15/04/2020

Sombayya ri Gowa Hadapi Ancaman Resesi Akibat Wabah

Sombayya ri Gowa Hadapi Ancaman Resesi Akibat Wabah
Syamsu Alam *)

Ulasan tentang Corona persfektif sains ilmiah sampai nir-sains (hoax) sudah sangat banyak, melimpah berseliweran di media sosial dan group-group. Ia telah menjadi infodemik (bahkan melampaui pandemi itu sendiri). Soal penyakit, apakah harus selalu ilmiah? Fakta sejarah menunjukkan, tidak. Ada orang bisa sembuh hanya dengan ditiup ubun-ubunnya, atau hanya diusap dengan air *idah. Bagaimana dengan Corona yang seperti hantu.

Dalam Sinrilik Daeng Tutu yang berdurasi 51 detik yang viral, ia menyampaikan pesan-pesan agar tetap menjaga diri dan menjaga keluarga seisi rumah agar terhindar dari Virus Korona.

Terjemahan bebasnya sinriliknya kira-kira begini "Tidak ada tanda-tanda awal, tidak jelas asalnya, tiba-tiba ada penyakit yang namanya Virus Corona. Membawa penyakit tak ubahnya 'Garring Pua'. Ia seperti hantu. Oleh karena itu, kepada warga, dengarkan himbauan pemerintah, menjaga kesehatan dan menjaga keluarga agar tetap di rumah saja".

Gara-gara Corona saya mengetahui apa itu "Garring Pua". Istilah yang biasa dilontarkan orang tua kalau melihat anak-anak yang nakal dan tidak mau mendengar orang tuanya. "Na alle laloko Garring Pua", semoga 'Garring Pua" menimpamu. Kata-kata itu masih terekam dalam alam bawah sadar, dan baru seminggu ini saya tahu kalau "Garring Pua"  adalah sejenis wabah/penyakit yang menjangkiti seluruh wilayah. Bahkan, kalau saya bertanya, apa itu "Garring Pua" Orang tua kesulitan memberikan jawaban yang memuaskan.

Dulu dan Kini

Wabah 'Garring Pua' tercatat dalam Lontara Bilang Gowa (Prof. Mukhlis Paeni). Wabah ini terjadi pada pemerintahan Raja Gowa Sultan Alauddin Raja Gowa ke-14 yang pertama menerima Islam. Wabah ini hampir menyeluruh di bawah daerah kekuasaannya hingga tercatat puluhan ribu korban rakyat dari wabah ini.

Wabah ini sangat menakutkan dan membuat panik rakyat dan terutama Sultan, karena kejadiannya sangat aneh dan tiba tiba. Sekiranya rakyat terkena sakit pagi hari, sore sudah meninggal dan begitupun sebaliknya diserang sore pagi pun meninggal. Sehingga wabah seperti hantu yg akan mengambil nyawa mereka hingga rakyat sangat takut dan mengurung diri dirumah.

Kini, Virus Corona meskipun tingkat kematiannya sekitar 2-3%. Namun kepanikan telah menghipnotis manusia sejagad. Jejaring internet memudahkan penyebaran informasi beserta reduksinya. Koneksi transportasi dan interaksi global mempercepat penyebaran virusnya. Derasnya informasi dan transportasi di fase-fase awal penyebaran virus Corona diperparah dengan teror statistik yang disajikan seperti balapan.

Di Indonesia sendiri dua kegiatan agama yang menjadi media penyebaran yang massfi adalah Ijtima Jamaah Tabligh di Gowa dan penahbisan uskup di Ruteng NTT. Padahal pemerintah sudah memberi peringatan bahkan larangan untuk tidak melakukan acara yang melibatkan banyak orang.

Belajar dari Sombayya ri Gowa

Semua negara di dunia, semua daerah di Nusantara gagap menghadapinya. Ini sejarah baru bagaimana seluruh dunia disibukkan dengan mahluk mikro yang tak kasat mata. Bahkan beredar di media menteri kesehatan mengaku tidak mempunyai cara mengatasi pandemi ini.

Menanggapi Wabah yang sangat mencemaskan itu Raja Gowa Sultan Alauddin (1593-1639) juga melakukan sejenis “Self Quarantine” pada tanggal 4 Agustus 1636. Ia pun meninggalkan istana di Somba Opu dan mengisolasi diri di Istana yang lebih kecil di Bontoala. (Prof. Mukhlis Paeni).

Melihat wabah "Garring Pua" Sombayya ri Gowa mengumpulkan seluruh perangkat kerajaan dengan istilah memanggil untuk "akkusiang" sejenis rapat bersama. Mencari langkah mengatasi bencana ini. Khadi kerajaan Gowa waktu adalah Datuk Ri Bandang. Ia penyebar agama Islam di kerajaan gowa. Meminta kepada Sombayya Sultan Gowa untuk melakukan ritual agama dalam hal ini di awali dengan tobat bersama dan melakukan pengamalan ritual Rate Juma.

Lazimnya Rate jumat atau populernya "Zikkiri Jumat" di laksanakan malam jumat setelah Isya di Balla Lompoa, Istana Somba Opu, yang sebelumnya lepas Magrib di tabuhlah gendang tunrung pabballe.  Majelis zikir di ambil dari kelompok Anrong Guru Mokkinga Taeng dengan jumlah empat puluh orang di samping itu sultan perintahkan juga para Tupanrita, Tabib untuk mencari "tambara pa'bballe" (obat) untuk mecegah wabah ini.

Sombayya Sultan juga memerintahkan para menteri untuk bersama sama membuka persedian negeri untuk rakyat Gowa. Seluruh simpanan padi dan beras dalam rumah penyimpanan padi palampang dibuka dan disalurkan ke seluruh rakyat Gowa.

Sekilas terlintas bagaimana Sombayya bersama Ulama (Khadi), Tupanrita, Tabib, Anrong Guru, Para Menteri, dan juga Warga melawan wabah "Garring Pua".  Nampak pula organisasi dan orkestrasi kolaborasi melibatkan pihak-pihak utama. Sementara dari rapat-rapat yang dilaksanakan oleh pemerintah saat ini cenderung sangat terbatas pada pihak keamanan yang dominan. Apakah warga saat ini demikian sulit didisiplinkan? ataukah tidak ada ulama se-Zuhud Datuk Ri Bandang yang didengar oleh Pemerintah dan warga sekaligus.

Saran pertama Datok Ri Bandang pada Sombayya diawali dengan pertobatan. lalu dilanjutkan dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan. Jika dulu Kerajaan membagikan pangan yang ada di lumbung pangan. Mungkin saat ini adalah relokasi anggara. Tupanrita dan Tabib tetap pada keahliannya. Semua berkontribusi berdasarkan keahlian dan kapasitas.

Kolaborasi Sombayya, Ulama (Khadi), Tupanrita (Termasuk Tabib), dan Para Pejabat kerajaan. Masyarakat kita sepertinya cukup patuh pada pemimpin yang bsai ditauladani. Asal jangan seperti pagar makan tanaman. Seperti Larangan Polisi melaksanakan pesta, namun ternyata petinggi polisi berpesta di tengah merebaknya Corona. Masyarakat kita membutuhkan kejujuran, keberanian, integritas dari pemimpinnya, serta kedermawanan bangsawan.

Jika diringkas kira-kira, menghadapai resesi akibat wabah kita membutuhkan kolaborasi apik antara pemerintahan yang berintegritas, agamawan yang Zuhud, Orang kaya yang dermawan, dan Aparat keamanan yang pemberani dan bermoral. Siapa yang bisa mengorkestrasi? Kita memiliki kekuatan lokal spirit Sulapa Appa, yang semoga saja tidak tergerus oleh politik transaksional dan kepentingan pragmatis. Semoga.

*) Pegiat di Praxis School

Dimuat di Harian Tribun TImur "Sombayya ri Gowa"

0 comments: