Read, Write, and Do Something

No Teaching without learning

Menulislah agar abadi

---

Listen, free economic make better

05/12/2015

SEBERAPA 'KAYA' KITA MEMAHAMI KEMISKINAN?

Syamsu Alam *)


Sumber Gambar: http://guardianlv.com/2014/04/poverty-
Sesungguhnya kemiskinan mendekatkan diri pada kekufuran

Darimanakah kemiskinan berasal? Pertanyaan klasik nan sederhana tersebut tidak sesederhana menjawabanya apalagi hendak menyelesaikannya. Karena dari jawaban atas pertanyaan tersebut akan menimbulkan pertanyaan turunan. Kemiskinan boleh jadi akan selalu ada sepanjang sejarah umat manusia. Sepanjang logika perbandingan masih mendominasi pemikiran manusia. Konsepsi kemiskinan dan penanganannya bahkan “proyek kemiskinan” adalah cerita lama yang paling dinamis dan terseksi dibahas diberbagai tingkatan. Pinggiran kota hingga ibukota Negara, trotoar hingga hotel berbintang, korban kebijakan hingga penentu kebijakan, diskusi lesehan di kampus, riset akademik hingga janji politisi yang selalu didaur ulang agar terkesan peduli pada kemiskinan di si miskin. Sejak zaman manusia pertama hingga kini, terma kemiskinan masih diperdebatkan; definisi, ukuran/indikator hingga cara mengatasinya, yang kesemua dimensinya tersebut berkaitan erat dengan sejauhmana pengetahuan kita tentang terma tersebut.

Abad 21 menghadirkan kembali pentingnya rezim pengetahuan. Dimana pengetahuan (termasuk kreatifitas) adalah salah satu faktor produksi yang penting dalam pandangan kaum neoklasik. Knowledge is Power, kata Francis Bacon. Bahkan jauh sebelumnya pesan revolusioner pertama al Quran ‘Bacalah’ merupakan diktum pertama Tuhan kepada Nabi Muhammad akan pentingnya membaca sebagai basis utama memperoleh pengetahuan. Sebelumnya lagi hadirnya kita di dunia karena ulah Nabi Adam yang mengkonsumsi buah huldi, buah ‘pengetahuan’. Namun pengetahuan apa dan bagaimana yang dapat mereduksi kemiskinan? Atau jangan-jangan kemiskinan konsepsi yang membuat kita masih terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan.
           
Mainstream Pendekatan Kemiskinan

Sejak 1950-an ketika pendapatan nasional mulai dijadikan indikator pembangunan. Pada umumnya ilmuan sosial  merujuk pada pendekatan tersebut ketika berbicara masalah kemiskinan satu negara. Pengukuran kemiskinan kemudian sangat dipengaruhi oleh perspektif income poverty yang menggunakan indikator pendapatan sebagai satu-satunya indikator “kemiskinan”.

Di bawah kepemimpinan Mahbub Ul Haq (ekonom asal Pakistan) pada tahun 1990an, UNDP memperkenalkan pendekatan Human Development yang diformulasikan dalam bentuk Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) dan Indeks Kemiskinan Manusia. Dibandingkan dengan pendekatan yang dipakai Bank Dunia, pendekatan UNDP relatif lebih komprehensif karena mencakup beberapa dimensi, yaitu dimensi ekonomi (pendapatan), dimensi pendidikan (angka melek huruf), dan dimensi kesehatan (angka harapan hidup). Pendekatan kemiskinan versi UNDP berporos pada paradigma pembangunan populis/kerakyatan yang memadukan konsep pemenuhan kebutuhan dasar dari Paul Streeten dan teori kapabilitas yang dikembangkan Amartya Sen.

Mainstream pendekatan modernisasi ala Bank Dunia dan pendekatan populis UNDP masih melihat kemiskinan sebagai kemiskinan individu dan kurang memperhatikan kemiskinan struktural. Sistem pengukuran dan indikator yang digunakannya terfokus pada “kondisi” atau “keadaan” kemiskinan didasarkan pada faktor-faktor ekonomi yang dominan. Orang miskin hanya dipandang sebagai “orang yang serba tidak memiliki”, tidak memiliki pendapatan tinggi, tidak terdidik, tidak sehat, tidak mempunyai faktor-faktor produksi dan sebagainya. Pun, ukuran-ukuran ‘ketidak memiliki sesuatu’ di tentukan dan diberlakukan secara general oleh lembaga-lembaga tertentu kepada setiap kelompok masyarakat/Negara.

Kedua pendekatan di atas adalah referensi utama lembaga/kementerian di Negara dalam merumuskan kebijakan berkaitan dengan penduduk miskin, yang secara statistik  setiap tahun menurun namun anggaran untuk mengatasi kemiskinan meningkat setiap tahun yang tersebar di beberapa kementerian atau dinas.

Pentingnya Perspektif Komunitas

Kemiskinan akan selalu hadir ditengah-tengah kita, ketika relasi ketergantungan antara satu orang/komunitas masih terlembagakan baik secara formal maupun informal. Pendekatan kelembagaan secara formal kerap kali dilakukan oleh pemerintah sebagai bentuk kontrol terhadap warga seperti Raskin, bantuan siswa miskin, dan program lainnya yang melanggengkan ketergantungan warga Negara terhadap Negara. Sedangkan kelembagaan secara informal dapat ditelusuri dari berbagai mitos yang mengilusi kerja kreatif masyarakat, himbauan-himbauan, ceramah-ceramah agamawan yang tidak mencerahkan/ menggerakkan individu dan masyarakat.

Konsep Patron-Klien dalam konseptualisasi pikiran materiil dan individualis adalah sebuah bentuk eksploitasi dari patron ke klien, namun lembaga seperti ini adalah hubungan yang saling menjamin seperti antara pemilik tanah luas dan tak bertanah. James C. Scott  mengatakan bahwa keduanya saling memiliki kewajiban moral, seperti orang yang numpang tinggal ditanah orang kaya  memiliki kewajiban moral terhadap yang ditumpangi, demikian sebaliknya.

Di beberapa tempat di senatero dunia masih kita temui aksi kolektif  komunitas semacam Manajemen ala orang mati” yang dipraktin di Boetta Ilmoe Bantaneg. Misalnya kematian, sekarang ini orang mati pun harus membayar ketika hendak dikuburkan. Biaya yang dikeluarkan oleh sanak keluarga mulai dari menggali kuburan sampai dengan menjamu para pelayat tidak bisa lepas dari biaya ekonomi dari para keluarga. Namun orang yang meninggal tatkala mereka masih hidup telah mengasuransikan hidupnya kepada komunitas dengan cara ikut menyumbang ketika ada tetangganya yang meninggal. Ini lah yang disebut dengan  community insurance  (Banerjee).  Hal seperti masih sering ditemui pada masyarakat yang masih memegang teguh modal sosial mereka, khususnya di desa-desa yang kekerabatan dan solidaritasnya belum tergerus oleh masyarakat modern yang individualis.

Dalam struktur masyarakat modern yang berbasis pada kepentingan individu, kegiatan seperti ini ditangkap sebagai kegiatan pemborosan. Orang ketika dilihat dari ukuran materiil adalah miskin namun dalam kehidupan sosialnya masih membagi-bagikan apa yang dimiliki untuk menjamin keberlangsungan komunitas (shared poverty). Konsep membagi kemiskinan dikemukakan oleh salah satu Indonesianis, yakni Clifford Geertz yang menyoroti tentang perkembangan masyarakat Indonesia saat memasuki modernisasi dimana perubahan itu ditunjukkan ada perkembangan namun perkembangan itu tidak menunjukkan peningkatan. Tentu, kerangka konseptualnya untuk menyebutkan shared poverty terhadap perkembangan masyarakat Indonesia karena ia melihatnya dari cara pandang capitalist mode of production.

Di belahan dunia yang lain, seperti, Di Sardinia  Itali, di Okinawa Jepang dan di Loma Linda California AS, adalah contoh dimana terdapat penduduk yang rata-rata hidupnya berumur panjang di atas 80 tahun (National Geographic). Dari beberapa wilayah yang terpisah ini umumnya terdapat kebiasaan yang serupa, meskipun ada perbedaan latar belakang dan keyakinannya. Rata-rata rahasia hidup berumur panjang itu karena gaya hidup (lifestyle) mereka. Pada umumnya mereka hidup dengan gaya tradisional, mengutamakan keluarga, berkomunitas, melaksanakan event-event budaya, ramah dengan orang lain, menghargai antar sesama dan mengutamakan pergaulan dalam kehidupan, selain itu juga tidak pernah menggerutu. Pada umumnya mereka gemar berolahraga dan berkegiatan. Merawat dan memelihara orang tua dalam satu keluarga dan bukan mengirimkannya ke rumah jompo.

Pentingnya menghadirkan konsepsi dan perspektif kemiskinan berbasis kemunitas adalah wujud membangun kemandirian politik maupun finansial. Kemandirian secara politik akan mengantarkan si subjek untuk lebih berani bersikap, bahkan terhadap konsep yang mainstream sekalipun. Kemandirian secara finansial dapat diupayakan dengan memanfaatkan ‘apa’ yang dimiliki (potensi), apakah potensi non-materi berupa ide (pengetahuan), akses, keterampilan, pertemanan (modal sosial) atau potensi materi yang dimiliki individu/komunitas. Kedua jenis kemandirian ini dapat dikembangkan dan dirawat melalui semangat saling berbagi (share), yang bahkan dalam pandang mode of production capitalism, kemiskinan (_kekurangan menurut cara pandang mainstream_) dapat kita share. Yaa… shared poverty tepatnya. Karena dalam doktrin agama saya, kita tidak akan miskin dengan membagikan apa yang kita miliki kepada yang lain meskipun orang menilai kita kekurangan.

Sedekah: Jalan Alternatif yang Sunyi

Kemiskinan dapat mendekatkan kepada kekufuran. Bukan berarti bahwa kekayaan dapat menjauhkan dari kekufuran. Karena kenyataannya banyak juga yang kufur karena berlimpahan nikmat atau rezeki. Istilah teman saya, banyak orang bisa survive dengan ‘penderitaan dan serba kekurangan’ tapi tak jarang banyak yang tumbang dan lupa diri justru dengan ‘angin sepoi-sepoi’.

Islam sebagai agama yang mulia dan agung, senyatanya sudah mempunyai solusi-solusi, bahkan upaya pencegahan atas penyakit-penyakit sosial yang muncul. Sedekah adalah salah satu konsep yang masih sunyi dari hiruk pikuknya aktifitas manusia sejagad. Sedekah tentu merupakan doktrin Islam untuk mengatasi kesenjangan sosial dan mewujudkan pemerataan ekonomi.

Sedekah (Shodaqoh) adalah segala yang dikeluarkan sesorang dari hartanya dengan niat mendekatkan diri kepada Tuhan. Atau apa yang diberikan secara sukarela kepada orang lain dengan niat meraih ridha Ilahi, selain hadiyah. Termasuk kategori sedekah adalah Zakat, Nazar, Kafarah, dan lain sebaginya.

Berdasarkan definisi di atas, dapat kita jadikan acuan dasar untuk menilai maraknya slogan, seminar, dan ajakan sedekah. Mengajak orang bersedekah adalah mulia, sepanjang untuk mendepatkan ridhaNYA. Persoalan muncul ketika, beberapa agamawan, mengajak kita bersedekah agar harta kita makin bertambah, semakin dilapangkan resekinya, dan bla..bla..bla. Padahal definisi di atas jelas untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan agar terjadi akumulasi harta, apalagi agar dipilih dalam pemilihan caleg, kades, bupati, gubernur, hingga ketua RT J. Menurut hemat saya, ajakan tersebut adalah sebentuk ‘kapitalisasi sedekah’ melalui iklan-iklan yang bombastis, heboh, dan menggiurkan.

Begitu fenomena kemiskinan di Negeri yang kaya raya ini. Hendak hati memberantasnya apa daya terjebak dalam memiskinkan diri dalam memahaminya.

Wallahu A’lam. @alamyin

*) CA di FE UNM

26/09/2015

Robot, Manusia dan Ekonomi Baru


Syamsu Alam

Source: vividscreen.
info/pic/chappie.jpg
Apa jadinya jika robot mampu mengkudeta peran manusia? Robot bisa saja merupakan The Future of Employment, atau wakil manusia dimuka bumi. Robot bisa saja menggantikan polisi yang tidak bisa memberi rasa aman di kota ini, dimana rasa takut kepada jambret dan begal menggantikan malam-malam kita yang asik ngerumpi di warung kopi.

RoboCop adalah salah satu robot superhero yang paling populer di hampir semua tingkatan usia. Robot polisi penumpas kejahatan dan penegak keadilan. Ada banyak film dengan genre teknologi AI (Artificial Intelegence) atau populer dengan istilah kecerdasan buatan yang beredar di pasaran. Dan boleh jadi adalah bidang yang sangat berkembang dengan pesat. Ada film yang mengeksplorasi bagaimana transformasi peran  antara manusia dengan robot, bahkan dalam film-film AI terbaru seperti Transendence (2014), Lucy (2014), Exmachine (2015), Chappie (2015) dan lain-lain lebih jauh melampaui versi-versi robot sebelumnya. Sang sutradara seolah-olah hendak menyampaikan pesan kegagalan manusia mengelola dan memakmurkan kehidupannya sendiri.

Pergantian peran antara robot dan manusia bukan sekedar pergantian tenaga kerja tetapi mereka bisa melakukan transeksual hingga perpindahan atau pertukaran alam sadar (alam rasional) atau kecerdasan. Apa yang terjadi jika suatu saat manusia bisa mencipta robot yang bisa belajar sendiri yang memungkinkan kecerdasannya melampaui penciptanya? Pertanyaan tersebut menyerupai pertanyaan para penggila pengetahuan yang mempertanyakan bisakah tuhan menciptakan batu, dan batu tersebut tidak bisa diangkatnya sendiri?  Bagaimana pula jika robot-robot tersebut bisa diinstall semacam stimulus emosi, simpati dan empati yang memungkinkan si robot lebih berempati dan mempunyai simpati dibanding penciptanya sendiri. Atau jangan-jangan ini adalah penanda terjadinya revolusi industri baru atau penanda bahwa siapapun yang menguasai kecerdasan mengolah besi maka dialah yang akan menguasai dunia, entahlah !

Dalam literature ekonomi kecerdasan adalah faktor produksi yang paling utama, tanpa mengabaikan peran penting faktor tanah, tenaga kerja dan modal. Kecerdasan rasional (alam sadar) adalah ukuran kemuliaan manusia modern. Rasionalitas adalah kunci model ekonomi lama, dimana pikiran rasionallah yang membimbing produsen, konsumen, rumah tangga, pemerintah untuk memenuhi self-interest mereka.

Self-interest bukanlah kosakata baru. Plato memposisikan Self-interest sebagai sesuatu yang negatif. Menurutnya self-interest merupakan biang kejahatan dan dosa. Baginya hanya akan mendorong individu berlaku tidak adil terhadap orang lain. Sementara Aristoteles memandang self-interest secara ambigu. Menurutnya, self-interest tidak selalu negatif, melainkan juga positif. Menurutnya self-interest pada dasarnya terbagi menjadi dua: bad self-interest dan good self-interest. Bagi Aristoteles good self-interest terjadi ketika individu mengutamakan pula kepentingan umum (common interest). Perdebatan tentang self-interest bukan hanya terjadi dikalangan filosof, bahkan ditingkatan praktis tidak kalah sengtinya.

Dinamika self-interest seolah betul- bentul menemukan kediriannya (the self). Ketika Bentham yang melihat self- interest sebagai perkara psikologis individual. Menurutnya meskipun selain self- interest terhubung dengan kepentingan masyarakat, namun self-interest dianggap lebih utama. Selanjutnya Nietzsche, yang melihat self interest sebagai afirmasi diri dari kehendak will to power. Begitu juga dengan Ayn Rand, yang melihat self-interest sebagai tindakan individu rasional yang penuh integritas. Di dalam ekonomi, pengertian self-interest sudah dianggap barang jadi yang stabil dan tidak bisa diganggu-gugat, pun kalau ada yang menyalahi prinsip dasar self-interest, bisa di atasi dengan berbagai asumsi. Di hal ini, self-interest diyakini sebagai satu-satunya dasar bagi rasionalitas tindakan manusia, maksimalisasi utility (kepuasan) oleh konsumen, dan maksimisasi profit bagi produsen. Menurut Hirschman, dalam ilmu ekonomi konsep self-interest begitu cepat berkembang sehingga menjadi suatu doktrin dan praktik dalam kehidupan sehari-hari. Pada titik inilah Armatya Sen memandang Ilmu ekonomi sangat egois.

Bagi Sen, sifat egois yang disandarkan pada mementingkan dan mengutamakan kepentingan diri semata tidak realistik, karena dalam banyak hal tindakan manusia tidak murni egois, melainkan kombinasi dengan utilitarian. Artinya pada derajat tertentu manusia akan selalu memikirkan kepentingan orang banyak. Namun utilitarianisme tidak juga membantu menutupi pekatnya egoisme. Sebab kepentingan semua orang pada dasarnya adalah penjumlahan dari kepentingan masing-masing (self-interest) atas nama keluarga, teman, kelompok, kelas sosial, dst. Hal ini berpotensi terjadinya diktator mayoritas, ketika individu-individu yang menguasai koin dan kekuasaan bahu-membahu membangun dinasti untuk memenuhi hasrat self-interest tanpa mempedulikan keseimbangan semesta.
Armatya Sen mengususlkan pentingnya persentuhan antara the self  dan others dengan menghadirkan simpati dan komitmen. Sen Mengilustrasikan begini, jika kita mengetahui orang lain disiksa, lalu kita ikut merasakan sakitnya siksaan itu, inilah yang disebut simpati. Jika penyiksaan terhadap orang lain, secara personal tidak memberikan dampak buruk bagi kita, namun kita sadari bahwa penyiksaan itu salah, lalu kita siap untuk menghentikan tindakan penyiksaan tersebut, maka ini yang disebut komitmen.

Dengan kata lain, simpati merupakan suatu upaya menempatkan perasaan dan perhatian (self) kita kepada situasi apa dan bagaimana yang dirasakan orang lain. Sedangkan komitmen adalah suatu kehendak yang muncul untuk melibatkan diri guna melakukan perubahan positif terhadap situasi orang lain. Dari perbedaan pengertian di atas, nampak bahwa simpati adalah suatu bentuk tindakan yang “minimalis”, pasif dan masih membawa nuansa egoistiknya. Sedangkan komitmen merupakan tindakan aktif, antisipatif dan ada keterlibatan aktif dengan yang lain.

Dalam imajinasi saya, jika simpati dan komitmen hadir dalam interaksi dalam kehidupan (sosioekonomi dan politik) maka mungkin kita tidak menemukan pasien yang mati di rumah sakit karena tidak ada biaya pengobatan. Penyerobotan lampu merah di ‘traffict light’, mark-up dan korupsi anggaran belanja publik, intimidasi mahasiswa yang kadang tidak rasional hanya karena protes soal keadaan yang dianggapnya timpang. Rasisme dalam berbagai bentuknya bisa di reduksi, kesalahan sosial yang dipicu oleh ketimpangan sosioekonomi bisa diminimalisir.

Chappie (plesetan Happy) robot ciptaan Deon (Pemain Slumdog Milionaire), boleh jadi menjadi representasi imajinasi saya. Chappie adalah robot cerdas yang memiliki alam sadar, kecerdasannya bisa melampaui kecerdasan manusia jika dilatih dengan baik dan benar. Chappie bisa menjadi budak self-interest para gangster, atau menjadi hero bagi warga yang tertindas.

Robot boleh jadi adalah representasi manusia super yang bisa menggantikan peran manusia dalam banyak hal. Pilihannya adalah apakah robot akan menjadi komplemen (pelengkap) kehidupan manusia atau ia akan mensubtitusi manusia. Jika robot adalah komplemen untuk kehidupan manusia berarti kontrol masih ditangan manusia, namun jika sebaliknya yang terjadi maka sangat mungkin perang dimasa depan adalah perang antara robot versus manusia. Atau mungkin saja telah terjadi robotisasi (dalam arti mekanisasi) massif disebabkan karena tiadanya pilihan lain selain menjadi budak koin dan kekuasaan. Alternatif lainnya robot bisa mensubtitusi peran manusia dengan asumsi bahwa robot sebagai karya kecerdasan buatan mampu melampaui kecerdasan penciptanya, dan mempunyai simpati dan komitmen untuk melindungan yang lemah, mendistribusikan kekayaan, maka mungkin ekonomi baru dan kehidupan baru benar-benar akan lahir, entahlah Chappie !

@alamyin. 
(Edisi lengkap tulisan dimuat di projek ebook "cyber dan tradisi literasi" :)
Readmore: Armatya Zen: Economic Development. Filsafat Moral Adam Smith (LIPI)  Movie: Chappie (2015), Transendence (2014), Lucy (2014), Exmachine (2015),

08/05/2015

TOKOH INSPIRASI: Out of the Box

TOKOH INSPIRASI: Out of the Box    
Spesial Hari Pencerahan Nasional ala alam-yin.com    
Foto di atas bukanlah kandidat calon gubernur/bupati/walikota. Beliau-beliau adalah inspirator di komunitasnya masing-masing. Pertama, Pak Madjid (Madjid Sallatu) adalah sosok akademisi yang mumpuni ide-ide yang menghentak di bidang perencanaan pembangunan, meskipun secara akademik hingga pensiun tidak menyandang gelar professor di depan namanya namun kapasitasnya melebihi gelar tersebut. Menurutku, salah dua jasa monumental beliau adalah berhasil membangun tim solid peneliti yang kini berkecimpung di P3KM (Pusat Studi Kebijakan dan Manajemen) Unhas dan gagasan tentang ‘memerdekakan’ KTI (Kawasan Timur Indonesia) dari Indonesia Barat.  Kedua, Ka Sul (Sulhan Yusuf) adalah sosok yang akrab dengan buku, gerakan literasi tepatnya pegiat literasi Boetta Ilmoe Kab. Bantaeng,  koes plus dan Arsenal, beliau juga tak jarang digelari sebagai ‘prof’ lebih tepatnya provokator. Meskipun profesi mereka berbeda, namun yang pasti secara fisik dan semangat mereka ada kemiripan dan bahkan kesamaan, salah satu kesamaannya adalah kepala boleh plontos tetapi pikiran kritis kosntruktif harus tetap subur.

Lalu, apa yang menjadikan kedua tokoh ini penting. Tentu bagi siapapun yang sering atau kadang-kadang berinteraksi dan mendengar diskusi-diskusi kedua orang ini akan menemukan semangat dan inspirasi dan harapan baru dari beliau. Setidaknya ada dua momen di awal bulan mei secara sengaja dipertemukan oleh Tuhan di waktu dan tempat yang berbeda dengan topik perbincangan yang berbeda pula.

Senin 3 mei 2015. PSKMP (P3KM) Unhas adalah salah satu rute mingguan saya, dalam seminggu  menyempatkan diri bertandang ke tempat ini. Cerita pak madjid tentang gigi dan reparasi gigi. Dia bercerita tentang pengalamannya konsultasi dengan dokter gigi.Hal yang baru menurut saya adalah tentang implant gigi. Sepengathuan saya teknologi implant biasanya ditanam ke jaringan syaraf. Seperti film mendiang Robbin Williams dalam The Final Cut. Dengan teknologi implant, orang yang sekarat bisa di replay kehidupannya. Prinsipnya sama dengan implant gigi dengan menanamkan besi di tulang. Biaya implant gigi lumayan mahal minimal 10 juta/gigi, belum biaya perawatan. Bisa di bayangkan kalau gigi kita sudah rontok sekitar 10 buah. Tapi apa pesan menarik beliau tentang cerita itu. ‘bagi kalian yang giginya masih bagus, jagalah gigimu baik-baik’.

Tentu, pesan sederhana tersebut penting menjadi perhatian. Kenapa? Pertama. Bisa Anda bayangkan kalau Anda tidak punya gigi. Kita tidak bisa menikmati indahnya senyum dan lezatnya makanan. Kedua, Dampaknya pada pola konsumsi dan cara kita menjalani hidup. Pastilah, kita tidak ingin menghabiskan usai produktif mencari nafkah dan akhirnya terpaksa kita setor ke para dokter.

Pesan lainnya yang serap adalah bahwa dunia kedokteran memang tak ubahnya seperti bengkel otomotif. Saya curiga ungkapan Ivan Illich semakin nyata benarnya, bahwa salah satu yang bisa merusak dunia pendidikan kesehatan adalah ‘bisnis rumah sakit’. Praktik kedokteran dan bisnisnya kadang dan pada umumnya memposisikan pasien layaknya ‘mesin rusak’, yang jika suatu organ tidak berfungsi normal atau menunjukkan gejala disfungsi, maka solusinya adalah ‘amputasi’. Ibarat motor jika onderdilnya rusak ganti sparepartnya, atau seperti amputasi ala orde baru dimana para pembangkang/kritikus harus diculik  atau bahkan dibunuh persis seperti Adam Suttler dalam film V for Vendetta. Saya curiga ada persekongkolan paradigmatik antara dunia pendidikan, kedokteran, otomotif, dan para diktator pada setiap tingkatan.

