05/02/2009

Belajar berdemokrasi ala Wikipedia


Demokrasi adalah konsep yang sangat tua yakni Abad ke-6 sebelum Masehi sampai dengan pertengahan abad ke 4 sebelum Masehi dan di praktekkan di polis-polis (Negara kota) di Athena dan sekitarnya. “People” dalam konteks Yunani Kuno adalah warga Negara laki-laki.
Demokrasi yang dikenal sekarang adalah perpaduan dari dua konsep yang sama sekali berbeda. Pertama, konsep demokrasi (demos dan cratein) yang memang berakar dari tradisi Yunani Kuno dan Kedua, konsep representasi yang berakar dari sistem feodal. Kedua hal ini menghasilkan apa yang disebut dengan Representative Democracy atau demokrasi perwakilan. Dalam perkembangan selanjutnya, lembaga ini berkembang menjadi salah satu kamar dalam parlemen negara-negara, seperti kelihatan nyata-nyata dalam parlemen tertua di dunia, yakni House of Commons dalam Parlemen Inggris.

Agenda pembangunan demokrasi di banyak negara Dunia Ketiga saat ini tidak bisa dilepaskan dari proyek globalisasi ekonomi yang dimotori oleh negara-negara maju (Barat), yang secara aktual semakin mempolarisasi dunia ke dalam ruang-ruang ketidakadilan dan ke-tidaksetara-an (global spaces of injustice and inequality). Berbagai rezim pemerintahan di Dunia Ketiga menyepakati kepentingan untuk memfasilitasi tumbuhnya institusi dan praktek demokrasi yang memungkinkan ruang yang lebih luas bagi intervensi negara-negara Dunia Pertama sebagai pemberi donor dari proyek pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga itu. Secara khusus, intervensi ini mewakili kepentingan ekonomi untuk mengorientasikan negara-negara Dunia Ketiga berintegrasi ke dalam sistem pasar global meskipun kondisi yang memungkinkan bagi proses integrasi itu tidak setara. Menurut Noam Chomsky (1996), kondisi ketidaksetaraan dalam globalisasi ini merupakan suatu agenda imperialisme mutakhir yang secara ironis difasilitasi oleh kanal-kanal (saluran) demokrasi dimana rezim pemerintahan terpilih sebagai representasi dari konsituennya. Jadi dapat dikatakan, efek politik representasi sangat memungkinkan membuka peluang bagi praktik-praktik demokrasi yang distorsif.

Demokrasi kerap disamakan dengan pemilu. Indonesia yang dianggap sebagai penyelenggara demokrasi “tersukses” sejak pemilu 2004. namun bersamaan dengan predikat tersebut jumlah penduduk miskin di Indonesia meningkat, ketidakpedulian pemerintah terhadap warga negara semakin nyata. Dan negara seolah tak peduli dengan warganya. Pemerintah lebih sibuk menjamu para investor/ pemodal, menyediakan hidangan undang-undang, regulasi dan semacamnya daripada memenuhi hak konstituennya. Benarkah demokrasi hanya melahirkan kesengsaraan bagi masyarakat ?, hanya sebagai alat eksploitasi rakyat dan sumber daya alam.
Fenomena-fenomana yang terjadi semakin meneguhkan pandangan banyak kalangan bahwa Power tends to corrupt. Demokrasi perwakilan tidak mungkin dilaksanakan tanpa distorsi. Ketika para wakil rakyat sudah duduk di parlemen, maka mereka memiliki kepentingan yang relatif berbeda dari kepentingan yang diwakilinya. Seringkali, mereka berpendapat bahwa mereka lebih mengetahui apa yang terbaik untuk para pemilihnya. Hal ini akan mendistorsikan aspirasi. Ada beberapa alternatif yang dapat dijadikan wacana selain demokrasi perwakilan. upaya untuk meminimalisir distorsi aspirasi yaitu inisiasi warga, referendum dan recall. Alternatif lain yang harus dilakukan untuk mengkompensasi distorsi aspirasi dalam Demorasi Perwakilan adalah lembaga Promulgasi. Kira-kira, promulgasi itu sama dengan ketika para pengawal raja pada zaman kolonial pergi ke tengah pasar, membunyikan terompet dan membuka gulungan kertas serta mengumumkan titah raja kepada khayalak ramai. Alternatif lain adalah anarkisme.
Berlainan dengan anggapan umum bahwa anarkisme adalah keadaan kacau balau, a-narchos berarti tanpa penguasa. Dalam filosofi anarkisme, istilah ini dipergunakan secara positif untuk menggambarkan masyarakat tanpa penguasa dan tanpa hukum yang segala sesuatunya diusahakan bersama secara sukarela.

Selain alternatif-alternatif di atas. yang membutuhkan perjuangan panjang untuk mewujudkannya. Kita dapat belajar banyak dari Eksiklopedia raksasa, Wikipedia. Wikipedia yang diciptakan oleh Jimmy Wales dan Larry Sanger pada tahun 2001 tumbuh dengan pesat. Kisah sukses Wikipedia merupakan contoh nyata dari apa yang disebut sebagai "collective wisdom from the crowd". Dimana, setiap orang dapat menyumbangkan artikel baru, artikel yang ada di Wikipedia dapat disunting dengan mudah. Artinya setiap orang dapat memberikan informasi yang benar atau salah. Namun nyatanya kredibilitas wikipedia tetap terjaga. Apa yang khas dari model sunting dan edit artikel di Wikipedia

Ada beberapa karakteristik yang dimiliki oleh Wikipedia yaitu, pertama, adanya keragaman pendapat. Kedua,adanya kebebasan berpendapat, namun pendapat seseorang tidak ditentukan oleh pendapat orang-orang disekitar mereka.Tidak seperti kepanikan investor di pasar modal, atau ikutan yel-yel dalam kampanye politik atau demonstrasi. Ketiga, adanya Desentralisasi. Masing-masing orang mampu mengemukakan pendapat berdasarkan local knowledgenya.Ada hak otonom yang dimiliki oleh setiap individu untuk menentukan pendapat, sikap, ekspresi tanpa ada dominasi ataupun anjuran yang sifatnya mengikat dari atasan/pusat, yang mirip-mirip dengan doktrin, surat perintah dan semacamnya. Ciri yang terakhir adalah adanya metode yang baik untuk mengumpulkan pendapat masing-masing orang dan diolah menjadi sebuah KEPUTUSAN KOLEKTIF.

Andaikan Keempat dari karakteristik yang dikemukakan dapat terinternalisasi dalam gerak perilaku partai politik, lembaga pendidikan atau lembaga-lembaga publik lainnya maka mungkin fatwa Golput MUI tidak perlu terjadi.mode-mode pengambilan kebijakan yang vertikal (berdasarkan lembaga tertinggi an-sich) bukan berdasarkan kemampuan intelektual sudah saatnya ditinggalkan dengan model-model horizontal yang melibatkan sebanyak mungkin orang. Utamanya hal-hal yang berkaitan dengan layanan publik. Sekiranya pengandaian ini masih tetap menjadi pengandaian maka adakah harapan untuk menyerahkan nasib kita pada orang yang bakal "mewakili" kepentingan kita.yang nantinya membuat aturan seenaknya tanpa harus bermusyawarah, berdiskusi dengan yang mereka wakili. sungguh benar-benar bukan wakil :-D

alamyin@yahoo.com

0 comments: