14/07/2012

Mengenal Karaeng Pattingalloang (Intelektual yang Terlupakan)

Mengenal  Karaeng Pattingalloang (Intelektual yang Terlupakan)
NAMANYA kalah populer dari Sultan Hasanuddin, Raja Gowa XVI. Nama Sultan Hasanuddin diabadikan menjadi nama perguruan tinggi terbesar di Indonesia Timur, yaitu Universitas Hasanuddin (UNHAS) di Makassar. Padahal jika kita menilik sejarahnya, dari segi kecendekiawanan sebenarnya jauh lebih cendekia seorang Pattingaloang dibanding Sultan Hasanuddin. Kepopuleran Sultan Hasanuddin adalah karena berjuang melawan Belanda dan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Pattingaloang merupakan satu contoh bahwa sejak zaman kerajaan masih berlangsung, orang barat telah mengakui kecerdasan seorang muda belia Makassar. 

Dalam Sejarah Sulawesi Selatan, dikenal nama Karaeng Pattingaloang, Raja Tallo VIII yang juga merangkap Pabbicara Butta (Mangkubumi) Kerajaan Gowa pada masa pemerintahan Raja Gowa XV, Sultan Muhammad Said. Karaeng Pattingaloang merupakan satu contoh bangsawan yang modernis, menguasai Politik dan Hukum Tata Negara, mampu berkomunikasi dalam berbagai bahasa asing (Belanda, Inggris, Spanyol, Portugis, Arab dan Latin) di usianya yang masih sangat belia, 18 tahun. Ruangan kerjanya berupa perpustakaan pribadi dengan ribuan buku yang berasal dari Erofah Barat pada Abad XVII. 

Nama lengkapnya adalah I Mangadacinna Daeng Sitaba Sultan Mahmud Karaeng Pattingaloang, putera Raja Tallo VI I Malingkaang Daeng Nyonri Karaeng Matoaya. Atas jasanya, Gowa mengalami puncak kejayaan dan mampu menjalin hubungan persahabatan dengan Raja Inggris, Raja Castilia di Spanyol, Mufti Besar Saudi Arabia, Raja Portugis, Gubernur Spanyol di Manila, Raja Muda Portugis di Goa (India) dan Merchante di Masulipatan (India). Sebagaimana Ayahnya, Karaeng Matoaya, Karaeng Pattingaloang juga seorang ahli ibadah, dapat membaca kitab gundul dan menerangkan tafsirnya. Karaeng Pattingaloang adalah salah seorang putera dari Karaeng Matoaya dari ibunya bernama I Wara, Salah seorang saudara kandungnya adalah Sultan Abdul Gaffar, yang gugur dalam perjalanan setelah menaklukkan Timor dalam tahun 1841.
Kalau Karaeng Matoaya semasa menjabat Mangkubumi (1593 – 1636) dianggap telah meletakkan dasar perkembangan Kota Makassar sebagai Bandar internasional, maka puteranya Karaeng Pattingaloang mengantarkan Gowa ke puncak kejayaan sebagai kerajaan terkuat dan Bandar niaga terbesar pada zamannya baik di nusantara maupun di luar negeri. Oleh karena mahir dalam beberapa bahasa Eropa, maka dia tampil sebagai tokoh pengembangan ilmu pengetahuan dan pembangunan pada zamannya. Bahkan mungkin sampai kini belum ada yang dapat menandinginya dalam penguasaan bahasa asing.
Semua pendatang Eropah serentak memujinya, termasuk Belanda yang selalu bermusuhan dengan orang – orang Makassar. Alexander Rhodes, seorang misionaris Katolik di Makassar pada tahun 1646 menulis tentang Karaeng Pattingaloang, sebagai berikut, “Karaeng Pattingaloang adalah orang yang menguasai semua rahasia ilmu barat, sejarah Eropah dipelajarinya, selalu memegang buku Matematika, setiap hari ia membaca buku sains barat. Mendengarkan ia berbahasa Portugis tanpa melihat orangnya, maka orang akan menyangka, bahwa orang yang berbicara itu adalah orang Portugis Lisabon.”.
“…….The high governor of the whole kingdom…….is called Carim Pattengaloa, whom I found exceedingly wise and sensible……..a very honest man. He knew all our mystery very well, had read with curiosity all the cronicles of our European kings, He always had books of our is hand, especially those treating with mathematics, in which he was quite well versus. Indeed he had such at it day and night…..To hear him speak without seeing him one would take him for a native Portuguese for he spoke the language as fluently as people from Lisbon it self………”. 

Sedang dalam catatan Fride Rhodes disebutkan kalau Karaeng Pattingaloang sangat menggilai inovasi teknik Eropah dan merupakan orang Asia Tenggara pertama yang menyadari pentingnya Matematika untuk Ilmu Terapan. Di ruang kerjanya terdapat globe, peta dunia dan atlas dengan deskripsi dalam Bahasa Spanyol, Portuigis dan Latin. Reid mengatakan pula bahwa Di istana Makassar pada Abad XVII terdapat semangat yang besar untuk memahami dan meniru peta pelayaran Erofah dan barangkali kutipan Makassar itulah yang memberikan inspirasi tradisi peta pelayaran Bugis. 

Karaeng Pattingaloang juga menyukai hadiah orang – orang asing, mulai berupa kuda, antelope, gajah sampai senjata api, dan sebagainya. Pada globe yang terbuat dari tembaga, yang dihadiahkan oleh VOC kepada Karaeng Pattingaloang, penyair terkenal Belanda, Jost van den Vondel pada masa itu, telah menaruh kalimat pujian kepada beliau sebagai seorang terpelajar dan seluruh dunia terlalu kecillah baginya. Pada tahun 1652 sebuah kapal Inggris mengantarkan teleskop Galilean Prosphective Glass ciptaan Galilea kepada Raja Gowa Sultan Malikuissaid, yang dipesan dan dibeli oleh Sultan Alauddin sebelumnya, tahun 1635. Ini membuktikan bahwa Kerajaan Makassar pada masa itu telah ikut berkecimpung dalam semangat Renaissance Sains Barat, dan mempengaruhi budaya Makassar masa itu. (Makkulau, 2005).

Demikianlah, Karaeng Pattingaloang telah tampil sebagai cendekiawan dan negarawan Kerajaan Makassar di masa lalu. Beliau wafat pada tanggal 15 September 1654 dan digelari Tumenanga ri Bontobiraeng. Sebagai orang Makassar, malu rasanya mendapati uraian fakta sejarah ini. Ketika umur 18 tahun, sebagian besar diantara kita masih bergantung sama orang tua dan tahunya hanya main gasing atau play station. Malah, sebagian diantara kita pada umur 18 tahun baru tamat SMA, kenalnya hanya prestasi pacaran dan membangkang orang tua jika keinginannya tidak dituruti, padahal semua fasilitas kemajuan sekarang ini telah berada di genggaman kita. Semoga dapat diambil pelajaran. (*)

 Terima kasih Pak Makkulau
Sumber: http://sejarah.kompasiana.com/2011/04/07/kecendekiawanan-pattingaloang-malu-aku-mengetahuinya/?ref=signin#comment

0 comments: