04/04/2012

Evolusi Capital dan Senyum Costumer Service

source image: we.org.uk
Biarkan modal bergerak bebas !

Diktum di atas selalu menjadi 'headline' dalam setiap memulai pembicaraan tentang perkembangan masyarakat khususnya dalam relasi sosial-ekonomi. Khususnya dalam training-training yang bertema neoliberalisme.

Di era kejayaan Adam Smith, modal hanya dimaknai sebatas tanah dengan sewa sebagai upahnya. Namun perkembangan dan kemajuan pemikiran manusia, beserta meningkatnya kebutuhan untuk memenuhi libido ekonominya maka modal pun berevolusi.Tulisan sederhana ini sekedar rangkaian imajinasi dan pengetahuan doktrinal yang coba diuntai dalam rangkain kata-kata sederhana.

Setelah Physical Capital (modal fisik) yang terbatas hanya pada pengelolaan tanah di era agraris khususnya di daratan eropa. Karena daya serap tenaga kerja sektor pertanian tidak bisa memenuhi kuota stok tenaga kerja (penduduk) yang tersedia, maka hasrat ekonomi berkembang ke model industri. puncak kedigdayaan dibuktikan dengan pesatnya penemuan-penemuan faktor-faktor industri baru yang canggih, yang tidak lain diperuntukkan untuk meningkatkan produktifitas, meningkatkan output, mendongkrak GDP dan tentunya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan.

Industrialisasi telah memicu ketatnya persaingan baik antar korporasi maupun antar negera. Blok kapitalis vs Blok sosialis, Barat-Timur, Negara Maju- Negara Berkembang dan seterusnya hingga pada persaingan antar individu di ruang-ruang kelas sekolah, kampus dll. Dampak buruk yang dikhawatirkan jika kompetisi bebas tanpa aturan terus berlanjut dapat berupa arogansi, eksploitasi alam, eksploitasi terhadap yang lemah bahkan boleh jadi penegasian pada yang maha kuasa.

Oleh karena itu menjadi seolah rasional jika Social Capital menjadi keniscayaan dalam menjalin hubungan. Modal Sosial akan bermanfaat untuk menjalin solidaritas, semangat kebersamaan, penghargaan dan apresiasi kepada diri kita yang lain. Dalam konteks pemenuhan libido ekonomi, modal sosial merupakan instrumen yang sangat penting untuk meningkatkan produktifitas. lagi .. lagi produktifitas... Hal inilah yang digagas oleh Clinton dan kemudian di lanjutkan oleh mr. Bush dengan memanfaatkan Gereja sebagai media untuk membangun solidaritas sosial. Maka selain modal fisik kini kita mempunyai modal baru yaitu modal sosial.

Perkembangan selanjutnya, modal sosial dianggap belum cukup untuk memediasi perkembangan umat manusia beserta kebutuhannya yang semakin kompleks. Kompleksitas kehidupan yang dihadapi individu, masyarakat, perusahaan hingga negara seolah memaksa para ilmuan/akademisi/pakar untuk berinofasi dalam pencarian modal-modal baru. Ditemukanlah sebuah gagasan baru, bahwa selain modal sosial, yang lebih penting lagi adalah Human Capital. Human Capital biasa diartikan secara sederhana sebagai sumber daya manusia. Berkembanglah berbagai riset dan teori yang mencoba memotret Human capital dalam suatu kelompok atau negara.

Berdasarkan perspektif Inferioritas, maka individu, masyarakat ataupun negara yang dikalim terbelakang baik secara ekonomi, politik, pemikiran, olah raga dan sebagainya disebabkan karena rendahnya Human Capital. Perspektif superioritas, kedigdayaan negara-negara eropa, AS, dan Jepang yang dikenal G3 (sekarang G20) oleh karena mereka mempunyai sumber daya manusia yang mumpuni. ekses dari perspektif tersebut maka perlombaan selanjutnya adalah bukan lagi membangun modal sosial yang kuat tetapi fokus pada membangun Human capital, berbagai training, pusat-pusat pelatihan bermunculan seperti lumut di musim hujan. Kursus komputer, menyetir mobil hingga kursus mempercantik kuku dan training cara senyum Costumer Service (CS) kepada konsumen.

Entah modal apa lagi yang akan di eksporasi untuk meningkatkan efektifitas, efisiiensi dan produktifitas. Mungkinkah akan terjadi God Capital, dimana tuhan menjadi salah satu aset untuk meningkatkan produktifitas, memenuhi libido ekonomi dan hasrat akumulasi kapital.
Wallahu A'lam Bissawab.

"Diary alamyin@gmail.com, 4 April 2012. 5.50 am, setelah menyaksikan Champion League"

0 comments: