnya pegiat literasi Boetta Ilmoe Kab. Bantaeng,  koes plus dan Arsenal, beliau juga tak jarang digelari sebagai ‘prof’ lebih tepatnya provokator. Meskipun profesi mereka berbeda, namun yang pasti secara fisik dan semangat mereka ada kemiripan dan bahkan kesamaan, salah satu kesamaannya adalah kepala boleh plontos tetapi pikiran kritis kosntruktif harus tetap subur.

Lalu, apa yang menjadikan kedua tokoh ini penting. Tentu bagi siapapun yang sering atau kadang-kadang berinteraksi dan mendengar diskusi-diskusi kedua orang ini akan menemukan semangat dan inspirasi dan harapan baru dari beliau. Setidaknya ada dua momen di awal bulan mei secara sengaja dipertemukan oleh Tuhan di waktu dan tempat yang berbeda dengan topik perbincangan yang berbeda pula.

Senin 3 mei 2015. PSKMP (P3KM) Unhas adalah salah satu rute mingguan saya, dalam seminggu  menyempatkan diri bertandang ke tempat ini. Cerita pak madjid tentang gigi dan reparasi gigi. Dia bercerita tentang pengalamannya konsultasi dengan dokter gigi.Hal yang baru menurut saya adalah tentang implant gigi. Sepengathuan saya teknologi implant biasanya ditanam ke jaringan syaraf. Seperti film mendiang Robbin Williams dalam The Final Cut. Dengan teknologi implant, orang yang sekarat bisa di replay kehidupannya. Prinsipnya sama dengan implant gigi dengan menanamkan besi di tulang. Biaya implant gigi lumayan mahal minimal 10 juta/gigi, belum biaya perawatan. Bisa di bayangkan kalau gigi kita sudah rontok sekitar 10 buah. Tapi apa pesan menarik beliau tentang cerita itu. ‘bagi kalian yang giginya masih bagus, jagalah gigimu baik-baik’.

Tentu, pesan sederhana tersebut penting menjadi perhatian. Kenapa? Pertama. Bisa Anda bayangkan kalau Anda tidak punya gigi. Kita tidak bisa menikmati indahnya senyum dan lezatnya makanan. Kedua, Dampaknya pada pola konsumsi dan cara kita menjalani hidup. Pastilah, kita tidak ingin menghabiskan usai produktif mencari nafkah dan akhirnya terpaksa kita setor ke para dokter.

Pesan lainnya yang serap adalah bahwa dunia kedokteran memang tak ubahnya seperti bengkel otomotif. Saya curiga ungkapan Ivan Illich semakin nyata benarnya, bahwa salah satu yang bisa merusak dunia pendidikan kesehatan adalah ‘bisnis rumah sakit’. Praktik kedokteran dan bisnisnya kadang dan pada umumnya memposisikan pasien layaknya ‘mesin rusak’, yang jika suatu organ tidak berfungsi normal atau menunjukkan gejala disfungsi, maka solusinya adalah ‘amputasi’. Ibarat motor jika onderdilnya rusak ganti sparepartnya, atau seperti amputasi ala orde baru dimana para pembangkang/kritikus harus diculik  atau bahkan dibunuh persis seperti Adam Suttler dalam film V for Vendetta. Saya curiga ada persekongkolan paradigmatik antara dunia pendidikan, kedokteran, otomotif, dan para diktator pada setiap tingkatan.

Sepintas, hidup di dunia memang penuh biaya. Namun pastilah ada dunia yang lain yang tidak selalu bicara soal biaya. Kita masih bisa memandangi cahaya rembulan di malam hari bersama kekasih dengan free. Atau tertawa bahagia di warung kopi lostcost karena ditraktir teman yang baik hati J. Dan salah satu tokoh dan pegiat komunitas, yang mencoba memandang dunia tidak dengan dasar biaya seperti yang ada dalam cerita berikut.

Rabu 6 mei 2015, sekitar pukul 12.30 saya menyambangi Toko Buku Papirus (pusat dakwah Muhammadiyah/ depan Unhas), dari jauh senyum sumringah ka Sul begitu menggoda, sapaan khasnya yang kadang sedikit ‘membully’ saya ketika memasuki ruang Toko Bukunya. Secara sengaja (Takdir) Tuhan mempertemukan juga dengan Ka Herman Pabau (salah seorang guru spiritual, yang sempat bekerjasama apim dalam training spiritual tentang penyembuhan dengan teknis meditasi ala sufi ketika saya masih sangat muda J dan aktif di LK UNM). Tentu ketemu dengan kedua guru ini, kita akan hanyut dalam diskusi yang tak berkesudahan. Diskusi tentang dari yang kiri hingga yang paling kanan, dari yang materil bahkan yang immateri, hal vulgar hingga sakral, organisasi profit dan non profit, pengalaman spiritual pribadi hingga pergumulan rekayasa sosial. Pokoknya banyak, dan ini tidak mungkin sya dapat di ruang-ruang kuliah.

Di penghujung perbincangan (sekitar pukul 16.50 wita) dengan beliau, dengan sesekali perhatian kami dialihkan oleh pengunjung Toko Buku. Ada hal yang menarik dan menghentak dalam benak saya ketika beliau berbagi pengalaman di Boetta Ilmoe tentang “MANAJEMEN ORANG MATI”. Apa itu manajemen orang mati?

Manajemen orang mati adalah praktik langsung dari apa yang orang anggap baru adalah “mass collaboration”. Dalam kolaborasi komunikasi berlangsung cair dan mengalir, tanpa hirarki, tanpa administrasi, dan semua orang tergerak dan bergerak melakukan pekerjaan masing-masing sesuai bidangnya hingga mayat masuk di liang lahat. Cukup dengan pengumuman kedukaan, orang-orang pun berdatangan secara sukarela. Ada yang mengurusi nisannya, kerandanya, kainnya, tendanya, persiapan shalat jenasahnya dan seterusnya. Sebuah kolaborasi yang digerakkan atas dasar tolong menolong dan mensukseskan suatu ‘event kematian’. Tentu, kolaborasi seperti ini tidak bisa terwujud jika tidak ada kohesi sosial yang kuat atau modal sosial yang kokoh dalam suatu komunitas/masyarakat.

Metode di atas coba beliau praktikkan dalam mengelola event ulang tahun Boetta Ilmoe. Tanpa manajemen yang rigid yang berdasar pada hubungan hirarki yang kuat, administrasi yang ketat tetap mensukseskan kegiatan tersebut. Tentu, itu bukan kali pertama daeng  Sulhan bereksperimen melawan arus mainstream. Dan tentu pula kita tidak serta merta bisa menduplikasi kesuksesan beliau bereksperimen tanpa melihat latar sejarah terbangunnya kohesi sosial dan pandangan politik di komunitasnya. Sebuah komunitas yang berbasis modal sosial yang kuat pasti dapat mewujudkan ‘mass collaboration’ yang apik, elegan dan menarik.

Panjang umur Pak Madjid dan Ka Sulhan. Dua tokoh dari dua kampus yang berbeda yang menginspirasi dan berjasa membangun budaya kritis dan mendorong tradisi intelektual yang “out of the box”. Semoga kampus merah UNHAS dan Kampus Orange UNM bersinergi membangun tradisi tersbut dan menjadi ‘center of excellent’ di Indonesia.
Selamat Hari Pendidikan Nasional 2015

@alamyin, makassar mei 2015