Sepintas, hidup di dunia memang penuh biaya. Namun pastilah ada dunia yang lain yang tidak selalu bicara soal biaya. Kita masih bisa memandangi cahaya rembulan di malam hari bersama kekasih dengan free. Atau tertawa bahagia di warung kopi lostcost karena ditraktir teman yang baik hati J. Dan salah satu tokoh dan pegiat komunitas, yang mencoba memandang dunia tidak dengan dasar biaya seperti yang ada dalam cerita berikut.

Rabu 6 mei 2015, sekitar pukul 12.30 saya menyambangi Toko Buku Papirus (pusat dakwah Muhammadiyah/ depan Unhas), dari jauh senyum sumringah ka Sul begitu menggoda, sapaan khasnya yang kadang sedikit ‘membully’ saya ketika memasuki ruang Toko Bukunya. Secara sengaja (Takdir) Tuhan mempertemukan juga dengan Ka Herman Pabau (salah seorang guru spiritual, yang sempat bekerjasama apim dalam training spiritual tentang penyembuhan dengan teknis meditasi ala sufi ketika saya masih sangat muda J dan aktif di LK UNM). Tentu ketemu dengan kedua guru ini, kita akan hanyut dalam diskusi yang tak berkesudahan. Diskusi tentang dari yang kiri hingga yang paling kanan, dari yang materil bahkan yang immateri, hal vulgar hingga sakral, organisasi profit dan non profit, pengalaman spiritual pribadi hingga pergumulan rekayasa sosial. Pokoknya banyak, dan ini tidak mungkin sya dapat di ruang-ruang kuliah.

Di penghujung perbincangan (sekitar pukul 16.50 wita) dengan beliau, dengan sesekali perhatian kami dialihkan oleh pengunjung Toko Buku. Ada hal yang menarik dan menghentak dalam benak saya ketika beliau berbagi pengalaman di Boetta Ilmoe tentang “MANAJEMEN ORANG MATI”. Apa itu manajemen orang mati?

Manajemen orang mati adalah praktik langsung dari apa yang orang anggap baru adalah “mass collaboration”. Dalam kolaborasi komunikasi berlangsung cair dan mengalir, tanpa hirarki, tanpa administrasi, dan semua orang tergerak dan bergerak melakukan pekerjaan masing-masing sesuai bidangnya hingga mayat masuk di liang lahat. Cukup dengan pengumuman kedukaan, orang-orang pun berdatangan secara sukarela. Ada yang mengurusi nisannya, kerandanya, kainnya, tendanya, persiapan shalat jenasahnya dan seterusnya. Sebuah kolaborasi yang digerakkan atas dasar tolong menolong dan mensukseskan suatu ‘event kematian’. Tentu, kolaborasi seperti ini tidak bisa terwujud jika tidak ada kohesi sosial yang kuat atau modal sosial yang kokoh dalam suatu komunitas/masyarakat.

Metode di atas coba beliau praktikkan dalam mengelola event ulang tahun Boetta Ilmoe. Tanpa manajemen yang rigid yang berdasar pada hubungan hirarki yang kuat, administrasi yang ketat tetap mensukseskan kegiatan tersebut. Tentu, itu bukan kali pertama daeng  Sulhan bereksperimen melawan arus mainstream. Dan tentu pula kita tidak serta merta bisa menduplikasi kesuksesan beliau bereksperimen tanpa melihat latar sejarah terbangunnya kohesi sosial dan pandangan politik di komunitasnya. Sebuah komunitas yang berbasis modal sosial yang kuat pasti dapat mewujudkan ‘mass collaboration’ yang apik, elegan dan menarik.

Panjang umur Pak Madjid dan Ka Sulhan. Dua tokoh dari dua kampus yang berbeda yang menginspirasi dan berjasa membangun budaya kritis dan mendorong tradisi intelektual yang “out of the box”. Semoga kampus merah UNHAS dan Kampus Orange UNM bersinergi membangun tradisi tersbut dan menjadi ‘center of excellent’ di Indonesia.
Selamat Hari Pendidikan Nasional 2015

@alamyin, makassar mei 2015